“Anak Ibu sudah mencelakai anak saya, saya minta pertanggungjawaban Ibu!” perempuan yang kupikir adalah Ibu dari Dimas menyerang Mama. Entahlah, aku belum pernah bertemu dengannya.
“Sebentar, Ibu. Kita lihat dulu kronologinya,” Kata Mama.
“Nggak perlu, anak saya sekarang dirawat, Bu!!! Ibu tanggung jawab!!”
Elly dan Ivonne hanya diam.
“TUNGGU!!!” bentakku.
Aku berdiri, menatap tajam ke perempuan yang sejak tadi berteriak itu.
“Ibu yakin saya yang salah?” tanyaku.
Ia terhenyak.
“Kalau saya bisa buktikan bukan saya yang salah, Ibu mau apa?”
Tidak hanya perempuan itu, bahkan Mama, Papa, beserta Elly dan Ivonne pun memandangiku.
Aku berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu memanggil sejumlah orang untuk masuk.
Sejumlah Ibu-ibu yang kemarin menyaksikan peristiwaku dengan Dimas berbondong-bondong masuk ke kelas.
“Bu Elly, Bu Ivonne, Mama, Papa, dan Ibu...siapa ya? Maaf saya tidak tahu nama Ibu. Tapi Ibu-ibu ini adalah saksi saya.” kataku menunjuk sejumlah Ibu-ibu yang masuk ke kelas.
“Silakan, Bu. Tolong ceritakan apa yang terjadi.” kataku mempersilakan mereka.
“Iya bener Bu, Dimas yang duluan.” kata seorang Ibu.
“Betul, Dimas mukulin Ferre!” lanjut yang lain.
“Ferre benar nggak ngapa-ngapain, Dimas jatuh sendiri!”
Yang terakhir ini aneh, tapi tak apalah, pikirku.
“Apa ini??? Kalian semua sekongkol???” kata perempuan gila itu.
“Bu,” kataku tenang, dengan senyum simpul. “Silakan tanya pada Ibu-ibu ini, apakah kami bersekongkol?”
Semua kembali terdiam.
Suasana ruangan hening.
“Dimas yang duluan, Dimas yang salah.” sebuah suara memecah keheningan yang telah berlangsung beberapa menit.
Aku menoleh, mataku menemukan seorang pria berambut putih dan berkumis.
Ia nampak sudah cukup berumur. Tapi semua orang seperti menghormatinya, terbukti Elly dan Ivonne membungkuk saat orang ini masuk.
Aku tidak ingat siapa pria ini, sama sekali tidak. Dua tahun aku sekolah di sini, dan satu kali pun aku belum pernah melihatnya.
Siapa dia?
Kepala sekolah kah?
“Saya saksinya, saya melihat semuanya.” lanjut pria itu.
Semua berakhir di sana.
Aku dinyatakan tidak bersalah. Semua bubar, dan sekolah pada hari itu kembali diliburkan. Elly, Ivonne, dan guru-guru lain pasti senang karena bebas tugas.
Setelah hari itu, aku tidak pernah lagi melihat Dimas.
Pindahkah dia?
Bagaimana dengan cedera di kemaluannya?
Aku yakin itu sangat parah. Aku menggunakan teknik karate dan Tae Kwon Do untuk menghajarnya.
Papa dan Mama kembali ke kantor setelah mengantarku pulang. Mereka hanya menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Tentu, aku baik-baik saja.
Tanpa sadar, aku tersenyum.
Kupandangi dunia di luar jendela mobil Papa dan Mama.
Ini benar-benar bukan mimpi.
Dunia di luar memang 1989.
Mobil-mobil “Keor” dan “Pick-up” sangat banyak berkeliaran.
Kami mengambil jalan yang berbeda daripada yang kami ambil saat berangkat. Keadaannya sama. Jalanan yang masih berbatu-batu.
Jalanan tanpa hotmix.
“MIIINYAAAK!” aku pun reflek menoleh saat suara nyaring yang sudah lama tidak kudengar kini kembali kutemui.
Suara penjual minyak tanah keliling yang pastinya sudah tidak lagi dapat kutemui di tahun 2020. Penjual minyak tanah yang mengenakan topi petani, dengan kaus lusuh dan basah, entah oleh keringat atau minyak. Ia mendorong gerobak berisi jeriken-jeriken penuh minyak tanah, yang karena melewati jalan berbatu-batu, gerobaknya terguncang-guncang.
Sebagian minyaknya ada yang tercecer di jalanan.
Selain itu, jalanan dipenuhi dengan pedagang kaki lima.
Para pedagang tidak mendorong gerobaknya, melainkan memikul. Di antara mereka ada penjual cendol, kue pukis, bahkan buah-buahan yang sudah dipotong kecil-kecil dan dimasukkan dalam plastik lalu dilengkapi tusuk sate untuk alat memakannya.
Semua membawa dagangannya dengan cara dipikul.
Lalu aku memandang ke atas. Langit biru nampak cerah mengelilingi teriknya matahari. Cerah, secerah-cerahnya. Ia begitu biru, bersih, dan murni. Berbeda dengan langit cerah di tahun 2020 yang tidak lagi murni berwarna biru.
Kini kusadari hal ini adalah salah satu yang telah hilang di masa depan.
Ya Tuhan...
Hari-hari pertama masih kulewati dengan upaya adaptasi. Tidak kudapati lagi suara Rita yang dengan lembut membangunkanku di waktu subuh. Sekarang Mama dan Papalah yang melakukannya.Malam-malam pertama tidurku juga diselingi dengan mimpi-mimpi tentang kehidupanku di tahun 2020. Semua politik kantor, para penjilat, dan tekanan birokrasi yang menghiasi hari-hariku. Hal-hal yang langsung menguap hilang setiap kali aku mencapai rumah.Itu adalah mimpi-mimpiku di beberapa malam pertama.Tidak ada lagi suara Narendra dan Maisha menghiasi setiap pagi hariku. Mereka yang dulu terkadang kuminta untuk tidak berisik, kini suara nyaringnya justru kurindukan.Sedikit-banyak aku merasa kehilangan.Pagi hari ini aku teringat sesuatu.Tentang kenapa teman-temanku saat taman kanak-kanak tidak pernah bermain denganku saat istirahat. Mereka semua berkumpul di kedai bubur ayam. Di sana mereka bercanda dan bermain-main.Sementara aku yang pemalu selalu me
Aku memilih ikut membuka pintu dan melihat apa yang membuat gaduh.Bu Anne, salah satu guru, sedang dipapah dan lalu dibaringkan di ruang guru.Sebentar... rasanya aku ingat ini semua. Aku ingat kegaduhan ini. Bu Anne... guru kelas sebelah yang baik hati itu. Setelah ini ia akan diopname. Begitu cerita Mbok Jah yang kuingat beberapa hari setelahnya, di kehidupanku yang dulu.“Bu Anne diopname, kepalanya pusing.” kira-kira demikian kata Mbok Jah ketika itu.Tapi ada hal yang buruk...lebih buruk lagi. Ya, Bu Anne setelah ini akan meninggal. Ia akan meninggal setelah lebih dari sepekan diopname!Aku berlari ke luar saat Bu Anne hendak dibawa.“Pak! Pak! Mau dibawa ke mana???” kataku pada seorang Bapak yang membawa Bu Anne.“Ke puskesmas, dik,”“Pak, bawa ke Santosa!!” seruku menyebut nama rumah sakit yang letaknya kira-kira lima kilometer dari tempat kami sekarang.“Sant
Tanpa terasa, tahun baru 1990 telah tiba.Selama lebih dari satu bulan aku telah beberapa kali mengikuti Papa dan Mama berjalan-jalan di akhir pekan. Bandung belum menunjukkan kemacetan yang pada masa kehidupanku sebelumnya telah membuatku frustrasi hampir setiap hari. Mobil-mobil yang beredar masih didominasi oleh jenis minibus. Cukup jarang kulihat sedan.Sampai saat ini aku masih menyusun rencana apa saja yang hendak kulakukan. Terlebih aku masih menikmati suasana masa kecilku yang tanpa beban. Aku bisa bermain atau menonton televisi seharian tanpa ada yang protes, walaupun acara televisi yang ada juga hanya TVRI dan setengah hari RCTI.Masa depan masih panjang, berbagai hal telah ada di pikiranku.“Presiden Soeharto hari ini mengumumkan...”Suara berita di radio warung pinggir jalan, radio butut kuno, berukuran kotak besar terdengar saat aku melewatinya. Semua sudah pernah kudengar, walaupun aku sudah lupa, setidaknya suara
Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak aku mengulangi kehidupanku. Kusadari karena cerita hidupku telah berulang, maka masa hidupku yang dulu kini kuanggap sebagai siklus kehidupanku yang pertama.Aku telah mengakhiri sekolah Taman Kanak-kanak dengan beberapa kali memenangkan lomba. Lomba menyanyi, lomba menggambar (yang didominasi gambar dua gunung dan sawah pedesaan khas karya anak-anak pada masa ini), bahkan lomba lari.Semuanya membuatku semakin populer.Berbagai macam piala memenuhi lemari rumahku. Papa sampai harus membeli lemari baru, hal yang di kehidupanku sebelumnya baru akan dia lakukan tiga tahun dari sekarang.Bingkai-bingkai menghiasi rumah, dengan gambar diriku yang memegang berbagai macam piala tersebut. Teman-teman jadi sering main ke rumahku, selain di sekolah mereka juga mengerubungiku. Terutama teman-teman perempuan.Sementara jika tiba hari libur, Papa dan Mama sangat suka pergi ke Gramedia. Berkali-kali kami mengunjungi Gra
“Hebat, Ferre!” kata Papa mengacungkan jempolnya.Aku tersenyum.Semuanya telah dimulai.Uang dua ratus ribu rupiah adalah hakku.Sebenarnya aku heran karena mendapati diriku bahagia akan hal seperti ini. Di siklus kehidupanku yang pertama, aku biasa menerima gaji puluhan juta rupiah setiap bulannya.Aku akhirnya meminta Papa dan Mama mengantarku ke Jakarta untuk mengambil hadiah. Bahkan kukatakan aku yang akan mentraktir ongkos mereka dengan uang hadiahku. Mereka menolak kubayari dan mengatakan kami akan ke Jakarta sekalian menengok Nenek.Tiga pekan kemudian kami pergi menggunakan kereta api. Aku lupa bahwa perjalanan Bandung-Jakarta menggunakan mobil akan memakan waktu hampir satu hari di zaman ini. Sepanjang perjalanan, di atas rel kereta api kusaksikan pemandangan masa yang telah lampau. Sawah-sawah dan perkebunan yang membentang terlihat. Di beberapa tempat mulai dilakukan pembangunan. Ini adalah Indonesia di bawah
Berita di televisi menyiarkan tentang Perang Teluk yang baru saja berakhir.Momen ini menandai bahwa tahun ini aku mulai masuk Sekolah Dasar Angkasa, tempatku dulu menghabiskan enam tahun penuh kenangan.Tahun-tahun yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Di sini aku mengalami banyak hal. Bahkan kusaksikan sendiri bahwa anak usia sekolah dasar bukanlah anak-anak yang polos.Di tempat ini aku menyaksikan bahwa pada kelas enam, kelas dengan tingkatan tertinggi, anak sekolah dasar sudah mulai berani berpacaran. Memang hanya satu atau dua orang, tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa di usia ini anak-anak mulai beranjak dewasa.Di sini juga aku mendapatkan pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Guru-guru yang ada mencontohkan banyak hal kepada kami. Mereka, guru sekolah dasar, kusadari adalah pembentuk karakter manusia yang sebenarnya.Maka hari pertamaku menginjakkan kaki di sekolah ini hampir semuanya kuhabiskan dengan berlar
Aku berpuasa satu bulan penuh di Ramadan pertamaku pada siklus kehidupanku yang kedua ini. Papa dan Mama tidak habis-habisnya memujiku. Betapa tidak, aku berpuasa sampai tiba waktu magrib. Di siklus kehidupanku yang pertama, aku bahkan belum berpuasa sama sekali di usia ini.Tidak terasa, Lebaran pun tiba. Seperti tradisi hari lebaran pada umumnya, kami sekeluarga pulang kampung. Tujuan kami adalah Yogyakarta, untuk menemui beberapa saudara beserta Kakek-nenekku.Papa mengemudikan mobil kami dari Bandung hingga Yogyakarta tanpa bergantian. Hal yang selama bertahun-tahun setelahnya tetap membuatku kagum. Bahkan di usianya pada tahun 2020 pun aku yakin ia masih sanggup melakukannya.Pemandangan di sepanjang perjalanan kami sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keadaan di tahun 2020. Pembangunan negeri ini memang hanya terpusat di kota-kota besar, sehingga apa yang kusaksikan di luar hanyalah pemandangan yang kurang lebih sama dengan jika aku menaiki bus ke Yo
Setiap hari sepulang sekolah kukerjakan desain pesawat terbang di perlengkapan yang kubeli. Detil demi detil, sistem demi sistem, semuanya kukerjakan. Aku beruntung karena telah menyadari ini segera. Di kehidupanku sebelum ini, aku adalah ahli pesawat terbang. Tentu saja aku ingat secara rinci detail pesawat yang pernah dibuat perusahaanku.Aku ingat bagian demi bagian, perhitungan demi perhitungan, semua segera kugambar dan kutuliskan. Harus secepatnya, sebelum aku lupa. Meskipun aku yakin bahwa aku tidak akan pernah lupa dengan pesawat model yang kuteliti setiap hari selama lima tahun.Pesawat terbang dengan mesin turbo propeller, memiliki enam bilah baling-baling, serta kecepatan maksimal 610 kilometer per jam.Pesawat terbang dengan kapasitas lima puluh penumpang.Waktu lainnya kugunakan untuk menulis rencana bisnis. Papa dan Mama tentu saja bertanya apa yang sedang kukerjakan. Kukatakan pada mereka bahwa aku akan menceritakannya