Sebelas tahun yang lalu. . .
“Ayah. . . .” teriak Arsyanendra yang berlari menuju ke ayahnya.
“Ada apa dengan putraku ini?”
Pangeran Davendra Balakosa memandang ke arah putra tunggalnya dengan wajah tersenyum. Sementara itu, Arsyanendra Balakosa menatap wajah ayahnya dengan bibir cemberut.
“Kenapa ayah mengijinkan Surendra untuk membuang beberapa mainanku tanpa ijin dariku?”
“Ehm. . . .” Davendra Balakosa menatap wajah putranya lagi dengan senyuman yang sama. “Sudah waktunya kamu berhenti bermain – main dengan mainan itu, Arsya. Karena mainan itu, kamu terus tidak fokus dengan pelajaranmu sebagai calon putra mahkota. Dengan alasan itu, Ayah menyetujui permintaan Surendra untuk membuang semua mainanmu yang sudah tidak berguna lagi.”
“Tapi Ayah. . . mainan itu adalah peninggalan ibu. Ayah tidak bisa membuangnya begitu saja. Ibu tidak banyak meninggalkan sesuatu untukku ketika aku merindukannya.”
<Sejak kejadian nahas itu, Arsyanendra akhirnya menyadari bahwa meski Surendra terlihat kejam padanya. Namun dalam hati Surendra. . . Arsyanendra adalah seseorang yang harus dijaganya dengan baik meski itu harus mengorbankan nyawanya sendiri. Arsyanendra pernah bertanya kepada Surendra ketika Surendra berada dalam perawatan akibat cakaran dari harimau itu. “Kenapa kamu tidak lari dan malah datang ke tempatku berada? Kamu bodoh Surendra. Aku melepaskan tembakan itu untuk memberi peringatan kepadamu untuk lari dan bukannya untuk datang ke arahku.” “Saat itu jika aku lari, Yang Mulia yang akan berada dalam bahaya. Beberapa pohon yang berada di sekitar rumah pohon milik Yang Mulia mampu menjadi pijakan bagi harimau itu untuk naik ke atas di mana Yang Mulia berada,” jelas Surendra. “Jadi. . . jika aku menyelamatkan diri saya sendiri, maka Yang Mulia yang mungkin akan berada dalam bahaya. Terlebih lagi. . . lokasi Yang Mulia berada s
Setelah menukar semua chip hasil kemenangan judinya, Arsyanendra dan Ravania kemudian keluar dari area kasino. Dengan membawa tas besar yang berisi banyak uang, Arsyanendra dan Ravania berjalan keluar dari kasino bawah tanah. Melihat kedatangan Arsyanendra yang menyamar sebagai pria tua, Surendra yang sejak tadi bersiaga menunggu kemudian segera mendatangi Arsyanendra bersama dengan mobilnya. “Kenapa lebih cepat dari seharusnya, Yang Mulia?” tanya Surendra dengan menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat Arsyanendra. Arsyanendra melirik ke arah Ravania yang duduk di sampingnya, “Pemandangan yang kami lihat hari ini lebih buruk dari biasanya. Nona Indhira tidak sanggup melihatnya. Apa ada air?” “Ada, Yang Mulia.” Surendra segera memberikan air mineral yang dibawanya sebagai persiapan untuk Arsyanendra. “Ini, Yang Mulia.” “Terima kasih.” Arsyanendra menerima air mineral pemberian Surendra dan memberikannya kepa
“Sesuatu yang buruk?” Ravania mengulangi pertanyaan yang diucapkan oleh kepala desa. “Apa maksudnya dengan sesuatu yang buruk?” “Pasukan kecil milik kaum aristokrat datang kemari dan meminta kami menyerahkan pemuda pemudi yang ada di desa ini untuk dijadikan pekerja oleh mereka. . .” Ravania yang mendengar jawaban dari kepala desa kemudian menatap Arsyanendra dengan wajah heran dan bertanya, “Maksud dari pekerja di sini, jangan katakan kalau itu sesuatu yang sedang aku pikirkan saat ini, Yang Mulia.” Arsyanendra menatap datar ke arah kelompok warga kecilnya yang berjumlah sekitar seratus orang itu dan membalas ucapan dari Ravania, “Sayangnya, apa yang terjadi sama dengan yang ada di dalam pikiranmu, Nona Indhira.” Kepala desa yang mendengar nama peran yang saat ini diperankan oleh Ravania kemudian terkejut dan langsung menggenggam kedua tangan Ravania. “Mungkin Nona Indhira ini adalah anak dari Tuan Abinawa Darmaw
Surendra yang duduk di samping kursi pengemudi dan ikut mendengarkan penjelasan dari Arsyanendra kemudian menolehkan kepalanya ke belakang. “Mohon maafkan saya sebelumnya, Yang Mulia. Tapi sepertinya penjelasan itu terlalu rumit untuk Nona Indhira.” Ravania menganggukkan kepalanya. “Ya, Yang Mulia.” “Benarkah?” Arsyanendra kemudian menatap ke arah Ravania dengan tatapan tidak percaya. “Kalau begitu, Nona Indhira bisa menanyakannya besok kepada Narendra, sepupuku itu. Dalam hal berjudi, dia jauh lebih baik dari aku.” “Benarkah itu,. Yang Mulia? Kukira Tuan Narendra tidak pernah menang dari Yang Mulia.” Ravania memandang Arsyanendra dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. “Memang dia lebih hebat dariku, tapi sayangnya keberuntungan milik Narendra kecil sehingga dia tidak pernah dariku meski itu hanya sekali,” ucap Arsyanendra dengan suara datarnya. Ravania yang mendengarkan ucapan Arsyanendr
Ravania yang telah selesai membersihkan dirinya kini berbaring di atas ranjangnya lengkap dengan pakaian tidurnya. Setelah satu jam lamanya berbaring di atas ranjangnya, Ravania benar – benar tidak bisa memejamkan matanya karena pikirannya yang masih melayang – layang karena pertanyaannya yang belum terjawab oleh Arsyanendra. Ravania yang kesal, kemudian membuat keputusan. Ravania bangkit dari tempat tidurnya dan memakai jubah tidurnya dan kemudian berjalan keluar dari kamar tidurnya. Dalam lorong yang sedikit gelap karena kebijakan dari Arsyanendra untuk berhemat menggunakan listrik, beberapa lorong panjang hanya memiliki penerangan yang minim. Dalam keadaan yang sedikit gelap, Ravania kemudian membulatkan tekadnya untuk menemui Arsyanendra dan menanyakan pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tertidur. Tok. . . tok. . . “Yang Mulia. . .” Ravania memanggil Arsyanendra dengan suaranya yang sedikit lirih. “Siapa?”
Ini dia. Aku tidak menyangka jika Ravania pernah meragukan jati dirinya sendiri sebagai anak dari keluarga Hargandi. Ini artinya memang ada sesuatu yang terjadi di masa lalu yang tidak diketahui oleh Ayah dan aku. Sebuah rahasia besar yang disembunyikan oleh Tuan Abinawa Darmawangsa mengenai sosok Ravania. Aku tidak pernah percaya jika ada manusia yang memiliki wajah yang mirip bahkan hingga mendekati seratus persen, kecuali mereka memiliki hubungan. “Apa maksud ucapan Nona ini?” tanya Arsyanendra dengan berusaha menyembunyikan rasa penasaran dan bersikap seolah tidak terlalu peduli. “Hanya sebuah desas – desus kecil yang mengatakan bahwa aku bukanlah putri dari keluarga Hargandi. Karena hal itu, aku pernah melarikan diri dari rumah hingga membuat kakakku, Ardizya terluka dan nyaris melukai tangannya yang berharga.” “Ah, pelukis dengan nama Bagram itu bukan?” t
Senyuman Raja Ketiga Hindinia yang berbeda dari senyuman biasanya menarik perhatian tiga wanita lain yang duduk tidak jauh dari Kandidat Indhira Darmawangsa. Tepat di samping Indhira duduk kandidat tiga yang bernama Zia yang merupakan putri angkat dari Yasawirya Pramanaya. Zia yang dikenal selama ini hidup dengan aturan ketat karena ayah angkatnya yang merasa bersalah kepada Putra Mahkota Davendra menekankan kepada Zia untuk kelak selalu membantu Arsyanendra Balakosa yang kini telah duduk di takhta sebagai Raja Ketiga Hindinia. Zia telah lama memperhatikan sepak terjang Arsyanendra Balakosa dan menyadari Arsyanendra Balakosa memang pantas untuk duduk di takhta itu. Karena itu ketika Zia mendengar namanya dipilih sebagai kandidat calon Ratu Hindinia, Zia merasa senang. Kesempatan yang telah ditunggunya selama ini, kini telah datang. Kini Zia dapat membantu Arsyanendra Balakosa untuk menjadi Raja yang sesuai demi kedamaian Hindinia nantinya. Namun hari ini,
“Berburu??” gumam Ravania. Ravania benar – benar tidak menyangka jika ujian pertama yang harus dilewatinya untuk menjadi Ratu Hindinia adalah berburu. Sesuatu dalam benak Ravania kemudian teringat dengan perburuan gila yang sebelumnya dilihatnya di dalam hutan istana. Kuharap ini tidak seperti yang aku bayangkan. “Baiklah, saya akan menjelaskan perburuan apa yang dimaksud dalam berburu kali ini kepada keempat kandidat calon Ratu Hindinia.” Pembawa acara itu seakan memahami benak Ravania yang terkejut mendengar ujian pertamanya untuk menjadi Ratu Hindinia. “Mendengar kata berburu, para hadirin di sini bersama dengan Yang Mulia dan empat kandidat calon Ratu Hindinia pasti membayangkan berburu hewan di hutan menggunakan kuda dan panah.” Para hadirin kemudian menjawab dengan serentak, “Ya.” “Tapi berburu yang dimaksud dalam ujian bukan berburu dalam arti sebenarnya. Melainkan berburu hati rakyat Hindinia. Kepada e
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.