Emely memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan emosi yang terasa semakin membuncah. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kamu tahu tidak, Blue, apa yang sebenarnya membuat masalah ini jadi sebesar ini? Ini bukan soal sejauh mana kamu bermain api dengan mantan istrimu. Ini soal kebohonganmu!"Ia menunjuk ke arah Blue dengan gerakan cepat, membuat pria itu terdiam kaku. "Kamu pikir semua hal bisa kamu anggap remeh begitu saja? Kebohongan yang kamu anggap kecil itu, lama-lama akan jadi masalah besar. Karena apa? Karena kamu akan terus menutupi kebohonganmu dengan kebohongan lain. Dan sementara itu, kamu akan menertawakanku yang kamu anggap bodoh karena sudah berhasil kamu tipu mentah-mentah!"Blue hanya menatap Emely dengan ekspresi penuh penyesalan, namun ia tetap bungkam. Emely, di sisi lain, terlihat terengah-engah, seperti kehabisan napas setelah melampiaskan emosinya."Dan yang paling aku benci," lanjut Emely. “Adalah ketika aku terlihat seperti orang bodoh di dep
***Emely perlahan membaringkan tubuhnya di atas ranjang Amara. Dengan posisi miring, ia menatap wajah gadis kecil itu yang tampak damai dalam tidurnya. Emely membawa sebelah tangannya untuk memeluk tubuh mungil Amara, menciptakan kehangatan di antara mereka.‘Ketika kamu besar nanti, aku yakin kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik hati,’ batinnya sambil menatap lembut wajah polos Amara. Emely mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kening gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang.Meskipun Emely sangat membenci Lidya, ibu kandung Amara, perasaannya terhadap gadis kecil ini sama sekali tidak terpengaruh. Tidak ada kebencian, tidak ada kekesalan. Amara adalah anak yang baik, lucu, dan menggemaskan. Terlepas dari siapapun ibunya, Emely tahu ia akan tetap menyayangi Amara tanpa syarat.Hampir lima belas menit berlalu. Emely masih berbaring memeluk hangat tubuh mungil Amara, menikmati momen penuh ketenangan itu. Namun, tiba-tiba pintu kamar
“Ughh!” Emely dengan refleks menutup mulut menggunakan sebelah tangan ketika rintihan penuh kenikmatan itu lolos dari bibirnya akibat remasan lembut yang dilakukan oleh Blue di payudaranya.Matanya tertutup rapat. Napasnya mulai tersengal-sengal ketika Blue tak hanya meremas payudaranya, tetapi juga memelintir putingnya.Emely berusaha mati-matian menahan diri. Rasa panas menjalar di tubuhnya, tetapi ia tahu ia tak bisa mendesah bebas seperti biasanya. Karena bagaimanapun, Amara sedang berada di sampingnya.Tangan Emely terangkat, mencengkeram erat pergelangan tangan Blue, yang dengan santainya membiarkan jemarinya bermain di atas dadanya. Sentuhan itu mengirimkan gelombang sensasi yang membuatnya hampir kehilangan kendali.“Masih tidak mau memaafkanku?” bisik Blue pelan di telinganya. Suaranya serak dan memancing. Sesaat kemudian, ia menjulurkan lidah, menjilat lembut daun telinga Emely, sebelum akhirnya mengulum dan menghisapnya dengan penuh ken
Tubuh bagian atas Emely kini benar-benar polos, tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Blue mendekat, mengalihkan perhatiannya pada celana hotpants yang masih membalut pinggul gadis itu. Dengan gerakan cekatan, ia mulai membuka kancingnya, lalu menurunkan resletingnya secara perlahan.Tangannya yang kokoh kemudian memegang kedua sisi celana tersebut. Dalam satu gerakan lembut, ia meloloskan kain itu dari tubuh Emely. Gadis itu tidak tinggal diam. Ia mengangkat sedikit bokongnya, mempermudah proses pelepasan kain tersebut. Kaki jenjangnya juga bergerak lentur, memberikan ruang agar celana itu dengan mudah meluncur turun, meninggalkan kulitnya yang kini semakin terekspos.Dalam sekejap, celana hotpants itu sudah terlepas sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah sepotong celana dalam tipis yang tampak kontras dengan kulitnya yang halus. Emely sempat berpikir bahwa Blue tidak akan melepaskan kain tersebut. Namun, dengan cara yang tak terduga, pria itu justru melepask
Azure Nightclub malam itu berdenyut dengan kehidupan. Musik EDM menggema memecah udara, dentumannya menggetarkan lantai marmer dan mengalir ke tubuh setiap pengunjung. Aroma minuman keras bercampur parfum mewah memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer yang menggoda dan penuh gairah.Di salah satu sudut lounge yang mewah, Emely Erlania William’s tampak tengah duduk bersama teman-temannya. Wajahnya yang cantik dan anggun memancarkan cahaya tersendiri meskipun dikelilingi oleh gemerlap dunia malam. Rambut panjangnya tergerai, berpadu sempurna dengan gaun hitam yang menonjolkan tubuh rampingnya yang penuh pesona. Ia baru saja kembali ke meja setelah puas berdansa di lantai dansa, bergerak bebas tanpa pengawasan, menikmati malam yang penuh kebebasan. Beberapa botol minuman baru telah dipesan dan berjajar rapi di atas meja. Teman-temannya tertawa dan bercanda. Suara mereka tenggelam dalam dentuman musik.Di salah satu sofa, seorang lelaki muda, yang juga bagian dari kelompok itu, tak dapat m
“Sir, berdasarkan informasi yang saya dapatkan, malam ini Nona Emely sedang berada di Azure Nightclub. Dia menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman kampusnya,” lapor Porter, pria berusia 31 tahun dengan penampilan rapi dan wajah yang mencerminkan profesionalisme. Porter adalah asisten pribadi yang setia sekaligus orang kepercayaan pria dewasa yang kini tengah duduk di balik meja kerjanya.Ruangan itu dipenuhi nuansa maskulin—dinding kayu mahoni, rak buku penuh koleksi literatur klasik, dan cahaya temaram lampu kuningan yang memantulkan bayangan lembut di lantai marmer hitam. Di tengah ruangan, pria itu duduk tegak di kursi kulit hitam yang megah. Usianya mendekati 40 tahun, tetapi pesonanya tak memudar. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh dan sorot matanya tajam seolah-olah mampu membaca pikiran siapapun yang berani menantangnya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan, tetapi ia masih sibuk di kantornya. Di mejanya, tumpukan dokumen belum tersentuh sepenuhnya. Layar laptop pun
Emely melangkah tergesa-gesa di sepanjang lorong sempit. Sepatu hak rendahnya mengeluarkan bunyi berdebum lembut di lantai. Langkahnya goyah, hampir seperti orang mabuk. Namun, ia tahu betul bahwa ini bukan efek alkohol. Sesekali ia berhenti mendadak, tubuhnya membungkuk dengan kening berkerut. Kedua tangannya mencengkeram erat dinding di sisinya, sementara pahanya merapat dengan kuat seolah-olah mencoba menahan sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya. “Apa yang terjadi ...?” gumamnya panik. Sebuah denyutan asing menjalar dari pangkal pahanya, menggelitik sekaligus menyakitkan. Rasa itu tidak wajar, seperti sesuatu yang mendidih di dalam tubuhnya. Tubuhnya memanas, nyaris terbakar. Emely ingin berteriak, tetapi napasnya terhenti di tenggorokan, menghilang menjadi rintihan pendek.Panas itu merambat cepat. Jantungnya berdegup kencang, mengguncang dada. Ia mencoba bernapas lebih dalam, tetapi setiap helaan napas terasa seperti api yang menyusup masuk dan membuat paru-parunya berdenyu
Napas Emely terdengar jelas di telinganya. Cepat, tersengal, dan tidak teratur. Begitu dekatnya Delon kini hingga ia bisa merasakan udara panas yang terpancar dari tubuh Emely.“Emely ...,” panggil Delon akhirnya. Suaranya parau, hampir seperti bisikan yang disengaja untuk memancing reaksi.Emely tersentak. Tubuhnya tegang seketika, matanya terbelalak, sebelum akhirnya ia menoleh ke sumber suara. Raut wajahnya berubah, keningnya mengerut tajam, menampilkan ekspresi penuh ketidaksukaan. Pandangannya menusuk, sinis, meski tubuhnya terlihat goyah.“Mau apa kamu di sini?” tanya Emely. Suaranya lirih, tetapi nadanya tetap tajam.Delon tersenyum tipis, mengabaikan nada ketus itu, seakan-akan tak berpengaruh padanya. “Aku menyusulmu ke sini,” jawabnya santai. Seolah-olah ia adalah pahlawan yang datang untuk menyelamatkan sang tuan putri. “Aku khawatir padamu.”Delon mengambil selangkah lebih dekat. Namun, Emely seperti sebuah reaksi otomatis, langsung bergerak menjauh. Punggungnya makin mene
Tubuh bagian atas Emely kini benar-benar polos, tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Blue mendekat, mengalihkan perhatiannya pada celana hotpants yang masih membalut pinggul gadis itu. Dengan gerakan cekatan, ia mulai membuka kancingnya, lalu menurunkan resletingnya secara perlahan.Tangannya yang kokoh kemudian memegang kedua sisi celana tersebut. Dalam satu gerakan lembut, ia meloloskan kain itu dari tubuh Emely. Gadis itu tidak tinggal diam. Ia mengangkat sedikit bokongnya, mempermudah proses pelepasan kain tersebut. Kaki jenjangnya juga bergerak lentur, memberikan ruang agar celana itu dengan mudah meluncur turun, meninggalkan kulitnya yang kini semakin terekspos.Dalam sekejap, celana hotpants itu sudah terlepas sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah sepotong celana dalam tipis yang tampak kontras dengan kulitnya yang halus. Emely sempat berpikir bahwa Blue tidak akan melepaskan kain tersebut. Namun, dengan cara yang tak terduga, pria itu justru melepask
“Ughh!” Emely dengan refleks menutup mulut menggunakan sebelah tangan ketika rintihan penuh kenikmatan itu lolos dari bibirnya akibat remasan lembut yang dilakukan oleh Blue di payudaranya.Matanya tertutup rapat. Napasnya mulai tersengal-sengal ketika Blue tak hanya meremas payudaranya, tetapi juga memelintir putingnya.Emely berusaha mati-matian menahan diri. Rasa panas menjalar di tubuhnya, tetapi ia tahu ia tak bisa mendesah bebas seperti biasanya. Karena bagaimanapun, Amara sedang berada di sampingnya.Tangan Emely terangkat, mencengkeram erat pergelangan tangan Blue, yang dengan santainya membiarkan jemarinya bermain di atas dadanya. Sentuhan itu mengirimkan gelombang sensasi yang membuatnya hampir kehilangan kendali.“Masih tidak mau memaafkanku?” bisik Blue pelan di telinganya. Suaranya serak dan memancing. Sesaat kemudian, ia menjulurkan lidah, menjilat lembut daun telinga Emely, sebelum akhirnya mengulum dan menghisapnya dengan penuh ken
***Emely perlahan membaringkan tubuhnya di atas ranjang Amara. Dengan posisi miring, ia menatap wajah gadis kecil itu yang tampak damai dalam tidurnya. Emely membawa sebelah tangannya untuk memeluk tubuh mungil Amara, menciptakan kehangatan di antara mereka.‘Ketika kamu besar nanti, aku yakin kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik hati,’ batinnya sambil menatap lembut wajah polos Amara. Emely mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kening gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang.Meskipun Emely sangat membenci Lidya, ibu kandung Amara, perasaannya terhadap gadis kecil ini sama sekali tidak terpengaruh. Tidak ada kebencian, tidak ada kekesalan. Amara adalah anak yang baik, lucu, dan menggemaskan. Terlepas dari siapapun ibunya, Emely tahu ia akan tetap menyayangi Amara tanpa syarat.Hampir lima belas menit berlalu. Emely masih berbaring memeluk hangat tubuh mungil Amara, menikmati momen penuh ketenangan itu. Namun, tiba-tiba pintu kamar
Emely memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan emosi yang terasa semakin membuncah. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kamu tahu tidak, Blue, apa yang sebenarnya membuat masalah ini jadi sebesar ini? Ini bukan soal sejauh mana kamu bermain api dengan mantan istrimu. Ini soal kebohonganmu!"Ia menunjuk ke arah Blue dengan gerakan cepat, membuat pria itu terdiam kaku. "Kamu pikir semua hal bisa kamu anggap remeh begitu saja? Kebohongan yang kamu anggap kecil itu, lama-lama akan jadi masalah besar. Karena apa? Karena kamu akan terus menutupi kebohonganmu dengan kebohongan lain. Dan sementara itu, kamu akan menertawakanku yang kamu anggap bodoh karena sudah berhasil kamu tipu mentah-mentah!"Blue hanya menatap Emely dengan ekspresi penuh penyesalan, namun ia tetap bungkam. Emely, di sisi lain, terlihat terengah-engah, seperti kehabisan napas setelah melampiaskan emosinya."Dan yang paling aku benci," lanjut Emely. “Adalah ketika aku terlihat seperti orang bodoh di dep
Salah satu pelayan yang kebetulan berada di dekat pintu langsung menyapanya dengan sopan. "Selamat malam, Tuan."Blue membalas singkat, "Selamat malam." Ia terus melangkah melewati pelayan tersebut menuju tangga yang menghubungkan lantai dasar dan atas, dengan ekspresi serius terpampang di wajahnya.Di tengah tangga, ia bertemu dengan Gina, yang tampaknya sedang turun. Wanita itu menghentikan langkahnya, lalu menunduk hormat. "Tuan," sapanya pelan."Amara dimana? Apakah dia bersama Emely?" tanya Blue tanpa basa-basi."Tidak, Tuan. Nona Amara sudah tidur di kamarnya. Dia sangat lelah dan mengantuk tadi. Sedangkan Nona Emely ada di kamarnya," jawab Gina.Blue mengangguk kecil, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan pintu kamar. Ia mengulurkan tangan, menggenggam tuas pintu, dan membukanya perlahan.Kamar itu sunyi. Langkah Blue terhenti di tengah ruangan, matanya langsung tertuju ke arah jendela tembus pandang yang memperlihatkan balkon. Sek
Kini, Emely duduk diatas kursi rotan bergaya modern yang khas menghiasi balkon rumah mewah. Kursi itu memiliki desain melengkung ergonomis dengan bantalan empuk berwarna krem yang memberikan kenyamanan maksimal. Di sebelahnya, terdapat meja kecil dari kayu jati dengan permukaan yang dilapisi kaca, tempat cangkir tehnya terletak. Emely membuka laptopnya dan menunggu perangkat itu menyala. Sambil menunggu, ia mengambil bungkusan rokok yang tadi dibawanya, membuka segel plastik dengan sedikit perasaan ragu, dan mengeluarkan sebatang rokok. Ia menyelipkannya di antara bibirnya, lalu menyalakan ujungnya menggunakan pemantik logam berwarna perak mengkilap. Asap tipis mulai mengepul saat ia menghisap rokok itu perlahan.Dia memejamkan mata sejenak, menikmati sensasi nikmat yang terasa di rongga mulutnya sebelum akhirnya melepaskan asap tersebut ke udara. Asap itu terbang melayang-layang, bergabung dengan angin yang berhembus dingin, sementara Emely membiarkan tubuhnya bersandar santai di k
***“Mommy, aku lelah dan mengantuk. Kalau misalkan aku mau langsung tidur saja, boleh tidak?” tanya Amara dengan wajah polos, menatap ibunya yang baru saja mematikan mesin mobil di depan teras rumah.Emely melirik gadis kecil itu sekilas sambil melepas sabuk pengaman. “Tentu saja boleh, sayang,” jawabnya lembut. “Tapi, Amara yakin tidak ada tugas dari sekolah yang harus dikumpulkan besok?” lanjutnya memastikan.“Tidak ada, Mommy,” balas Amara cepat.Emely menoleh sepenuhnya ke arah Amara yang duduk di kursi belakang. “Benar tidak ada tugas? Mommy hanya memastikan saja, supaya nanti tidak ada yang kelupaan.”Amara mengangguk mantap sambil menatap ibunya dengan serius. “Iya, Mommy. Betul, aku tidak ada tugas. Aku tidak akan mungkin berani berbohong sama Mommy,” jawabnya.Emely tersenyum kecil mendengar jawaban Amara. “Baiklah. Kalau begitu, sekarang kita turun dulu, ya?” ujarnya sambil membuka pintu mobil. Setelah turun, ia beralih ke sisi Amara, membuka pintu untuk gadis kecil itu, da
Setelah kepergian Blue, Emely menoleh kepada Zara. “Mom, aku dan Amara pamit pulang dulu, ya?” katanya dengan sopan.Zara tersenyum, meskipun ada sedikit rasa enggan melepaskan gadis itu bersama cucunya. “Hati-hati di jalan, ya, sayang. Kalau nanti kamu ada waktu, jangan ragu untuk datang lagi ke sini. Kami selalu menunggu kalian,” ujarnya tulus.Emely membalas senyum itu. “Pasti, Mom. Terima kasih.”Setelah itu, ia berdiri dan menggandeng tangan Amara yang masih terlihat enggan meninggalkan mansion. Emely memintanya berpamitan kepada Zara dan Talia. Gadis kecil itu pun segera melambai dan memeluk nenek dan bibinya dengan hangat sebelum keduanya mengantar mereka hingga ke teras depan.Zara dan Talia berdiri di sana, memperhatikan Emely dan Amara masuk ke dalam mobil. Sebelum mobil itu benar-benar melaju, Amara menurunkan kaca jendela dan melambaikan tangannya dengan semangat. “Daa daa, Grandma! Daa daa, Aunty!” serunya ceria.Zara dan Talia membalas lambaian itu dengan senyum lebar. “
Setelah berbicara dengan Emely sebelumnya, Ronan memilih untuk tidak banyak berbicara ketika Blue, Zara, dan Amara kembali bergabung di ruang keluarga. Keheningan Ronan cukup terasa, tetapi tidak mengganggu suasana yang kembali hangat dan ceria, terutama berkat interaksi antara Amara, Emely, dan Zara. Sedangkan Blue, sama seperti ayahnya, lebih banyak diam, hanya sesekali tersenyum kecil saat Zara atau Talia melontarkan candaan.Beberapa jam kemudian, Talia muncul. Wanita itu baru pulang dari kantor dan langsung bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Wajahnya terlihat bahagia—bukan hanya karena momen hangat yang tercipta, tetapi juga karena ia merasa kehadiran Emely membawa dampak positif pada keluarganya. Perlahan-lahan, Ronan mulai menerima Amara, dan Blue pun kini lebih sering berkunjung ke mansion. Semua ini mengingatkan Talia pada masa-masa harmonis keluarganya dulu.“Amara sama Mommy tidak mau menginap saja di mansion?” tanya Talia dengan senyum lembut, tepat setelah Emely