“Tuan Surendra. . .”
“Ya, Nona Indhira. . .”
Surendra yang hendak kembali ke ruang kerja Arsyanendra menghentikan langkahnya ketika mendengar namanya dipanggil oleh Ravania yang sedang berperan sebagai Indhira Darmawangsa.
“Apakah Nona Virya yang merupakan sepupu Yang Mulia itu berada di pihak Yang Mulia atau justru berada di pihak lawan?”
Surendra tersenyum mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Ravania saat ini kepada dirinya. Dengan bijak, Surendra kemudian memberikan jawabannya kepada Ravania.
“Silakan tanyakan hal itu kepada Yang Mulia, Nona Indhira. Saya tidak punya hak untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi jika Nona yang bertanya langsung kepada Yang Mulia, Nona pasti akan mendapatkan jawaban dari Yang Mulia.”
“Baiklah, nanti aku akan bertanya sendiri kepada Yang Mulia.”
Setelah itu, Surendra pergi meninggalkan ruangan Ravania.
“Persiapkan guru terbaik untuk Indhira. . “ Arsyanendra yang baru saja keluar dari ruangan Ravania langsung memberikan perintah kepada Surendra. “Guru apa saja yang perlu saya siapkan, Yang Mulia?” “Bagaimana menurutmu, Surendra? Kamu sudah menemaniku dalam waktu yang cukup lama. Kira – kira guru apa saja yang diperlukan oleh Indhira untuk membuatnya menang dalam pemilihan menjadi Ratu Hindinia?” “Seperti yang Tuan katakan tadi, Nona Ravania memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai negara Hindinia mengingat dia bekerja sebagai aktivis pendukung kaum preletar sebelum ini.” “Benar.” Arsyanendra menjawab dengan singkat sembari terus mendengarkan dengan saksama penjelasan Surendra. “Yang Mulia bisa mengirim seseorang yang menurut Yang Mulia bisa dipercaya untuk menguji pengetahuan milik Nona Indhira.” “Kurasa aku tahu siapa kandidat yang cocok dengan itu.” “
“Kakak. . .” Narendra Balakosa yang pulang dalam keadaan mabuk merasakan suara yang memanggil namanya dan memaksanya untuk bangun dari tidurnya. Kepalanya yang masih terasa pening dan pusing membuat Narendra enggan untuk membuka kedua matanya yang masih terpejam apalagi bangun dari tidurnya. “Kakak. . . . . .” Narendra yang mendengar suara itu kemudian menggerakkan tangannya berusaha menemukan bantal. Setelah beberapa kali mencari, Narendra kemudian meraih bantal yang dapat diraihnya dan menutup kepalanya dengan bantal itu, berusaha untuk menghalangi suara yang mengganggu tidurnya yang nyenyak itu. Brak. . . . Suara pintu kamar tidur Narendra yang terbuka dengan kencang, akhirnya berhasil membuat Narendra menggeliat dan bangun dari tidurnya karena rasa terkejutnya. “Virya. . .” Narendra yang mengenali suara adiknya yang memanggilnya sejak tadi kini membalas panggilan adiknya, Virya dengan sed
Tok. . . tok. . . Kamar pribadi Arsyanendra dan membuat Arsyanendra yang sedang terbenam dalam pikirannya yang sedang menyusun rencana sedikit tersentak. “Yang Mulia. . .” Arsyanendra mengenali suara itu. Surendra. “Masuklah, Surendra.” Kret. . . kret. . . Pintu besar ruangan Arsyanendra terbuka dan Surendra berjalan masuk dengan sikap gagahnya. Melihat amplop putih dengan cap Balakosa di bagian luarnya, Arsyanendra sudah bisa menebak dengan jelas maksud kedatangan Surendra kali ini. “Dari siapa surat itu? Virya atau Narendra?” Arsyanendra berusaha menebak surat yang sedang digenggam oleh Surendra dan hendak diberikannya kepada Arsyanendra. “Keduanya.” Surendra kemudian mengulurkan tangannya dan meletakkan kedua surat itu di atas meja santai di kamar pribadi Arsyanendra yang sedang duduk menatap ke jendela besar di kamar pribadinya. Di antara
Arsyanendra melihat bibir maju di wajah Ravania yang mengartikan bahwa sesuatu yang berat akan dihadapi oleh Ravania. “Yang Mulia. . .” Ravania memanggil Arsyanendra hendak mengeluarkan keluhannya mendengar penjelasan Arsyanendra. Arsyanendra tersenyum dan kemudian menjawab panggilan Ravania. “Ya, Nona Indhira. Aku tahu apa yang ingin Nona katakan padaku. Tapi. . . aku sudah membicarakan hal ini kepada Surendra. Aku sempat berpikir untuk membuat Surendra menjadi gurumu, tapi tugas yang dimiliki Surendra sudah terlalu banyak. Jadi aku hanya bisa menjadikannya gurumu untuk materi dansa, seni lukis dan opera yang sekiranya tidak membutuhkan waktu yang banyak bagimu untuk belajar, Nona.” Cemberut di bibir Ravania semakin maju membuat Arsyanendra berusaha keras menyembunyikan tawanya karena bisa dengan mudah membaca apa yang ada di dalam pikiran Ravania saat ini. Dia benar – benar kesal karena harus menghadapi Narendra,
Virya memandang ke arah larinya Indhira Darmawangsa dari ruangannya berada. Melihat punggung Indhira Darmawangsa yang semakin tidak terlihat, membuat Virya akhirnya menyadari alasan dari Yang Mulia yang memilih Indhira Darmawangsa sebagai salah satu calon dari kandidat Ratu Hindinia. Dia memiliki kebebasan yang tidak kami miliki. Kami yang sejak lahir terikat dengan darah Balakosa, tidak memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang kami inginkan. Sejak kecil, seluruh kehidupan yang dimiliki keturunan Balakosa adalah penuh dengan jadwal belajar yang rumit. Sejak kecil, kami dipaksa untuk memahami Hindinia bersama dengan seluruh rakyat di dalamnya. Bahkan ketika kami belum memahami diri sendiri. Benar, inilah alasan Yang Mulia memilihnya untuk menjadi juru bicara kaum proletar. Alasan yang tidak mungkin akan dimiliki oleh keturunan Balakosa yang hidup
Setelah lima belas hari tidak bertemu dengan Arsyanendra, Ravania yang sibuk dengan pelajaran – pelajarannya kemudian tidak sengaja bertemu dengan Arsyanendra yang sedang bersantai di taman Istana sama seperti dirinya.“Yang Mulia. ..”Ravania memberikan salamnya dengan menundukkan sedikit kepalanya kepada Arsyanendra ketika melihat Arsyanendra sedang duduk menatap langit biru di siang hari.“Selamat siang, Nona Indhira.”Arsyanendra yang melihat kedatangan Ravania kemudian membalas salam dari Ravania.“Lama tidak bertemu, Yang Mulia.”Ravania kemudian berdiri di samping Arsyanendra dengan menjaga jarak yang pas dan sopan menurut Ravania.“Lama tidak bertemu juga, Nona Indhira. Bagaimana dengan pelajaranmu, Nona Indhira?”“Baik, Yang Mulia.”Arsyanendra yang melihat Ravania berdiri di sedikit jauh dari tempatnya be
Untuk beberapa saat setelah mobil yang ditumpanginya mulai berjalan Ravania yang terkejut dan membeku mendengar jawaban dari Arsyanendra, masih berusaha keras untuk mencerna jawaban dari Arsyanendra. Setelah satu menit lamanya, Ravania akhirnya berhasil membuka mulutnya untuk memastikan jawaban dari Arsyanendra. “Kasino? Kenapa Yang Mulia membawaku ke sana? Apakah keluarga kerajaan boleh datang ke kasino? Terlebih lagi Yang Mulia adalah Raja Hindinia, apakah ini adalah tindakan yang tepat, Yang Mulia?” Arsyanendra mengangkat tangan kanannya dan kemudian menjentikkan jarinya di kening Ravania. “Auuwww. . .” Ravania meringis kesakitan menahan rasa sakit di keningnya akibat jentikkan Arsyanendra. “Reaksimu benar – benar terlambat, Nona Indhira. Butuh satu menit bagi Nona Indhira untuk mencerna ucapanku. Lihat ini. . .” Arsyanendra menunjukkan tas besar yang tadi di letakkannya di antara dirinya dan Ravania. “
Sebelas tahun yang lalu. . . “Ayah. . . .” teriak Arsyanendra yang berlari menuju ke ayahnya. “Ada apa dengan putraku ini?” Pangeran Davendra Balakosa memandang ke arah putra tunggalnya dengan wajah tersenyum. Sementara itu, Arsyanendra Balakosa menatap wajah ayahnya dengan bibir cemberut. “Kenapa ayah mengijinkan Surendra untuk membuang beberapa mainanku tanpa ijin dariku?” “Ehm. . . .” Davendra Balakosa menatap wajah putranya lagi dengan senyuman yang sama. “Sudah waktunya kamu berhenti bermain – main dengan mainan itu, Arsya. Karena mainan itu, kamu terus tidak fokus dengan pelajaranmu sebagai calon putra mahkota. Dengan alasan itu, Ayah menyetujui permintaan Surendra untuk membuang semua mainanmu yang sudah tidak berguna lagi.” “Tapi Ayah. . . mainan itu adalah peninggalan ibu. Ayah tidak bisa membuangnya begitu saja. Ibu tidak banyak meninggalkan sesuatu untukku ketika aku merindukannya.”