“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.
Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.
“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.
Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah satunya adalah penyewaan villa yang tersebar diseluruh Indonesia. Jadi, memberikan satu untuk teman-temannya bukanlah perkara yang sulit baginya.
Azlan pun memandang ketiga temannya dan mereka hanya tersenyum penuh arti. Azlan merasakan sesuatu yang tidak beres di sini. “Apa kalian mencoba memprovokasi Lean?” Azlan mencoba menebak dan seringaian dari mulut Tora keluar begitu saja.
“Akan sangat menyenangkan, selama ini kita cukup menahannya, kan? Lean, sudah merasa menguasai segalanya, terakhir ia mencoba menggoda Tania.” Tangan Tora mengepal, amarahnya keluar bersamaan dengan dua telinga aneh di dua sisi kepalanya, belum lagi ekor bertutul putih dan hitam yang mirip dengan manusia setengah harimau.
Ketiga temannya nampak tak kaget dengan perubahan Tora. “Akhir-akhir ini amarahmu tidak bisa dikendalikan ya? Hati-hati, itu akan menimbulkan kepanikan para manusia.” Azlan mencoba memperingatkan Tora dan cowok itu mencoba menghela napas, menetralkan emosinya membuat taring yang tadi keluar, menghilang kembali. Telinga tambahan dan juga ekor panjangnya pun menghilang.
“Meskipun manusia bukan tandingan kita, kita jangan lupa dengan perjanjian yang tertulis jika seharusnya kita hidup berdampingan dengan manusia?” Arai menyahut, mencoba untuk mengingatkan seluruh temannya.
Lilo mendengkus. “Menyusahkan, kenapa kita tidak bisa berubah dengan bebas. Aku semakin berambisi untuk memperbanyak keturuan. Jadi, populasi Cindaku seperti kita akan bertambah. Bukankah evolusi dari hanya kita bisa ditinggal di tanah nenek moyang sudah bisa di atasi? Kenapa tidak lagi meneliti cara untuk meningkatkan populasi bangsa Cindaku? Lagi pula, kita tidak punya banyak waktu untuk berubah menjadi harimau dengan benar. Akan sangat mencengangkan jika di ibu kota Jakarta terdapat harimau berkeliaran,” kata Lilo yang membuat seluruh temannya tertawa.
“Setidaknya kita lebih unggul dari manusia, dilihat dari aspek mana pun.” Tora bersuara, setelah sebelumnya ia masih berusaha untuk meredakan amarahnya.
“Benar dan para cewek tolol itu terkadang bertanya sesuatu yang menyebalkan. Kakak gans, gimana caranya bisa secakep ini?” ungkap Lilo yang merasa heran dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting dari cewek-cewek yang selama ini mengikutinya.
Arai tertawa. “Mangkanya jangan suka tebar pesona. Lo kan yang paling buaya diantara kita.” Todong Arai yang seketika membuatnya mendapatkan pukulan bantal dari Lilo.
“Bukannya lo semua sama, kita Cuma suka melihat manusia yang sombong untuk dipermainkan.” Memang benar, mereka bertiga menyetujui argument Arai. Para manusia itu makhluk yang sok paling sempurna, membuat kaum Cindaku seperti mereka membencinya.
“Memang kita harus sering-sering mempermainkan mereka. Agar merekat tau, kalau kita lebih hebat dari mereka,” celetuk Lilo dan diamini oleh ketiganya.
---888---
Fanya sudah sampai di kosan, ia merasa hari ini cukup menyulitkannya. Terutama kehadiran Azlan dengan maksud yang tidak benar-benar ia pahami. Namun, ketika ia mencoba untuk mengeluarkan jurus terakhir dengan tidak mempedulikanya. Bayangan Azlan semakin sering datang, seolah menghantuinya dengan senyuman menawan itu.
Fanya pun menjatuhkan dirinya di kasur dan mengacak rambutnya dengan frustasi. “Bego! Kenapa sih harus ingat dia terus?” gerutunya pada diri sendiri, merasa benci karena dengan gampangnya ia suka pada cowok seperti Azlan.
Fanya pun mencoba memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara handphonenya. Dilihatnya layar itu dan seketika ia terkejut saat tahu siapa yang meneleponnya. Terlihat mulai panic, tapi ia tidak segera mengangkat telponnya. Sampai-sampai Fanya salah mengangkatnya dari pada mematikannya. “Ah, sialan!” pekiknya.
“Siapa yang sialan?” tanya seseorang yang berasal dari handphonenya.
Fanya seketika membungkam mulutnya rapat-rapat, sudah puluhan makian dalam hatinya yang ia keluarkan untuk memaki dirinya sendiri yang begitu bego.
“Fan, ini gue Azlan. Lo dah nyimpen nomer gue, kan?” tanya Azlan dari balik ponsel Fanya yang entah semenjak kapan menjadi mode speaker.
Fanya mencoba memegang dadanya dengan tangan kiri dan menghela napas panjang tanpa suara. Ia mencoba untuk menetralkan kepanikannya. “Iya gue inget, ada apa ya Zlan?” tanya Fanya sedatar mungkin agar Azlan tak tahu kalau dia panic setengah mati.
“Gue ganggu nggak?” Terdengar suara lembut dan meneduhkan itu. Hati Fanya menjerit, meminta tolong untuk diselamatkan karena sekarang ia terkena virus bucin.
“Nggak juga, gue lagi mau ngelanjutin tugas lo.” Padahal Fanya masih guling-guling di kasur, salah tingkah hanya karena ditelpon Azlan.
“Em … gimana kalau kita nongkrong bareng aja di café depan kampus. Gue jemput deh,” tawarnya yang membuat Fanya menganga. Pikirannya berkecambuk dan merasa penasaran juga, antara ingin menolak tapi sayang karena ingin tahu maksud dari perkataan Azlan dengan mengajaknya nongkrong.
Fanya pun duduk, mencoba merapikan rambutnya yang acakan. “Emang ada apa ya?” Lagi-lagi pertanyaan itu terulang. Dasar Fanya, hanya bisa menjadi manusia monoton dan membosankan. Ia sendiri tidak tahu kenapa bertingkah seperti ini.
“Gue takut lo kesulitan, jadi kalau kita bahas bareng kan lebih mempermudah. Karena gue sama temen-temen pengen tugas itu cepet selesa. Biar lo ngerjain tugas kita yang lan,” sambung Azlan yang membuat Fanya mangut-mangut merasa alasan Azlan cukup masuk akal. Kalau pekerjaannya cepet selesai, berarti nantinya ia bisa menerima tugas lain dari para cowok ini kan dan itu tentunya bisa menambah penghasilannya. Lagi-lagi Fanya lebih memikirkan uang di atas apa pun.
“Baik, gue terima ajakan lo. Em … lo tau kan dimana kosan gue?” tanya Fanya takut Azlan belum tahu dimana kosannya.
“Gue tau kok, tenang aja. Lo siap-siap dulu dan tunggu gue,” balasnya, suaranya terdengar lebih riang dari sebelumnya. Fanya yang menyadarinya semakin merasa kalau dugaannya tentang perasaan Azlan kepadanya itu benar. Namun, keraguannya juga tak kalah besar, membuatnya memilih untuk mengabaikannya saja.
“Ya uda,” balas Fanya yang tidak sanggup lagi untuk mengatakan banyak kata. Ia lebih memilih untuk memutuskan sambungan telepon yang menggetarkan ini, membuat jantungnya berdegup tak menentu.
Fanya pun menghela napas panjang, merasa lega. “Bego lo Fan! Kenapa bilang ya terus, nggak nolak sama sekali? Apa sih yang ada dalam pikiran lo!” lirih Fanya yang mengomentari dirinya sendiri karena dengan mudahnya mengiyakan semua perkataan Azlan.
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya &
Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.Pada akhirnya Fanya pergi kekampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya? Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba N
Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta
Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat
Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.Pada akhirnya Fanya pergi kekampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya? Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba N
Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya &
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah sa
Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat
Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta