Nathaniel POV
Siang hari seperti biasa, Stefani mengajaku makan siang bersama di tempat yang biasa kami kunjungi. Tempat itu adalah tempat favorit kami untuk berkencan. Aku masih tidak mengerti alasan Ayah dan Ibu sangat menentang hubunganku dengan Stefani. Faktanya, dia adalah wanita yang sangat baik dan juga lembut. Dia juga sangat cantik dan berpendidikan.
Apa yang kurang darinya? Apakah Stefani tidak memenuhi standar mereka? Atau karena mereka tidak ingin aku menikah seumur hidupku?
Memikirkannya saja sudah membuatku sakit kepala.
"Ada apa? Kenapa kamu melamun? Makanannya tidak enak ya?” tanya wanita yang masih berstatus menjadi kekasihku itu sambil tersenyum lembut.
“Ah tidak, makanannya enak ... aku hanya memikirkan sesuatu ...," ujarku dengan sedikit terbata-bata.
“Memikirkan tentang apa? Sepertinya cukup penting untuk membuatmu melamun,” ujarnya penasaran.
“Erm, sepertinya aku tidak bisa memberitahumu sekarang, mungkin nanti ... di waktu yang tepat,” ucapku sedikit gugup.
“Hmm, baiklah kalau begitu. Ayo lanjutkan makan lagi,” ujarnya sambil tersenyum. Aku harus meyakinkan Ayah dan Ibu tentang Stefani.
End POV
.
.
Klara POV
Seminggu pun berlalu, dan aku mendapat kiriman email dari tempat aku melamar kerja. Ketika aku membaca kata demi kata, mataku membelakak tidak percaya dan ingin berteriak. Namun, aku menahannya, tidak lucu 'kan bila aku diusir dari kosan hanya karena aku berteriak histeris di siang bolong. Aku langsung bergegas menyiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan serta pakaian yang akan digunakan besok.
‘Aku benar-benar tidak sabar menanti hari esok!’ batinku.
Keesokan harinya, setelah aku selesai tanda tangan kontrak kerja dan pulang ke kosan, tiba-tiba Mr. Jonathan menghubungiku dan memintaku untuk menemuinya di sebuah restoran. Namun sebelum itu, asisten Mrs. Emily mengantarkan dress yang ia desain sendiri untuk kukenakan hari itu.
Aku bingung dan tidak paham akan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi aku hanya menuruti permintaan mereka tanpa berpikir yang macam-macam. Asisten Mrs. Emily mengantarku dengan mobilnya ke restoran yang dimaksud.
Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok yang ada di meja makan tersebut. Sosok pria yang aku cintai diam-diam selama bertahun-tahun.
End POV
.
.
Nathaniel POV
Hari ini aku berencana untuk sekali lagi meyakinkan Ayah dan Ibu. Tapi, aku sedikit terkejut saat menghampiri mereka berdua. Pakaian yang mereka kenakan saat ini sangatlah formal. Sepertinya, mereka akan pergi ke suatu tempat.
Aku berniat untuk kembali ke kamarku, Namun, Ayah melihatku dan memanggilku.
“Nathan, bersiaplah ... kita akan makan malam di luar. Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan,” ucap ayahku datar.
Aku tidak menjawabnya, melainkan hanya mengangguk pelan kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tidak ada yang membuka percakapan. Beberapa waktu berselang, kami sampai di restoran keluarga kami. Selang beberapa menit, sosok tak terduga muncul di hadapanku dengan mengenakan gaun putih selutut tanpa lengan.
End POV
.
.
Klara POV
“Selamat malam Mr. Jonathan, Mrs. Emily, dan Kak Nathaniel. Maaf aku sedikit terlambat ...,” ucapku sembari duduk di kursi yang sudah disediakan, bersebelahan dengan Kak Nathaniel.
Entah kenapa, pria yang duduk di sebelahku ini menatapku dengan tatapan curiga. Sorot matanya penuh dengan tanda tanya sekaligus ketidaksukaan padaku. Terus terang saja, mendapat tatapan seperti itu darinya, membuatku sedikit gugup. Tapi aku harus berusaha supaya terihat setenang mungkin.
Suasana menjadi terasa sangat canggung bagi kami semua. Untuk mencairkan suasana, Mrs. Emily berinisiatif membuka obrolan ringan.
“Klara, bagaimana dengan wawancara kerjanya? Berjalan dengan lancarkah?” tanya Mrs. Emily sambil tersenyum ramah padaku.
“Aa ... iyaa berjalan dengan lancar Mrs. Emily. Sebenarnya pagi ini aku baru saja tanda tangan kontrak kerja, jadi mulai besok aku sudah bisa mulai bekerja,” jawabku dengan sedikit canggung.
“Waah, syukurlah kalau begitu. Kalau boleh tahu dalam bagian apa?” tanya Mrs. Emily lagi dengan semangat.
“Aku melamar sebagai 3D Illustrator di sebuah studio animasi. Besok akan jadi pengalaman pertamaku, jadi aku sangat tidak sabar menanti esok hari,” jawabku dengan nada yang tak kalah semangat.
“Kamu hobi menggambar ya?” sekarang giliran Mr. Jonathan yang bertanya.
“Hmm, sebenarnya bisa dibilang hobi. Aku sering menghabiskan waktu luang dengan menggambar,” jawabku sedikit canggung.
“Kalau boleh tahu, kamu paling sering menggambar apa?” tanya Mr. Jonathan sedikit penasaran.
“Biasanya aku lebih sering menggambar pemandangan kota, tempat-tempat makan, gedung-gedung pencakar langit ... aku suka mendesain bentuk bangunan. Bagiku itu sangat menyenangkan,” jawabku dengan antusias.
Di saat aku, Mr. Jonathan dan Mrs. Emily sedang berbincang-bincang ringan, Kak Nathaniel memandangi kami dengan jengkel dan berniat untuk kembali ke rumah.
“Maaf ... jika tidak ada hal penting yang akan dibicarakan, lebih baik aku pulang saja,” ucapnya seraya berdiri dari tempat duduk, masih memasang ekspresi jengkel.
“Nathan, duduk,” perintah Mr. Jonathan tanpa menoleh ke arahnya. Kak Nathaniel tidak mengindahkan perintah Ayahnya dan tetap dalam posisi berdiri.
Merasa tak diacuhkan, Mr. Jonathan menoleh ke arahnya kemudian memberi tatapan tajam padanya. Melihat reaksi Mr. Jonathan membuat Kak Nathaniel mau tidak mau menuruti perintah beliau.
Aku sedikit terkejut dengan tatapan yang diberikan Mr. Jonathan kepadanya, namun, aku tetap memilih untuk diam. Tatapan Mr. Jonathan pada Kak Nathaniel terlihat cukup menyeramkan, yang tanpa sadar membuat jantungku berdebar keras.
Beberapa saat kemudian, makanan tiba di meja kami. Kami berempat pun makan dalam suasana hening, hanya ditemani alunan piano. Di sela-sela menyantap makanan, Mr. Jonathan mulai membuka topik tentang rencana pernikahan kami.
“Alasan kami mengajak kalian makan malam saat ini, karena kami ingin membicarakan suatu hal yang penting. Kami sudah memikirkan hal ini matang-matang,” ucap Mr. Jonathan sembari menarik napas perlahan, “kami memutuskan untuk menjodohkan kalian berdua dan acara pernikahan kalian akan dilaksanakan empat minggu lagi.”
Mendengar hal tersebut membuatku dan Kak Nathaniel terkejut bukan main. Ia pun bangkit dari kursinya dan menggebrak meja makan dengan keras.
“A-APA MAKSUD AYAH!? Kenapa kalian memutuskan hal sepenting ini tanpa mendiskusikannya denganku terlebih dahulu!??” bentaknya dengan keras dan penuh amarah.
“Maafkan kami Nathan, karena semua ini kami rencanakan sangat mendadak ...,” jawab Mrs. Emily.
“Ini demi kebaikanmu sendiri, Nathan,” ucap Mr. Jonathan dengan tegas.
“Hah? Apanya yang demi kebaikanku!? Kalian memaksaku untuk menikah dengan wanita yang bahkan tidak jelas asal usulnya seperti ini!” bentak Kak Nathaniel sembari menunjuk wajahku dengan sedikit kasar.
Melihat perilaku Kak Nathaniel padaku sontak membuat Mr. Jonathan marah, “Jaga perilakumu, Nathan!”
“Apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah sudi menikah dengannya!” seru Kak Nathaniel sambil menatap tajam ke arahku, kemudian bergegas pergi meninggalkan restoran.
“NATHAN!!” teriak Mr. Jonathan yang berusaha mencegah Kak Nathaniel pergi.
Mungkin karena merasa tidak enak hati padaku, Mrs. Emily mencoba untuk meminta maaf padaku. “Tidak apa-apa Mrs. Emily, Mr. Jonathan ... aku bisa memahaminya, saat ini Kak Nathaniel pasti masih syok dan belum bisa menerimanya. Kumohon beri dia sedikit waktu ...,” ucapku dengan nada sedih, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
.
.
.
.
*SATU BULAN KEMUDIAN*
Di hari pernikahan, seluruh tamu undangan telah berada di dalam gereja. Begitu pun dengan Kak Nathaniel yang terihat gagah berdiri di altar memakai kemeja putih dan jas berwarna hitam, dengan dasi berwarna senada dan bersematkan bunga mawar di saku jasnya.
Tak lama setelah itu, acara pemberkatan nikah dimulai. Para tamu undangan pun turut berdiri dan menghadap ke arah pintu masuk gereja. Aku yang saat ini sebagai sang mempelai wanita pun mulai berjalan memasuki gereja didampingi oleh Paman Martin selaku wali dariku.
Alunan musik Bridal Chorus dimainkan untuk mengiringi perjalananku menuju altar. Kak Nathaniel yang menungguku di altar menatapku dengan tatapan kosong, karena bukan aku yang ia harapkan untuk menjadi pendamping hidupnya.
Saat ini aku mengenakan gaun model venus sleeveless berwarna putih yang memperlihatkan lekuk tubuhku, kalung perak dengan model sederhana melingkar di leherku. Bagian rambutku yang tertutup kain penutup kepala dirias membentuk sanggul modern, dengan hiasan mutiara di sisi kanan kepalaku. Penata rias meriasku senatural mungkin, karena beliau bilang kalau warna soft lebih cocok untukku daripada warna yang cerah.
Sesampainya di altar, Paman Martin tersenyum pada Kak Nathaniel kemudian menyerahkan tanganku padanya. Kak Nathaniel menerima tanganku lalu menuntunku ke hadapan Pastor. Setelah mengucapkan janji pernikahan dan pemasangan cincin, kami telah resmi menjadi suami istri. Sang pastor mempersilahkan kami untuk berciuman. Kak Nathaniel memandang tajam dan mulai mendekati wajahku, kemudian membisikan sesuatu ke telingaku.
“Bersiap-siaplah. Aku akan membuatmu menderita,” bisiknya, kemudian mencium pipi kananku dan memberi tatapan mencemooh padaku.
Mendengar bisikan dan melihat tatapannya padaku langsung membuat jantungku berdetak cepat dan diliputi rasa takut. Mr. Jonathan, Mrs. Emily dan Paman Martin beserta para tamu yang tentu saja tidak mengetahui perkataan Kak Nathaniel padaku barusan, memberikan tepuk tangan yang meriah.
Acara berlanjut ke resepsi pernikahan yang di gelar di hotel milik keluarga. Seusai acara resepsi, kami berdua menuju ke apartemen yang telah disediakan oleh Mr. Jonathan sebagai hadiah pernikahan kami. Ketika kami sudah hampir di pertengahan jalan, Kak Nathaniel menghentikan mobilnya secara mendadak dan langsung menoleh ke arahku. Pemuda yang saat ini sudah resmi menjadi suamiku kemudian menyuruhku untuk turun dari mobil. Aku langsung memandangnya dengan tatapan bingung.
“Kenapa suruh aku turun di sini, bukannya masih jauh ya?” tanyaku heran.
“Tidak usah banyak tanya, cepat turun di sini!” sahutnya dengan jengkel.
Setelah aku turun, Kak Nathaniel langsung menancap gas dan membawa mobilnya dengan kecepatan penuh, meninggalkanku sendirian di tengah jalan. Jam di tanganku sudah menunjukan pukul dua pagi lewat lima menit.
Pada akhirnya aku memutuskan melanjutkan perjalanan menuju apartemen dengan bertelanjang kaki. Tubuhku sudah penuh dengan keringat dan telapak kakiku sudah terasa panas karena sudah berjalan kaki sekitar satu setengah jam lamanya.
Sementara itu, Kak Nathaniel yang sudah tiba di apartemen satu setengah jam lebih awal saat ini sedang asyik menonton televisi setelah sebelumnya membersihkan diri. Saat tiba di lobi apartemen, para staf di situ menatapku dengan tatapan aneh. Namun, tidak kuhiraukan, karena aku sudah terlalu lelah. Beberapa saat kemudian, aku tiba di unit apartemen dan mengetuk pintu beberapa kali.
Pemuda itu membukakan pintunya dan melihat keadaanku yang basah kuyup karena keringat, dari ekspresi wajahnya aku tahu kalau ia merasa puas karena berhasil mengerjaiku. Aku pun segera masuk dan menuju ke kamar untuk mengambil pakaian ganti, kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
End POV
.
.
Nathaniel POV
Aku tidak mengerti apa yang Ayah dan Ibu pikirkan sampai mereka memutuskan secara sepihak untuk menjodohkanku dengan wanita itu.
Apakah mereka tidak mencintaiku? Kenapa mereka melakukan ini padaku?
Apakah karena aku memberi tahu mereka bahwa aku ingin menikahi Stefani. Mustahil.
Aku yakin semua ini pasti karena tipu daya dan sikap sok polos wanita itu yang berhasil meluluhkan hati orang tuaku. Wanita sialan itu menghancurkan hidup dan mimpiku untuk menikahi wanita yang sangat kucintai. Aku akan membuatnya menderita seperti dia membuatku menderita karena aku harus menikahinya seumur hidupku.
End POV
Klara POV Hari ini merupakan hari pertama kami sebagai suami istri. Pagi ini aku sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kak Nathaniel. Aku memasakan makanan favoritnya, yaitu capcay. Aku diberitahu oleh Mrs. Emily, yang sekarang sudah resmi menjadi ibu mertuaku. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamarnya, sudah berpakaian rapi dan bersiap-siap untuk berangkat. "Kakak sudah mau berangkat? Tidak mau sarapan dulu?" tanyaku. Namun, ia tidak menghiraukannya dan langsung berangkat tanpa pamit terlebih dahulu. Melihat perilakunya membuatku sedikit sedih. Akhirnya, aku membungkus makanannya untuk kubawa sebagai bekal di tempatku bekerja. Tak terasa langit sudah kehilangan cahayanya, aku menunggu bus di halte dekat tempat kerjaku. Setiap berangkat maupun pulang aku selalu menggunakan bus, karena menghemat ongkos. Beberapa saat kemudian, bus tiba, kebetulan transportasi tersebut sudah penuh dengan penumpang. Mau tak mau aku harus mengalah dan menunggu bus selanjutnya. Selang du
Klara POV Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Mrs. Emily, membuatku dan Kak Nathaniel terkejut dan menghentikan kegiatan menyantap makan kami. Kak Nathaniel langsung menatap tajam Mrs. Emily kemudian melirik tajam ke arahku yang duduk di sebelahnya. Aku mendapat tatapan tajam dari Kak Nathaniel serta tatapan Mrs. Emily yang seolah-olah menuntutku untuk berbicara terus terang. Aku merasa mendapat tekanan dari kedua belah pihak. Sebenarnya, aku ingin berterus terang, tapi, aku tahu kalau hal itu akan merusak hubungan Kak Nathaniel dengan Mrs. Emily. Aku tidak ingin merusak hubungan antara ibu dengan anaknya, jadi aku terpaksa berbohong pada Mrs. Emily. “Ohh, emm ... begini, sebenarnya ...,” ucapku dengan terbata-bata, bingung memilih kata-kata yang tepat. “Sebenarnya ... aku resign karena aku merasa skill yang kumiliki belum cukup untuk bekerja di perusahaan sebesar itu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendalami skillku terlebih dahulu, oh iya saat ini aku sedang mengiku
Klara POV Pada akhirnya, aku dikurung di kamarku sendiri. Tepatnya di atas tempat tidur. Kak Nathaniel melilitku dengan sprei, untuk mencegahku melakukan hal-hal yang tidak dia sukai. "Jadi, Kakak benar-benar mau membunuhku secara perlahan ya?" tanyaku saat Kak Nathaniel sedang sibuk membalut tubuhku dengan sehelai seprei katun polos dan mengikat kedua tanganku di belakang. "Kamu lebih suka diam atau aku lakban mulutnya?" tanyanya santai dengan gulungan lakban di tangan kirinya dan gunting di tangan kanannya. Dari sorot matanya, jelas sekali kalau dia menyimpan dendam terhadapku. "Baik, aku akan diam!" seruku singkat lalu menjulurkan lidahku sedikit. "Apa kamu baru saja menjulurkan lidah padaku?" ucapnya saat melirikku, sembari berbalik ke arahku. Oh, tidak aku ketahuan. "Itu cuma perasaanmu saja, Kak!" sahutku dengan jantung berdebar. Astaga, kumohon cepat keluar dari kamarku. "Awas saja, kalau kamu berani kabur, aku benar-benar akan menghabisimu. Mengerti?" tegasnya, lalu bera
Klara POV Mulai hari ini aku menjalani kehidupan normal kembali setelah sekian lama terkurung di apartemen. Usai membuat kesepakatan dengan Kak Nathaniel, aku bisa mendapatkan kebebasanku kembali dan mencari pekerjaan baru. Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit di hatiku. Karena perjanjian yang tertera di selembar kertas putih tersebut merupakan bukti nyata akan penolakan tegas Kak Nathaniel atas perasaanku padanya. Hanya saja, dia tidak tahu kalau aku memendam perasaan cinta padanya sejak dulu. Rasanya sakit seperti ditolak sebelum sempat menyatakan cinta. Kedengaran menyedihkan bukan? Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menandingi seorang Stefani. Dari segi mana pun aku kalah telak. Dan itu kenyataan yang harus kuterima. Lagipula pernikahan ini memang bukan murni karna cinta. Meski aku tahu menjalani pernikahan seperti ini begitu menyakitkan. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap memegang teguh janjiku pada Mr. Jonathan dan Mrs. Emily. Jad
Klara POV Di hari Selasa pagi yang dingin ini, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat karena mulai hari ini aku sudah menjadi salah satu staf divisi 3D Animator resmi di salah satu studio ternama bernama Animotion Studio. Sejujurnya, aku sangat gugup dan juga khawatir apakah aku akan mendapatkan teman di sana. Tapi aku berusaha untuk mengusir pikiran negatifku dan menggantinya dengan pikiran positif, pasti aku akan dapat teman di sana. Tanpa berlama-lama lagi, aku bergegas ke sana dengan menaiki bus seperti biasa. Cuaca hari ini sepertinya terasa lebih dingin dari kemarin, aku bahkan sengaja memakai pakaian tebal plus jaket yang tebal juga, sampai-sampai aku terlihat seperti penguin raksasa. Tapi aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting aku tidak kedinginan dan bisa fokus untuk menjalani hari pertamaku bekerja. Setibanya aku di tempat kerja, aku langsung menemui Mr.A
Klara POV Jarum jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka delapan malam, artinya waktuku untuk pulang sebelum bus selesai beroperasi. Aku meminta Jacob untuk membujuk Gavin pulang, karena berhubung besok masih hari kerja. Tapi sepertinya dia sudah mabuk berat, pria itu bahkan tidak bergeming sama sekali dan memilih untuk tidur di atas meja. Aku pun akhirnya ikut membantu membangunkannya. Percobaan pertama dan kedua gagal total. Pada percobaan ketiga, sepertinya berhasil, namun, tiba-tiba saja dia menerjangku sampai membuatku hampir terjengkang. Aku membelakakan mataku saat Gavin tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya tidak begitu terdengar olehku. Tampak sekilas dari kejauhan, Kak Nathaniel menyaksikan kami berdua. Ekspresinya berubah seketika, seperti akan menerkamku. “He-heii! Lepasin aku, Gavin! Aku sesak nihh!” protesku sambil meronta-ronta.
KlaraPOV Seminggu berlalu sejak pernyataan cintanya padaku, pria bersurai coklat yang sudah resmi menjadi suamiku itu selalu mengirimkan buket bunga mawar merah dan sekotak coklat ke tempat kerjaku. Tapi kalau setiap hari dia memberiku sekotak coklat, bisa-bisa aku terkena penyakit diabetes sebelum aku menua. Apa kalian tahu? Sejak saat itu dia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pria yang romantis dan hangat. Bahkan saat kami sudah kembali ke unit apartemen malam itu, tiba-tiba saja dia berubah menjadi pria gentleman. Tanpa aba-aba, dia langsung membukakan pintu unitnya dan mempersilahkanku untuk masuk duluan. Bukan cuma itu saja, di hari libur pun dia selalu mencari-cari alasan agar bisa berada di dekatku, seperti memelukku dengan alasan kedinginan. Sejujurnya aku sangat bahagia karena akhirnya aku bisa sedikit mendapatkan perhatiannya, tapi aku masih grogi. Well, kuakui aku
KlaraPOV Hmmm, Sepertinya kamu jauh lebih kurus dari sebelumnya. Apakah kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Mrs. Emily dengan ekspresi sedikit khawatir. “Aku baik-baik saja Ibu. Setiap musim dingin, tubuhku memang selalu menyusut. Aku bahkan tidak tahu apa alasannya ... hehe,” candaku. Perkataanku membuat Kak Nathaniel dan Mrs. Emily terkekeh pelan. Syukurlah, aku tidak mau membuat mereka cemas akan kondisiku saat ini. Alasan sebenarnya adalah aku sempat mengalami stress saat Kak Nathaniel mengurungku selama berbulan-bulan di unit apartemen. Rasa stress tersebut membuatku hampir kehilangan nafsu makan, makanya selama itu aku tidak pernah makan malam. Namun, sejak Kak Nathaniel mulai mengijinkanku untuk keluar dari unit apartemen, nafsu makanku sudah mulai membaik. “Sekarang giliranku mencoba pakaiannya,” ucap Kak Nathaniel kemudian. Pria bersurai coklat itu membawa jas
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah
Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.
Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap
Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s