Nathaniel POV
Hai, lama tidak berjumpa, Nathan ...,” sapa wanita yang pernah menjadi kekasihku.
“Ada perlu apa kamu datang kemari, Stefani?” tanyaku dengan nada dingin. Mulai saat ini aku harus menjaga jarak dengannya.
“Aku cuma mau tahu kabarmu saja. Tidak boleh ya?” sahutnya dengan memasang ekspresi polos. Entah kenapa saat melihat ekspresinya, aku malah jadi merasa jijik padanya.
“Ayah dan Ibu sudah datang ya—” Seketika Klara menghentikan langkahnya saat melihat sosok Stefani di depan pintu unit. Ia langsung menatapku dengan ekspresi kaget dan bingung.
“Halo Klara, senang berjumpa denganmu juga.” Kini ia menyapa Klara dengan memasang senyum ramah di wajahnya.
“Oh, hai Kak ... ada perlu apa kemari?” sapa Klara saat menghampiriku dan Stefani di depan pintu unit.
”Hmm ... kalau kuperhatikan, kalian sedikit mirip.” Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengannya saat ini.
Klara POV Hei ... Klara?” Kenapa tiba-tiba aku mendengar suara Kak Nathaniel? Lho, kok aku tidak bisa melihat apa-apa? Semuanya berwarna putih, ini di mana? “Klara ...,” Lagi-lagi aku mendengar suaranya, tapi aku tidak bisa melihat sosoknya. Kakak di mana? “Klara....” Dia memanggilku lagi, tapi aku tidak bisa menemukannya. Kakak di manaaa?? Kakaaaa—“Klara, bangunlah!” Aku langsung membuka mataku dan melihat sosok yang sedari tadi memanggilku sedang menatapku dengan cemas. “Oh, astaga ....” Jadi aku baru saja bermimpi? “Kamu menangis saat tertidur. Jadi, aku terpaksa membangunkanmu ...,” ujarnya sembari mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan ibu jarinya. “Maaf, aku ... membuatmu khawatir ...,” sahutku pelan. Aneh sekali, kenapa tiba-tiba aku bermimpi? “Oh iya, sudah jam berapa sekarang??” “Kamu tidak perlu minta maaf ...,” ujarnya setelah mengecup dahiku dengan lembut.
Klara POV Hmmm ... selamat pagi, Nathan ...,” ucapku saat melihat pria bersurai coklat yang berbaring di sampingku mulai membuka matanya secara perlahan. Tampaknya ia begitu lelah akibat aktivitas panas kami semalam. Kalau kalian ingin tahu, ini adalah pertama kalinya aku mengucapkan tiga kata itu padanya. Aku sangat senang bisa mengucapkan selamat pagi padanya seperti ini, kuharap bisa kulakukan setiap hari setelah bangun tidur. “Ehhmm ... selamat pagi, Klara ...,” balasnya sambil tersenyum tipis. Tanpa aba-aba, ia langsung memindahkan posisi tubuhnya ke atasku, memelukku dengan erat sembari mengecup bibirku dengan lembut. Secara perlahan ia melumat bibirku, menggigitnya pelan lalu memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Membuat lidah kami beradu dan saling bertukar saliva selama beberapa saat. Tak bisa kupungkiri, aku sangat menikmati momen-momen seperti ini bersamanya. Bahkan, momen saat kami berhubun
Nathaniel POV Halo, selamat pagi ...,” ucapku dengan lugas. “Selamat pagi, saya mau menginfokan kalau ada kiriman paket untuk Ny. Klara Hamilton ...,” jelas sang receptionist. Hah, paket? Dari siapa? “Oh ... terima kasih, akan saya ambil nanti,” balasku, kemudian menutup teleponnya. Aku langsung bergegas menghampiri Klara lagi untuk menanyakan soal kiriman paket tersebut, “Klara, tadi receptionist bilang kalau ada kiriman paket untukmu. Apa kamu memesan sesuatu?” “Hah? Aku tidak memesan apa-apa kok,” sahutnya sedikit terkejut, “kalau ada yang mengirimiku paket, biasanya mereka akan mengabariku sebelumnya.” Kalau begitu, siapa yang mengiriminya paket? Tidak mungkin Ayah atau Ibu, tidak mungkin Natalie, apalagi Alex. Atau jangan-jangan ini salah satu ulah si peneror itu. Tapi sebelum itu, aku harus mengetahui isi dari paket tersebut. “Klara, kamu tunggu di
Klara POV Iya Bu, tidak perlu khawatir ... kami sudah melaporkannya ke kantor polisi,” ujar Nathan via ponsel. Saat ini ia sedang menelepon Mrs. Emily untuk menceritakan soal kiriman paket pisau tersebut. “Maafkan aku, sudah membuat Ayah dan Ibu khawatir ...,” ujarku setelah Nathan memberikan ponselnya padaku. “Tidak perlu sungkan pada kami, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga. Jadi, Ibu harap kamu mau meminta pertolongan pada kami bila kamu memang membutuhkannya,” balasnya dari seberang telepon. “Baik Bu, terima kasih. Selamat malam,” ucapku lalu mematikan sambungan ponselnya, kemudian ku kembalikan pada Nathan. “Apa kamu sudah mengantuk?” tanyanya sembari meletakan ponselnya di atas meja sebelah kanan ranjang. “Hmmm, iya ...,” sahutku lalu naik ke atas kasur secara perlahan. Begitupun dengannya, malam ini ia mengenakan kaus lengan panjang dan celana training. Sa
Author POV Di sebuah kafe yang terbilang cukup sepi pengunjung itu, terdapat sosok wanita bersurai biru navy yang sedang duduk terdiam di sebuah kursi. Sosok itu tak lain adalah Klara. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang. ‘Dia pasti akan datang, kan?’ batin Klara. Selang beberapa menit kemudian, sosok yang ditunggu-tunggu datang. Sosok pria bersurai hitam dengan memakai hoodie dan celana jeans berwarna senada. “Halo, Klara. Senang bisa bertemu denganmu lagi,” ujar pria itu dengan nada sinis. “Tidak perlu basa basi. Cepat katakan apa tujuanmu melakukan itu, Robert?” tegasnya pada pria yang diketahui bernama Robert itu. “Ooouh ... sudah lama tidak mengobrol begini, kamu jadi semakin dingin padaku ... bukankah kamu yang meminta untuk bertemu?” ujarnya lagi, masih dengan nada sinis. . . *FLASHBACK: ON* “Halo, dengan siapa saya berbicara?” ujar Klara
Author POV Dua hari berlalu sejak kejadian itu, Klara masih setia menunggu Nathan—suaminya di rumah sakit sampai pulih. Oleh karena itu, ia minta ijin tidak masuk sampai hari ini. "Nathan ...," panggil Klara dengan suara lirih. Namun, sosok yang dipanggil itu belum kunjung membuka matanya. Sosok itu masih terbaring lemah di atas kasur rumah sakit, dengan berbalut baju pasien dan selimut putih yang menutupi dada sampai kakinya. "Kak Nathan ...," panggil seorang gadis bersurai pirang dengan nada lirih dari balik pintu ruangan. Gadis itu tak lain adalah Natalie, adik Nathan. Natalie langsung berjalan ke sisi sebelah tempat tidur, lalu menatap sejenak wajah kakaknya yang terlihat cukup pucat itu. "Apa yang terjadi, Kak?" Kini gadis itu bertanya pada Klara. "Kakak tertembak di bagian kiri perutnya, oleh karena itu dokter mengoperasinya. Sekarang dia hanya butuh istirahat untuk pemu
Author POV Siang berganti malam, tahun lama berganti tahun baru, begitu pun Januari yang juga telah berganti menjadi Februari. Begitulah Nathan menjalani hari-harinya selama masa pemulihan pasca operasi. Pria bersurai coklat itu belum diperbolehkan melakukan aktivitas apapun selain berbaring di tempat tidur. Mungkin bagi sebagian orang, berbaring di atas ranjang tanpa mengerjakan apapun adalah nikmat surga yang tak terbantahkan. Tapi tidak bagi Nathan. Bagi pria itu, berbaring di atas ranjang sama saja dengan siksa neraka. Pria itu tidak menikmatinya sama sekali, bahkan ia sering mengeluh terang-terangan karena tidak bisa melakukan aktivitasnya seperti biasa. “Nathan ...!” tegur Klara saat memergokinya duduk di kursi PC nya. “Uuurrgh ... Klara, kumohon sekali sajaa ...! Aku ingin memeriksa beberapa dokumen—” “Tidak Nathan. Ingat kata dokter? Kamu harus istirahat sampai benar-benar puli
Klara POV Di pagi hari yang cerah namun dingin ini, terjadi suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Kalau kalian ingin tahu, pagi ini aku dan Dorothy naik satu bus yang sama saat menuju tempat kerja. "Klara ... bagaimana keadaan suamimu sekarang?" tanya Dorothy sembari menoleh ke arahku. "Hmm ... sekarang dia sudah kembali bekerja seperti biasa," sahutku pelan. "Syukurlah kalau begitu. Aku dengar dari Alex kalau kondisinya cukup parah," ujarnya lagi. "Yaah, begitulah ... ceritanya panjang ...," sahutku seadanya. "It's okay kalau tidak mau cerita, itu pasti jadi momen yang sangat berat untukmu beserta keluarga," ucap Dorothy dengan sedikit bersimpati. "Terima kasih ...," ucapku sembari tersenyum tipis. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku dan Dorothy sampai di halte dekat studio. . . . "Oh my God, Klaraaa!! Akhirnyaa k
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah
Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.
Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap
Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s