Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.
Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.
“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.
Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya ucapan Azlan. “Kalau begitu, lo harus tetap biarin gue berada di sekitar lo agar lo percaya kalau gue sungguh-sungguh dengan ucapan gue,” ucap Azlan yang membuat Fanya diam. Malah cewek ini lebih memilih menulis sesuatu di buku agendanya. Tatapan Azlan menerawang, seolah ia sedang merencanakan sesuatu untuk Fanya.
---888---
Ketiga cowok terlihat sedang berjalan dikoridor kampus. Beberapa mahasiswi memperhatikan mereka dan terkadang curi-curi untuk memotret mereka. Melihat hal itu, salah satu diantara mereka yang bernama Lilo melambaikan tangannya beberapa kali, seolah ia sedang menyapa para fansnya.
Arai yang menyadarinya hanya menggelengkan kepalanya, sembari menowel Tora yang terlihat masa bodo dengan cewek-cewek itu. Ia lebih fokus ngegame dari pada memperhatikan sekitarnya. Namun, seseorang tiba-tiba datang menghadang mereka bertiga.
Tora pun mendongak dan rahangnya mengeras. “Lo cari mati ya datang kemari?” ucapnya yang membuat Arai mulai cemas. Sementara Lilo sepertinya bersiap-siap untuk melakukan penyerangan jika sosok di hadapannya ini mencoba untuk menyerang Tora.
Cowok yang berada di hadapan Tora menyeringai, nampaknya ia tidak memiliki rasa takus sedikit pun. Sementara mata Tora sudah berubah menguning. Ini gawat kalau sampai Tora berubah menjadi Cindaku di sini. Sementara para cewek sudah mulai mendekat, mereka senang melihat semua cowok terpopuler di kampus mereka berkumpul menjadi satu. Para cewek ini tidak tahu saja kalau akan sangat berbahaya jika membiarkan mereka bersama. Bisa-bisa para cewek ini akan pingsan karena melihat manusia tiba-tiba menjadi harimau dan bertarung di depan mereka.
Aria seketika menarik Tora untuk membuat identitas mereka tetap aman. Sungguh, mengurus Tora setiap saat menyulitkan Arai. Coba saja kalau ada Azlan, ia tidak akan kewalahan. Sementara Lilo? Dia sama mudah terpancingnya seperti Tora. Jadi Arai saat ini tidak hanya menyeret Tora, tapi ia juga menyeret Lilo.
“Gue nggak akan ngelepas Tania. Lo lihat aja, Tania bakalan tunduk sama gue” teriak cowok itu, seolah berusaha menyulut amarah Tora dan Lilo.
“Brengsek lo Lean! Gua ba-“ Perkataan Tora terpotong karena Arai berhasil membekapnya. Ia tidak mau saja Tora tak terkontrol sampai membahas tentang saling membunuh. Mungkin, pembahasan seperti ini akan biasa saja di antara mereka, tapi dikalangan para mahasiswa ini adalah sebuah ancaman yang bisa dipidanakan.
“Kalian kalau mau menggila mending di basecamp. Awas aja kalau kalian berubah di sini, tanggung sendiri kekacauannya!” tegas Arai yang mencoba untuk menceramahi keduanya. Dengan kekuatan yang tersisa, Arai masih menyeret dua harimau pembangkang ini. Benar-benar seperti seorang induk yang sedang melerai pertengkaran anak-anaknya.
Sesampainya di basecamp, Arai segera melempar keduanya, membuat mereka berdua terpental dan terjatuh ke sofa.
Brug
Sofa tersebut jebol dan keduanya pun berubah menjadi manusia setengah harimau. Mereka masih terlihat marah, bahkan meraung-raung.
Grrr
Grrr
“Lilo, lo kalau kek gini gue nggak akan bawa lo kenalan sama Bella.” Ancam Arai yang seketika menjinakkan Lilo. Hebat sekali Arai tahu kelemahan Lilo yang mata keranjang ini. Lilo pun segera merubah dirinya menjadi manusia seperti semula.
Berbeda dengan Lilo, Tora masih tak berubah. Malahan ia kini menjadi harimau seutuhnya. “Bantu gue buat taliin dia. Bahaya kalau di kampus ada harimau berkeliaran.” Arai pun mengambil sebuah tali dan Lilo pun membantunya untuk menali Tora.
Tora yang berbentuk seperti harimau mencoba meraung, tapi Arai menuruti mulutnya dengan benda yang bisa mencegah raungannya tak terdengar. “Lo baik-baik di sini sampai lo berhasil nenangin diri,” kata Arai yang kali ini meninggalkan harimau itu.
Lilo berjongkok dan mengelus kepala Tora. “Gue nggak suka sama Lean dan gue lebih nggak terima kalau adek lo yang cantik dan seksi itu jatuh ke tangan Lean, tapi Tor … gue nggak setuju lo mengamuk di sini dan bikin identitas kita terungkap. Jadi bersabar aja ya, sampai lo balik kebentuk semula,” ucap Lilo yang kali ini pun pergi meninggalkan Tora sendiri. Membuat harimau itu terus meraung-raung, tapi tidak berdaya untuk melawan jeratan tali yang terkekang di lehernya, sementara mulutnya masih terbekap membuatnya terlihat frustasi.
Sementara, di luar langit semakin gelap dan udara semakin dingin. Fanya, sudah pulang bersama Azlan beberapa saat yang lalu. Namun, karena agendanya tertinggal di perpustakaan, Fanya berusaha untuk kembali lagi. Dengan hanya memakai jaket berbahan denim, Fanya berlarian melewati koridor hingga sampai di depan perpustakaan. Napasnya tersengal, tapi hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk menemukan agendanya.
“Kenapa kembali lagi?” tanya pustakawan dan Fanya hanya tersenyum, tidak lucu juga mengatakan jika ia kehilangan agendanya.
“Saya lupa mau cari bahan untuk tugas besok.” Bohong Fanya yang segera masuk dan mulai mencari di tempat duduk yang tadinya ia duduki bersama dengan Azlan dan benar, agenda itu masih berada di sana.
Fanya merasa lega tiada tara, agenda ini salah satu nyawanya yang tidak tergantikan. Biasanya anak di jaman sekarang, cukup menyimpan segalanya di handpone kan? Berbeda dengan Fanya, semua jadwal dan catatan yang ia butuhkan akan ia tulis diagenda ini. Kalau boleh sedikit berlebihan dalam mendeskripsikannya, Fanya menganggap agenda ini adalah nyawa keduanya.
“Syukurlah, lo ada di sini. Bisa mati gue tanpa lo,” gumamnya yang berjalan memeluk agenda. Ia sama sekali tak peduli dengan tatapan banyak orang yang menganggapnya aneh.
Fanya pun terus berjalan tanpa berpikir, ia masih memanjatkan rasa syukur tiada tara karena benda kesayangannya ini ketemu. Ia sampa tak sadar berjalan kea rah yang salah, malah menuju basecamp yang terletak di sebelah perpustakaan. Saat ia kembali sadar, Fanya terlihat terkejut. “Loh, kok jadi ke sini?” gumamnya.
Grrr
Fanya seketika tersentak, ia mendengarkan suara geraman. Fanya yang penasaran, meskipun takut-takut mencoba untuk mencari sumber suara dan sumber suara itu berada di dalam ruangan di hadapannya. Fanya dengan segala keberaniannya mencoba untuk menerobos masuk.
Berjalan dengan berhati-hati, memelankan suara agar tak disadari. Fanya seketika berhenti ketika matanya dapat menangkap bayangan sosok cowok dengan telinga kucing dan memiliki ekor. Namun, saat sosok itu berubah menjadi dari sekedar memiliki telinga kucing atau ekor, Fanya dibuat membelelalak. “Ha-ha-ri-mau?” katanya dengan terbata.
Sosok yang mendengarkannya pun berusaha menoleh dan mengenali sosok Fanya yang masih terdiam karena shock dan tidak dapat mengenali sosok Cindaku tersebut. Saat sosok itu mencoba untuk bangkit, Fanya segera berlari. “Akkkk,” teriaknya dengan lari sekencang mungkin.
Tora yang kini sepenuhnya menjadi manusia menjadi cukup geram. “Zifanya, Lo nggak akan bisa lari kemana-mana!” gumam Tora dengan tatapan nyalang. Seolah hendak memakan Fanya hidup-hidup.
Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.Pada akhirnya Fanya pergi kekampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya? Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba N
Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta
Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat
“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah sa
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.Pada akhirnya Fanya pergi kekampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya? Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba N
Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya &
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah sa
Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat
Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta