Klara POV
Hmmm, Sepertinya kamu jauh lebih kurus dari sebelumnya. Apakah kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Mrs. Emily dengan ekspresi sedikit khawatir.
“Aku baik-baik saja Ibu. Setiap musim dingin, tubuhku memang selalu menyusut. Aku bahkan tidak tahu apa alasannya ... hehe,” candaku.
Perkataanku membuat Kak Nathaniel dan Mrs. Emily terkekeh pelan. Syukurlah, aku tidak mau membuat mereka cemas akan kondisiku saat ini. Alasan sebenarnya adalah aku sempat mengalami stress saat Kak Nathaniel mengurungku selama berbulan-bulan di unit apartemen. Rasa stress tersebut membuatku hampir kehilangan nafsu makan, makanya selama itu aku tidak pernah makan malam. Namun, sejak Kak Nathaniel mulai mengijinkanku untuk keluar dari unit apartemen, nafsu makanku sudah mulai membaik.
“Sekarang giliranku mencoba pakaiannya,” ucap Kak Nathaniel kemudian.
Pria bersurai coklat itu membawa jas
Nathaniel POV Hmmm, jadi Kakak minta tolong aku buat temenin pilih kado yang bagus dan cocok untuk Natalie?” ujarnya memperjelas maksud dan tujuanku mengajaknya ke mall sepulang kerja. “Well, maaf ... sejujurnya, aku tidak tahu apa yang disukai seorang wanita berusia dua puluh tahun,” sahutku terus terang. “Selama Kakak pacaran dengan Kak Stefani, memang Kakak tidak pernah memberikan sesuatu padanya sebagai hadiah ulang tahun?” tanyanya lagi. Pertanyaannya membuatku tertegun sesaat, aku agak heran mengapa dia terlihat biasa saja saat mengatakannya. “Aah, well ... Klara, kamu tidak apa-apa menanyakan hal seperti itu?” tanyaku padanya, mencoba meyakinkannya. “Kenapa? Itu 'kan sudah masa lalu, aku cuma bertanya karena siapa tahu dari situ kita punya ide untuk membeli hadiah untuk Natalie,” sahutnya dengan polos. Aku tidak bisa membantahnya, karena apa yang dia katakan cukup mas
KlaraPOV "Apa kamu lapar?” tanyanya tiba-tiba. “Umm, sedikit ...,” sahutku pelan. “Baiklah, ayo kita makan dulu,” ucapnya lagi seraya menarikku masuk ke dalam sebuah restoran. Astaga, aku baru kali ini masuk ke restoran yang ada di taman bermain ini. Desain interiornya terlihat klasik dan mampu menaikan mood. Usai makan malam, kami melanjutkan perjalanan menikmati berbagai atraksi yang tersedia. Bertemu dengan santa di Santa Land, bermain ice skating bersama, dan juga menikmati karya seni yang terbuat dari es. Bila dipikir-pikir lagi, kegiatan yang kami lakukan sekarang seperti orang-orang yang sedang berkencan. Berkencan— astagaaaaaa, sekarang kita lagi kencan??!!! “Ka-Kak ... kita sekarang lagi ke-kencan ya?” tanyaku dengan sedikit terbata-bata. Aku bahkan tidak bisa merasakan kakiku lagi, sudah lemas karena terlalu grogi. “Iya,” sahutnya sant
KlaraPOV Hmmm ... jadi, kalian berdua sudah berdamai sekarang?” Seusai acara pesta, Mr. Jonathan memintaku untuk menceritakan hubungan kami berdua. Bukan tanpa alasan beliau memintaku untuk bercerita padanya. Seperti yang kalian tahu, di awal pernikahan aku dan Kak Nathaniel jauh dari kata harmonis. Saat ini aku dan Kak Nathaniel sudah berada di rumah Mr. Jonathan dan Mrs. Emily untuk berkumpul bersama keluarga inti. Kami berdua duduk di sofa berhadapan dengan mereka. Senyuman diwajah mereka berdua semakin merekah saat aku menceritakan yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Kak Nathaniel hanya memandang ke arahku dalam diam, tidak berkata satu patah katapun. “Syukurlah kalau begitu. Kalau boleh jujur, kami berdua sangat bahagia mendengarnya,” ujar Mrs. Emily dengan nada lembut sembari tersenyum hangat, “maafkan Ibu bila terlalu ikut campur dengan urusan pribadi kalia
KlaraPOV Aku tidak menjawab pertanyaannya. Karena sejak awal aku sudah berprinsip tidak akan memberitahu siapapun tentang kegiatan sosial yang kulakukan. Tapi, bukankah sekarang aku bisa memberitahu Kak Nathaniel tentang hal ini? Saat ini kami berdua sudah menjadi sepasang suami istri, berarti tidak ada yang perlu dirahasiakan darinya, kan? Meskipun aku belum mengiyakan permintaannya untuk memulai hubungan dari awal. Tapi secara hukum negara dan hukum agama, kami sudah resmi sebagai suami istri. Baiklah, kalau begitu— “... Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kamu bisa bilang kalau kamu sudah siap,” selanya, lalu keluar dari mobil. Setibanya di unit apartemen, aku langsung menghentikannya. “Kak! Aku mau menjawab pertanyaanmu tadi!” seruku. Tampaknya ia sedikit terkejut saat aku tiba-tiba menarik lengannya. “Emm, itu ... iya! Sejak kecil aku memang suka melakukan kegiatan sosial. Jadi, kumo
Nathaniel POV Saat kami berdua sudah berada di dalam mobil, seperti biasa tidak ada satupun dari kami yang membuka topik pembicaraan. Kami berdua sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Aku fokus menyetir, sedangkan Klara sibuk berkutat dengan ponselnya. Saat membuka ponselnya, wanita itu tiba-tiba tertawa pelan, membuatku sedikit penasaran. “Kenapa?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. “Ah, tidak. Teman-teman rekan kerjaku saling memberi ucapan selamat natal digrup chat. Mereka suka sekali memakai emoticon lucu seperti ini hahaha ...,” sahutnya sembari memperlihatkan pesan yang ada di layar ponselnya padaku. “Kamu sangat akrab dengan semua rekan kerjamu ya?” tanyaku lagi. “Ah, tidak semuanya, cuma beberapa orang saja kok. Kenapa?” sahutnya kemudian bertanya balik padaku. “Tidak apa-apa, cuma mau bertanya saja,” sahutku singkat. Pandanganku tetap fokus pada jalan raya. “Kalau
Nathaniel POV Jadi, sekarang Kakak sudah tidak marah lagi padaku?” tanyanya dengan malu-malu sambil sedikit memainkan kedua jari telunjuknya. Wanita yang ada di hadapanku ini dengan polosnya mengeluarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin kujawab. “Well, sejujurnya aku masih kesal padamu. Tapi, melihat dirimu yang sangat ketakutan seperti tadi membuat rasa cemasku padamu lebih mendominasi,” sahutku terus terang. “Hmm ... apa Kakak marah karena tadi pagi aku menyebut nama teman kerjaku?” tanyanya lagi dengan nada polos. Well, akhirnya wanita ini peka juga. Kali ini dia butuh waktu lebih dari setengah hari untuk menyadarinya. Aku sudah tahu kalau dia sedikit lemot untuk peka pada hal seperti ini. Sepertinya aku butuh usaha ekstra untuk membuatnya peka. Tapi kalau kupikir-pikir lagi, karakternya memang unik. Di satu sisi dia bisa sangat peka pada orang lain, tapi di satu sisi dia bisa sanga
Nathaniel POV Hai, lama tidak berjumpa, Nathan ...,” sapa wanita yang pernah menjadi kekasihku. “Ada perlu apa kamu datang kemari, Stefani?” tanyaku dengan nada dingin. Mulai saat ini aku harus menjaga jarak dengannya. “Aku cuma mau tahu kabarmu saja. Tidak boleh ya?” sahutnya dengan memasang ekspresi polos. Entah kenapa saat melihat ekspresinya, aku malah jadi merasa jijik padanya. “Ayah dan Ibu sudah datang ya—” Seketika Klara menghentikan langkahnya saat melihat sosok Stefani di depan pintu unit. Ia langsung menatapku dengan ekspresi kaget dan bingung. “Halo Klara, senang berjumpa denganmu juga.” Kini ia menyapa Klara dengan memasang senyum ramah di wajahnya. “Oh, hai Kak ... ada perlu apa kemari?” sapa Klara saat menghampiriku dan Stefani di depan pintu unit. ”Hmm ... kalau kuperhatikan, kalian sedikit mirip.” Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengannya saat ini.
Klara POV Hei ... Klara?” Kenapa tiba-tiba aku mendengar suara Kak Nathaniel? Lho, kok aku tidak bisa melihat apa-apa? Semuanya berwarna putih, ini di mana? “Klara ...,” Lagi-lagi aku mendengar suaranya, tapi aku tidak bisa melihat sosoknya. Kakak di mana? “Klara....” Dia memanggilku lagi, tapi aku tidak bisa menemukannya. Kakak di manaaa?? Kakaaaa—“Klara, bangunlah!” Aku langsung membuka mataku dan melihat sosok yang sedari tadi memanggilku sedang menatapku dengan cemas. “Oh, astaga ....” Jadi aku baru saja bermimpi? “Kamu menangis saat tertidur. Jadi, aku terpaksa membangunkanmu ...,” ujarnya sembari mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan ibu jarinya. “Maaf, aku ... membuatmu khawatir ...,” sahutku pelan. Aneh sekali, kenapa tiba-tiba aku bermimpi? “Oh iya, sudah jam berapa sekarang??” “Kamu tidak perlu minta maaf ...,” ujarnya setelah mengecup dahiku dengan lembut.
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah
Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.
Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap
Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s