Hari-hari pertama masih kulewati dengan upaya adaptasi. Tidak kudapati lagi suara Rita yang dengan lembut membangunkanku di waktu subuh. Sekarang Mama dan Papalah yang melakukannya.
Malam-malam pertama tidurku juga diselingi dengan mimpi-mimpi tentang kehidupanku di tahun 2020. Semua politik kantor, para penjilat, dan tekanan birokrasi yang menghiasi hari-hariku. Hal-hal yang langsung menguap hilang setiap kali aku mencapai rumah.
Itu adalah mimpi-mimpiku di beberapa malam pertama.
Tidak ada lagi suara Narendra dan Maisha menghiasi setiap pagi hariku. Mereka yang dulu terkadang kuminta untuk tidak berisik, kini suara nyaringnya justru kurindukan.
Sedikit-banyak aku merasa kehilangan.
Pagi hari ini aku teringat sesuatu.
Tentang kenapa teman-temanku saat taman kanak-kanak tidak pernah bermain denganku saat istirahat. Mereka semua berkumpul di kedai bubur ayam. Di sana mereka bercanda dan bermain-main.
Sementara aku yang pemalu selalu menyendiri di dalam kelas. Yang kulakukan setiap hari pada jam istirahat adalah duduk-duduk di bangku kelas. Jika bosan, aku baru pergi ke luar untuk bermain perosotan atau panjat-panjatan. Semua kulakukan sendirian. Karena teman-temanku bermain bersama setelah mereka mengobrol di kedai bubur ayam.
Aku yang baru bergabung setelah mereka selesai makan bersama, tentu tidak diacuhkan. Pada masa itu aku merasa sendirian.
Maka pagi ini sebelum berangkat sekolah, aku meminta uang seratus rupiah kepada Mama untuk membeli bubur ayam yang dijual di luar pagar sekolah. Dulu aku tidak menyadari bahwa syarat untuk diterima di pergaulan taman kanak-kanak ini adalah bubur ayam. Mereka yang suka jajan bubur ayam dianggap bagian dari geng.
Dulu aku tidak tahu akan hal ini. Baru kusadari setelah aku lulus dari taman kanak-kanak.
Teman-teman menyambutku saat aku datang dan ikut memesan bubur ayam.
“Eh, Ferre!”
“Ferre, beli jugaaaa!”
“Sini...sini di sebelah sayaaa!”
Begitulah suara teman-teman yang menyambutku.
Kami duduk di bangku tanpa meja, mengobrol, tertawa-tawa, dan berkelakar sambil makan. Di sini ternyata pergaulan taman kanak-kanak terbentuk. Di bangku penjual bubur ayam.
Mereka tidak lagi mengabaikanku.
Kini aku pun termasuk geng, setelah membeli bubur ayam dan makan bersama yang lainnya. Aku tidak pernah lagi membawa bekal roti dari rumah. Hanya seratus rupiah yang kuminta, untuk bekal makan bubur ayam di gerobak bertuliskan “Bubur Ayam Mang Oyo”.
Aku tidak lagi dikucilkan, bahkan teman-teman mulai segan padaku. Sepertinya juga karena kejadian dengan Dimas. Tapi tak lama kemudian aku pun merasa bosan.
“Saya kemarin beli robot robokop!”
“Kemarin saya sih beli barbie!”
“Eh ada transformer baru!”
Pembicaraan-pembicaraan seperti itulah yang mendominasi kedai bubur ayam. Aku jadi merasa bodoh karena telah terlalu serius menginginkan bergabung di pergaulan ini. Rasanya aku lebih bahagia menjadi penyendiri lagi. Mereka bukanlah levelku.
“Sudah makannya dek?” tanya penjual bubur ayam.
Aku terkesiap, menyadari bahwa aku telah melamun terlalu lama.
“Ayo masuuuuukkk!!!” suara Bu Elly terdengar sambil membunyikan lonceng kecil di tanganya.
Semua anak langsung berhamburan masuk ke dalam kelas, kecuali aku yang dengan santainya memberikan mangkuk ke penjual bubur dan berjalan biasa ke pintu masuk. Kami pun memulai pelajaran kembali. Di kelas yang berbangku warna-warni. Kudapati di depan kelas ini terdapat sebuah lambang Garuda Pancasila. Lambang yang besar dan luar biasa mengagumkan bagiku.
Kupandangi gambar Garuda Pancasila di depan kelas tersebut, diapit oleh gambar Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sudarmono. Sejak dahulu sampai sekarang pun aku sangat mengagumi lambang tersebut, sampai-sampai kuminta Papa mencarikan yang persis demikian.
Namun kami tidak pernah tahu di mana bisa membeli lambang seperti yang tergantung di depan kelas. Akhirnya bu Elly yang membuatkan gambarnya untukku, di atas kertas A5. Kupikir saat itu ia sangat baik, mau membuatkanku gambar demikian dengan susah payah.
Tapi setelah kuingat-ingat, justru ia pada hari itu sama sekali tidak bekerja. Bu Ivonne yang mengambil alih tugas mengajar mereka berdua, sementara ia menggambarkan Garuda Pancasila untukku sepanjang hari. Lucu juga jika kuingat. Beberapa pekan ini semua memori itu berulang. Hari-hari yang tak pernah kuduga akan datang kembali.
Hari ini, aku juga sedang mengingat semua memori, sambil bernyanyi-nyanyi bersama yang lain.
Sebelum sebuah kegaduhan di luar mengalihkan perhatianku.
Elly dan Ivonne berlari ke arah pintu. Anak-anak berhamburan melihat dari arah jendela, termasuk aku.
Aku memilih ikut membuka pintu dan melihat apa yang membuat gaduh.Bu Anne, salah satu guru, sedang dipapah dan lalu dibaringkan di ruang guru.Sebentar... rasanya aku ingat ini semua. Aku ingat kegaduhan ini. Bu Anne... guru kelas sebelah yang baik hati itu. Setelah ini ia akan diopname. Begitu cerita Mbok Jah yang kuingat beberapa hari setelahnya, di kehidupanku yang dulu.“Bu Anne diopname, kepalanya pusing.” kira-kira demikian kata Mbok Jah ketika itu.Tapi ada hal yang buruk...lebih buruk lagi. Ya, Bu Anne setelah ini akan meninggal. Ia akan meninggal setelah lebih dari sepekan diopname!Aku berlari ke luar saat Bu Anne hendak dibawa.“Pak! Pak! Mau dibawa ke mana???” kataku pada seorang Bapak yang membawa Bu Anne.“Ke puskesmas, dik,”“Pak, bawa ke Santosa!!” seruku menyebut nama rumah sakit yang letaknya kira-kira lima kilometer dari tempat kami sekarang.“Sant
Tanpa terasa, tahun baru 1990 telah tiba.Selama lebih dari satu bulan aku telah beberapa kali mengikuti Papa dan Mama berjalan-jalan di akhir pekan. Bandung belum menunjukkan kemacetan yang pada masa kehidupanku sebelumnya telah membuatku frustrasi hampir setiap hari. Mobil-mobil yang beredar masih didominasi oleh jenis minibus. Cukup jarang kulihat sedan.Sampai saat ini aku masih menyusun rencana apa saja yang hendak kulakukan. Terlebih aku masih menikmati suasana masa kecilku yang tanpa beban. Aku bisa bermain atau menonton televisi seharian tanpa ada yang protes, walaupun acara televisi yang ada juga hanya TVRI dan setengah hari RCTI.Masa depan masih panjang, berbagai hal telah ada di pikiranku.“Presiden Soeharto hari ini mengumumkan...”Suara berita di radio warung pinggir jalan, radio butut kuno, berukuran kotak besar terdengar saat aku melewatinya. Semua sudah pernah kudengar, walaupun aku sudah lupa, setidaknya suara
Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak aku mengulangi kehidupanku. Kusadari karena cerita hidupku telah berulang, maka masa hidupku yang dulu kini kuanggap sebagai siklus kehidupanku yang pertama.Aku telah mengakhiri sekolah Taman Kanak-kanak dengan beberapa kali memenangkan lomba. Lomba menyanyi, lomba menggambar (yang didominasi gambar dua gunung dan sawah pedesaan khas karya anak-anak pada masa ini), bahkan lomba lari.Semuanya membuatku semakin populer.Berbagai macam piala memenuhi lemari rumahku. Papa sampai harus membeli lemari baru, hal yang di kehidupanku sebelumnya baru akan dia lakukan tiga tahun dari sekarang.Bingkai-bingkai menghiasi rumah, dengan gambar diriku yang memegang berbagai macam piala tersebut. Teman-teman jadi sering main ke rumahku, selain di sekolah mereka juga mengerubungiku. Terutama teman-teman perempuan.Sementara jika tiba hari libur, Papa dan Mama sangat suka pergi ke Gramedia. Berkali-kali kami mengunjungi Gra
“Hebat, Ferre!” kata Papa mengacungkan jempolnya.Aku tersenyum.Semuanya telah dimulai.Uang dua ratus ribu rupiah adalah hakku.Sebenarnya aku heran karena mendapati diriku bahagia akan hal seperti ini. Di siklus kehidupanku yang pertama, aku biasa menerima gaji puluhan juta rupiah setiap bulannya.Aku akhirnya meminta Papa dan Mama mengantarku ke Jakarta untuk mengambil hadiah. Bahkan kukatakan aku yang akan mentraktir ongkos mereka dengan uang hadiahku. Mereka menolak kubayari dan mengatakan kami akan ke Jakarta sekalian menengok Nenek.Tiga pekan kemudian kami pergi menggunakan kereta api. Aku lupa bahwa perjalanan Bandung-Jakarta menggunakan mobil akan memakan waktu hampir satu hari di zaman ini. Sepanjang perjalanan, di atas rel kereta api kusaksikan pemandangan masa yang telah lampau. Sawah-sawah dan perkebunan yang membentang terlihat. Di beberapa tempat mulai dilakukan pembangunan. Ini adalah Indonesia di bawah
Berita di televisi menyiarkan tentang Perang Teluk yang baru saja berakhir.Momen ini menandai bahwa tahun ini aku mulai masuk Sekolah Dasar Angkasa, tempatku dulu menghabiskan enam tahun penuh kenangan.Tahun-tahun yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Di sini aku mengalami banyak hal. Bahkan kusaksikan sendiri bahwa anak usia sekolah dasar bukanlah anak-anak yang polos.Di tempat ini aku menyaksikan bahwa pada kelas enam, kelas dengan tingkatan tertinggi, anak sekolah dasar sudah mulai berani berpacaran. Memang hanya satu atau dua orang, tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa di usia ini anak-anak mulai beranjak dewasa.Di sini juga aku mendapatkan pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Guru-guru yang ada mencontohkan banyak hal kepada kami. Mereka, guru sekolah dasar, kusadari adalah pembentuk karakter manusia yang sebenarnya.Maka hari pertamaku menginjakkan kaki di sekolah ini hampir semuanya kuhabiskan dengan berlar
Aku berpuasa satu bulan penuh di Ramadan pertamaku pada siklus kehidupanku yang kedua ini. Papa dan Mama tidak habis-habisnya memujiku. Betapa tidak, aku berpuasa sampai tiba waktu magrib. Di siklus kehidupanku yang pertama, aku bahkan belum berpuasa sama sekali di usia ini.Tidak terasa, Lebaran pun tiba. Seperti tradisi hari lebaran pada umumnya, kami sekeluarga pulang kampung. Tujuan kami adalah Yogyakarta, untuk menemui beberapa saudara beserta Kakek-nenekku.Papa mengemudikan mobil kami dari Bandung hingga Yogyakarta tanpa bergantian. Hal yang selama bertahun-tahun setelahnya tetap membuatku kagum. Bahkan di usianya pada tahun 2020 pun aku yakin ia masih sanggup melakukannya.Pemandangan di sepanjang perjalanan kami sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keadaan di tahun 2020. Pembangunan negeri ini memang hanya terpusat di kota-kota besar, sehingga apa yang kusaksikan di luar hanyalah pemandangan yang kurang lebih sama dengan jika aku menaiki bus ke Yo
Setiap hari sepulang sekolah kukerjakan desain pesawat terbang di perlengkapan yang kubeli. Detil demi detil, sistem demi sistem, semuanya kukerjakan. Aku beruntung karena telah menyadari ini segera. Di kehidupanku sebelum ini, aku adalah ahli pesawat terbang. Tentu saja aku ingat secara rinci detail pesawat yang pernah dibuat perusahaanku.Aku ingat bagian demi bagian, perhitungan demi perhitungan, semua segera kugambar dan kutuliskan. Harus secepatnya, sebelum aku lupa. Meskipun aku yakin bahwa aku tidak akan pernah lupa dengan pesawat model yang kuteliti setiap hari selama lima tahun.Pesawat terbang dengan mesin turbo propeller, memiliki enam bilah baling-baling, serta kecepatan maksimal 610 kilometer per jam.Pesawat terbang dengan kapasitas lima puluh penumpang.Waktu lainnya kugunakan untuk menulis rencana bisnis. Papa dan Mama tentu saja bertanya apa yang sedang kukerjakan. Kukatakan pada mereka bahwa aku akan menceritakannya
Anak-anak yang berada di mobil jemputan sekolah bercengkerama sambil menyanyikan lagu-lagu anak-anak yang baru terbit.Sebagian menyanyikannya sambil makan Chiki, ada juga yang sambil makan permen Sugus. Aku jadi ingat bahwa di masa ini aku lebih suka makan Anak Mas.Pak Toto sang supir yang gemar mencari perhatian, nampak sedang kambuh keinginannya untuk diperhatikan. Ia mulai menyanyikan lagu ciptaannya sendiri yang diberinya judul “Lemper Setan”.Bila perutku lapar, hatiku galauMinta saja ketanBerikan irisan ayamJadi lemper setan...Ia menyanyikannya keras-keras dan setengah memaksa agar anak-anak di mobil jemputannya ikut bernyayi. Seperti halnya di kehidupan pertamaku, ia juga menjanjikan besok akan memberi setiap anak sebuah kaset lagu lemper setan. Aku juga tahu bahwa hingga akhir masa sekolah kami di sini, janji itu tidak pernah ia penuhi.“Mana kaset lemper