Perlahan dapat kulihat wajah anak di depanku. Sedikit-banyak ingatanku mulai kembali.
“D...Dimas???”
Anak itu menyeretku dan menghempaskanku ke dinding kelas.
Dimas adalah orang yang dulu sangat kutakuti. Dengan seringainya yang bagiku lebih mirip setan, aku ingat bahwa saat-saat istirahat adalah waktunya ia menghajarku, selama dua tahun masa Taman Kanak-kanak. Dua tahun yang harus kulalui dengan mewaspadai keberadaannya, setiap kali jam istirahat tiba.
“Ciaaaattt!!! Ciaaattt!!!” ia menendangiku.
Aku memandanginya, merasa heran. Apakah hal ini yang dulu kutakuti?
Tendangannya sama sekali tidak terasa bagiku. Bahkan kalau mau aku bisa membuatnya terjungkal kapan pun.
Ya, kapan pun.
Haruskah kulakukan?
Sepertinya memang demikian.
Aku harus mencobanya.
Baiklah, sekali saja.
Kudaratkan tinjuku lurus mengenai hidungnya.
Ia terjengkang ke belakang, nampak terkejut. Dimas berusaha kembali maju, namun sebelumnya kutendang kursi di sampingku.
Bukan ke arah Dimas, tapi ke arah Ibu-ibu yang sedang ngerumpi menunggui anak mereka sekolah.
Kursi yang mendarat tepat di depan mereka cukup untuk membuat Ibu-ibu di sana melihat ke arah kami.
Kubiarkan Dimas memukuliku.
Satu... dua... tiga... empat kali, sambil kukumpulkan tenaga terpusat di kaki kananku.
“Hei Dimas, jangan!” kata seorang Ibu dan diikuti oleh Ibu-ibu lainnya.
“Nakal ya!!!” kata seorang Ibu lain.
Lima... enam... oke sudah cukup.
Sebelum pukulan ketujuhnya mendarat, kuarahkan tendanganku sekuat tenaga menuju kemaluannya.
Suara “BUKKK” cukup keras terdengar.
Dimas terjengkang, memegangi kemaluannya, lalu mulai menangis keras. Sangat keras sampai rasanya telingaku menjadi pekak.
Guru-guru berdatangan, Ibu-ibu tadi berkasak-kusuk.
Sekolah dibubarkan pada hari itu.
Mbok Jah yang menjemputku diminta oleh Bu Elly untuk mengabari Papa dan Mama bahwa mereka dipanggil ke sekolah esok hari.
“Mbok nggak tahu kejadiannya?” tanya Papa kepada Mbok Jah.“Tidak, Pak. Saya baru datang waktu ramai-ramai,”“Ferre!” tegur Mama saat melihatku hanya menonton Mission Impossible di RCTI.Aku mematikan televisi, dan berdiri.“Sudahlah Pa, Ma. Papa dan Mama nggak perlu khawatir, tenang saja.” kataku.Papa dan Mama terpana.Betapa tidak, aku berdiri dengan sikap seolah sedang menghadapi direktur-direktur di kantorku dulu.“Semuanya akan saya bereskan, besok.” kataku datar.“Ferre, kamu ini baru membuat masalah lho!” kata Papa.“Papa, sudah saya katakan, tenanglah. Percayalah, besok akan saya selesaikan.” kataku sambil berlalu masuk ke kamar tidur kami, meninggalkan Mama, Papa, dan Mbok Jah yang terbengong-bengong.
“Anak Ibu sudah mencelakai anak saya, saya minta pertanggungjawaban Ibu!” perempuan yang kupikir adalah Ibu dari Dimas menyerang Mama. Entahlah, aku belum pernah bertemu dengannya.“Sebentar, Ibu. Kita lihat dulu kronologinya,” Kata Mama.“Nggak perlu, anak saya sekarang dirawat, Bu!!! Ibu tanggung jawab!!”Elly dan Ivonne hanya diam.“TUNGGU!!!” bentakku.Aku berdiri, menatap tajam ke perempuan yang sejak tadi berteriak itu.“Ibu yakin saya yang salah?” tanyaku.Ia terhenyak.“Kalau saya bisa buktikan bukan saya yang salah, Ibu mau apa?”Tidak hanya perempuan itu, bahkan Mama, Papa, beserta Elly dan Ivonne pun memandangiku.Aku berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu memanggil sejumlah orang untuk masuk.Sejumlah Ibu-ibu yang kemarin menyaksikan peristiwaku dengan Dimas berbondong-bondong masuk ke kelas.“Bu Elly, Bu Ivon
Hari-hari pertama masih kulewati dengan upaya adaptasi. Tidak kudapati lagi suara Rita yang dengan lembut membangunkanku di waktu subuh. Sekarang Mama dan Papalah yang melakukannya.Malam-malam pertama tidurku juga diselingi dengan mimpi-mimpi tentang kehidupanku di tahun 2020. Semua politik kantor, para penjilat, dan tekanan birokrasi yang menghiasi hari-hariku. Hal-hal yang langsung menguap hilang setiap kali aku mencapai rumah.Itu adalah mimpi-mimpiku di beberapa malam pertama.Tidak ada lagi suara Narendra dan Maisha menghiasi setiap pagi hariku. Mereka yang dulu terkadang kuminta untuk tidak berisik, kini suara nyaringnya justru kurindukan.Sedikit-banyak aku merasa kehilangan.Pagi hari ini aku teringat sesuatu.Tentang kenapa teman-temanku saat taman kanak-kanak tidak pernah bermain denganku saat istirahat. Mereka semua berkumpul di kedai bubur ayam. Di sana mereka bercanda dan bermain-main.Sementara aku yang pemalu selalu me
Aku memilih ikut membuka pintu dan melihat apa yang membuat gaduh.Bu Anne, salah satu guru, sedang dipapah dan lalu dibaringkan di ruang guru.Sebentar... rasanya aku ingat ini semua. Aku ingat kegaduhan ini. Bu Anne... guru kelas sebelah yang baik hati itu. Setelah ini ia akan diopname. Begitu cerita Mbok Jah yang kuingat beberapa hari setelahnya, di kehidupanku yang dulu.“Bu Anne diopname, kepalanya pusing.” kira-kira demikian kata Mbok Jah ketika itu.Tapi ada hal yang buruk...lebih buruk lagi. Ya, Bu Anne setelah ini akan meninggal. Ia akan meninggal setelah lebih dari sepekan diopname!Aku berlari ke luar saat Bu Anne hendak dibawa.“Pak! Pak! Mau dibawa ke mana???” kataku pada seorang Bapak yang membawa Bu Anne.“Ke puskesmas, dik,”“Pak, bawa ke Santosa!!” seruku menyebut nama rumah sakit yang letaknya kira-kira lima kilometer dari tempat kami sekarang.“Sant
Tanpa terasa, tahun baru 1990 telah tiba.Selama lebih dari satu bulan aku telah beberapa kali mengikuti Papa dan Mama berjalan-jalan di akhir pekan. Bandung belum menunjukkan kemacetan yang pada masa kehidupanku sebelumnya telah membuatku frustrasi hampir setiap hari. Mobil-mobil yang beredar masih didominasi oleh jenis minibus. Cukup jarang kulihat sedan.Sampai saat ini aku masih menyusun rencana apa saja yang hendak kulakukan. Terlebih aku masih menikmati suasana masa kecilku yang tanpa beban. Aku bisa bermain atau menonton televisi seharian tanpa ada yang protes, walaupun acara televisi yang ada juga hanya TVRI dan setengah hari RCTI.Masa depan masih panjang, berbagai hal telah ada di pikiranku.“Presiden Soeharto hari ini mengumumkan...”Suara berita di radio warung pinggir jalan, radio butut kuno, berukuran kotak besar terdengar saat aku melewatinya. Semua sudah pernah kudengar, walaupun aku sudah lupa, setidaknya suara
Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak aku mengulangi kehidupanku. Kusadari karena cerita hidupku telah berulang, maka masa hidupku yang dulu kini kuanggap sebagai siklus kehidupanku yang pertama.Aku telah mengakhiri sekolah Taman Kanak-kanak dengan beberapa kali memenangkan lomba. Lomba menyanyi, lomba menggambar (yang didominasi gambar dua gunung dan sawah pedesaan khas karya anak-anak pada masa ini), bahkan lomba lari.Semuanya membuatku semakin populer.Berbagai macam piala memenuhi lemari rumahku. Papa sampai harus membeli lemari baru, hal yang di kehidupanku sebelumnya baru akan dia lakukan tiga tahun dari sekarang.Bingkai-bingkai menghiasi rumah, dengan gambar diriku yang memegang berbagai macam piala tersebut. Teman-teman jadi sering main ke rumahku, selain di sekolah mereka juga mengerubungiku. Terutama teman-teman perempuan.Sementara jika tiba hari libur, Papa dan Mama sangat suka pergi ke Gramedia. Berkali-kali kami mengunjungi Gra
“Hebat, Ferre!” kata Papa mengacungkan jempolnya.Aku tersenyum.Semuanya telah dimulai.Uang dua ratus ribu rupiah adalah hakku.Sebenarnya aku heran karena mendapati diriku bahagia akan hal seperti ini. Di siklus kehidupanku yang pertama, aku biasa menerima gaji puluhan juta rupiah setiap bulannya.Aku akhirnya meminta Papa dan Mama mengantarku ke Jakarta untuk mengambil hadiah. Bahkan kukatakan aku yang akan mentraktir ongkos mereka dengan uang hadiahku. Mereka menolak kubayari dan mengatakan kami akan ke Jakarta sekalian menengok Nenek.Tiga pekan kemudian kami pergi menggunakan kereta api. Aku lupa bahwa perjalanan Bandung-Jakarta menggunakan mobil akan memakan waktu hampir satu hari di zaman ini. Sepanjang perjalanan, di atas rel kereta api kusaksikan pemandangan masa yang telah lampau. Sawah-sawah dan perkebunan yang membentang terlihat. Di beberapa tempat mulai dilakukan pembangunan. Ini adalah Indonesia di bawah
Berita di televisi menyiarkan tentang Perang Teluk yang baru saja berakhir.Momen ini menandai bahwa tahun ini aku mulai masuk Sekolah Dasar Angkasa, tempatku dulu menghabiskan enam tahun penuh kenangan.Tahun-tahun yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Di sini aku mengalami banyak hal. Bahkan kusaksikan sendiri bahwa anak usia sekolah dasar bukanlah anak-anak yang polos.Di tempat ini aku menyaksikan bahwa pada kelas enam, kelas dengan tingkatan tertinggi, anak sekolah dasar sudah mulai berani berpacaran. Memang hanya satu atau dua orang, tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa di usia ini anak-anak mulai beranjak dewasa.Di sini juga aku mendapatkan pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Guru-guru yang ada mencontohkan banyak hal kepada kami. Mereka, guru sekolah dasar, kusadari adalah pembentuk karakter manusia yang sebenarnya.Maka hari pertamaku menginjakkan kaki di sekolah ini hampir semuanya kuhabiskan dengan berlar
Starla memang jarang menunjukkannya, tapi aku tahu bahwa dia juga memikirkan masa depan Adam. Butuh waktu cukup lama bagiku meyakinkan dirinya sampai ia setuju metode pendidikan yang akan kami terapkan pada Adam.Saat ini aku menikmati masa-masa Adam bermain dengan ceria. Kulitnya yang ditimpa sinar matahari pagi dan sore. Keringatnya saat bermain sepakbola, juga caranya meneguk air putih dalam jumlah banyak usai lelahnya bertanding.“Gimana permainanku, Ayah?”“Kamu melakukannya dengan sangat baik, Adam. Kamu hebat,”“Ayah selalu bilang gitu,” Adam tertawa.“Itu kenyataannya, Ayah nggak mengada-ada,” kataku sambil mengacak-acak rambutnya.Lalu kami pulang, seiring adzan magrib yang mulai berkumandang.Adam memantul-mantulkan bolanya ke jalanan selama kami menuju rumah.Mobil-mobil mulai berdatangan dari mereka yang baru saja menyelesaikan harinya.Aku membiarkan Adam masuk terlebih dahulu dan menyuruhnya untuk segera mandi, sementara kusaksikan matahari terbenam dengan indah.Sebenta
Alarm ponselku.Perlahan kubuka mata.Starla masih ada dalam dekapanku.Ini masih kamar kami. Bukan kamar Mama dan Papa.Ini masih 2020, bukan 1989.Kuperhatikan sekujur tubuhku, tak puas, lalu aku beranjak menuju cermin.Aku, masih diriku, diriku yang berusia tiga puluh empat tahun.“Sayang?” suara lembut Starla memanggilku.Aku menoleh, tanpa sadar air mataku telah berlinang.“Kamu...kenapa?”Jawabanku adalah menghambur ke arahnya, dan memeluknya.“Re?” katanya sambil balas memelukku.“Sayang...”“Apa yang sudah terjadi? Apakah yang kamu bilang semalam....?”“Nggak..nggak sayang! Nggak!”“Maksudmu?”“Aku nggak tahu apa yang harus kubilang. Nggak ada yang harus kuceritakan. Yang pasti adalah...semua baik-baik saja,”“Jadi semua misterimu masih akan menjadi misteri?”“Kuharap selamanya,”Starla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.Kami melanjutkan hidup kami.Aku membeli sejumlah bangunan di Selatan ibu kota, tempat kami tinggal sekarang. Kuratakan mereka dan kudirikan kom
Pesawat Starla telah tiba, aku menjemputnya, lalu membawakan bagasinya, setelah sebelumnya memeluknya erat-erat.Kugenggam tangannya sambil kami berjalan, jauh lebih erat daripada biasanya.Ia adalah hartaku yang paling berharga.Lalu di sanalah kulihat sosok itu. Di tengah keramaian bandara, ia berdiri, menatapku.Sosoknya seperti tidak terpengaruh oleh orang lain yang berlalu-lalang di sekitarnya. Semula otakku masih berusaha memproses tentang sosok ini.Lama kelamaan aku mulai menyadarinya.Rambut dan janggutnya yang putih sangat kuingat.Ia adalah bapak tua yang membelaku saat aku disidang karena menghajar Dimas. Dan dia tidak tampak berubah sama sekali, bahkan pakaian yang dikenakannya pun masih pakaian yang kulihat puluhan tahun silam.Yaitu saat ia muncul di depan kelas.Kurasa ia tersenyum ke arahku.Kupercepat langkahku untuk menghampirinya. Aku yakin ia bukan orang biasa. Bahkan aku punya firasat bahwa ia memiliki jawaban atas banyak pertanyaan yang berputar di benakku. Ten
2023Pandemi virus Corona telah berakhir satu tahun silam. Keadaan dunia telah kembali seperti semula. Pemandangan orang-orang yang mengenakan masker di jalanan telah lama hilang.Aku dan Starla juga bisa leluasa pergi ke mana pun kami mau. Karena aku menjadi orang yang memberi petunjuk kepada Dr. Hobson untuk vaksin virus Corona, maka aku dan keluargaku mendapatkan prioritas pertama untuk mendapatkan vaksin.Kubawa Starla menyaksikan El Classico, Derby De La Madonnina, dan Derby Manchester. Kami mengenakan seragam AC Milan saat pertandingan di Milan. Aku mengamatinya berteriak, meniup peluit ejekan kepada tim lawan, dan menyanyikan lagu Curva Sud. Kami pergi berkeliling dunia, beberapa kali dengan sistem backpacking. Namun lebih sering kami menginap di hotel mewah. Walaupun demikian, kami menyusuri jalan-jalan di Paris, Munich, Madrid, Barcelona, dan Zurich. Trotoar demi trotoar kami lalui, dan kami hanya menggunakan satu buah payung jika hari hujan.Starla sendiri tidak ingin berg
Tidak cukup banyak hal menarik yang terjadi setelah 2010, karena semua fenomena di dunia bisnis yang terjadi setelah tahun itu telah kuambil alih. Telah kukuasai dunia, dan kusebar semuanya di berbagai perusahaan. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa kekayaanku hanya bisa didekati oleh Bill Gates.Dekade setelah tahun 2010 adalah waktu untuk bermunculannya perusahaan-perusahaan startup. Semua telah kuantisipasi.Kudirikan inkubator bisnis di setiap kampus papan atas dunia. Ide-ide dan inovasi bermunculan dari sana.Para pegiat startup pun berbondong-bondong mengajukan proposal.Kuseleksi semua dokumen yang mereka berikan, dan kukucurkan dana berdasarkan kualitas bisnis yang menurutku paling baik.Bagi proposal yang kurang menarik, kuminta mereka untuk mengembangkan diri dan menerima pelatihan. Bagaimanapun aku yakin bahwa tidak ada ide inovasi mereka yang akan sia-sia.Aku belajar dari penyesalan para konglomerat yang menolak membiayai Whatsapp, Instagram, dan lain sebagainya. Tidak a
Aku dan Starla telah lulus di tahun 2008 ini.Krisis akibat kredit perumahan yang macet di Amerika Serikat mulai merambah ke seluruh dunia. Tahun-tahun mencekam melanda hampir semua negara. Ini adalah krisis yang sangat buruk, bahkan bisa disetarakan dengan Great Depression pada tahun 1930-an.Bank-bank di Amerika Serikat bertumbangan, disusul oleh bank-bank di negara G-8. Begitupun dengan pasar saham. Banyak orang kehilangan pekerjaan akibat perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sudah kubeli saham-saham dalam jumlah banyak untuk memanfaatkan keadaan ini. Di masa depan, harga-harga saham ini akan kembali naik.Starla sedang berdinas ke Amerika Serikat untuk pelatihan awal pekerjaannya.Aku pun memutuskan untuk berlibur ke Eropa.Seorang perempuan Inggris yang dikabarkan merupakan pemandu wisataku menyambut kedatanganku di bandara.Ia seorang perempuan berwajah Kaukasian berambut pendek blonde pixie. Ia jenjang, tapi tidak kurus.“Halo Mr. Praditya, perkenalkan, saya Rachel Arlington dar
Aku dan Starla telah lulus di tahun 2008 ini.Krisis akibat kredit perumahan yang macet di Amerika Serikat mulai merambah ke seluruh dunia. Tahun-tahun mencekam melanda hampir semua negara. Ini adalah krisis yang sangat buruk, bahkan bisa disetarakan dengan Great Depression pada tahun 1930-an.Bank-bank di Amerika Serikat bertumbangan, disusul oleh bank-bank di negara G-8. Begitupun dengan pasar saham. Banyak orang kehilangan pekerjaan akibat perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sudah kubeli saham-saham dalam jumlah banyak untuk memanfaatkan keadaan ini. Di masa depan, harga-harga saham ini akan kembali naik.Starla sedang berdinas ke Amerika Serikat untuk pelatihan awal pekerjaannya.Aku pun memutuskan untuk berlibur ke Eropa.Seorang perempuan Inggris yang dikabarkan merupakan pemandu wisataku menyambut kedatanganku di bandara.Ia seorang perempuan berwajah Kaukasian berambut pendek blonde pixie. Ia jenjang, tapi tidak kurus.“Halo Mr. Praditya, perkenalkan, saya Rachel Arlington dar
Aku tidak pernah memberi Starla hadiah apa pun. Ini adalah karena aku tahu karakternya bukanlah perempuan yang terkesan dengan hadiah.Starla perempuan yang lebih menghargai pembuktian.Selama dua tahun terakhir aku telah melatih kemampuanku memainkan raket, dan hasilnya tidak memalukan. Sesekali aku bermain dengannya, bahkan menjadi pasangannya di ganda campuran.Dan ada yang tidak berubah dari kehidupanku, yaitu para sahabat sejati.Mereka yang menjadi teman dekatku di kehidupan sebelumnya, kembali menempati ruang mereka di kehidupanku kali ini. Bagaimanapun persahabatan kami tanpa pamrih. Mereka tidak ternilai dengan uang. “Jadi, gimana Starla?” tanya Adri, salah satu dari mereka.“So far good,”“Udah jadian belum?”“Belum,” aku tersenyum.“Lah, terus tiap malem Minggu itu ngapain?”“Dri, hangout di malem Minggu bukan berarti pacaran, kan?”“Normalnya sih pacaran,”“Normalnya, tapi lo tau kalo gua bukan orang normal kan?”“Sejak kali pertama gua ketemu lo,”“Jadi, nggak usah aneh
Jumat malam, aku dan Nova telah berada di Stasiun Bandung. Percaloan tiket masih marak. Pedagang kaki lima masih bisa memasuki peron kereta. Pemandangan ini tidak akan lama lagi berlangsung. Dalam beberapa tahun ke depan, PT KAI akan menertibkan semuanya melalui direktur utama mereka yang baru.Setiba di Stasiun Yogyakarta, kami hanya perlu berjalan sekitar empat menit untuk mencapai Wake Up Homestay. Harga hotel ini hanya lima puluh ribu rupiah untuk satu malam. Aku dan Nova masing-masing mengambil satu kamar.“Beneran, aku nggak nyangka bisa dapet penginapan kayak gini. Mana udah termasuk sarapan lagi.”“Enak kan? Lalu di tiap kota wisata juga ada yang kayak gini.”“Luar biasa.”“Ya udah kita istirahat dulu. Nanti agak siangan kita jalan sambil foto-foto ya.”“Oke, selamat istirahat.”Kami masuk ke kamar masing-masing.Esok siangnya, Yogyakarta memberikan cuaca panas dan terik. Itu yang kami rasakan saat kami pergi ke luar. Di sekitar kami tercium aroma segar dedaunan dan harum bung