Share

The Time Replayers
The Time Replayers
Author: Reez

1

“Jangan sembarangan mengucap permintaan, Ferre!”

“Kenapa memangnya, Ma?”

“Karena kamu tidak tahu permintaanmu yang mana yang akan dikabulkan,”

“Bukankah justru itu bagus, Ma? Permintaanku akan dikabulkan adalah hal yang bagus, bukan?”

“Tidak semua permintaanmu adalah hal baik bagimu, sayang.”

“Kenapa demikian, Ma?”

“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu.”

“Tapi yang kuminta adalah yang baik-baik untukku.”

“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu, Ferre.”

Dadaku sedang sakit ketika tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Mama tersebut. Itu kata-kata Mama belasan, bahkan puluhan tahun silam. Aku lupa apa yang kulakukan atau kuminta ketika Mama menasihatiku demikian. Tapi hari ini kata-kata Mama di suatu kejadian dalam hidupku tersebut kembali terngiang.

Dan kini, saat ini, aku baru mengerti apa yang Mama maksud. Orang-orang zaman dahulu sering menyebutnya dengan “kualat”. Mungkin saja itu yang sedang terjadi padaku.

“Ma...” aku ingin memanggilnya, tapi lidahku kelu.

Tidak banyak yang kuingat selain ambulans yang membawaku ke rumah sakit usai diriku tumbang akibat sesak napas.

Steven, kawan kantorku, mengatakan bahwa kemungkinan aku terpapar virus Corona.

Kukatakan padanya untuk tidak mempedulikan diriku. Aku memang menginginkannya, semua rasa sakit ini. Kalau itu bisa membuatku terlahir kembali, itu sudah cukup bagiku untuk memilih mati.

Tentu saja aku tidak bersungguh-sungguh. Aku tidak cukup punya nyali untuk mati. Seperti halnya aku tidak punya cukup nyali untuk meneruskan hidup.

Tapi sekali lagi, aku tidak bersungguh-sungguh ingin mati. Aku hanya tidak tahu bahwa justru doaku yang kuucapkan saat aku sedang sekarat, justru menjadi doa yang Dia kabulkan.

Ini bukan sesuatu yang menjadi ekpektasiku.

“Ferre...?” itu kata-kata terakhir Steven yang kudengar.

Kupikir ia tidak menyadari bahwa aku sudah mulai kehilangan kesadaranku. Terlebih lagi, rasa sakit di dadaku semakin menjadi. Sakit, luar biasa sakit. Aku tidak bisa bernapas. Sampai aku berpikir jangan-jangan ini memang akhir dari hidupku.

Sepertinya aku mulai sekarat.

Tubuhku terasa seperti terbakar. Aku sendiri sudah mulai merasakan, sepertinya memang inilah akhir dari hidupku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Selama ini aku tidak pernah merasa memiliki gejala Corona. Bahkan aku selalu menjaga jarak dengan orang di sekitarku.

Apakah benar aku sesak napas karena Corona?

“Ferre, apa yang terjadi sebenarnya...?” tanya Steven.

Pertanyaan Steven hampir sama dengan pertanyaan Rita beberapa malam yang telah lalu.

Sama seperti malam ini, aku juga tidak bisa menjawabnya.

Caraku diam untuk tidak menjawab pertanyaan Steven sama dengan caraku untuk tidak menjawab pertanyaan Rita tersebut. Malam itu juga dadaku sedang sesak. Sesak oleh semua beban yang kubawa dari kantor.

Maka kami pun sama-sama diam, di meja makan yang sepi.

Anak-anak sudah tidur. Seharusnya kujawab pertanyaan Rita. Sudah cukup buruk pertengkaran yang terjadi sebelum ia bertanya demikian. Ya, seharusnya kukatakan padanya, bahwa mungkin saja aku ingin memperbaiki semua.

Aku akan mulai lebih peduli, aku akan mulai menanyakan kabarnya setiap siang, aku akan lebih sering mengajak anak-anak bermain.

Aku akan...aku akan...

Semuanya tidak pernah terucap.

Akhirnya Rita berdiri, mengambil dua buah cangkir, dan menyeduh teh buatannya.

Ia menaruh satu cangkir di depanku, dan duduk di tempatnya semula. Teh yang memiliki aroma khas buatan Rita. Kuhirup dalam-dalam dan kuteguk hinggga habis.

Nikmat sekali rasanya. 

Lalu aku beranjak dari meja makan dan pergi ke kamar tidur, meninggalkannya yang sedang mencuci cangkir-cangkir kami di bak cuci piring. Punggungnya yang menghadap bak cuci piring adalah hal terakhir yang kulihat malam tersebut.

Mungkin di balik itu dia menitikkan air mata.

Kusadari kami perlu menumbuhkan kembali rasa cinta di antara kami. Kami harus pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kami berdua di sana. Ke pegunungan, atau ke luar negeri, ke mana pun.

Sebaiknya tidak di Bandung. Juga sebaiknya tidak ke rumah orang tua kami. Bukan dalam momen seperti mudik atau semacamnya.

Hanya untuk kami, tanpa alasan.

Kami sangat perlu mengembalikan semua rasa yang pernah ada, seperti saat pertama kali aku mengencaninya di kelas tiga sekolah menengah atas.

Sebelum aku lebih memilih karierku daripada dirinya.

Sebelum aku berubah menjadi tidak peduli akan urusan rumah tangga.

Tidak perlu lama, cukup satu atau dua minggu. Tapi cukup kami berdua, dan membuat kami kembali saling mencintai. Lebih tepatnya aku kembali mencintainya seperti pertama kali. Karena kurasa cintanya kepadaku tidak pernah berubah.

Akulah yang salah.

Mungkin kami perlu pindah rumah. Sebuah rumah di area suburban, barangkali. Atau ke daerah Lembang. Akan kujual rumah kami dan pindah ke tempat baru. Tempat itu tidak perlu lebih bagus dari tempat tinggal kami sekarang. Yang terpenting bagiku adalah suasana baru untuk kami. Sehingga keluarga kami dapat memulai semuanya dari awal.

Di sana aku akan membesarkan Narendra dan Maisha, dua buah cinta kami. Kumasukkan mereka ke sekolah terbaik dan kuajari caranya menikmati hidup agar mereka tidak terbebani sepertiku. Mereka tidak perlu masuk ITB sepertiku jika tidak ingin. Yang harus mereka lakukan hanya memaknai dan menikmati perjalanan hidupnya masing-masing.

Tidak boleh ada keluhan frustrasi dari anakku yang terpaksa mengikuti jejakku.

Tidak, itu tidak boleh kulakukan!

Sudah cukup bagiku menderita.

Jangan sampai mereka juga.

Itulah yang seharusnya kuperbuat. Harus, kami harus melakukannya. Sudah semestinya kutatap mata Rita dalam-dalam dan kusampaikan semua niatku itu.

Tapi tidak. Semua sudah berlalu, dan aku tidak pernah mengatakannya. Walau aku tahu Rita ingin mendengar sesuatu dari mulutku. Hanya saja, semua berakhir di sana. 

Seperti yang kualami sekarang.

“Ferre?” sayup-sayup masih kudengar suara Steven.

Kau mau tahu?

Aku ingin segalanya, Steven. Aku ingin kaya, aku ingin menikahi Nikita Willy. Aku ingin menguasai dunia.

Aku ingin...aku ingin...

Tak sempat mulutku menjawabnya.

Hanya tenggorokan tercekatku yang terdengar.

“Ferre, kau bisa mendengarku?” kata Steven lagi.

Kulihat ia mulai panik, sebelum pandangan mataku mulai mengabur, mengabur, dan semakin mengabur. Tubuhku semakin terasa ringan, bahkan  tanganku seolah lepas dari tempatnya, lalu kakiku...

Semua mati rasa.

Aku tidak dapat bernapas.

Aku tidak dapat bergerak.

Sial, jika memang aku harus mati sekarang, haruskah dengan cara seperti ini?

Tidak adakah cara mati yang lebih elegan?

Setidaknya aku layak untuk mati secara lebih terhormat.

Bukankah demikian?

Aku tidak tahu kenapa aku memikirkan caraku mati. Saat ini mungkin aku sudah berada di ujung kehidupanku. Aku seperti tenggelam.

Wajah Steven, dan juga pemandangan di sekelilingku, semakin lama semakin menghilang. Tubuhku lemas, dan sedikit demi sedikit menyentuh mulai terasa semakin ringan.

Namun tidak kurasakan apa pun.

Hanya setelahnya aku merasa kembali jatuh. Jatuh dari ketinggian ke dalam lubang yang seolah tanpa ujung. Kuakui, sedikit-banyak aku menyambut ini semua.

Menyambut kematianku.

Karena kurasa ini lah saatnya aku pergi.

Aku pun merasa jatuh.

Sekelilingku pun perlahan menjadi kosong, kosong, dan semakin kosong.

Kemudian hilang sama sekali.

Kurasakan diriku terbaring di suatu tempat.

Terasa sangat lama aku terbaring demikian, di suatu tempat yang aku tak dapat mengenali di mana.

Tubuhku, kepalaku, semuanya, tak dapat digerakkan.

Sekelilingku kosong, tidak gelap, dan tidak juga terang.

Aku tidak tahu berapa lama aku berada dalam keadaan demikian, hanya saja kurasakan mataku semakin lelah, begitupun tubuhku.

Sehingga tiba suatu saat aku tidak bisa menahannya lagi, mataku pun menutup, kupikir untuk selamanya.

Lalu tubuhku terasa semakin ringan. Aku sudah siap andai inilah saatku dibawa ke akhirat.

Tubuhku melayang, dan seolah semakin tinggi.

Aku terbang.

Matikah aku?

Tapi...

Perlahan aku kembali merasakan tubuhku.

Sedikit demi sedikit.

Semakin lama semakin terasa.

Jika aku memang sudah mati, harusnya tidak begini, bukan?

Tapi mengapa aku mulai kembali merasakan tangan, kaki, dan tubuhku?

Berarti... aku belum mati?

Lalu... di mana aku?

Perlahan kusadari bahwa mataku sedang terpejam.

Kucoba membuka keduanya perlahan. Semula perih, namun perlahan menjadi biasa.

Kulihat ada sebuah sinar.

Lalu kucoba memicingkan mataku. Semakin lama semakin dapat mataku terbiasa menangkapnya. 

Setelahnya kusadari bahwa sinar itu berasal dari sebuah jendela.

Sepertinya sinar matahari.

Aku ada di suatu tempat.

Ternyata aku belum mati.

Aku bangun.

Aku memang masih hidup.

Ya, aku hidup!

Tapi...

Tubuhku sulit untuk digerakkan.

Lagipula, di mana aku berada?

Ini sama sekali bukan kamarku. Kucoba untuk duduk dan menegakkan tubuhku.

Pandanganku berkunang-kunang.

Kukejapkan mataku berkali-kali, sedikit demi sedikit pandanganku menjadi semakin jelas. Rasanya...aku kenal tempat ini.

Tapi... di mana?

Kukumpulkan kesadaranku, mencoba untuk berdiri.

Hei, aku tidak sendirian. Ada seseorang yang tidur di sebelahku.

Seorang perempuan.

Dan perempuan ini...

Bukan Rita!

Rasanya...aku mengenal perempuan ini, bahkan sangat mengenalnya. Lagipula tubuhnya besar sekali. Semakin kucoba mencerna apa yang terjadi, sedikit demi sedikit mulai kusadari.

Bukan dia yang besar.

Tapi aku  yang kecil.

Semakin kusadari tentang tempatku berada, dan kutemukan jawabannya mengenai di mana aku mengenal perempuan di sampingku.

Semula kupikir ini lelucon yang dibuat Steven usai aku pingsan karena mabuk. Semakin lama semakin kusadari, jika memang ini lelucon, maka ini sama sekali tidak lucu.

Kamar ini memang sangat kukenal. Hanya aku mengenalnya bukan dalam konteks di mana, melainkan kapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status