Kuperhatikan sekelilingku.
Aku berada di ruangan tengah sebuah rumah. Kucoba untuk berpikir. Ruangan ini sangat kukenal. Setelah beberapa saat mencerna, kudapati diriku berhasil mengingat, bahwa ini adalah ruangan tengah rumah tempat tinggal orang tuaku.
Namun, keadaannya begitu... kuno.
Di sekelilingku nampak benda-benda yang sudah hampir kulupakan, namun nampak tidak asing. Lemari kayu yang seingatku sudah lama dibuang, namun kondisinya tampak begitu baru.
Televisi tabung yang menyala menyiarkan Selekta Pop TVRI. Layarnya buram seperti dihiasi semut-semut. Di sebelahnya ada mesin jahit dengan merek “Singer” yang dulu selalu digunakan Mama untuk membuatkan baju-bajuku.
Tempatku berpijak adalah lantai marmer yang dulu sangat kunantikan untuk berganti keramik.
“Dek, kok sudah bangun?” sebuah suara memalingkanku.
Aku tidak berkata-kata, hanya menatapnya dalam diam.
“Mau minum teh?” lanjutnya.
“Mbok...Jah???” kusebut nama pemilik suara yang menanyaiku.
“Ya, minum teh ya? Mbok bikinin,” ia beranjak meninggalkan televisi dalam keadaan menyala.
Aku seperti membeku menatapnya.
Ia memang Mbok Jah.
Kuperhatikan dirinya melangkah ke arah dapur. Langkahnya berlalu sambil sosoknya menghiland di pintu dapur. Dapur kami yang dulu.
Dan ia, Mbok Jah, adalah orang yang sudah lebih dari dua puluh tahun meninggal dunia.
Aku lemas, terduduk di lantai, dan mulai memperhatikan diriku.
Diriku ternyata mengenakan celana pendek merah bergambar He-Man, serta kaus putih berlambang Batman. Lagi-lagi aku berpikir bahwa ini hanya lelucon.
Aku sendiri tidak ingat pernah menggemari kaus ini. Tapi benarkah memang lelucon? Aku sendiri mulai berpikir bahwa lelucon adalah hal yang tidak masuk akal sekarang.
Apa yang sedang terjadi?
Apakah aku sudah gila?
Kulihat di samping Mbok Jah duduk tadi tergeletak sebuah koran. Koran yang tampak masih baru.
Koran Pikiran Rakyat.
Kupungutnya dan kulihat tanggalnya.
1 Desember 1989
Aku masih terduduk di lantai.Bulu kudukku merinding, juga seluruh tubuhku. Aku tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Napasku memburu, tubuhku bergetar.Gila, ini tidak mungkin!Ini pasti mimpi!Benar, kan?Pasti mimpi!Kepalaku terasa berputar, entah berapa lama aku terduduk demikian, tahu-tahu Mbok Jah sudah berjongkok di depanku, menyodorkan segelas teh panas. Teh panas dengan gelas besi bercorak loreng.Sambil tertegun kuterima gelas besi yang disodorkannya.“Terima...kasih,” kataku, ragu.“Wah, wah, Ferre udah pinteeer, bilang terima kasih,” Mbok Jah nampak ceria.Aku tidak mempedulikannya, kuteguk habis minuman itu.“Eh masih panas!” kata Mbok Jah.Aku tidak mendengarkannya, tetap kuminum semuanya sampai tandas, yang kemudian membuatku terbatuk-batuk.“Tuh kan, kata Mbok juga apa,” Mbok Jah mene
Tinggi badanku bahkan tidak mencapai setengah dari tinggi cermin. Kuperhatikan wajahku yang berpipi “tembem”, badanku yang berisi, kenyal jika kupegang. Jemariku kecil, rambutku tipis dan acak-acakan.Kupegangi cermin di depanku dengan kedua tangan mungilku.Ya Tuhan... Apa yang sedang terjadi?“Ferre, kamu ngapain?” Mama sudah duduk di samping tempat tidur.Diriku tidak lagi bertanya-tanya, karena memang tidak lagi ada gunanya. Hanya sebagian kecil dari pikiranku yang masih mempertanyakan apakah aku sedang bermimpi. Bagaimanapun ini semua masih mustahil, ini pasti mimpi.Tapi tidak, karena ketika kucubit, pipiku terasa sakit.“Ma?”“Ya, kamu ngapain, sayang? Kamu kenapa?”Tatapannya yang teduh, hangat, membuatku merasa aman. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Apa pun yang saat ini sedang kuhadapi, melihat dirinya aku merasa tenang. Ia memang mamaku.Aku meman
Matahari sudah mulai terlihat waktu aku bangun.Segera kutegakkan badanku, bersiap untuk salat subuh yang pasti sudah sangat terlambat. Saat kukerjapkan mataku, kulihat pemandangan di sekelilingku, lalu kembali kuingat ada di mana aku saat ini. Padahal hati kecilku berharap semua yang kelalui kemarin hanyalah mimpi.Tapi tidak terkabul.“Eh, sudah bangun, pinter bisa bangun sendiri,” suara Mama ceria.“Ayo sarapan, terus siap-siap ya dek,” Papa menimpali.Di pinggir tempat tidur sudah tersedia celana pendek dan rompi biru, serta kemeja putih.Sialan, benarkah ini terjadi??? Usiaku benar-benar empat tahun. Jadi aku masih taman kanak-kanak.Dan...ini benar-benar harus kulakukan? Aku benar-benar harus pergi ke Taman Kanak-kanak???Aku menolak saat Mama hendak memakaikan bajuku. Mama pun nampak terheran-heran.Kupandangi seragam putih dan rompi biru, juga cel
Perlahan dapat kulihat wajah anak di depanku. Sedikit-banyak ingatanku mulai kembali.“D...Dimas???”Anak itu menyeretku dan menghempaskanku ke dinding kelas.Dimas adalah orang yang dulu sangat kutakuti. Dengan seringainya yang bagiku lebih mirip setan, aku ingat bahwa saat-saat istirahat adalah waktunya ia menghajarku, selama dua tahun masa Taman Kanak-kanak. Dua tahun yang harus kulalui dengan mewaspadai keberadaannya, setiap kali jam istirahat tiba.“Ciaaaattt!!! Ciaaattt!!!” ia menendangiku.Aku memandanginya, merasa heran. Apakah hal ini yang dulu kutakuti?Tendangannya sama sekali tidak terasa bagiku. Bahkan kalau mau aku bisa membuatnya terjungkal kapan pun.Ya, kapan pun.Haruskah kulakukan?Sepertinya memang demikian.Aku harus mencobanya.Baiklah, sekali saja.Kudaratkan tinjuku lurus mengenai hidungnya.Ia terjengkang ke belakang, nampak terkejut. Dimas beru
“Mbok nggak tahu kejadiannya?” tanya Papa kepada Mbok Jah.“Tidak, Pak. Saya baru datang waktu ramai-ramai,”“Ferre!” tegur Mama saat melihatku hanya menonton Mission Impossible di RCTI.Aku mematikan televisi, dan berdiri.“Sudahlah Pa, Ma. Papa dan Mama nggak perlu khawatir, tenang saja.” kataku.Papa dan Mama terpana.Betapa tidak, aku berdiri dengan sikap seolah sedang menghadapi direktur-direktur di kantorku dulu.“Semuanya akan saya bereskan, besok.” kataku datar.“Ferre, kamu ini baru membuat masalah lho!” kata Papa.“Papa, sudah saya katakan, tenanglah. Percayalah, besok akan saya selesaikan.” kataku sambil berlalu masuk ke kamar tidur kami, meninggalkan Mama, Papa, dan Mbok Jah yang terbengong-bengong.
“Anak Ibu sudah mencelakai anak saya, saya minta pertanggungjawaban Ibu!” perempuan yang kupikir adalah Ibu dari Dimas menyerang Mama. Entahlah, aku belum pernah bertemu dengannya.“Sebentar, Ibu. Kita lihat dulu kronologinya,” Kata Mama.“Nggak perlu, anak saya sekarang dirawat, Bu!!! Ibu tanggung jawab!!”Elly dan Ivonne hanya diam.“TUNGGU!!!” bentakku.Aku berdiri, menatap tajam ke perempuan yang sejak tadi berteriak itu.“Ibu yakin saya yang salah?” tanyaku.Ia terhenyak.“Kalau saya bisa buktikan bukan saya yang salah, Ibu mau apa?”Tidak hanya perempuan itu, bahkan Mama, Papa, beserta Elly dan Ivonne pun memandangiku.Aku berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu memanggil sejumlah orang untuk masuk.Sejumlah Ibu-ibu yang kemarin menyaksikan peristiwaku dengan Dimas berbondong-bondong masuk ke kelas.“Bu Elly, Bu Ivon
Hari-hari pertama masih kulewati dengan upaya adaptasi. Tidak kudapati lagi suara Rita yang dengan lembut membangunkanku di waktu subuh. Sekarang Mama dan Papalah yang melakukannya.Malam-malam pertama tidurku juga diselingi dengan mimpi-mimpi tentang kehidupanku di tahun 2020. Semua politik kantor, para penjilat, dan tekanan birokrasi yang menghiasi hari-hariku. Hal-hal yang langsung menguap hilang setiap kali aku mencapai rumah.Itu adalah mimpi-mimpiku di beberapa malam pertama.Tidak ada lagi suara Narendra dan Maisha menghiasi setiap pagi hariku. Mereka yang dulu terkadang kuminta untuk tidak berisik, kini suara nyaringnya justru kurindukan.Sedikit-banyak aku merasa kehilangan.Pagi hari ini aku teringat sesuatu.Tentang kenapa teman-temanku saat taman kanak-kanak tidak pernah bermain denganku saat istirahat. Mereka semua berkumpul di kedai bubur ayam. Di sana mereka bercanda dan bermain-main.Sementara aku yang pemalu selalu me
Aku memilih ikut membuka pintu dan melihat apa yang membuat gaduh.Bu Anne, salah satu guru, sedang dipapah dan lalu dibaringkan di ruang guru.Sebentar... rasanya aku ingat ini semua. Aku ingat kegaduhan ini. Bu Anne... guru kelas sebelah yang baik hati itu. Setelah ini ia akan diopname. Begitu cerita Mbok Jah yang kuingat beberapa hari setelahnya, di kehidupanku yang dulu.“Bu Anne diopname, kepalanya pusing.” kira-kira demikian kata Mbok Jah ketika itu.Tapi ada hal yang buruk...lebih buruk lagi. Ya, Bu Anne setelah ini akan meninggal. Ia akan meninggal setelah lebih dari sepekan diopname!Aku berlari ke luar saat Bu Anne hendak dibawa.“Pak! Pak! Mau dibawa ke mana???” kataku pada seorang Bapak yang membawa Bu Anne.“Ke puskesmas, dik,”“Pak, bawa ke Santosa!!” seruku menyebut nama rumah sakit yang letaknya kira-kira lima kilometer dari tempat kami sekarang.“Sant