Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.
Pada akhirnya Fanya pergi ke kampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya?Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba Nadya mencoba untuk mengagetkannya.“Fan!”“Apaan sih!” pekik Fanya kesal bukan main pada Nadya. Ini salah satu efek dari orang-orang memandangnya dan menggosipkannya.“Ih, pagi-pagi dah senewen. Lagi pms ya?” Nadya memainkan dagu Fanya, membuatnya bertambah kesal saja.Fanya pun menepis tangan Nadya. “Jangan rese pagi-pagi deh!” omel Fanya yang membuat Nadya tertawa. Entah mengapa, kalau Fanya sedang marah terlihat lebih lucu. Wajah polos Fanya itu, tidak pernah pantas untuk menjadi garang. Menurut Nadya, Fanya lebih cocok menjadi cewek yang lembut dan penuh perhatian.“Kagak baik lo marah-marah saat lo seharusnya bahagia,” kata Nadya ambigu membuat Fanya tak mengerti. Terkadang Nadya itu bisa berubah menjadi manusia paling menyebalkan sedunia.Fanya terus berjalan dan Nadya mengikutinya. “Kenapa gue harus bahagia disaat lo nyebelin banget pagi-pagi,” cibir Fanya dan Nadya menjadi semakin gema, ingin terus menjahili Fanya.Nadya bahkan berjalan mendahului Fanya, menyetop temannya seperti lampu merah di tengah jalan. “Apa sih?” Fanya dibuat semakin risih.“Dengerin gue!” Bahkan kedua tangan Nadya memegangi bahu Fanya. Wajah Fanya nampak serius “Tora ….” Ia menjeda, membuat wajah Fanya penuh tanda tanya. Apa lagi nama iru nampak tak asing ditelinganya.Kediamannya lama sampai-sampai Fanya yang jadi kesal lagi. “Apaan sih? Sok misterius banget jadi manusia.” Fanya mengomel lagi dan Nadya senang, merasa sukses membuat Fanya kesal.“Kepada mahasiswa yang bernama Zifanya, tolong segera ke perpustakaan dan temui gue Tora!”Terdengar pengumuman dari radio kampus. “Nah, itu lo denger sendiri, kan? Gue nggak boong loh,” kata Nadya yang membuat Fanya berpikir keras.“Tora itu siapa sih? Yang mana orangnya?” Fanya yang pelupa, benar-benar tak mengingat cowok yang bernama Tora.Nadya pun memukul kepalanya sendiri, merasa Fanya tidak bisa terselamatkan. Coba bayangkan bagaimana bisa Fanya lupa siapa Tora? Salah satu the most wanted di kampus mereka. Polos sih boleh, tapi jangan pernah melupakan hal-hal penting seperti salah satu cowok tercakep di kampus misalnya. Itu haram hukumnya dan Nadya harus segera membuka pandangan gelap Fanya.“Temennya Azlan, masak lo lupa sih?” Nadya memekik, bahkan ia mencubit pipi Fanya dengan gemasnya. Sementara sahabatnya ini nampak berpikir, matanya berkedip-kedip beberapa kali.Ekspresi Fanya berubah ngeri, ia mulai ingat dengan beberapa penjelasan yang pernah Nadya ingatkan tentang grup cowok-cowok sok populer. Apa lagi saat membayangkan Azlan yang terus menggodanya membuat Fanya bingung harus bagaimana dan sekarang ditambah dengan Tora?“Ada apa sih sama mereka? Perasaan, gue nggak pernah ngapa-ngapain deh.” Fanya benar-benar bingung.Nadya juga tidak bisa menduganya. “Mending lo ke sana dulu, nanti kan tau apa yang diinginin sama Tora,” usul Nadya yang benar juga menurut Fanya.“Ya uda, aku ke sana dulu. Nanti chat gue kalau pak Bayu datang ya,” mohon Fanya dan Nadya mengangguk.“Tentu aja dunk, gue juga pengen tau lo masih normal atau kagak setelah ketemu Tora.” Nadya berjalan cepat sambil ngakak.“Eh, kenapa gue harus nggak normal? Apa sih, maksud lo itu?” tanya Fanya dengan sedikit berteriak.“Ada deh, nanti gue kasih tau,” jawab Nadya yang terus tertawa dan Fanya mendengkus sebal.Tak mau ambil pusing dengan perkataan Nadya, Fanya pun bergegas menuju perpustakaan dan kali ini dirinya juga tidak ingin pusing-pusing memikirkan tatapan dan bisik-bisik mahasiswa saat ia lewat di depan mereka. Fanya pun menjadi memikirkan apa yang akan Tora katakan saat bertemu dengan dirinya.Beberapa langkah lagi untuk menuju perpustakaan, tapi tiba-tiba pikiran Fanya melayang teringat sesuatu penampakan yang mengerikan semalam. “Astaga, bukannya semalem di sini ada siluman? Terus, kok gue bego banget bisa datang ke sini, sih?” gumamnya yang tiba-tiba berbalik.“Zifanya! Lo nggak bisa kabur kemana-mana!” teriak seseorang yang membuat Fanya kaget sampai tersandung batu.BrugTubuh Fanya menyentuh lantai dan beberapa mahasiswa menertawainya. Pantatnya ngilu bukan main. “Kenapa gue sesial ini sih?” gerutunya dan saat ia mendongak, sosok cowok ganteng sudah berada di hadapannya.Wajahnya tak asing, seperti cover boy majalah idol Korea, hanya saja kulitnya lebih gelap dari cowok-cowok oriental yang pernah Nadya tunjukin ke Fanya. Nadya itu kpoper, dracin forever sejati. Tipenya suka cowok oriental, jadi Fanya dapat referensi model cowok yang trend jaman sekarang itu dari Nadya. Cowok di hadapan Fanya ini memiliki tubuh atletis. Azlan ganteng, tapi cowok ini dua kali lipat lebih ganteng. Kulitnya kuning langsat, rambut basah karena minyak rambut dan aroma mint yang menyegarkan.“Sampai kapan lo bengong? Gue nggak punya banyak waktu, jadi mending lo sekarang berdiri dan ikutin gue!” ucapnya yang membuat Fanya kembali pada realita.Fanya bingung kenapa cowok ini kelihatan marah sama dirinya. Padahal, ia kenal saja tidak. “Lo siapa sih?” tanya Fanya menatap cowok yang nggak jelas.“Lo nggak tau gue siapa?” tanyanya dan Fanya menggangguk dengan santai.Tangan cowok di hadapan Fanya ini mengepal. “Gue Tora yang manggil lo dari radio kampus!” katanya penuh penekanan.Fanya yang kesal gara ulah Tora ini pun segera berdiri. “Oh jadi lo cowok nggak jelas yang bikin gue digosipin pagi-pagi?” tudingnya dan Tora mengangguk dengan ekspresi menantang.Dasar cowok belagu! Maki Fanya dalam hati. Ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran satu cowok ini. “Kenapa lo manggil gue? Keknya kita nggak pernah ada urusan deh,” lanjut Fanya dan Tora terlihat semakin marah.Tora pun menarik tangan Fanya dengan kasar. “Ikut gue!” perintahnya dengan terus berjalan cepat dan Fanya berusaha untuk melepaskan genggaman tangan Tora yang begitu kuat.“Lepasin nggak! Lo itu kenapa sih? Kalau uda gila, jangan bawa-bawa gue!” maki Fanya tapi Tora tidak peduli, ia terus menyeret Fanya.Saat berada ditengah jalan antara perpus dan basecamp, Fanya menemukan kekuatan untuk lepas dari Tora.“Lo pembangkang banget sih jadi cewek,” omel Tora yang dengan cepat menggendong Fanya seperti sedang memanggul karungan.“Cowok gila, turunin gue sekarang!” Fanya marah bercampur malu saat beberapa temannya bahkan memfoto adegan gila ini.Brengsek! Sialan! Sudah berapa sumpah serapah yang berhasil Fanya keluarkan dalam hatinya. Namun, di dunia nyata, ia tidak ingin reputasinya jelek. Fanya hanya mampu menahan amarahnya dengan satu cowok asing yang tiba-tiba saja mengganggu hidupnya.Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta
Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat
“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah sa
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya &
Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.Pada akhirnya Fanya pergi kekampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya? Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba N
Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya &
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah sa
Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat
Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta