Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.
Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.
“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat Fanya mencari sosok itu dan benar saja Azlan berjalan dengan senyuman yang terus mengembang. Entah semenjak kapan, Fanya merasa kehilangan kesadarannya, hanya terfokus pada pesona Azlan. Jika Fanya sadar, ia pasti akan berakhir merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya disaat ia harus berjuang untuk menjadi wanita yang sukses, ia masih terjerat dengan yang namanya suka sama cowok. Menurut Fanya itu nggak elit, sebab masih banyak hal yang harus Fanya kejar.
“Fanya …,” panggil Azlan yang membuat Fanya dan Nadya terdiam. Masih memandang dengan kekaguman yang tak biasa pada sosok rupawan di hadapannya ini. Nadya pun sedikit melirik pada Fanya yang sepertinya mulai tersihir dengan kegantengan Azlan. Sungguh, seperti tokoh komik yang tiba-tiba keluar begitu saja di dunia yang kejam ini.
Nadya mencoba menyenggol Fanya agar cewek ini tidak semakin membuat dirinya malu. “Ayo jawab,” bisiknya yang membuat Fanya segera tersadar.
Memalukan! Lihat, Fanya mulai merutuki dirinya sendiri dalam hati.
Ia pun berdehem, untuk menetralkan kecanggungan dirinya. “Ada apa ya?” tanyanya Fanya yang berusaha menunjukkan sikapnya yang biasa saja, tapi Azlan tahu itu hanya bagian dari menjaga harga diri karena wajah Azlan menunjukkan pemakluman yang sepertinya sudah ia lakukan puluhan kali untuk memaklumi setiap cewek yang mengaguminya. Benar-benar sikap yang membuat Fanya merasa dalam posisi sial.
Azlan tersenyum dan cewek-cewek yang tersisa di aula terhipnotis. Seolah senyuman Azlan mempunyai kekuatan yang bisa menghentikan waktu karena kebanyakan dari mereka terhenti dari aktivitasnya dan memandang Azlan dengan tatapan kagumnya. Beberapa cewek yang telah sadar pun mulai memainkan handphonenya untuk menangkap momen langka ini.
Sekarang Fanya tahu, kenapa semua cewek bisa bersikap aneh seperti itu. Semua itu karena pesona tak biasa dari Azlan, senyumannya itu sungguh menentramkan jiwa.
“Gue cuman pengen kasih tambahan materinya. Soalnya kemarin ditambah tugasnya,” katanya dengan suara lembut. Azlan menyodorkan beberapa lembar kertas, sungguh ini pertama kalinya Fanya mendapatkan pelanggan yang berbeda. Biasanya anak-anak itu hanya akan mengirim judul materi dan sub-subnya saja. Tidak ada bahan pembahasan yang lainnya. Jika semua pelanggannya seperti Azlan, Fanya yakin tak harus menunggu lama dalam menyelesaikannya semua proposal ini dan ia akan menjadi kaya mendadak dengan cepat.
Fanya pun menerimanya dengan senang dan Nadya yang memperhatikannya hanya menertawainya. “Oh ya, ini gue juga bawain minuman buat kalian.” Bahkan Azlan membelikan dua cup minuman dingin membuat Fanya sedikit terkejut dan Nadya dengan senang hati menerimanya.
“Baik banget sih, makasih ya,” ucap Nadya berlebihan, membuat Fanya beberapa kali menyenggolnya dan Azlan lagi-lagi tersenyum melihatnya.
“Kalau kayak gini, ngerepotin lo dunk. Lain kali nggak usah.” Tolak Fanya yang merasa tak enak sendiri pada kebaikan Azlan. Memang dia mengagumi Azlan, tapi untuk mendapatkan kebaikan cuma-cuma dari cowok ini, Fanya tidak biasa dan tidak suka untuk mendapatkan kebaikan tanpa alasan yang kuat, apa lagi dari seorang cowok asing
Azlan menggeleng. “Nggak ngerepotin kok. Gue suka direpotin lo,” katanya yang memberikan efek kekagetan kedua. Seolah Azlan mengirim kode ketertarikannya dan itu bisa saja membuat seorang menjadi salah tingkah. Ini bahaya kalau saja Azlan membicarakan hal ini di depan cewek lain.
Nadya menyengir, ia sangat senang mengetahui fakta jika Azlan tertarik pada Fanya yang sebenarnya tak masuk dalam standar cewek yang menarik. Bayangkan saja, ia suka sekali memakai kacamata dan rambutnya yang tidak pernah ia urai karena Fanya tidak suka ribet dalam berpenampilan. “Cie … cie,” Bahkan Nadya tidak bisa menjaga mulutnya lagi. Ia gemas yang melihat Fanya masih tak merespon kode yang Azlan berikan. Jika itu dirinya, Nadya akan menanggapinya lebih cepat dari kecepatan cahaya.
Fanya menjadi belingsatan sendiri, apa lagi saat mulut Nadya mulai bersuara. Pertama kali dihidupnya yang membosankan ini, ada seseorang yang dengan terang-terangan mau direpotin olehnya. Membuat pikiran carut marut memenuhi kepalanya. Mendahulukan kecurigaan dari pada berpikir positif adalah andalan Fanya, karena itu tidak semua orang bisa masuk dan pergi dari kehidupan Fanya. Lebih tepatnya Fanya memberikan proteksi diri berlapis-lapis dari pada yang lain.
“Maksudnya apa, ya?” Akhirnya berakhir dengan respon yang tidak cukup baik dan Nadya yang melihatnya hanya menghela napas. Sepertinya, ia perlu memberikan pelajaran pada sahabatnya ini tentang bagaimana untuk bersosialisasi dengan benar.
Azlan tersenyum dan berjalan lebih dekat, kemudian mengacak rambut Fanya yang sudah kusut karena keseringan diikat dari pada diurai. “Lupain aja. Maaf ya, gue cuman pengen akrab aja sama lo. Sepertinya berteman sama lo menyenangkan,” lanjutnya dan Fanya terlihat kehilangan kata-kata. Tubuhnya menjadi tegang dan tidak tahu harus mengatakan apa.
“Tapi kalau lo nggak nyaman, nggak apa-apa. Cuman kalau lo butuh bantuan tentang tugas gue, lo bisa chat gue kok. Jadi, sampai ketemu lagi,” ucapnya yang kali ini pergi meninggalkan mereka berdua. Terlihat beberapa mahasiswi mengerubunginya, meminta nomer handphne Azlan, tapi hanya ditanggapi dengan senyum ramahnya saja.
“Lo liat itu, ‘kan? Azlan mau direpotin sama lo, bahkan dia juga mau dichat sama lo? Nikmat mana sih yang lo harus dustain? Dipeduliin sama cogan itu bener-bener nikmat yang tak tertandingi loh Fan.” Nadya menyerocos seperti pertigaan tanpa lampu merah, jalan terus.
“Terus, lo jawabnya datar kek lagi kebelet ke wc, tapi lo tahan seolah jaga image di depan cowok. Bener-bener bikin gue malu aja sebagai temen lo,” lanjut Nadya yang tak habis pikir, ia ikut merasa malu dengan sikap Fanya barusan, bahkan dia mengibas-ngibas badannya karena merasa panas dan greget.
Dari pada membalas dengan upaya ingin menang, Fanya malah menghela napas. “Gue nggak ngerti tu cowok maunya apa. Dia emang keliatan baik, tapi nggak baik juga kalau baik sama semua cewek. Bisa-bisa jadi salah paham dan baper. Gue ngerti dia pengen akrab, tapi nggak harus berlebihan kayak gitu, kan?” kata Fanya yang selalu dan selalu mengandalkan kelogisan. Meskipun di dalam hatinya sudah mencerit-cerit karena baper setengah mati sama ucapan Azlan.
“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah sa
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya &
Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.Pada akhirnya Fanya pergi kekampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya? Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba N
Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta
Semalaman Fanya tidak bisa tidur, ia merasa bingung dengan apa yang ia lihat. Apa itu hanya mimpi? Tapi Fanya masih merasakan nyeri pada lututnya saat membentur lantai. Geraman itu memenuhi otaknya, seperti sebuah mantra yang berkumandang setiap detiknya.Pada akhirnya Fanya pergi kekampus dengan kantong hitam yang membesar dimatanya. Terlihat lesu dan berjalan dengan pelan, bagimya lebih penting untuk tidak membolos dari pada harus mendapat nilai yang buruk.Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia melihat setiap orang yang ia temukan terlihat memandangnya kemudian berbisik seolah menggosipkannya. Fanya benar-benar tidak mengerti apa yang membuat mereka berbuat seperti itu. Sebab, dilihat dari sisi mana pun ia tidak menarik. Jadi, kenapa juga mereka harus begitu penting membahas dirinya? Dari pada mengambil pusing tatapan aneh mereka terhadapnya, Fanya lebih memilih untuk terus berjalan santai menuju kelasnya. Namun, ia terkejut saat tiba-tiba N
Malam dingin dengan rembulan yang menggelayut manja di tengah ribuan bintang yang bertaburan menjadi saksi gejolak hati Fanya terhadap keterusterangan Azlan tentang perasaannya. Dari pada menjawab, Fanya hanya memandangnya dengan jutaan praduga dalam otaknya, sesekali menghela napas merasa tak percaya jika seorang seperti Azlan menyukainya tanpa alasan yang kuat. Padahal sejatinya, menyukai seseorang pun tidak perlu memiliki alasan yang kuat, semua mengalir seperti derasnya air sungai yang bermuara dibanyak tempat.Melihat respon Fanya yang masih tidak mempercayainya, membuat Azlan semakin bersemangat untuk membuat Fanya percaya sekaligus menggoda cewek ini. Fanya, sepertinya cewek yang sedikit berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Ia memiliki prinsip dan tujuan yang jelas dalam hidupnya, berpikir logis dan mengutamakan kerealistisan dalam banyak aspek.“Gue tau, lo pasti nggak percaya, kan?” tanya Azlan.Fanya tersenyum yang seolah membenarkannya &
Hari sudah semakin gelap, saat sebuah mobil sport memasuki gang yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatnya melaju tanpa hambatan. Hanya saja, terlihat lebih mencolok meskipun mobil sport itu berwarna hitam. Seolah mobil jenis seperti itu tak layak untuk masuk dalam gang seperti ini.Sementara, di depan sebuah kosan, seseorang yang akan dijempur oleh mobil sport warna hitam tersebut terlihat sedang mondar-mandir, merasakan perasaaan yang bercampur aduk. Memikirkan setiap kemungkinan yang akan menimpanya nanti. Bukankah ini hanya sebuah acara pertukaran pendapatan untuk menyelesaikan sebuah tugas, kenapa gadis ini terlihat sedang akan berperang melawan musuh?“Fan ….” Seseorang berusaha memanggil Fanya dan ia segera menoleh. Mendapati sebuah mobil Lamborghini warna hitam cukup menyilaukan untuk masuk dalam gang menuju kosannya yang sempit ini. Dia adalah Azlan yang kali ini turun dari mobilnya, terlihat begitu tenang dan santai membuat Fanya
“Gue dalam sehari dah berhasil nahlukin si Acha. Sementara lo, lama banget buat dapetin si cupu.” Lilo menjatuhkan dirinya di sofa dengan malas. Ia tak habis pikir, Azlan yang lebih banyak memiliki penggemar cukup sulit membuat Fanya menyukainya.Azlan tersenyum. “Seharusnya berhasil, tapi sepertinya dia cukup keras kepala,” jawab Azlan dengan santai, ia tidak terlihat terpacu atau merasa terbebani sedikit pun. Sepertinya hal seperti ini sudah sering mereka lakukan. Mengelabuhi para cewek-cewek.“Masih ada dua hari, setelah itu jangan lupa untuk memberi kami beberapa villa di puncak,“ sahut Tora yang mencium bau kemenangan yang akan ada dalam genggamannya beberapa saat nanti.Azlan lagi-lagi tersenyum. “Sebenarnya apa rencanakan kalian? Apa ada sesuatu yang tersembunyi di puncak?” Azlan sedikit heran, ia tidak memprotes permintaan temannya tentang villa. Keluarganya yang kaya itu memiliki bisnis yang luas, salah sa
Ruang aula yang semakin sepi karena baru saja perkuliahan telah selesai, tapi Fanya masih berkutat dengan tugas-tugas mahasiswa yang telah mempergunakan jasanya. Ditemani Nadya yang masih chatting dengan pacarnya. Awalnya keadaan begitu tenang, sampai suara kasak-kusuk dari beberapa mahasiswi memenuhi aula. Nadya yang penasaran pun mencoba mencari apa yang sebenarnya mereka gosipkan dan matanya pun membelalak saat melihat sosok tak asing berjalan mendekati mereka.Cowok bertubuh jangkung dengan badan proposional, mirip seperti pebasket professional. Memakai kemeja biru polos yang dimasukkan kedalam celana. Berjalan penuh percaya diri dengan wajah ramah yang tak dibuat-buat. Nadya mencoba menepuk bahu Fanya dengan tidak beraturan, membuat Fanya yang begitu serius merasa terganggu. “Apaan sih?” protesnya. Fanya dikejar deadline dan Nadya tidak seharusnya mengganggunya seperti ini.“Mampus, Azlan mau ke sini,” katanya yang membuat
Masih terlalu pagi, bahkan mentari masih bersembunyi dibalik awan. Namun, seorang gadis sudah terlihat begitu sibuk memainkan keybord laptopnya. Di dalam kos-kosan yang sempit ini, tidak ada barang yang lebih berharga kecuali laptop merek apple yang menjadi bukti kalau dulu ia pernah menjadi anak seorang pengusaha yang sekarang menjadi bangkrut. Membuat kedua orang tuanya harus kembali ke desa, tinggal bersama neneknya. Sementara ia harus memperjuangkan mimpinya untuk menjadi orang sukses di kota.“Serius Fan, nggak mau olahraga pagi? Anak kosan komplek sebelah ganteng-ganteng loh.” Seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia adalah Nadya teman sekampus Fanya.Fanya hanya nyengir, tapi tangannya tidak berhenti mengetik. Seolah ia mengetahui letak seluruh huruf dan angka yang ada di keybord ini. “Gue lagi ngerjain sepuluh proposal, satu proposal itu gue hargai seratus ribu, kalau sepuluh gue bisa dapat sejuta. Lumayan kan, bisa buat tambahan-ta