Sasha memandang tombol merah di hadapannya. Ia menggigit bibirnya, ragu luar biasa. Ia bentul-betul tak yakin apakah hal yang dilakukannya ini benar. Maksudnya—ia membantu membatalkan sebuah pernikahan!
Ting!
Ponsel di tangan Sasha berdenting. Dengan jemarinya yang basah ia menggeser layar ke atas, lantas mengetuk sebuah pesan baru dari kontak berlabel nama 'Pacar Kak Nala'.
Lakuin sekarang! Bunyi pesan itu.
Sasha mengantongi ponselnya. Kanan, kiri, ia menoleh memastikan tak ada orang. Lalu ia mengepalkan tangannya, menguatkan diri sebelum...
Kriiiiiiiig!
Alarm kebakaran itu meraung kencang. Menulikan telinga Sasha yang masih gemetar menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
Tanpa menunggu lebih lama, ia tergesa pergi diikuti bunyi-bunyi langkah kaki serta manusia-manusia yang menghambur keluar ruangan, pontang-panting menyelamat dar
Fanala mengeliat kecil sebelum membuka matanya yang terasa berat. Kepalanya pusing, kerongkongannya juga kering hingga terasa sakit. Beberapa kali ia mengerjap hingga menyadari bila ia tak berada di kamarnya. Dan terasa ada yang salah dengan matanya karena sulit sekali dibuka.Fanala beranjak duduk seraya mengingat-ingat di mana ia berada. Tak butuh usaha besar untuknya ingat bila ia berada di apartemen Kak Elma. Karena kemarin dengan jahatnya ia membatalkan pernikahannya dan membiarkan laki-laki yang ia kecewakan untuk menanggung semua kesalahannya.Usai mengembuskan napas berat, Fanala melangkah turun dari ranjang. Gontai langkahnya menuju toilet di sudut kamar bernuansa biru dan pink lembut itu. Di depan cermin, ia memandangi wajah kusamnya. Matanya bengkak dan merah. Hidung berarir, sebab terlalu banyak menangis ia jadi pilek. Ia tampak menyeramkan sekaligus menyedihkan. Perpaduan yang aneh.Fanala menyalakan
Bab 39 "Mau ke mana kamu?" Sasha yang tengah sibuk memindahkan beberapa pakaiannya dari dalam koper ke dalam sebuah ransel agar tak membawa terlalu banyak barang, menoleh. Didapatinya Karel berdiri di ambang pintu kamar dengan tangan yang bersidekap di depan dada. Sejenak ia gelagapan. Namun segera ia mengatur wajah dan suaranya agar terdengar normal. Lagipula ia heran sekali, seingatnya semalam kakaknya ini masih mendiamkannya usai marah besar karena keikutsertaannya dalam menggagalkan pernikahan Kak Nala. Tapi kenapa sekarang sudah mengajaknya bicara lagi? Tidak bisa ditunda sajakah inisiatifnya itu untuk menegurnya? Ya, setidaknya sampai setelah keberangkatannya. "Biasa, liburan," sahut Sasha sok tak acuh. Padahal jantungnya sudah berpacu dengan cepat, takut Karel dan membaca gelagat anehnya. Sebab seberapa pun keranjingannya ia berlibur, ia belum pernah berangkat liburan hanya setelah bebe
Bab 40Gathan menatap lekat layar ponselnya. Netranya fokus pada sebuah wajah berbingkai bundar di sana. Kemarin ia berjanji untuk melepaskan segalanya; mulai dari sosoknya, hingga kenangan tentangnya. Namun nyatanya, ia kembali lagi ke sini. Menatap wajah yang begitu akrab itu lamat-lamat, meresapi setiap rasa perih, getir, rindu, serta kebas yang datang silih berganti. Memang cari mati.Ibu jari Gathan mengusap layar ponselnya ke atas. Kolase foto itu masih sama dengan satu pekan yang lewat. Tak ada tambahan foto baru; foto pernikahan, misalnya. Namun hal itu justru membuat Gathan bersyukur, setidaknya patah hati itu masih tertunda—persetan dengan melepas dengan ikhlas! Niat memang mudah, melakoninya ternyata lebih susah dari yang ia kira.Jika ia pikir-pikir, Fanala itu memang semacam candu baginya. Dulu ketika ia masih remaja, ia kecanduan menemui Fanala hingga berkali-kali meninggalkan barangnya d
Sasha menekan bel di sisi pintu. Tak lama, pintu terkuak, menampakkan wajah Kak Arbii yang lusuh. Kelihatannya mantan-calon-suami-Kak-Nala itu baru bangun tidur.Selewat beberapa detik mengerjap memandangi tamunya, Kak Arbii bergeser lalu membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan Sasha untuk masuk."Masih bisa molor lo, Kak," ujar Sasha, melangkah melewati ambang pintu."Semalem gue gak bisa tidur sama sekali," balas Kak Arbii, mengekori Sasha. "Gak usah merendahkan kesedihan gue ya, lo.""Halah," balas Sasha, menempati sofa panjang berwarna biru pastel. Di biarkannya ranselnya tergeletak di lantai. "Sedih dibikin sendiri. Sok sadboy lo, Kak.""Bacot lo, Sha!"Kak Arbii melemparkan tubuh ke sisi Sasha, menumpukan kakinya yang berselonjor di atas pahanya, yang segera ia tepis hingga jatuh ke lantai. "Berat banget kaki lo, Kak!" omelnya. "
Arbii duduk bersama Sasha dalam satu sofa panjang yang tadi sempat mereka tempati bersama. Mereka berdua duduk menghadap Karel yang berlaku seolah hakim yang akan menghukum mereka hanya karena imajinasinya yang liar.Arbii sebetulnya tak terlalu peduli dengan asumsi Karel yang tidak-tidak. Ia hanya khawatir jika Fanala muncul tiba-tiba dan rencana mereka terbongkar. Sebab sama sekali tak ada jaminan Karel akan bungkam dari keluarga mereka, bahkan bila ia memohon seraya bersujud di hadapannya agar merahasiakan kenyataan bila Fanala lah yang membatalkan pernikahan mereka dan hendak menemui Gathan. Ia tak mau Fanala dipersalahkan atas apa pun. Kendati dia telah menyakiti hatinya."Kak, gimana ini?" bisik desis Sasha di muka telinga Arbii. "Kak Karel pasti salah paham ini sama kita berdua. Bisa disidang keluarga, kita."Arbii hanya mengangkat bahunya, tak acuh. Sorry, Sha, keselam
Bab 43"Jelasin!" tuntut Karel. Sekali lagi ia berperan sebagai hakim. Dan terdakwa di sofa panjang kini bertambah seorang lagi; Fanala."Rel," ujar Fanala lembut, "dari mana lo tahu kita di sini?""Nah!" seru Arbii. "Tadi gue sampe lupa mau nanyain ini karena lo sibuk nyudutin gue selingkuh sama adek lo," terangnya sengit. Bodohnya sekali ia bisa sampai lupa menanyakan hal ini walau sebetulnya ia sudah menduga pastilah Sasha yang membawa peliharaan galak Fanala ini. "Sekarang jawab pertanyaan Fanala!""Lo nuduh Arbii selingkuh sama Sasha?!" Suara Fanala meninggi. Mau tak mau Arbii tersenyum kecil mendapati kemarahan Fanala akan ide liar Karel yang menyudutkannya. Andai saja mereka hanya berdua di sini, ia pasti sudah khilaf dan mencium Fanala saking gemasnya. Huh! Sayang sekali waktu dan tempatnya tak tepat, terlebih lagi situasi hubungan mereka sudah gawat.
Bab 44Sasha kira akan ada pertempuran sengit, atau sekurang-kurangnya adu bacotan. Namun ternyata saat Kak Karel dan Kak Arbii kembali, keadaan tenang-tenang saja. Kak Karel bicara santai tanpa urat leher mengencang. Walau memang agak mengejutkan saat Kak Arbii mengatakan bila Kak Karel akan ikut dalam ekspedisi menemui Gathan ini.Sebetulnya Sasha senang-senang saja semua berakhir tenang begini. Karena jika Kak Karel tak menerima dengan baik rencana Kak Arbii semua pasti kacau balau. Terlebih lagi dengan sikap keras kepala Kak Karel. Akan sulit membuatnya reda jika sudah meledak. Namun, ketenangan Kak Karel malah menaikan kewaspadaannya. Rasanya seperti ketenangan laut sebelum tsunami. Karena rasanya aneh sekali Kak Karel selunak ini. Dengan Kak Nala dan Gathan dalam urusan yang sama! Aneh! Ia malah takut Kak Karel berbuat yang tidak-tidak di sana nanti. Apalagi dengan kondisi Gathan sekarang."Kak, menuru
Bab 45"Saya bisa sendiri," ujar Gathan dengan begitu dinginnya pada Kinan."Tapi Tante nyuruh Kinan anter Mas Gathan sampai kamar, Mas." Kinan menolak perintah Gathan untuk membiarkanya melanjutkan perjalanan ke kamarnya sendiri. Ia keukeuh mendorong kursi roda Gathan melintasi koridor singkat yang memisahkan ruang tamu dan ruang makan.Gathan menengok ke belakang, mendelik tajam pada Kinan. Keteguhan yang dipaksakan terpampang jelas di wajah Kinan yang lembut itu. Hingga nyaris saja Gathan tertawa geli melihatnya. Namun tentu saja urung karena tertawa terlalu kontras dengan emosi yang menguasainya saat ini. Bisa-bisa ia dikira gila karena perubahan emosi yang teramat drastis. Lagipula godaan untuk tertawa itu tak sebegitu besarnya, dan bukan jenis tawa bahagia tapi lebih ke tawa kasihan."Kinan!" ujar Gathan, begitu singkat, begitu tajam, begitu mengancam. Membuat Kinan yang m