Share

CHAPTER 6: OUR DEALS

Penulis: BabyElle
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-06 11:49:43

Klara POV

Pada akhirnya, aku dikurung di kamarku sendiri. Tepatnya di atas tempat tidur. Kak Nathaniel melilitku dengan sprei, untuk mencegahku melakukan hal-hal yang tidak dia sukai.

"Jadi, Kakak benar-benar mau membunuhku secara perlahan ya?" tanyaku saat Kak Nathaniel sedang sibuk membalut tubuhku dengan sehelai seprei katun polos dan mengikat kedua tanganku di belakang.

"Kamu lebih suka diam atau aku lakban mulutnya?" tanyanya santai dengan gulungan lakban di tangan kirinya dan gunting di tangan kanannya. Dari sorot matanya, jelas sekali kalau dia menyimpan dendam terhadapku.

"Baik, aku akan diam!" seruku singkat lalu menjulurkan lidahku sedikit.

"Apa kamu baru saja menjulurkan lidah padaku?" ucapnya saat melirikku, sembari berbalik ke arahku. Oh, tidak aku ketahuan.

"Itu cuma perasaanmu saja, Kak!" sahutku dengan jantung berdebar. Astaga, kumohon cepat keluar dari kamarku.

"Awas saja, kalau kamu berani kabur, aku benar-benar akan menghabisimu. Mengerti?" tegasnya, lalu beranjak keluar dari kamarku sambil membanting pintuku dengan cukup keras. Membuatku sedikit melonjak kaget.

Huuuft, cara tadi juga tidak berhasil. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Ya Tuhan, tolong berikan aku petunjukmu. Aku benar-benar kehabisan ide sekarang. Ditambah lagi, ikatannya cukup kuat, sampai aku kesulitan untuk membukanya.

Apa aku harus bersungut-sungut di kakinya, seperti budak meminta belas kasihan pada tuannya? Tapi, apakah cara seperti itu akan berhasil? Aku malah takut dia akan menghukumku lebih kejam dari ini, kalau aku melakukan hal yang tak masuk akal lagi di hadapannya.

Andy, maafkan aku yaa, sepertinya aku belum bisa bertemu denganmu hari ini. Tapi, aku masih belum boleh menyerah, aku harus mencobanya sekali lagi.

'Kalau aku berisik, pasti dia akan merasa terganggu kan?' batinku sembari menyeringai sedikit.

Mungkin, dia akan menyerah dan membiarkanku untuk pergi. Baiklah, akan kucoba cara ini, semoga saja berhasil. Untung saja, ponselku ada di meja kerjaku, jadi tidak begitu sulit untuk mengambilnya.

Aku berusaha bangun dari kasurku, dengan perlahan berjalan ke arah meja dan mengangkat kaki kananku. Kuarahkan jempol kakiku ke layar ponsel untuk menyalakan layarnya. Setelah itu, aku membuka folder musik dan menyalakan lagu natal. Tak lupa aku memasang dengan volume suara terkencang.

Satu, dua, tiga!

JOY TO THE WORLD! THE LORD IS COME~ LET EARTH RECEIVE HER KING! ~LET EVERY HEART PREPARE HIM ROOM AND HEAVEN AND NATURE SING, AND HEAVEN AND NATURE SING, AND HEAVEN AND NATURE SING. ~~ ~~ ~~

...........................................................

WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS~~ WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS~~WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS AND A HAPPY NEW YEAR~~ GOOD TIDINGS WE BRING TO YOU AND YOUR KIN WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS AND A HAPPY NEW YEAR~~ ~~ ~~

Beberapa saat kemudian, Kak Nathaniel membuka pintu kamarku dengan kasar. Tak lupa juga, ekspresi super duper jengkelnya yang terpampang dengan jelas di wajah rupawannya itu. Tanpa basa-basi, ia melangkahkan kaki ke arahku dan mengambil ponselku lalu mematikannya.

"Untuk terakhir kalinya Klara, aku memperingatkanmu kalau ini adalah kesempatan terakhirmu. Jadi, gunakan sebijak mungkin," ucapnya dengan tegas namun tenang. Ekspresinya sangat seram, seperti siap untuk memakanku hidup-hidup. Ia meletakkan kembali ponselku di atas meja kerjaku, dan berjalan keluar kamarku.

"Ayolah, aku sedang mencoba untuk menikmati hari Minggu ini dengan mendengarkan lagu natal! Kenapa malah mengusikku? Aku sudah tidak bisa kemana-mana bahkan untuk mengambil makan dan minum saja sangat sulit bagiku. Kakak mau aku mati perlahan dengan sprei terlilit di tubuhku dan ikatan kencang di tanganku, kan? Jadi setidaknya biarkan aku mati dalam keadaan damai!" sahutku dengan nada keras. Aku sedang berusaha memancingnya, kuharap ini berhasil.

Perkataanku tampaknya memberi sedikit efek padanya, terlihat dari bagaimana ia ragu melangkahkan kakinya saat akan keluar dari kamarku. Ia menoleh ke arahku dan tampak berpikir sejenak.

"Baiklah, kalau begitu mari kita buat kesepakatan hitam di atas putih. Yang melanggar harus membayar denda sesuai yang tertera di surat perjanjian. Aku akan buat suratnya besok dan harus kamu tanda tangani. Deal?" ucapnya kemudian.

Hah? Surat perjanjian? Bukan ini yang kuharapkan.

"Ta-tapi Kakak harus adil dalam membuat kesepakatannya, jangan berat sebelah!" sahutku dengan sedikit menuntut. Tentu saja aku tidak mau jadi pihak yang dirugikan.

"Ok," sahutnya singkat, lalu beranjak dari kamarku, saat akan menutup pintunya, aku berteriak padanya.

"Hei, lepaskan aku duluu! Aku lapar, apa kakak tega melihatku makan dengan menggunakan kedua jempol kakiku ini?" Kupasang wajah memelasku sambil mengangkat kedua jempol kakiku.

Lagi-lagi dia terdiam sejenak, kemudian berjalan ke arahku untuk membuka lilitan sprei di tubuhku juga ikatan di tanganku.

"Sudah ya, jadi makanlah dengan tenang. DO. NOT. DISTRUB. ME!" tegasnya dengan sedikit penekanan di kata-kata terakhir.

"OKAY!" sahutku dengan memberi penekanan yang sama.

Setelah itu, dia bergegas keluar dari kamarku. Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang? Kak Nathaniel akan membuat surat perjanjian. Aku lupa kalau dia itu pria yang cerdas.

Satu hal yang harus kulakukan sekarang adalah menelpon Paman dan meminta maaf karena benar-benar tidak bisa ke sana. Kali ini, aku juga terpaksa harus berbohong lagi. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak mungkin merusak image suamiku sendiri di depan orang lain. Itu nasihat ibuku saat aku masih kecil.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Kupikir setelah percobaan pertama gagal, wanita itu akan langsung menyerah. Namun, dugaanku salah, rupanya dia sosok yang gigih juga. Kalau saja tidak ada cctv di sekitar ruang tamu, mungkin wanita itu sudah berhasil mencuri access card ku.

Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Itu karena aku bisa mengakses cctv melalui ponselku untuk berjaga-jaga.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, aku mengurung Klara di kamarnya dan melilit tubuhnya dengan sprei. Aku mencoba mengancamnya sedikit, dan tampaknya cukup berhasil, pada awalnya.

Namun setelah beberapa menit berlalu, ketenanganku terganggu lagi dengan suara bising yang berasal dari ponselnya. Bisa-bisanya dia menyalakan musik dengan volume sekencang itu?

Apa dia tidak takut akan kehilangan pendengarannya? Dan yang lebih penting dari itu, wanita itu lagi-lagi mengganggu konsentrasiku saat bekerja. Sudah cukup, aku tidak tahan lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya dan mematikan musik yang ada di ponselnya secara paksa, sembari memberinya peringatan terakhir.

"Ayolah, aku sedang mencoba untuk menikmati hari Minggu ini dengan mendengarkan lagu natal! Kenapa malah mengusikku? Aku sudah tidak bisa ke mana-mana bahkan untuk mengambil makan dan minum saja sangat sulit bagiku. Kakak mau aku mati perlahan dengan sprei terlilit di tubuhku dan ikatan kencang di tanganku, kan? Jadi setidaknya biarkan aku mati dalam keadaan damai!" sahutnya dengan nada keras.

Jelas sekali kalau dia sedang memancingku agar iba dengannya, dia pikir aku sebodoh itu jatuh dalam rencananya? Tidak semudah itu, wanita sialan. Mari kita lihat, siapa yang akan menang pada akhirnya.

"Baiklah, kalau begitu mari kita buat kesepakatan hitam di atas putih. Kalau kamu melanggarnya, maka kamu harus sepakat untuk bercerai. Aku akan buat suratnya besok dan harus kamu tanda tangani. Deal?" ucapku kemudian.

Tampaknya dia cukup terkejut dengan perkataanku barusan. Syukurlah, sekarang dia tidak akan bisa berbuat macam-macam lagi padaku.

"Ta-tapi Kakak harus adil dalam membuat kesepakatannya, jangan berat sebelah!" sahutnya dengan sedikit menuntut.

Tentu saja aku tahu dia tidak mau dirugikan, begitupun denganku. Jadi, tenang saja, aku akan membuat kesepakatan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Setelah menyetujuinya, aku beranjak dari kamarnya, saat akan menutup pintunya, wanita itu berteriak padaku.

"Hei, lepaskan aku duluu! Aku lapar, apa Kakak tega melihatku makan dengan menggunakan kedua jempol kaki ku ini?" Ia memasang wajah memelas sambil mengangkat kedua jempol kakinya ke arahku. Baiklah, karena kita sudah sepakat, aku akan membebaskanmu untuk saat ini.

"Sudah ya, jadi makanlah dengan tenang. DO. NOT. DISTRUB. ME!" tegasku dengan sedikit penekanan di kata-kata terakhir.

Setelah itu aku keluar dari kamarnya dan melanjutkan pekerjaanku yang tadi sempat tertunda. Karena sibuk meladeni tingkah aneh wanita ini, aku sampai harus menunda pekerjaanku yang sangat penting. Kalau dipikir-pikir ini, adalah pertama kalinya aku sampai menunda pekerjaanku untuk hal yang tidak penting.

Namun, nyatanya wanita ini benar-benar membuatku tidak fokus sepanjang hari ini. Kalian tahu kenapa? Yakni, caranya makan malam ini benar-benar membuat mulutku gatal ingin mengkritiknya lagi.

Dia ini seorang wanita, tidak bisakah dia bersikap layaknya seorang wanita?

"Berhentilah mengomentariku! Aku 'kan sudah tidak mengganggumu lagi, jadi sekarang urus saja urusanmu sendiri!" sahutnya dengan sedikit ketus. Dih, yang memulai duluan siapa memangnya? Wanita aneh.

"FINE!" bentakku geram.

Keesokannya, tepat pertengahan bulan November di mana sudah memasuki musim dingin. Sejak dulu aku tidak begitu menyukai musim dingin, karena menurutku sedikit mengganggu produktivitasku. Keesokan harinya, aku berangkat lebih pagi karena akan ada rapat dengan para investor.

Well, tentu saja ini akan menjadi rapat besar dan akan dipimpin langsung oleh ayahku, berhubung project yang akan dikerjakan merupakan project besar. Tentu, rapat besar yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam ini sangat menguras otak dan tenaga.

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul dua belas siang. Pantas saja, sedari tadi perutku sudah ribut minta diisi. Aku pun mengecek apakah ada pesan penting yang masuk di ponselku. Senyumku pun merekah saat melihat pesan dari Stefani ada di urutan pertama. 

Tanpa berlama-lama, aku membuka pesannya dan membacanya dengan seksama. Senyumku semakin lebar saat membaca kata demi kata darinya. Seperti biasa kekasihku ini mengajakku untuk makan siang bersama. Namun, saat aku sedang menunggu lift, Ayah memanggilku dan mengajakku untuk makan siang bersama.

"Maaf Ayah ... aku sudah ada janji akan makan siang bersama dengan temanku," sahutku setengah berbohong. Ya, Stefani memang 'teman'ku bila ada orang yang kukenal di sekitar.

"Oh, baiklah kalau begitu. Ayah akan makan siang dengan Alex saja," sahutnya kemudian. Alex adalah sekretarisnya, ia adalah teman semasa kuliahku dulu. 

Setibanya di lobi, aku langsung menghubungi Stefani.

"Halo, aku akan segera sampai. Tunggu ya!" ucapku saat keluar dari pintu utama menuju tempat parkir. Aku pun langsung menancap gas, tak ingin membuatnya menunggu terlalu lama. Lima menit kemudian, aku tiba di sebuah kafe yang menjadi tempat favorit kami saat berkencan.

"Hai, bagaimana rapatnya? Pasti kamu lelah," ujarnya sembari memelukku dengan erat.

"Well, lumayan menguras tenaga. Tapi untung saja berjalan dengan lancar," sahutku dengan senyum menghiasi wajahku. Dia memang perhatian sekali.

"Hmm, kalau begitu khusus hari ini aku yang traktir kamu!" serunya sembari menarik tanganku dengan semangat ke meja yang masih kosong. Aku pun terkekeh melihat tingkahnya yang kadang terlihat seperti anak kecil.

"Baiklah, aku tidak akan menolaknya," sahutku tak kalah semangat. Pada akhirnya, kami berdua makan siang bersama dengan nyaman, ditemani dengan alunan musik instrumental natal.

Usai jam makan siang, aku bergegas kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda kemarin. Kalau saja wanita itu tidak menggangguku, mungkin aku sudah menyelesaikannya tepat waktu.

Untung saja jadwal hari ini sedang tidak begitu sibuk, jadi aku masih sempat untuk menyelesaikannya. Tak lupa aku juga membuat surat kesepakatan untuk hari ini. Aku tidak akan membiarkan wanita itu mengganggu rutinitasku lagi.

Setibanya di unit apartemen, aku menempelkan access cardku ke alat sensor untuk membuka pintunya. Saat aku masuk dan melewati ruang tengah, aku melihat wanita itu sedang duduk dengan nyamannya di atas sofa sembari menggambar sesuatu di buku gambarnya.

Aku tidak mau mencampuri urusannya lagi, jadi aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamarku dan berendam air hangat untuk melepaskan stres hari ini. Setelah selesai membersihkan diri, aku keluar dengan setelan kaos lengan pendek dan celana pendek selutut. 

Wanita itu tampaknya tidak sadar kalau aku sudah pulang, ia terlihat sangat fokus dengan kegiatan menggambarnya. Saat aku menegurnya untuk memberitahu kalau surat kesepakatan sudah jadi, ia terlonjak kaget.

"Yaa, eh ... Kak Nathaniel sudah pulang?? Sejak kapan?" serunya sembari mendongakkan kepalanya padaku.

"Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu. Sudahlah, itu tidak penting. Aku sudah menyiapkan surat perjanjiannya, kemarilah. Kamu harus membacanya secara teliti," sahutku sembari berjalan ke arah meja berukuran medium yang ada di ruang tengah.

"Okay ...," balasnya kemudian duduk di kursi yang berseberangan denganku.

Wanita itu mulai membaca isi suratnya dengan serius, aku perhatikan ia tampak menggerakan beberapa bagian wajahnya sedikit. Terkadang menaikan satu alisnya, mengedipkan matanya beberapa kali dan mengerucutkan bibirnya. Seperti mencoba memahami maksud dari tulisan tersebut.

Sejenak, wanita itu menghela napasnya. Setelah itu, kedua netranya pun menatapku penuh tanda tanya.

"Jadi, sekarang Kak Nathaniel ingin berpura-pura terlihat harmonis denganku di depan Ayah dan Ibu," tanyanya kemudian. 

"Iya," jawabku singkat.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Aku tidak mau Ayah dan Ibu mengawasi kita lagi seperti kemarin. Dan aku tidak mau mereka sampai mengetahui hubunganku dengan Stefani," jawabku kemudian menghela napas.

"Ooh, begitu ...." 

Dari nada suaranya, seperti tersirat rasa kecewa. Well, kenapa aku harus peduli?

"Lalu ... di poin terakhir, Kak Nathaniel mau kita tetap melakukan i-itu ...umm ... denganku ...?" tanyanya terbata-bata.

"Iya."

Aku lihat wajahnya seketika merah padam.

"Ta-tapii bukannya kita-"

Kini wajahnya semakin merah padam sekaligus sedikit salah tingkah. Ya, itu hal yang wajar.

Reaksinya sukses menciptakan seringai lebar di wajahku. "Klara, bagaimana pun juga aku tetap seorang laki-laki normal."

End POV

Bab terkait

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 7: OUR DAILY LIFE

    Klara POV Mulai hari ini aku menjalani kehidupan normal kembali setelah sekian lama terkurung di apartemen. Usai membuat kesepakatan dengan Kak Nathaniel, aku bisa mendapatkan kebebasanku kembali dan mencari pekerjaan baru. Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit di hatiku. Karena perjanjian yang tertera di selembar kertas putih tersebut merupakan bukti nyata akan penolakan tegas Kak Nathaniel atas perasaanku padanya. Hanya saja, dia tidak tahu kalau aku memendam perasaan cinta padanya sejak dulu. Rasanya sakit seperti ditolak sebelum sempat menyatakan cinta. Kedengaran menyedihkan bukan? Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menandingi seorang Stefani. Dari segi mana pun aku kalah telak. Dan itu kenyataan yang harus kuterima. Lagipula pernikahan ini memang bukan murni karna cinta. Meski aku tahu menjalani pernikahan seperti ini begitu menyakitkan. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap memegang teguh janjiku pada Mr. Jonathan dan Mrs. Emily. Jad

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 8: KLARA'S DAILY LIFE

    Klara POV Di hari Selasa pagi yang dingin ini, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat karena mulai hari ini aku sudah menjadi salah satu staf divisi 3D Animator resmi di salah satu studio ternama bernama Animotion Studio. Sejujurnya, aku sangat gugup dan juga khawatir apakah aku akan mendapatkan teman di sana. Tapi aku berusaha untuk mengusir pikiran negatifku dan menggantinya dengan pikiran positif, pasti aku akan dapat teman di sana. Tanpa berlama-lama lagi, aku bergegas ke sana dengan menaiki bus seperti biasa. Cuaca hari ini sepertinya terasa lebih dingin dari kemarin, aku bahkan sengaja memakai pakaian tebal plus jaket yang tebal juga, sampai-sampai aku terlihat seperti penguin raksasa. Tapi aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting aku tidak kedinginan dan bisa fokus untuk menjalani hari pertamaku bekerja. Setibanya aku di tempat kerja, aku langsung menemui Mr.A

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 9: NATHANIEL'S CONFESSION

    Klara POV Jarum jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka delapan malam, artinya waktuku untuk pulang sebelum bus selesai beroperasi. Aku meminta Jacob untuk membujuk Gavin pulang, karena berhubung besok masih hari kerja. Tapi sepertinya dia sudah mabuk berat, pria itu bahkan tidak bergeming sama sekali dan memilih untuk tidur di atas meja. Aku pun akhirnya ikut membantu membangunkannya. Percobaan pertama dan kedua gagal total. Pada percobaan ketiga, sepertinya berhasil, namun, tiba-tiba saja dia menerjangku sampai membuatku hampir terjengkang. Aku membelakakan mataku saat Gavin tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya tidak begitu terdengar olehku. Tampak sekilas dari kejauhan, Kak Nathaniel menyaksikan kami berdua. Ekspresinya berubah seketika, seperti akan menerkamku. “He-heii! Lepasin aku, Gavin! Aku sesak nihh!” protesku sambil meronta-ronta.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 10: STARTING TODAY...

    KlaraPOV Seminggu berlalu sejak pernyataan cintanya padaku, pria bersurai coklat yang sudah resmi menjadi suamiku itu selalu mengirimkan buket bunga mawar merah dan sekotak coklat ke tempat kerjaku. Tapi kalau setiap hari dia memberiku sekotak coklat, bisa-bisa aku terkena penyakit diabetes sebelum aku menua. Apa kalian tahu? Sejak saat itu dia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pria yang romantis dan hangat. Bahkan saat kami sudah kembali ke unit apartemen malam itu, tiba-tiba saja dia berubah menjadi pria gentleman. Tanpa aba-aba, dia langsung membukakan pintu unitnya dan mempersilahkanku untuk masuk duluan. Bukan cuma itu saja, di hari libur pun dia selalu mencari-cari alasan agar bisa berada di dekatku, seperti memelukku dengan alasan kedinginan. Sejujurnya aku sangat bahagia karena akhirnya aku bisa sedikit mendapatkan perhatiannya, tapi aku masih grogi. Well, kuakui aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 11: MORE THAN BEFORE

    KlaraPOV Hmmm, Sepertinya kamu jauh lebih kurus dari sebelumnya. Apakah kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Mrs. Emily dengan ekspresi sedikit khawatir. “Aku baik-baik saja Ibu. Setiap musim dingin, tubuhku memang selalu menyusut. Aku bahkan tidak tahu apa alasannya ... hehe,” candaku. Perkataanku membuat Kak Nathaniel dan Mrs. Emily terkekeh pelan. Syukurlah, aku tidak mau membuat mereka cemas akan kondisiku saat ini. Alasan sebenarnya adalah aku sempat mengalami stress saat Kak Nathaniel mengurungku selama berbulan-bulan di unit apartemen. Rasa stress tersebut membuatku hampir kehilangan nafsu makan, makanya selama itu aku tidak pernah makan malam. Namun, sejak Kak Nathaniel mulai mengijinkanku untuk keluar dari unit apartemen, nafsu makanku sudah mulai membaik. “Sekarang giliranku mencoba pakaiannya,” ucap Kak Nathaniel kemudian. Pria bersurai coklat itu membawa jas

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 12: A MOMENT BEFORE CHRISTMAS DAY

    Nathaniel POV Hmmm, jadi Kakak minta tolong aku buat temenin pilih kado yang bagus dan cocok untuk Natalie?” ujarnya memperjelas maksud dan tujuanku mengajaknya ke mall sepulang kerja. “Well, maaf ... sejujurnya, aku tidak tahu apa yang disukai seorang wanita berusia dua puluh tahun,” sahutku terus terang. “Selama Kakak pacaran dengan Kak Stefani, memang Kakak tidak pernah memberikan sesuatu padanya sebagai hadiah ulang tahun?” tanyanya lagi. Pertanyaannya membuatku tertegun sesaat, aku agak heran mengapa dia terlihat biasa saja saat mengatakannya. “Aah, well ... Klara, kamu tidak apa-apa menanyakan hal seperti itu?” tanyaku padanya, mencoba meyakinkannya. “Kenapa? Itu 'kan sudah masa lalu, aku cuma bertanya karena siapa tahu dari situ kita punya ide untuk membeli hadiah untuk Natalie,” sahutnya dengan polos. Aku tidak bisa membantahnya, karena apa yang dia katakan cukup mas

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 13: OUR FIRST CHRISTMAS DAY

    KlaraPOV "Apa kamu lapar?” tanyanya tiba-tiba. “Umm, sedikit ...,” sahutku pelan. “Baiklah, ayo kita makan dulu,” ucapnya lagi seraya menarikku masuk ke dalam sebuah restoran. Astaga, aku baru kali ini masuk ke restoran yang ada di taman bermain ini. Desain interiornya terlihat klasik dan mampu menaikan mood. Usai makan malam, kami melanjutkan perjalanan menikmati berbagai atraksi yang tersedia. Bertemu dengan santa di Santa Land, bermain ice skating bersama, dan juga menikmati karya seni yang terbuat dari es. Bila dipikir-pikir lagi, kegiatan yang kami lakukan sekarang seperti orang-orang yang sedang berkencan. Berkencan— astagaaaaaa, sekarang kita lagi kencan??!!! “Ka-Kak ... kita sekarang lagi ke-kencan ya?” tanyaku dengan sedikit terbata-bata. Aku bahkan tidak bisa merasakan kakiku lagi, sudah lemas karena terlalu grogi. “Iya,” sahutnya sant

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06
  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 14: AFTER CHRISTMAS

    KlaraPOV Hmmm ... jadi, kalian berdua sudah berdamai sekarang?” Seusai acara pesta, Mr. Jonathan memintaku untuk menceritakan hubungan kami berdua. Bukan tanpa alasan beliau memintaku untuk bercerita padanya. Seperti yang kalian tahu, di awal pernikahan aku dan Kak Nathaniel jauh dari kata harmonis. Saat ini aku dan Kak Nathaniel sudah berada di rumah Mr. Jonathan dan Mrs. Emily untuk berkumpul bersama keluarga inti. Kami berdua duduk di sofa berhadapan dengan mereka. Senyuman diwajah mereka berdua semakin merekah saat aku menceritakan yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Kak Nathaniel hanya memandang ke arahku dalam diam, tidak berkata satu patah katapun. “Syukurlah kalau begitu. Kalau boleh jujur, kami berdua sangat bahagia mendengarnya,” ujar Mrs. Emily dengan nada lembut sembari tersenyum hangat, “maafkan Ibu bila terlalu ikut campur dengan urusan pribadi kalia

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-06

Bab terbaru

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 41: QUALITY TIME 2 (21+)

    Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 40: NOSTALGIA

    Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 39: PREPARING FOR BIRTHDAY PARTY

    Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 38: LIKE A FAMILY

    Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 37: RESCUED

    Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 36: RUNAWAY

    Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 35: THE TRUTH ABOUT STEFANI

    Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 34: THE HOSTAGE

    Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap

  • The Story of NATHANIEL & KLARA    CHAPTER 33: THE TRUTH - Part 2

    Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s

DMCA.com Protection Status