Share

5

Tinggi badanku bahkan tidak mencapai setengah dari tinggi cermin. Kuperhatikan wajahku yang berpipi “tembem”, badanku yang berisi, kenyal jika kupegang. Jemariku kecil, rambutku tipis dan acak-acakan.

Kupegangi cermin di depanku dengan kedua tangan mungilku.

Ya Tuhan... Apa yang sedang terjadi?

“Ferre, kamu ngapain?” Mama sudah duduk di samping tempat tidur.

Diriku tidak lagi bertanya-tanya, karena memang tidak lagi ada gunanya. Hanya sebagian kecil dari pikiranku yang masih mempertanyakan apakah aku sedang bermimpi. Bagaimanapun ini semua masih mustahil, ini pasti mimpi.

Tapi tidak, karena ketika kucubit, pipiku terasa sakit.

“Ma?”

“Ya, kamu ngapain, sayang? Kamu kenapa?”

Tatapannya yang teduh, hangat, membuatku merasa aman. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Apa pun yang saat ini sedang kuhadapi, melihat dirinya aku merasa tenang. Ia memang mamaku.

Aku memanjat ke ranjang, lalu menghambur ke pelukannya. Air mataku pun mengalir, kucoba untuk  menyembunyikannya. Meskipun itu percuma.

“Mama....”

“Oh, sayang, tiba-tiba kok nangis, kamu mimpi buruk, ya?”

Aku mengangguk dalam dekapannya. Ingin kuceritakan semuanya, tapi aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Lagipula aku tidak yakin bahwa ia akan mempercayainya.

Sayup-sayup kudengar pintu depan rumah dibuka. Sepertinya seseorang masuk, mengucapkan salam. Dari suaranya, ia seorang pria.

Suara itu, suara yang tidak pernah berubah hingga kapan pun.

Si pemilik suara masuk ke kamar, badannya penuh peluh, mengenakan kaus tenis.

Papa...

Papaku dengan rambut yang masih hitam legam sepenuhnya. Tidak ada sehelai pun uban, berbeda dengan terakhir kali aku bertemu dengannya.

“Lho, kenapa?”

“Mimpi buruk kayaknya,” jawab Mama.

“Ooh,”

Aku menenggelamkan diriku dalam pelukan Mama.

Entah berapa lama aku seperti itu, tahu-tahu suara adzan maghrib sudah berkumandang di televisi.

Papa dan Mama segera beranjak dari kamar, meninggalkanku dan mulai berwudlu, kemudian menggelar sajadah. Aku tidak pernah ingat bahwa mereka selalu sembahyang di ruang tengah, tempat televisi berada. Televisi pun dimatikan, seperti kebiasaan kami setiap kali waktu sembahyang tiba.

Semuanya persis seperti yang dulu pernah kualami. Toples-toples berisi kue kering di meja depan televisi, selalu terisi minimal setengahnya, tidak pernah dibiarkan kosong. Majalah-majalah di ruang bawah meja, yang pasti hanya berupa Femina atau Tempo.

Dari luar terdengar suara bocah-bocah kampung sebelah komplek perumahanku yang memanggil teman-temannya untuk pergi ke masjid untuk salat magrib. Terdengar jelas suara sendal jepit mereka beradu dengan jalanan. Sebagian suara langkah kaki yang berlari hanya berupa debuman, yang berarti mereka tidak memakai alas kaki.

Tanpa sadar aku pergi ke kran air tempat kami biasa mengambil air wudlu, hingga rumah ini direnovasi saat aku masuk sekolah menengah. Tanpa perasaan apa pun, aku mengikuti Papa yang telah menyelesaikan surat Al Fatihah.

Mama langsung menghambur ke arahku, dan memelukku usai menuntaskan salam akhir. Begitupun dengan Papa, ia menghampiri kami dan mengusap-ngusap kepalaku.

“Kamu, sejak kapan bisa sholat?” kata Mama.

“Papa kaget waktu ada orang lain yang bilang “aamiin” selain Mama,” timpal Papa.

Aku diam dan memaksakan senyum. Entah mereka sadar atau tidak dengan keanehanku. Aku sendiri mulai menyadari bahwa yang sedang terjadi ini memang benar-benar terjadi. Namun sekali lagi, ini pasti bukan mimpi.

Setelahnya, aku berjalan ke arah ruang tamu. Kubuka pintu depan, dan berjalan ke arah teras.

“Ferre, mau ke mana?” tanya Mbok Jah yang juga baru selesai salat.

“Di sini saja, Mbok,” jawabku lirih sambil berdiri di teras depan rumahku.

Pagar rumah kami yang masih berupa pagar kawat, halaman depan pun masih kosong. Tidak ada satu pun pohon kecuali rumput-rumput gajah.

Matahari mulai hilang dari langit, namun pendar cahayanya masih samar terlihat. Perlahan ia mulai tenggelam sedikit demi sedikit, sampai tidak lagi menyisakan cahayanya.

Komplek perumahan kami berangsur gelap. Beberapa rumah mulai menyalakan lampu. Tapi tidak seterang yang biasa kulihat. Karena penerangan rumah-rumah di sini, termasuk rumahku, hanya menggunakan bohlam bercahaya kuning.

Suara orang mengaji dari mikrofon masjid mulai terdengar, namun sangat samar. Belum banyak masjid yang ada. Mungkin hanya satu untuk seluruh kompleks.

Bulan mulai muncul.

Ia begitu jelas kulihat, tidak seperti di tahun 2020.

Hatiku berdesir.

Rita... sepertinya aku pergi terlalu jauh, gumamku.

Angin malam pun mulai bertiup. Tubuhku terasa menggigil. Aku pun segera masuk ke rumah. Walau aku berusaha memahami apa yang sedang terjadi, ini masih jauh di luar jangkauan akal sehatku.

Waktu makan malam pun tiba. Aku diberi piring bergambar Mickey Mouse.

“Aku mau piring kaca,” kataku.

Papa dan Mama memandangku lagi, tertegun.

Lalu Papa mengangguk sebagai isyarat kepada mama untuk memberikan keinginanku.

“Hati-hati ya,” kata Mama.

Aku mengangguk.

Ingin rasanya berkata, “Ayolah Ma, aku sudah tiga puluh empat tahun!”

Kata-kata yang hanya sampai di tenggorokanku saja.

Saat mengunyah nasi, aku kembali tertegun.

Ini gila, gigiku pun masih gigi susu!

Usai makan malam, Papa dan Mama menyalakan televisi. Film Oshin telah dimulai. Aku termenung mengamatinya. Film Oshin yang telah diputar ulang di tahun 2020, tapi kini kusaksikan lagi di masanya. Kupandangi televisi yang masih dihiasi semut-semut pada layarnya.

Satu jam berlalu, Mama membuatkan segelas susu Dancow untukku, pertanda aku harus segera pergi tidur setelah menghabiskannya. Ritual yang berlangsung hingga aku duduk di Sekolah Dasar. Tidak ada pilihan selain menurut saat waktu menunjukkan pukul sembilan. Mama menggandengku masuk ke kamar.

Seiring pintu ditutup, kudengar dimulainya siaran Dunia Dalam Berita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status