“Jangan sembarangan mengucap permintaan, Ferre!”
“Kenapa memangnya, Ma?”
“Karena kamu tidak tahu permintaanmu yang mana yang akan dikabulkan,”
“Bukankah justru itu bagus, Ma? Permintaanku akan dikabulkan adalah hal yang bagus, bukan?”
“Tidak semua permintaanmu adalah hal baik bagimu, sayang.”
“Kenapa demikian, Ma?”
“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu.”
“Tapi yang kuminta adalah yang baik-baik untukku.”
“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu, Ferre.”
Dadaku sedang sakit ketika tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Mama tersebut. Itu kata-kata Mama belasan, bahkan puluhan tahun silam. Aku lupa apa yang kulakukan atau kuminta ketika Mama menasihatiku demikian. Tapi hari ini kata-kata Mama di suatu kejadian dalam hidupku tersebut kembali terngiang.
Dan kini, saat ini, aku baru mengerti apa yang Mama maksud. Orang-orang zaman dahulu sering menyebutnya dengan “kualat”. Mungkin saja itu yang sedang terjadi padaku.
“Ma...” aku ingin memanggilnya, tapi lidahku kelu.
Tidak banyak yang kuingat selain ambulans yang membawaku ke rumah sakit usai diriku tumbang akibat sesak napas.
Steven, kawan kantorku, mengatakan bahwa kemungkinan aku terpapar virus Corona.
Kukatakan padanya untuk tidak mempedulikan diriku. Aku memang menginginkannya, semua rasa sakit ini. Kalau itu bisa membuatku terlahir kembali, itu sudah cukup bagiku untuk memilih mati.
Tentu saja aku tidak bersungguh-sungguh. Aku tidak cukup punya nyali untuk mati. Seperti halnya aku tidak punya cukup nyali untuk meneruskan hidup.
Tapi sekali lagi, aku tidak bersungguh-sungguh ingin mati. Aku hanya tidak tahu bahwa justru doaku yang kuucapkan saat aku sedang sekarat, justru menjadi doa yang Dia kabulkan.
Ini bukan sesuatu yang menjadi ekpektasiku.
“Ferre...?” itu kata-kata terakhir Steven yang kudengar.
Kupikir ia tidak menyadari bahwa aku sudah mulai kehilangan kesadaranku. Terlebih lagi, rasa sakit di dadaku semakin menjadi. Sakit, luar biasa sakit. Aku tidak bisa bernapas. Sampai aku berpikir jangan-jangan ini memang akhir dari hidupku.
Sepertinya aku mulai sekarat.
Tubuhku terasa seperti terbakar. Aku sendiri sudah mulai merasakan, sepertinya memang inilah akhir dari hidupku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Selama ini aku tidak pernah merasa memiliki gejala Corona. Bahkan aku selalu menjaga jarak dengan orang di sekitarku.
Apakah benar aku sesak napas karena Corona?
“Ferre, apa yang terjadi sebenarnya...?” tanya Steven.
Pertanyaan Steven hampir sama dengan pertanyaan Rita beberapa malam yang telah lalu.
Sama seperti malam ini, aku juga tidak bisa menjawabnya.
Caraku diam untuk tidak menjawab pertanyaan Steven sama dengan caraku untuk tidak menjawab pertanyaan Rita tersebut. Malam itu juga dadaku sedang sesak. Sesak oleh semua beban yang kubawa dari kantor.
Maka kami pun sama-sama diam, di meja makan yang sepi.
Anak-anak sudah tidur. Seharusnya kujawab pertanyaan Rita. Sudah cukup buruk pertengkaran yang terjadi sebelum ia bertanya demikian. Ya, seharusnya kukatakan padanya, bahwa mungkin saja aku ingin memperbaiki semua.
Aku akan mulai lebih peduli, aku akan mulai menanyakan kabarnya setiap siang, aku akan lebih sering mengajak anak-anak bermain.
Aku akan...aku akan...
Semuanya tidak pernah terucap.
Akhirnya Rita berdiri, mengambil dua buah cangkir, dan menyeduh teh buatannya.
Ia menaruh satu cangkir di depanku, dan duduk di tempatnya semula. Teh yang memiliki aroma khas buatan Rita. Kuhirup dalam-dalam dan kuteguk hinggga habis.
Nikmat sekali rasanya.
Lalu aku beranjak dari meja makan dan pergi ke kamar tidur, meninggalkannya yang sedang mencuci cangkir-cangkir kami di bak cuci piring. Punggungnya yang menghadap bak cuci piring adalah hal terakhir yang kulihat malam tersebut.
Mungkin di balik itu dia menitikkan air mata.
Kusadari kami perlu menumbuhkan kembali rasa cinta di antara kami. Kami harus pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kami berdua di sana. Ke pegunungan, atau ke luar negeri, ke mana pun.
Sebaiknya tidak di Bandung. Juga sebaiknya tidak ke rumah orang tua kami. Bukan dalam momen seperti mudik atau semacamnya.
Hanya untuk kami, tanpa alasan.
Kami sangat perlu mengembalikan semua rasa yang pernah ada, seperti saat pertama kali aku mengencaninya di kelas tiga sekolah menengah atas.
Sebelum aku lebih memilih karierku daripada dirinya.
Sebelum aku berubah menjadi tidak peduli akan urusan rumah tangga.
Tidak perlu lama, cukup satu atau dua minggu. Tapi cukup kami berdua, dan membuat kami kembali saling mencintai. Lebih tepatnya aku kembali mencintainya seperti pertama kali. Karena kurasa cintanya kepadaku tidak pernah berubah.
Akulah yang salah.
Mungkin kami perlu pindah rumah. Sebuah rumah di area suburban, barangkali. Atau ke daerah Lembang. Akan kujual rumah kami dan pindah ke tempat baru. Tempat itu tidak perlu lebih bagus dari tempat tinggal kami sekarang. Yang terpenting bagiku adalah suasana baru untuk kami. Sehingga keluarga kami dapat memulai semuanya dari awal.
Di sana aku akan membesarkan Narendra dan Maisha, dua buah cinta kami. Kumasukkan mereka ke sekolah terbaik dan kuajari caranya menikmati hidup agar mereka tidak terbebani sepertiku. Mereka tidak perlu masuk ITB sepertiku jika tidak ingin. Yang harus mereka lakukan hanya memaknai dan menikmati perjalanan hidupnya masing-masing.
Tidak boleh ada keluhan frustrasi dari anakku yang terpaksa mengikuti jejakku.
Tidak, itu tidak boleh kulakukan!
Sudah cukup bagiku menderita.
Jangan sampai mereka juga.
Itulah yang seharusnya kuperbuat. Harus, kami harus melakukannya. Sudah semestinya kutatap mata Rita dalam-dalam dan kusampaikan semua niatku itu.
Tapi tidak. Semua sudah berlalu, dan aku tidak pernah mengatakannya. Walau aku tahu Rita ingin mendengar sesuatu dari mulutku. Hanya saja, semua berakhir di sana.
Seperti yang kualami sekarang.
“Ferre?” sayup-sayup masih kudengar suara Steven.
Kau mau tahu?
Aku ingin segalanya, Steven. Aku ingin kaya, aku ingin menikahi Nikita Willy. Aku ingin menguasai dunia.
Aku ingin...aku ingin...
Tak sempat mulutku menjawabnya.
Hanya tenggorokan tercekatku yang terdengar.
“Ferre, kau bisa mendengarku?” kata Steven lagi.
Kulihat ia mulai panik, sebelum pandangan mataku mulai mengabur, mengabur, dan semakin mengabur. Tubuhku semakin terasa ringan, bahkan tanganku seolah lepas dari tempatnya, lalu kakiku...
Semua mati rasa.
Aku tidak dapat bernapas.
Aku tidak dapat bergerak.
Sial, jika memang aku harus mati sekarang, haruskah dengan cara seperti ini?
Tidak adakah cara mati yang lebih elegan?
Setidaknya aku layak untuk mati secara lebih terhormat.
Bukankah demikian?
Aku tidak tahu kenapa aku memikirkan caraku mati. Saat ini mungkin aku sudah berada di ujung kehidupanku. Aku seperti tenggelam.
Wajah Steven, dan juga pemandangan di sekelilingku, semakin lama semakin menghilang. Tubuhku lemas, dan sedikit demi sedikit menyentuh mulai terasa semakin ringan.
Namun tidak kurasakan apa pun.
Hanya setelahnya aku merasa kembali jatuh. Jatuh dari ketinggian ke dalam lubang yang seolah tanpa ujung. Kuakui, sedikit-banyak aku menyambut ini semua.
Menyambut kematianku.
Karena kurasa ini lah saatnya aku pergi.
Aku pun merasa jatuh.
Sekelilingku pun perlahan menjadi kosong, kosong, dan semakin kosong.
Kemudian hilang sama sekali.
Kurasakan diriku terbaring di suatu tempat.
Terasa sangat lama aku terbaring demikian, di suatu tempat yang aku tak dapat mengenali di mana.
Tubuhku, kepalaku, semuanya, tak dapat digerakkan.
Sekelilingku kosong, tidak gelap, dan tidak juga terang.
Aku tidak tahu berapa lama aku berada dalam keadaan demikian, hanya saja kurasakan mataku semakin lelah, begitupun tubuhku.
Sehingga tiba suatu saat aku tidak bisa menahannya lagi, mataku pun menutup, kupikir untuk selamanya.
Lalu tubuhku terasa semakin ringan. Aku sudah siap andai inilah saatku dibawa ke akhirat.
Tubuhku melayang, dan seolah semakin tinggi.
Aku terbang.
Matikah aku?
Tapi...
Perlahan aku kembali merasakan tubuhku.
Sedikit demi sedikit.
Semakin lama semakin terasa.
Jika aku memang sudah mati, harusnya tidak begini, bukan?
Tapi mengapa aku mulai kembali merasakan tangan, kaki, dan tubuhku?
Berarti... aku belum mati?
Lalu... di mana aku?
Perlahan kusadari bahwa mataku sedang terpejam.
Kucoba membuka keduanya perlahan. Semula perih, namun perlahan menjadi biasa.
Kulihat ada sebuah sinar.
Lalu kucoba memicingkan mataku. Semakin lama semakin dapat mataku terbiasa menangkapnya.
Setelahnya kusadari bahwa sinar itu berasal dari sebuah jendela.
Sepertinya sinar matahari.
Aku ada di suatu tempat.
Ternyata aku belum mati.
Aku bangun.
Aku memang masih hidup.
Ya, aku hidup!
Tapi...
Tubuhku sulit untuk digerakkan.
Lagipula, di mana aku berada?
Ini sama sekali bukan kamarku. Kucoba untuk duduk dan menegakkan tubuhku.
Pandanganku berkunang-kunang.
Kukejapkan mataku berkali-kali, sedikit demi sedikit pandanganku menjadi semakin jelas. Rasanya...aku kenal tempat ini.
Tapi... di mana?
Kukumpulkan kesadaranku, mencoba untuk berdiri.
Hei, aku tidak sendirian. Ada seseorang yang tidur di sebelahku.
Seorang perempuan.
Dan perempuan ini...
Bukan Rita!
Rasanya...aku mengenal perempuan ini, bahkan sangat mengenalnya. Lagipula tubuhnya besar sekali. Semakin kucoba mencerna apa yang terjadi, sedikit demi sedikit mulai kusadari.
Bukan dia yang besar.
Tapi aku yang kecil.
Semakin kusadari tentang tempatku berada, dan kutemukan jawabannya mengenai di mana aku mengenal perempuan di sampingku.
Semula kupikir ini lelucon yang dibuat Steven usai aku pingsan karena mabuk. Semakin lama semakin kusadari, jika memang ini lelucon, maka ini sama sekali tidak lucu.
Kamar ini memang sangat kukenal. Hanya aku mengenalnya bukan dalam konteks di mana, melainkan kapan.
“Ferre, baru setengah lima, tidur lagi.” suara perempuan yang tadi berbaring di sebelahku ternyata sudah bangun, dan menyentakku.Aku memandanginya.Bibirku kelu, tak sanggup berkata-kata.Perempuan besar itu memicingkan mata ke arahku, dengan pandangan seseorang yang baru bangun tidur.“Ayo tidur lagi, sayang,” ulangnya, suaranya melembut.Perlahan bisa kugerakkan lidah dan bibirku.“M.....ma.....Mama?”“Ya, kamu kenapa?” ia menegakkan badannya.“Ma...???”“Ya, kenapa?”Kuedarkan pandanganku ke arah sekeliling.Ini...ini...pantas saja aku tidak asing.Jendela yang berupa kaca nako, gorden bermotif kembang-kembang, lemari kayu jati. Lampu bohlam yang tergantung menggunakan tali, dan dinding yang catnya terkelupas.Di samping Mama ada sebuah majalah Femina dengan Marissa Haque sebagai model sampulnya.Sesuai kebiasaa
Kuperhatikan sekelilingku.Aku berada di ruangan tengah sebuah rumah. Kucoba untuk berpikir. Ruangan ini sangat kukenal. Setelah beberapa saat mencerna, kudapati diriku berhasil mengingat, bahwa ini adalah ruangan tengah rumah tempat tinggal orang tuaku.Namun, keadaannya begitu... kuno.Di sekelilingku nampak benda-benda yang sudah hampir kulupakan, namun nampak tidak asing. Lemari kayu yang seingatku sudah lama dibuang, namun kondisinya tampak begitu baru.Televisi tabung yang menyala menyiarkan Selekta Pop TVRI. Layarnya buram seperti dihiasi semut-semut. Di sebelahnya ada mesin jahit dengan merek “Singer” yang dulu selalu digunakan Mama untuk membuatkan baju-bajuku.Tempatku berpijak adalah lantai marmer yang dulu sangat kunantikan untuk berganti keramik.“Dek, kok sudah bangun?” sebuah suara memalingkanku.Aku tidak berkata-kata, hanya menatapnya dalam diam.“Mau minum teh?” lanjutnya.
Aku masih terduduk di lantai.Bulu kudukku merinding, juga seluruh tubuhku. Aku tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Napasku memburu, tubuhku bergetar.Gila, ini tidak mungkin!Ini pasti mimpi!Benar, kan?Pasti mimpi!Kepalaku terasa berputar, entah berapa lama aku terduduk demikian, tahu-tahu Mbok Jah sudah berjongkok di depanku, menyodorkan segelas teh panas. Teh panas dengan gelas besi bercorak loreng.Sambil tertegun kuterima gelas besi yang disodorkannya.“Terima...kasih,” kataku, ragu.“Wah, wah, Ferre udah pinteeer, bilang terima kasih,” Mbok Jah nampak ceria.Aku tidak mempedulikannya, kuteguk habis minuman itu.“Eh masih panas!” kata Mbok Jah.Aku tidak mendengarkannya, tetap kuminum semuanya sampai tandas, yang kemudian membuatku terbatuk-batuk.“Tuh kan, kata Mbok juga apa,” Mbok Jah mene
Tinggi badanku bahkan tidak mencapai setengah dari tinggi cermin. Kuperhatikan wajahku yang berpipi “tembem”, badanku yang berisi, kenyal jika kupegang. Jemariku kecil, rambutku tipis dan acak-acakan.Kupegangi cermin di depanku dengan kedua tangan mungilku.Ya Tuhan... Apa yang sedang terjadi?“Ferre, kamu ngapain?” Mama sudah duduk di samping tempat tidur.Diriku tidak lagi bertanya-tanya, karena memang tidak lagi ada gunanya. Hanya sebagian kecil dari pikiranku yang masih mempertanyakan apakah aku sedang bermimpi. Bagaimanapun ini semua masih mustahil, ini pasti mimpi.Tapi tidak, karena ketika kucubit, pipiku terasa sakit.“Ma?”“Ya, kamu ngapain, sayang? Kamu kenapa?”Tatapannya yang teduh, hangat, membuatku merasa aman. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Apa pun yang saat ini sedang kuhadapi, melihat dirinya aku merasa tenang. Ia memang mamaku.Aku meman
Matahari sudah mulai terlihat waktu aku bangun.Segera kutegakkan badanku, bersiap untuk salat subuh yang pasti sudah sangat terlambat. Saat kukerjapkan mataku, kulihat pemandangan di sekelilingku, lalu kembali kuingat ada di mana aku saat ini. Padahal hati kecilku berharap semua yang kelalui kemarin hanyalah mimpi.Tapi tidak terkabul.“Eh, sudah bangun, pinter bisa bangun sendiri,” suara Mama ceria.“Ayo sarapan, terus siap-siap ya dek,” Papa menimpali.Di pinggir tempat tidur sudah tersedia celana pendek dan rompi biru, serta kemeja putih.Sialan, benarkah ini terjadi??? Usiaku benar-benar empat tahun. Jadi aku masih taman kanak-kanak.Dan...ini benar-benar harus kulakukan? Aku benar-benar harus pergi ke Taman Kanak-kanak???Aku menolak saat Mama hendak memakaikan bajuku. Mama pun nampak terheran-heran.Kupandangi seragam putih dan rompi biru, juga cel
Perlahan dapat kulihat wajah anak di depanku. Sedikit-banyak ingatanku mulai kembali.“D...Dimas???”Anak itu menyeretku dan menghempaskanku ke dinding kelas.Dimas adalah orang yang dulu sangat kutakuti. Dengan seringainya yang bagiku lebih mirip setan, aku ingat bahwa saat-saat istirahat adalah waktunya ia menghajarku, selama dua tahun masa Taman Kanak-kanak. Dua tahun yang harus kulalui dengan mewaspadai keberadaannya, setiap kali jam istirahat tiba.“Ciaaaattt!!! Ciaaattt!!!” ia menendangiku.Aku memandanginya, merasa heran. Apakah hal ini yang dulu kutakuti?Tendangannya sama sekali tidak terasa bagiku. Bahkan kalau mau aku bisa membuatnya terjungkal kapan pun.Ya, kapan pun.Haruskah kulakukan?Sepertinya memang demikian.Aku harus mencobanya.Baiklah, sekali saja.Kudaratkan tinjuku lurus mengenai hidungnya.Ia terjengkang ke belakang, nampak terkejut. Dimas beru
“Mbok nggak tahu kejadiannya?” tanya Papa kepada Mbok Jah.“Tidak, Pak. Saya baru datang waktu ramai-ramai,”“Ferre!” tegur Mama saat melihatku hanya menonton Mission Impossible di RCTI.Aku mematikan televisi, dan berdiri.“Sudahlah Pa, Ma. Papa dan Mama nggak perlu khawatir, tenang saja.” kataku.Papa dan Mama terpana.Betapa tidak, aku berdiri dengan sikap seolah sedang menghadapi direktur-direktur di kantorku dulu.“Semuanya akan saya bereskan, besok.” kataku datar.“Ferre, kamu ini baru membuat masalah lho!” kata Papa.“Papa, sudah saya katakan, tenanglah. Percayalah, besok akan saya selesaikan.” kataku sambil berlalu masuk ke kamar tidur kami, meninggalkan Mama, Papa, dan Mbok Jah yang terbengong-bengong.
“Anak Ibu sudah mencelakai anak saya, saya minta pertanggungjawaban Ibu!” perempuan yang kupikir adalah Ibu dari Dimas menyerang Mama. Entahlah, aku belum pernah bertemu dengannya.“Sebentar, Ibu. Kita lihat dulu kronologinya,” Kata Mama.“Nggak perlu, anak saya sekarang dirawat, Bu!!! Ibu tanggung jawab!!”Elly dan Ivonne hanya diam.“TUNGGU!!!” bentakku.Aku berdiri, menatap tajam ke perempuan yang sejak tadi berteriak itu.“Ibu yakin saya yang salah?” tanyaku.Ia terhenyak.“Kalau saya bisa buktikan bukan saya yang salah, Ibu mau apa?”Tidak hanya perempuan itu, bahkan Mama, Papa, beserta Elly dan Ivonne pun memandangiku.Aku berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu memanggil sejumlah orang untuk masuk.Sejumlah Ibu-ibu yang kemarin menyaksikan peristiwaku dengan Dimas berbondong-bondong masuk ke kelas.“Bu Elly, Bu Ivon