Tinggi badanku bahkan tidak mencapai setengah dari tinggi cermin. Kuperhatikan wajahku yang berpipi “tembem”, badanku yang berisi, kenyal jika kupegang. Jemariku kecil, rambutku tipis dan acak-acakan.
Kupegangi cermin di depanku dengan kedua tangan mungilku.
Ya Tuhan... Apa yang sedang terjadi?
“Ferre, kamu ngapain?” Mama sudah duduk di samping tempat tidur.
Diriku tidak lagi bertanya-tanya, karena memang tidak lagi ada gunanya. Hanya sebagian kecil dari pikiranku yang masih mempertanyakan apakah aku sedang bermimpi. Bagaimanapun ini semua masih mustahil, ini pasti mimpi.
Tapi tidak, karena ketika kucubit, pipiku terasa sakit.
“Ma?”
“Ya, kamu ngapain, sayang? Kamu kenapa?”
Tatapannya yang teduh, hangat, membuatku merasa aman. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Apa pun yang saat ini sedang kuhadapi, melihat dirinya aku merasa tenang. Ia memang mamaku.
Aku memanjat ke ranjang, lalu menghambur ke pelukannya. Air mataku pun mengalir, kucoba untuk menyembunyikannya. Meskipun itu percuma.
“Mama....”
“Oh, sayang, tiba-tiba kok nangis, kamu mimpi buruk, ya?”
Aku mengangguk dalam dekapannya. Ingin kuceritakan semuanya, tapi aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Lagipula aku tidak yakin bahwa ia akan mempercayainya.
Sayup-sayup kudengar pintu depan rumah dibuka. Sepertinya seseorang masuk, mengucapkan salam. Dari suaranya, ia seorang pria.
Suara itu, suara yang tidak pernah berubah hingga kapan pun.
Si pemilik suara masuk ke kamar, badannya penuh peluh, mengenakan kaus tenis.
Papa...
Papaku dengan rambut yang masih hitam legam sepenuhnya. Tidak ada sehelai pun uban, berbeda dengan terakhir kali aku bertemu dengannya.
“Lho, kenapa?”
“Mimpi buruk kayaknya,” jawab Mama.
“Ooh,”
Aku menenggelamkan diriku dalam pelukan Mama.
Entah berapa lama aku seperti itu, tahu-tahu suara adzan maghrib sudah berkumandang di televisi.
Papa dan Mama segera beranjak dari kamar, meninggalkanku dan mulai berwudlu, kemudian menggelar sajadah. Aku tidak pernah ingat bahwa mereka selalu sembahyang di ruang tengah, tempat televisi berada. Televisi pun dimatikan, seperti kebiasaan kami setiap kali waktu sembahyang tiba.
Semuanya persis seperti yang dulu pernah kualami. Toples-toples berisi kue kering di meja depan televisi, selalu terisi minimal setengahnya, tidak pernah dibiarkan kosong. Majalah-majalah di ruang bawah meja, yang pasti hanya berupa Femina atau Tempo.
Dari luar terdengar suara bocah-bocah kampung sebelah komplek perumahanku yang memanggil teman-temannya untuk pergi ke masjid untuk salat magrib. Terdengar jelas suara sendal jepit mereka beradu dengan jalanan. Sebagian suara langkah kaki yang berlari hanya berupa debuman, yang berarti mereka tidak memakai alas kaki.
Tanpa sadar aku pergi ke kran air tempat kami biasa mengambil air wudlu, hingga rumah ini direnovasi saat aku masuk sekolah menengah. Tanpa perasaan apa pun, aku mengikuti Papa yang telah menyelesaikan surat Al Fatihah.
Mama langsung menghambur ke arahku, dan memelukku usai menuntaskan salam akhir. Begitupun dengan Papa, ia menghampiri kami dan mengusap-ngusap kepalaku.
“Kamu, sejak kapan bisa sholat?” kata Mama.
“Papa kaget waktu ada orang lain yang bilang “aamiin” selain Mama,” timpal Papa.
Aku diam dan memaksakan senyum. Entah mereka sadar atau tidak dengan keanehanku. Aku sendiri mulai menyadari bahwa yang sedang terjadi ini memang benar-benar terjadi. Namun sekali lagi, ini pasti bukan mimpi.
Setelahnya, aku berjalan ke arah ruang tamu. Kubuka pintu depan, dan berjalan ke arah teras.
“Ferre, mau ke mana?” tanya Mbok Jah yang juga baru selesai salat.
“Di sini saja, Mbok,” jawabku lirih sambil berdiri di teras depan rumahku.
Pagar rumah kami yang masih berupa pagar kawat, halaman depan pun masih kosong. Tidak ada satu pun pohon kecuali rumput-rumput gajah.
Matahari mulai hilang dari langit, namun pendar cahayanya masih samar terlihat. Perlahan ia mulai tenggelam sedikit demi sedikit, sampai tidak lagi menyisakan cahayanya.
Komplek perumahan kami berangsur gelap. Beberapa rumah mulai menyalakan lampu. Tapi tidak seterang yang biasa kulihat. Karena penerangan rumah-rumah di sini, termasuk rumahku, hanya menggunakan bohlam bercahaya kuning.
Suara orang mengaji dari mikrofon masjid mulai terdengar, namun sangat samar. Belum banyak masjid yang ada. Mungkin hanya satu untuk seluruh kompleks.
Bulan mulai muncul.
Ia begitu jelas kulihat, tidak seperti di tahun 2020.
Hatiku berdesir.
Rita... sepertinya aku pergi terlalu jauh, gumamku.
Angin malam pun mulai bertiup. Tubuhku terasa menggigil. Aku pun segera masuk ke rumah. Walau aku berusaha memahami apa yang sedang terjadi, ini masih jauh di luar jangkauan akal sehatku.
Waktu makan malam pun tiba. Aku diberi piring bergambar Mickey Mouse.
“Aku mau piring kaca,” kataku.
Papa dan Mama memandangku lagi, tertegun.
Lalu Papa mengangguk sebagai isyarat kepada mama untuk memberikan keinginanku.
“Hati-hati ya,” kata Mama.
Aku mengangguk.
Ingin rasanya berkata, “Ayolah Ma, aku sudah tiga puluh empat tahun!”
Kata-kata yang hanya sampai di tenggorokanku saja.
Saat mengunyah nasi, aku kembali tertegun.
Ini gila, gigiku pun masih gigi susu!
Usai makan malam, Papa dan Mama menyalakan televisi. Film Oshin telah dimulai. Aku termenung mengamatinya. Film Oshin yang telah diputar ulang di tahun 2020, tapi kini kusaksikan lagi di masanya. Kupandangi televisi yang masih dihiasi semut-semut pada layarnya.
Satu jam berlalu, Mama membuatkan segelas susu Dancow untukku, pertanda aku harus segera pergi tidur setelah menghabiskannya. Ritual yang berlangsung hingga aku duduk di Sekolah Dasar. Tidak ada pilihan selain menurut saat waktu menunjukkan pukul sembilan. Mama menggandengku masuk ke kamar.
Seiring pintu ditutup, kudengar dimulainya siaran Dunia Dalam Berita.
Matahari sudah mulai terlihat waktu aku bangun.Segera kutegakkan badanku, bersiap untuk salat subuh yang pasti sudah sangat terlambat. Saat kukerjapkan mataku, kulihat pemandangan di sekelilingku, lalu kembali kuingat ada di mana aku saat ini. Padahal hati kecilku berharap semua yang kelalui kemarin hanyalah mimpi.Tapi tidak terkabul.“Eh, sudah bangun, pinter bisa bangun sendiri,” suara Mama ceria.“Ayo sarapan, terus siap-siap ya dek,” Papa menimpali.Di pinggir tempat tidur sudah tersedia celana pendek dan rompi biru, serta kemeja putih.Sialan, benarkah ini terjadi??? Usiaku benar-benar empat tahun. Jadi aku masih taman kanak-kanak.Dan...ini benar-benar harus kulakukan? Aku benar-benar harus pergi ke Taman Kanak-kanak???Aku menolak saat Mama hendak memakaikan bajuku. Mama pun nampak terheran-heran.Kupandangi seragam putih dan rompi biru, juga cel
Perlahan dapat kulihat wajah anak di depanku. Sedikit-banyak ingatanku mulai kembali.“D...Dimas???”Anak itu menyeretku dan menghempaskanku ke dinding kelas.Dimas adalah orang yang dulu sangat kutakuti. Dengan seringainya yang bagiku lebih mirip setan, aku ingat bahwa saat-saat istirahat adalah waktunya ia menghajarku, selama dua tahun masa Taman Kanak-kanak. Dua tahun yang harus kulalui dengan mewaspadai keberadaannya, setiap kali jam istirahat tiba.“Ciaaaattt!!! Ciaaattt!!!” ia menendangiku.Aku memandanginya, merasa heran. Apakah hal ini yang dulu kutakuti?Tendangannya sama sekali tidak terasa bagiku. Bahkan kalau mau aku bisa membuatnya terjungkal kapan pun.Ya, kapan pun.Haruskah kulakukan?Sepertinya memang demikian.Aku harus mencobanya.Baiklah, sekali saja.Kudaratkan tinjuku lurus mengenai hidungnya.Ia terjengkang ke belakang, nampak terkejut. Dimas beru
“Mbok nggak tahu kejadiannya?” tanya Papa kepada Mbok Jah.“Tidak, Pak. Saya baru datang waktu ramai-ramai,”“Ferre!” tegur Mama saat melihatku hanya menonton Mission Impossible di RCTI.Aku mematikan televisi, dan berdiri.“Sudahlah Pa, Ma. Papa dan Mama nggak perlu khawatir, tenang saja.” kataku.Papa dan Mama terpana.Betapa tidak, aku berdiri dengan sikap seolah sedang menghadapi direktur-direktur di kantorku dulu.“Semuanya akan saya bereskan, besok.” kataku datar.“Ferre, kamu ini baru membuat masalah lho!” kata Papa.“Papa, sudah saya katakan, tenanglah. Percayalah, besok akan saya selesaikan.” kataku sambil berlalu masuk ke kamar tidur kami, meninggalkan Mama, Papa, dan Mbok Jah yang terbengong-bengong.
“Anak Ibu sudah mencelakai anak saya, saya minta pertanggungjawaban Ibu!” perempuan yang kupikir adalah Ibu dari Dimas menyerang Mama. Entahlah, aku belum pernah bertemu dengannya.“Sebentar, Ibu. Kita lihat dulu kronologinya,” Kata Mama.“Nggak perlu, anak saya sekarang dirawat, Bu!!! Ibu tanggung jawab!!”Elly dan Ivonne hanya diam.“TUNGGU!!!” bentakku.Aku berdiri, menatap tajam ke perempuan yang sejak tadi berteriak itu.“Ibu yakin saya yang salah?” tanyaku.Ia terhenyak.“Kalau saya bisa buktikan bukan saya yang salah, Ibu mau apa?”Tidak hanya perempuan itu, bahkan Mama, Papa, beserta Elly dan Ivonne pun memandangiku.Aku berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu memanggil sejumlah orang untuk masuk.Sejumlah Ibu-ibu yang kemarin menyaksikan peristiwaku dengan Dimas berbondong-bondong masuk ke kelas.“Bu Elly, Bu Ivon
Hari-hari pertama masih kulewati dengan upaya adaptasi. Tidak kudapati lagi suara Rita yang dengan lembut membangunkanku di waktu subuh. Sekarang Mama dan Papalah yang melakukannya.Malam-malam pertama tidurku juga diselingi dengan mimpi-mimpi tentang kehidupanku di tahun 2020. Semua politik kantor, para penjilat, dan tekanan birokrasi yang menghiasi hari-hariku. Hal-hal yang langsung menguap hilang setiap kali aku mencapai rumah.Itu adalah mimpi-mimpiku di beberapa malam pertama.Tidak ada lagi suara Narendra dan Maisha menghiasi setiap pagi hariku. Mereka yang dulu terkadang kuminta untuk tidak berisik, kini suara nyaringnya justru kurindukan.Sedikit-banyak aku merasa kehilangan.Pagi hari ini aku teringat sesuatu.Tentang kenapa teman-temanku saat taman kanak-kanak tidak pernah bermain denganku saat istirahat. Mereka semua berkumpul di kedai bubur ayam. Di sana mereka bercanda dan bermain-main.Sementara aku yang pemalu selalu me
Aku memilih ikut membuka pintu dan melihat apa yang membuat gaduh.Bu Anne, salah satu guru, sedang dipapah dan lalu dibaringkan di ruang guru.Sebentar... rasanya aku ingat ini semua. Aku ingat kegaduhan ini. Bu Anne... guru kelas sebelah yang baik hati itu. Setelah ini ia akan diopname. Begitu cerita Mbok Jah yang kuingat beberapa hari setelahnya, di kehidupanku yang dulu.“Bu Anne diopname, kepalanya pusing.” kira-kira demikian kata Mbok Jah ketika itu.Tapi ada hal yang buruk...lebih buruk lagi. Ya, Bu Anne setelah ini akan meninggal. Ia akan meninggal setelah lebih dari sepekan diopname!Aku berlari ke luar saat Bu Anne hendak dibawa.“Pak! Pak! Mau dibawa ke mana???” kataku pada seorang Bapak yang membawa Bu Anne.“Ke puskesmas, dik,”“Pak, bawa ke Santosa!!” seruku menyebut nama rumah sakit yang letaknya kira-kira lima kilometer dari tempat kami sekarang.“Sant
Tanpa terasa, tahun baru 1990 telah tiba.Selama lebih dari satu bulan aku telah beberapa kali mengikuti Papa dan Mama berjalan-jalan di akhir pekan. Bandung belum menunjukkan kemacetan yang pada masa kehidupanku sebelumnya telah membuatku frustrasi hampir setiap hari. Mobil-mobil yang beredar masih didominasi oleh jenis minibus. Cukup jarang kulihat sedan.Sampai saat ini aku masih menyusun rencana apa saja yang hendak kulakukan. Terlebih aku masih menikmati suasana masa kecilku yang tanpa beban. Aku bisa bermain atau menonton televisi seharian tanpa ada yang protes, walaupun acara televisi yang ada juga hanya TVRI dan setengah hari RCTI.Masa depan masih panjang, berbagai hal telah ada di pikiranku.“Presiden Soeharto hari ini mengumumkan...”Suara berita di radio warung pinggir jalan, radio butut kuno, berukuran kotak besar terdengar saat aku melewatinya. Semua sudah pernah kudengar, walaupun aku sudah lupa, setidaknya suara
Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak aku mengulangi kehidupanku. Kusadari karena cerita hidupku telah berulang, maka masa hidupku yang dulu kini kuanggap sebagai siklus kehidupanku yang pertama.Aku telah mengakhiri sekolah Taman Kanak-kanak dengan beberapa kali memenangkan lomba. Lomba menyanyi, lomba menggambar (yang didominasi gambar dua gunung dan sawah pedesaan khas karya anak-anak pada masa ini), bahkan lomba lari.Semuanya membuatku semakin populer.Berbagai macam piala memenuhi lemari rumahku. Papa sampai harus membeli lemari baru, hal yang di kehidupanku sebelumnya baru akan dia lakukan tiga tahun dari sekarang.Bingkai-bingkai menghiasi rumah, dengan gambar diriku yang memegang berbagai macam piala tersebut. Teman-teman jadi sering main ke rumahku, selain di sekolah mereka juga mengerubungiku. Terutama teman-teman perempuan.Sementara jika tiba hari libur, Papa dan Mama sangat suka pergi ke Gramedia. Berkali-kali kami mengunjungi Gra