Beranda / Romansa / The Story of NATHANIEL & KLARA / CHAPTER 4: FIRST CONFLICT

Share

CHAPTER 4: FIRST CONFLICT

Penulis: BabyElle
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-06 11:49:34

Klara POV

Hari ini merupakan hari pertama kami sebagai suami istri. Pagi ini aku sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kak Nathaniel. Aku memasakan makanan favoritnya, yaitu capcay. Aku diberitahu oleh Mrs. Emily, yang sekarang sudah resmi menjadi ibu mertuaku. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamarnya, sudah berpakaian rapi dan bersiap-siap untuk berangkat.

"Kakak sudah mau berangkat? Tidak mau sarapan dulu?" tanyaku.

Namun, ia tidak menghiraukannya dan langsung berangkat tanpa pamit terlebih dahulu. Melihat perilakunya membuatku sedikit sedih. Akhirnya, aku membungkus makanannya untuk kubawa sebagai bekal di tempatku bekerja.

Tak terasa langit sudah kehilangan cahayanya, aku menunggu bus di halte dekat tempat kerjaku. Setiap berangkat maupun pulang aku selalu menggunakan bus, karena menghemat ongkos. Beberapa saat kemudian, bus tiba, kebetulan transportasi tersebut sudah penuh dengan penumpang. Mau tak mau aku harus mengalah dan menunggu bus selanjutnya.

Selang dua puluh menit, armada tersebut akhirnya tiba, saat aku naik dan duduk dikursi yang masih kosong, ponselku berdering panggilan masuk. Aku merogoh tasku, lalu mengangkatnya setelah melihat nama si penelepon.

"Halo Paman, iyaa aku baru saja jalan pulang ... sekarang sudah ada di bus. Ada apa?" ucapku.

[Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kok. Paman cuma mau kabarin kalo Sabtu besok hari ulang tahunnya Andy. Dia meminta kamu untuk datang bersama dengan suamimu. Apa kamu bisa?] sahutnya.

"Aa ... aku hampir lupa kalau Sabtu besok ulang tahunnya. Hmm, aku kabari nanti yaa Paman. Terima kasih, aku titip salam buat anak-anak di panti ya," jawabku kemudian mematikan sambungan telepon.

Sesampainya di apartemen, aku langsung masuk ke kamarku. Kami berdua tidur di kamar terpisah, tentu saja tanpa sepengetahuan Mr. Jonathan dan Mrs. Emily. Aku merebahkan diri di atas kasur dan menghela napas panjang. Saat ini, Kak Nathaniel belum tiba di rumah.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak ingin menyampaikan pesan dari Paman Martin, karena aku tahu pasti dia akan menolak. Namun, aku tetap harus menyampaikannya. Sementara itu, Kak Nathaniel pulang larut malam.

Tanpa sepengetahuanku, ia makan malam dengan Kak Stefani di restoran favorit mereka. Mereka berdua memutuskan untuk tetap menjalin hubungan secara diam-diam.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul dua belas tengah malam, aku memutuskan untuk pulang karena aku harus berangkat lebih pagi ke kantor nanti. Setibanya di unit apartemen, aku melihat sosok wanita itu sedang tertidur di sofa. Aku berhenti sejenak lalu berjalan ke arah sofa dan berlutut, aku amati wajahnya yang tertidur dengan pulas.

'Hmm ... kalau dilihat dari dekat, wajahnya cukup cantik,' batinku.

Tanpa sadar aku mengangkat tangan kananku untuk menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajahnya. Sentuhanku tanpa sengaja membuat wanita itu reflek membuka matanya, membuat kami berdua saling bertatapan selama beberapa detik sebelum wanita itu mengangkat wajahnya dari pinggiran sofa.

"Ah, Kakak baru pulang jam segini? Kakak habis dari mana?" tanya wanita itu sembari bangkit dari sofa.

"Bukan urusanmu!" bentakku sembari berdiri dan membalikkan badan menuju kamar.

"Tunggu, ada yang ingin aku sampaikan padamu," ujarnya saat masih berdiri di dekat sofa.

Aku pun terpaksa menghentikan langkahku, "Cepat katakan!" sahutku sedikit kesal.

"Apa hari Sabtu besok Kak Nathaniel sibuk? Begini, pamanku mengundang kita ke acara ulang tahun Andy-umm ... dia salah satu anak panti asuhan milik pamanku," ucap wanita itu dengan nada sedikit canggung.

Setelah menghela napas sedikit aku menyahutinya, "Aku sibuk! Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, aku mau tidur."

Setelah itu aku masuk ke kamar sambil sedikit membanting pintu kamarku.

End POV

.

.

Klara POV

Aku sudah memperkirakan respon dari Kak Nathaniel akan seperti itu, namun tetap tidak mengurangi rasa sakit di hatiku. Setelah beberapa saat terdiam, aku pun memutuskan untuk masuk ke kamar untuk tidur. Tak terasa sudah hampir seminggu, Kak Nathaniel berangkat lebih pagi tanpa sarapan terlebih dahulu. Sebenarnya aku sudah mulai terbiasa dengan perilakunya itu, namun aku memilih untuk tetap menyediakan sarapan dengan harapan suatu saat nanti ia mau menyantap sarapan yang kubuat.

Hari Sabtu tiba, aku bersiap-siap untuk berangkat ke acara ulang tahun Andy. Namun saat aku menuju ke pintu keluar, tiba-tiba dia memanggilku, "Mau kemana kamu?" tanyanya saat ia duduk di sofa untuk menonton televisi.

"Aku mau ke acara ulang tahun Andy, bukannya aku pernah bilang padamu?" sahutku sembari membuka pintu.

Sepertinya aku tidak pernah bilang kalau kamu boleh pergi," ucapnya dengan nada tajam, pandangannya tetap fokus pada televisi. —DEG

"Tapi aku sudah berjanji pada Paman Martin kalau aku akan datang!" sahutku dengan sedikit kesal.

"Itu bukan masalahku," jawabnya dengan santai.

"Apa-apaan sih kamu!?" sahutku dengan kesal.

Tak lama kemudian, ia bangkit dari sofa dan menghampiriku, "Apa-apaan? Heh, asal kamu tahu, hidupku jadi menderita karena harus menikah denganmu, wanita sialan!" bentaknya dengan kasar sembari menunjuk wajahku dengan telunjuknya.

"Aku juga sama menderitanya denganmu, tahu! Tapi, Kakak tidak berhak mengatur hidupku, karena aku juga punya kehidupan!" seruku sama geramnya.

"Lalu? Selama kamu hidup bersamaku, kamu tidak akan punya kehidupan!" bentaknya sembari merebut kartu akses yang ada di genggaman tanganku.

"Hei kembalikan! Itu punyaku!" ucapku sembari berusaha merebut kartuku dari genggamannya.

"Tidak akan aku kembalikan. Aku tidak akan membiarkanmu bersenang-senang di atas penderitaan orang lain!" serunya sambil memasukan kartunya ke kantung celananya.

—PLAK—

Sudah di ambang batas kesabaran, tanpa pikir panjang aku pun langsung menampar wajahnya sehingga meninggalkan bercak merah di pipinya. Untuk beberapa saat ia tidak menunjukan reaksi apa-apa, ia hanya diam.

"Jangan pernah merasa bahwa dirimu adalah manusia paling menderita di dunia ini! Dan juga jangan pernah berpikir untuk mengurungku, karena aku berhak melakukan apa pun yang aku mau!" tegasku, kemudian bergegas pergi meninggalkan apartemen.

Namun, sebelum aku sempat menutup pintu apartemennya, ia menarik gagang pintu bagian dalam dan membuatku yang masih memegang gagang pintu bagian luar sedikit tertarik ke arah dalam apartemen. Ia langsung menarik tubuhku dan mengangkatku sembari berjalan menuju kamarku.

"Kyaaaa! Mau apa kamu?! Lepaskan akuu!" teriakku sambil meronta-ronta, namun tidak dihiraukan olehnya.

Sesampainya di dalam kamar, ia menaruhku di atas kasur dengan sedikit kasar. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, ia mengambil kartu dari dalam kantung celananya dan membuangnya ke dalam kloset kamar mandi.

"Apa yang kamu lakukan?!" teriakku sembari berusaha menghentikannya.

"Itu pelajaran buat kamu. Jangan pernah menjawab omonganku lagi!" bentaknya sembari keluar dari kamar mandi dan pergi menuju kamarnya sendiri.

Semenjak hari itu aku tidak bisa pergi ke mana-mana dengan leluasa, bahkan aku tidak bisa pergi ke tempat kerja seperti biasanya. Itu karena aku sudah tidak memiliki akses untuk masuk lagi bila aku keluar dari unit apartemen.

Kak Nathaniel sengaja berangkat lebih pagi dan pulang tengah malam. Oleh karena itu, aku terpaksa resign dari pekerjaanku via telepon dengan alasan sudah mendapat pekerjaan di tempat lain, padahal aku baru saja sebulan lebih bekerja di situ. Aku tahu kalau berbohong itu salah, namun, aku tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya terjadi, bukan?

Kegiatan yang bisa kulakukan hanya menyapu, mengepel, mencuci, menjemur dan menyetrika. Memasak pun hanya aku lakukan untuk diriku sendiri, karena Kak Nathaniel tidak pernah sekalipun makan masakanku. Hal tersebut malah membuatku terlihat seperti seorang asisten rumah tangga daripada seorang istri.

Aku selalu berharap suatu saat nanti ia akan melihatku sebagai seorang wanita dan sebagai seorang istri, lebih dari sekedar istri sah karena pernikahan tapi sebagai pendamping hidupnya. Aku paham alasannya berbuat begitu padaku, namun tidak bisa kupungkiri bahwa hati kecilku berharap suatu saat nanti ia mau menerima diriku dan membalas cintaku.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Sudah lebih dari dua bulan aku menjalani hidup sebagai suami dari seorang wanita sialan yang menjadi istriku.

Apakah aku memanggilnya istri?

Sepertinya aku salah menyebutnya. Maksudku sebagai orang asing yang tinggal serumah denganku. Karena aku tidak pernah menganggapnya sebagai istriku. Ya, mungkin aku terdengar kejam, tapi inilah caraku untuk membalas dendam. Aku tidak tahu bagaimana wanita itu tega menghancurkan hidupku dengan menghasut orang tuaku untuk menjodohkanku.

Selama dua bulan aku sengaja menguncinya di rumah. Aku ingin membuatnya tidak nyaman, sehingga dia akan segera meminta untuk berpisah dariku.

End POV

.

.

Klara POV

Sudah dua setengah bulan aku terkurung di apartemen ini. Untuk mengatasi rasa kesepianku, aku mengajak benda-benda di sekitar untuk berbicara. Hal itu sudah menjadi kebiasaanku sejak aku berusia empat belas tahun. Alhasil, tidak ada yang mau berteman denganku karena menganggapku aneh.

Kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku sedikit menyesal karena setuju untuk menikah dengan Kak Nathaniel, karena aku sama sekali tidak mempertimbangkan dampak buruknya.

Aku menyetujuinya karena aku mencintainya, hanya itu. Aku ingin melindunginya. Meskipun tidak bisa kupungkiri kalau aku memiliki sedikit harapan kalau suatu saat nanti ia mau membalas perasaanku.

Tapi itu mustahil, karena ia sudah punya wanita yang dia cintai dengan sepenuh hati.

Aku tahu, baginya aku ini cuma seorang pengganggu yang harus disingkirkan, oleh karena itu dia sengaja menekanku agar aku mau berpisah dengannya. Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak bisa melakukannya, karena aku sudah berjanji pada Mr. Jonathan dan Mrs. Emily kalau aku akan bertahan sampai masalah ini selesai. Janji adalah hutang, oleh karena itu suka atau tidak, aku harus bertahan sampai akhir, meski aku tidak tahu apa aku bisa bertahan sampai akhir.

Di hari Sabtu ini, Kak Nathaniel memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kamarnya, dan cuma keluar untuk membeli makanan. Seperti biasa, ia tidak mau makan masakanku. Begitupun denganku yang juga berdiam diri di kamar, sibuk dengan kegiatanku sendiri. Semenjak tidak bisa ke mana-mana, aku menghabiskan waktu dengan menggambar, karena hal itu dapat membuat moodku bagus kembali.

Yaah, aku tidak memiliki masalah seputar bahan makanan, sabun cuci baju dan sebagainya, karena Kak Nathaniel tetap menyetoknya tiap bulan. Alasannya? Tentu saja tidak lain karena ia sendiri memerlukan semua itu. Saat aku mulai memotong sayuran, telepon di apartemenku tiba-tiba berdering. Aku pun menghentikan kegiatanku sejenak untuk mengangkat telepon tersebut.

"Halo, selamat siang," ucapku dengan nada sopan.

"Selamat siang, saya mau menginfokan kalau ibu mertua anda ingin menemui anda. Beliau bilang akan langsung ke unit anda," jawab petugas receptionist.

"Ohh, baik kalau begitu ... terima kasih, akan saya tunggu ...," jawabku sedikit terkejut.

Setelah menutup teleponnya, aku langsung menuju ke depan pintu kamar Kak Nathaniel, kemudian mengetuknya beberapa kali.

"Kak Nathaniel ... tadi ada telepon dari receptionist, katanya Ibu mau bekunjung kemari ...," ucapku setelahnya.

Setelah mendengar kalau Ibu akan berkunjung kemari, Kak Nathaniel tidak memberikan tanggapan apapun. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu.

"Aah ... selamat siang Ibu," ucapku setelah membukakan pintu dan mempersilahkan Mrs. Emily masuk.

"Halo Klara, bagaimana kabarmu dan Nathan?" sapa Mrs. Emily sembari memelukku dengan erat.

"Baik kok Bu, bagaimana keadaan Ayah dan Natalie?" balasku sambil tersenyum.

"Mereka semua sehat kok," ucap Mrs. Emily seraya membalas senyumku, "Oh iya, Nathan ada di mana? Apa dia sedang keluar?" sambung Mrs. Emily sembari melihat ke sekeliling.

Mendengar suara Ibu, dengan ekspresi datar Kak Nathaniel memutuskan keluar dari kamarnya.

"Ooh ... ada di dalam kamar rupanya ...," ucap Mrs. Emily saat melihatnya keluar dari kamarnya.

"Ada apa Ibu kemari? Apa karena dimintai Ayah untuk memata-matai kami?" tanyanya dengan nada sinis.

Mendengar perkataannya barusan membuatku dan Mrs. Emily terkejut bukan main. Perkataan dan sikapnya bisa dibilang sangat tidak sopan. Namun, aku melihat Mrs. Emily tetap memasang ekspresi setenang mungkin, sepertinya beliau berpikir kalau tidak ada gunanya berdebat dengan Kak Nathaniel saat ini.

"Ibu kemari karena rindu padamu dan juga istrimu, apa seorang Ibu tidak boleh merindukan anak-anaknya, Nathan?" ucap Mrs.Emily dengan nada tenang namun tegas.

Mendengar jawaban Mrs. Emily, Kak Nathaniel hanya terdiam dan memalingkan wajahnya.

"Oh iyaa hampir saja lupa, Ibu bawakan kue untuk kalian ...," ucap Mrs. Emily seraya memberikan kantung yang berisi sekotak kue berukuran medium.

"Wahh, terima kasih banyak Ibu ... sampai repot-repot membelikan kue," ucapku setelah menerima kue tersebut kemudian meletakannya di atas meja.

Setelah itu, Mrs. Emily menghabiskan waktu bersamaku dengan memasak bersama untuk makan siang. Sementara kami berdua memasak, Kak Nathaniel duduk di ruang tengah membaca buku, bermaksud menyibukkan diri. Beberapa saat kemudian, hidangan matang lalu aku sajikan di meja makan. Mungkin karena merasa perkataanya tadi keterlaluan pada Ibu, Kak Nathaniel memutuskan untuk membantu menata hidangan di meja makan.

"Sini, biar aku bantu ...," ucapnya, kemudian mengambil piring kosong untuk diletakan di meja makan. Meski terkejut dengan perubahan mood Kak Nathaniel, Mrs. Emily memilih untuk tidak menunjukannya.

Pada akhirnya, kami makan siang bertiga. Tentu saja dengan menu sayur capcay dan ikan balado kesukaan Kak Nathaniel. Namun, masih tidak bisa menghindari suasana yang masih sedikit canggung ini karena tidak ada salah satu dariku dan Kak Nathaniel yang membuka pembicaraan. Kami berdua lebih memilih untuk menyantap makan siang dalam hening. Melihat hal ini membuat Mrs. Emily membuka suara bermaksud untuk mencairkan suasana.

"Ehem, sebenarnya Ibu kemari karena khawatir dengan keadaan kalian. Apa tidak ada yang ingin kalian ceritakan pada Ibu?" ucap Mrs. Emily dengan penuh rasa ingin tahu.

"Tidak, kami baik-baik saja kok Ibu ... tidak perlu khawatir," ucapku sambil tersenyum sedikit.

"Kenapa Ibu bertanya hal seperti itu?" tanya Kak Nathaniel dengan tatapan curiga.

"Hmm ... Ibu hanya penasaran saja," jawab Mrs. Emily dengan nada santai.

"Kami beneran baik-baik saja kok," ucapku berusaha meyakinkannya.

"Ohh ... kalau benar begitu, apa Ibu boleh tahu alasan kamu mengundurkan diri dari pekerjaanmu, Klara?"

End POV

Bab terkait

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 5: FEW MOMENTS

    Klara POV Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Mrs. Emily, membuatku dan Kak Nathaniel terkejut dan menghentikan kegiatan menyantap makan kami. Kak Nathaniel langsung menatap tajam Mrs. Emily kemudian melirik tajam ke arahku yang duduk di sebelahnya. Aku mendapat tatapan tajam dari Kak Nathaniel serta tatapan Mrs. Emily yang seolah-olah menuntutku untuk berbicara terus terang. Aku merasa mendapat tekanan dari kedua belah pihak. Sebenarnya, aku ingin berterus terang, tapi, aku tahu kalau hal itu akan merusak hubungan Kak Nathaniel dengan Mrs. Emily. Aku tidak ingin merusak hubungan antara ibu dengan anaknya, jadi aku terpaksa berbohong pada Mrs. Emily. “Ohh, emm ... begini, sebenarnya ...,” ucapku dengan terbata-bata, bingung memilih kata-kata yang tepat. “Sebenarnya ... aku resign karena aku merasa skill yang kumiliki belum cukup untuk bekerja di perusahaan sebesar itu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendalami skillku terlebih dahulu, oh iya saat ini aku sedang mengiku

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 6: OUR DEALS

    Klara POV Pada akhirnya, aku dikurung di kamarku sendiri. Tepatnya di atas tempat tidur. Kak Nathaniel melilitku dengan sprei, untuk mencegahku melakukan hal-hal yang tidak dia sukai. "Jadi, Kakak benar-benar mau membunuhku secara perlahan ya?" tanyaku saat Kak Nathaniel sedang sibuk membalut tubuhku dengan sehelai seprei katun polos dan mengikat kedua tanganku di belakang. "Kamu lebih suka diam atau aku lakban mulutnya?" tanyanya santai dengan gulungan lakban di tangan kirinya dan gunting di tangan kanannya. Dari sorot matanya, jelas sekali kalau dia menyimpan dendam terhadapku. "Baik, aku akan diam!" seruku singkat lalu menjulurkan lidahku sedikit. "Apa kamu baru saja menjulurkan lidah padaku?" ucapnya saat melirikku, sembari berbalik ke arahku. Oh, tidak aku ketahuan. "Itu cuma perasaanmu saja, Kak!" sahutku dengan jantung berdebar. Astaga, kumohon cepat keluar dari kamarku. "Awas saja, kalau kamu berani kabur, aku benar-benar akan menghabisimu. Mengerti?" tegasnya, lalu bera

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 7: OUR DAILY LIFE

    Klara POV Mulai hari ini aku menjalani kehidupan normal kembali setelah sekian lama terkurung di apartemen. Usai membuat kesepakatan dengan Kak Nathaniel, aku bisa mendapatkan kebebasanku kembali dan mencari pekerjaan baru. Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit di hatiku. Karena perjanjian yang tertera di selembar kertas putih tersebut merupakan bukti nyata akan penolakan tegas Kak Nathaniel atas perasaanku padanya. Hanya saja, dia tidak tahu kalau aku memendam perasaan cinta padanya sejak dulu. Rasanya sakit seperti ditolak sebelum sempat menyatakan cinta. Kedengaran menyedihkan bukan? Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menandingi seorang Stefani. Dari segi mana pun aku kalah telak. Dan itu kenyataan yang harus kuterima. Lagipula pernikahan ini memang bukan murni karna cinta. Meski aku tahu menjalani pernikahan seperti ini begitu menyakitkan. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap memegang teguh janjiku pada Mr. Jonathan dan Mrs. Emily. Jad

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 8: KLARA'S DAILY LIFE

    Klara POV Di hari Selasa pagi yang dingin ini, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat karena mulai hari ini aku sudah menjadi salah satu staf divisi 3D Animator resmi di salah satu studio ternama bernama Animotion Studio. Sejujurnya, aku sangat gugup dan juga khawatir apakah aku akan mendapatkan teman di sana. Tapi aku berusaha untuk mengusir pikiran negatifku dan menggantinya dengan pikiran positif, pasti aku akan dapat teman di sana. Tanpa berlama-lama lagi, aku bergegas ke sana dengan menaiki bus seperti biasa. Cuaca hari ini sepertinya terasa lebih dingin dari kemarin, aku bahkan sengaja memakai pakaian tebal plus jaket yang tebal juga, sampai-sampai aku terlihat seperti penguin raksasa. Tapi aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting aku tidak kedinginan dan bisa fokus untuk menjalani hari pertamaku bekerja. Setibanya aku di tempat kerja, aku langsung menemui Mr.A

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 9: NATHANIEL'S CONFESSION

    Klara POV Jarum jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka delapan malam, artinya waktuku untuk pulang sebelum bus selesai beroperasi. Aku meminta Jacob untuk membujuk Gavin pulang, karena berhubung besok masih hari kerja. Tapi sepertinya dia sudah mabuk berat, pria itu bahkan tidak bergeming sama sekali dan memilih untuk tidur di atas meja. Aku pun akhirnya ikut membantu membangunkannya. Percobaan pertama dan kedua gagal total. Pada percobaan ketiga, sepertinya berhasil, namun, tiba-tiba saja dia menerjangku sampai membuatku hampir terjengkang. Aku membelakakan mataku saat Gavin tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya tidak begitu terdengar olehku. Tampak sekilas dari kejauhan, Kak Nathaniel menyaksikan kami berdua. Ekspresinya berubah seketika, seperti akan menerkamku. “He-heii! Lepasin aku, Gavin! Aku sesak nihh!” protesku sambil meronta-ronta.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 10: STARTING TODAY...

    KlaraPOV Seminggu berlalu sejak pernyataan cintanya padaku, pria bersurai coklat yang sudah resmi menjadi suamiku itu selalu mengirimkan buket bunga mawar merah dan sekotak coklat ke tempat kerjaku. Tapi kalau setiap hari dia memberiku sekotak coklat, bisa-bisa aku terkena penyakit diabetes sebelum aku menua. Apa kalian tahu? Sejak saat itu dia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pria yang romantis dan hangat. Bahkan saat kami sudah kembali ke unit apartemen malam itu, tiba-tiba saja dia berubah menjadi pria gentleman. Tanpa aba-aba, dia langsung membukakan pintu unitnya dan mempersilahkanku untuk masuk duluan. Bukan cuma itu saja, di hari libur pun dia selalu mencari-cari alasan agar bisa berada di dekatku, seperti memelukku dengan alasan kedinginan. Sejujurnya aku sangat bahagia karena akhirnya aku bisa sedikit mendapatkan perhatiannya, tapi aku masih grogi. Well, kuakui aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 11: MORE THAN BEFORE

    KlaraPOV Hmmm, Sepertinya kamu jauh lebih kurus dari sebelumnya. Apakah kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Mrs. Emily dengan ekspresi sedikit khawatir. “Aku baik-baik saja Ibu. Setiap musim dingin, tubuhku memang selalu menyusut. Aku bahkan tidak tahu apa alasannya ... hehe,” candaku. Perkataanku membuat Kak Nathaniel dan Mrs. Emily terkekeh pelan. Syukurlah, aku tidak mau membuat mereka cemas akan kondisiku saat ini. Alasan sebenarnya adalah aku sempat mengalami stress saat Kak Nathaniel mengurungku selama berbulan-bulan di unit apartemen. Rasa stress tersebut membuatku hampir kehilangan nafsu makan, makanya selama itu aku tidak pernah makan malam. Namun, sejak Kak Nathaniel mulai mengijinkanku untuk keluar dari unit apartemen, nafsu makanku sudah mulai membaik. “Sekarang giliranku mencoba pakaiannya,” ucap Kak Nathaniel kemudian. Pria bersurai coklat itu membawa jas

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 12: A MOMENT BEFORE CHRISTMAS DAY

    Nathaniel POV Hmmm, jadi Kakak minta tolong aku buat temenin pilih kado yang bagus dan cocok untuk Natalie?” ujarnya memperjelas maksud dan tujuanku mengajaknya ke mall sepulang kerja. “Well, maaf ... sejujurnya, aku tidak tahu apa yang disukai seorang wanita berusia dua puluh tahun,” sahutku terus terang. “Selama Kakak pacaran dengan Kak Stefani, memang Kakak tidak pernah memberikan sesuatu padanya sebagai hadiah ulang tahun?” tanyanya lagi. Pertanyaannya membuatku tertegun sesaat, aku agak heran mengapa dia terlihat biasa saja saat mengatakannya. “Aah, well ... Klara, kamu tidak apa-apa menanyakan hal seperti itu?” tanyaku padanya, mencoba meyakinkannya. “Kenapa? Itu 'kan sudah masa lalu, aku cuma bertanya karena siapa tahu dari situ kita punya ide untuk membeli hadiah untuk Natalie,” sahutnya dengan polos. Aku tidak bisa membantahnya, karena apa yang dia katakan cukup mas

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06

Bab terbaru

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 41: QUALITY TIME 2 (21+)

    Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 40: NOSTALGIA

    Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 39: PREPARING FOR BIRTHDAY PARTY

    Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 38: LIKE A FAMILY

    Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 37: RESCUED

    Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 36: RUNAWAY

    Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 35: THE TRUTH ABOUT STEFANI

    Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 34: THE HOSTAGE

    Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 33: THE TRUTH - Part 2

    Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s

DMCA.com Protection Status