Klara POV
Di hari Selasa pagi yang dingin ini, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat karena mulai hari ini aku sudah menjadi salah satu staf divisi 3D Animator resmi di salah satu studio ternama bernama Animotion Studio. Sejujurnya, aku sangat gugup dan juga khawatir apakah aku akan mendapatkan teman di sana. Tapi aku berusaha untuk mengusir pikiran negatifku dan menggantinya dengan pikiran positif, pasti aku akan dapat teman di sana.
Tanpa berlama-lama lagi, aku bergegas ke sana dengan menaiki bus seperti biasa. Cuaca hari ini sepertinya terasa lebih dingin dari kemarin, aku bahkan sengaja memakai pakaian tebal plus jaket yang tebal juga, sampai-sampai aku terlihat seperti penguin raksasa. Tapi aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting aku tidak kedinginan dan bisa fokus untuk menjalani hari pertamaku bekerja.
Setibanya aku di tempat kerja, aku langsung menemui Mr. Albert untuk tanda tangan kontrak kerja.
“Selamat pagi, Mr. Albert. Saya Graciana Klara Hamilton, saya diminta untuk menemui anda hari ini,” ucapku dengan nada lugas, sembari berjabatan tangan dengannya.
“Selamat pagi, Ms- I mean Mrs. Hamilton. Baik, anda boleh duduk sekarang,” sahutnya sembari melirik ke arah cincin yang terpasang di jari manis tangan kiriku. “Ehem ... mohon dibaca terlebih dahulu dengan teliti, bila sudah tolong segera ditanda tangani,” lanjutnya sembari memberikanku selembar kertas berisikan kontrak kerja.
“Sudah saya tanda tangani,” ucapku seusai membaca dan menandatangani kontrak kerja, aku langsung menyerahkan selembar kertas itu padanya.
“Baiklah, terima kasih. Mulai hari ini, anda diterima bekerja di studio Animotion. Selamat bekerja, Mrs. Hamilton. Untuk saat ini, kamu bisa bertemu dengan ketua divisi, Mr. David,” ucapnya dengan senyum formal sembari berjabatan tangan denganku lagi.
Setelah itu, aku keluar dari ruang HRD lalu bergegas menuju ke ruang kerja Mr. David.
Tok tok tok— Aku mengetuk pintunya beberapa kali, dan terdengar suara dari dalam mengijinkanku masuk.
“Selamat pagi, saya Graciana Klara Hamilton, hari ini merupakan hari pertama saya bekerja, dan Mr. Albert meminta saya untuk menemui anda, Mr. David,” ucapku dengan cukup cepat.
Bagaimana tidak? Aku merasa sangat gugup sekarang karena pria yang bernama David ini memiliki aura yang cukup mengintimidasi. Aku seperti melihat ada aura-aura hitam di sekitar tubuhnya, sampai membuatku reflek menundukan kepalaku, bermaksud menghindari tatapannya. Aku tahu, hal itu tidak sopan, tapi aku benar-benar tidak tahan kalau harus bertatapan mata dengannya.
“Ooh, halo selamat pagi. Senang bertemu denganmu, Mrs. Hamilton. Seperti yang sudah kamu tahu, saya merupakan ketua divisi animator. Jadi, selama beberapa bulan ke depan, saya yang akan melatihmu sampai kamu bisa beradaptasi di sini. Jadi santai saja, tidak perlu gugup. Oiya, saat keluar dari sini, kamu tinggal belok kanan dan kamu akan menemukan pintu bertuliskan staf animator. Ruanganmu di situ, okay?” sahutnya padaku sambil memasang senyum ramahnya.
Entah kenapa, aura hitam tadi langsung berubah menjadi cahaya yang berkelap kelip di mataku. Syukurlah, kukira dia orang yang galak, ternyata hanya firasatku saja. Dasar Klara, kamu selalu saja main judge orang duluan!
“Baik, Mr. David ... mohon bantuannya,” ucapku kemudian pamit untuk keluar dari ruang kerjanya dan bergegas ke ruang kerjaku.
Ini merupakan pengalaman pertamaku bekerja di studio sebesar ini dengan tata letak yang keren dan minimalis. Kuakui, perpaduan warna aquamarine dan carnation pink untuk dinding dan lantai terlihat lembut dan menenangkan.
Sebelumnya aku bekerja di studio yang sama terkenalnya, desain interiornya bagus tapi tidak seminimalis ini. Jadi aku cukup terkesan saat memasuki ruang kerjaku, karena didesain senyaman dan se-simple mungkin. Selain itu, peletakan meja dan kursi PCnya ditata seperti ruangan untuk bersantai. Bahkan, terdapat kasur dan bantal kecil untuk bersantai di salah satu sudut ruangan. Bagian dinding digantungi beberapa tanaman hias yang dapat membuat mood seseorang bagus kembali. Kalau seperti ini suasanannya, aku akan betah masuk kerja setiap hari, meskipun harus lembur.
“Halo, apa kamu anak baru yang bernama Klara? Perkenalkan namaku Gavin dan pria yang sedang tidur di sana namanya Jacob,” ucapnya sembari menjabat tanganku lalu menunjuk ke arah pria berkacamata yang sedang tertidur lelap di kasur, “mulai hari ini kita akan bekerja dalam satu tim. Jadi mohon kerja samanya ya!” sambungnya dengan penuh antusias.
Tampaknya, pria yang bernama Gavin ini orang yang supel. Syukurlah, sambutan hangatnya padaku mampu menghilangkan rasa gugupku.
“Iya, salam kenal ya Gavin, senang bertemu denganmu. Mohon kerja samanya mulai sekarang,” balasku dengan memasang senyum seramah mungkin, menyembunyikan rasa gugupku.
Sejujurnya, aku selalu merasa gugup bila berbicara dengan orang yang baru kutemui. Setelah perkenalan, aku duduk di meja kerjaku dan membuka PCku untuk mempelajari terlebih dahulu aplikasi yang digunakan oleh studio ini dalam pembuatan animasi.
“Saat ini kami sedang dalam proses penyatuan adegan per adegan storyboard, jadi kami memakai aplikasi ini dulu untuk merancangnya. Kamu bisa membukanya dulu untuk mempelajari tools yang ada di aplikasi tersebut,” ucapnya sembari mengarahkan kursor PCku ke aplikasi yang dimaksud dan membukanya dengan mengklik dua kali tombol mousenya.
“Baiklah, aku akan mempelajarinya dulu hari ini. Terima kasih banyak ya,” ucapku lalu fokus ke layar PCku.
Setelah kuamati beberapa saat, aplikasi ini hampir mirip cara kerjanya dengan aplikasi yang pernah kugunakan saat kuliah dulu. Aku pun mencoba untuk membuka file storyboard. Tampaknya, proses pembuatannya akan membutuhkan waktu yang lumayan lama.
Di hari pertama aku bekerja, aku disibukkan dengan mempelajari aplikasi pembuatan animatic. Well, aku sangat menikmatinya karena memberiku wawasan baru. Sampai-sampai tidak terasa kalau langit sudah berganti warna menjadi jingga kemerahan.
Aku melihat jam di pergelangan tanganku, tepat menunjukan pukul lima sore lewat tiga puluh menit yang berarti waktunya untuk pulang. Sayang sekali, padahal aku ingin mempelajarinya lebih lama lagi, tapi tidak apa-apa, masih ada hari esok. Aku pun bersiap-siap untuk pulang, saat aku baru saja membuka pintu, Gavin memanggilku.
“Hei, apa kamu mau hangout sebentar bersama kami?” serunya padaku sambil tersenyum lebar.
Sepertinya tidak ada salahnya untuk mencari hiburan sebentar, kira-kira Dorothy mau ikut atau tidak ya? Sebenarnya aku tidak begitu nyaman kalau hangout bersama teman laki-laki. Tapi setelah kupikir-pikir, tidak ada salahnya sesekali mencoba untuk keluar dari zona nyaman.
Siapa tahu mereka teman yang baik dan bisa diandalkan. Ini kesempatanku untuk membangun relasi dengan orang lain selain keluargaku, jadi harus kumanfaatkan sebaik-baiknya. Ayo Klara, kamu pasti bisa!
“Baiklah, aku mau. Bolehkah aku mengajak satu temanku?” sahutku kemudian disahuti dengan anggukan kepala oleh mereka. Tanpa berlama-lama, aku langsung menghubungi Dorothy.
Beberapa detik kemudian, temanku yang cantik itu mengangkatnya, dan syukurlah dia mau ikut dengan kami. Setelah itu aku, Gavin dan Jacob bergegas menuju kafe yang kemarin ku kunjungi bersama Dorothy.
“Halo, namaku Dorothy. Nice to meet you, guys!” salamnya sembari berjabat tangan dengan Gavin dan Jacob. “Jadi, kita kangout lagi di kafe itu?” bisiknya lagi padaku.
“Yup,” sahutku singkat. Mau bagaimana lagi, karena cuma kafe itu yang paling dekat dengan tempat kerja kita.
“Come on guys! Aku sudah lapar nihh!” seru Gavin dengan semangat sembari menarik tanganku dan Dorothy agar berjalan lebih cepat lagi.
Tampaknya pria supel itu ingin cepat-cepat menghangatkan diri di kafe tersebut. Sementara Jacob cuma menghela napas pelan sambil terkekeh sedikit saat melihat tingkah teman akrabnya itu.
Setibanya di dalam kafe, Gavin dan Dorothy dengan semangat berlari menuju meja yang kosong. Aku dan Jacob mengikuti dari belakang dengan berjalan santai. Saat sampai di meja tersebut, aku menaruh tas ranselku di atasnya dan duduk dengan nyaman di kursi sofa. Aku membuka tasku untuk mengambil buku yang kupinjam dari Dorothy.
“Kalian mau pesan apa? Aku dan Jacob cuma mau pesan hot cappuccino dan cheese hamburger,” seru Gavin sembari menyodorkan buku menu padaku dan Dorothy.
“Aku ingin hot apple cinnamon tea dan cheese hamburger juga,” ucapku setelah membaca buku menu.
“Kamu tidak mau pesan kopi saja?” tanya wanita berparas cantik tersebut padaku. Aku langsung menggeleng pelan.
“Aku menderita maag akut, jadi aku tidak bisa minum kopi,” sahutku kemudian.
“Aaw... kamu pasti merasa tidak enak, karena tidak bisa minum sesuatu yang lezat. Oke, kalau begitu, aku pesan teh lemon panas saja dan burger daging sapi bacon,” ucapnya lagi, lalu memanggil pelayan untuk memesannya.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, pesanan kami tiba. Kami berempat pun menyantap makanan dalam hening, sampai suara Gavin memecah keheningan.
“Maaf, aku hanya ingin tahu tentang sesuatu. Apakah itu cincin kawin di jari manismu?” tanyanya sembari menatap cincin yang tersemat di jari manis tangan kiriku.
“Eh? Oh ini ... iya ini cincin nikahku,” sahutku setelah hening sesaat. Tanpa sadar aku menyentuhnya dengan jari telunjukku.
“Oow, jadi kamu sudah menikah,” ujarnya. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi ekspresinya terlihat sedikit kecewa.
“Hmm ... iya, sebenarnya aku baru menikah selama dua bulan ...,” sahutku dengan nada pelan.
“Waah, kata kebanyakan orang yang sudah menikah, masa-masa awal pernikahan adalah masa-masa terindah. Kamu pasti sekarang sedang bahagia-bahagianya yaa? Ciee, aku turut bahagia!” seru Dorothy dengan semangat bermaksud menggodaku sedikit.
“Hmmm, iya ...,” sahutku singkat, mendengarnya berbicara seperti itu membuat dadaku sesak.
Seandainya pernikahanku seperti yang kebanyakan orang bilang, mungkin aku akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini. Seandainya ...
“Oh iya, apa aku boleh tahu nomor ponselmu? Pasti nanti kita akan sering saling contact untuk urusan pekerjaan. Kalau kamu juga punya akun i*******m, boleh juga ... hehe,” ucap Gavin dengan senyum lebarnya, sembari menyodoriku ponselnya
“Baiklah, ini nomor ponsel dan akun i*******mku,” sahutku setelah memasukkan nomorku dan mengetik akun instagramku diponselnya.
“Aku follow yaa, jangan lupa di follow back hehe ...,” sahutnya dengan sedikit bercanda.
Di hari pertama kami hangout bersama, kami berempat saling tukar nomor ponsel dan follow akun stargram. Itu berarti mulai hari ini kami berempat menjalin hubungan pertemanan.
Sekitar pukul delapan malam, kami akhirnya pulang ke rumah masing-masing karena berhubung besok masih hari kerja. Seperti biasa, aku dan Dorothy naik bus di halte yang sama, begitupun dengan Gavin dan Jacob yang juga menaiki bus namun di halte yang berbeda.
Saat tiba di unit apartemen, aku menempelkan access cardku di alat sensor dan membuka pintunya. Aku melihat sosok Kak Nathaniel sedang duduk di ruang tengah, tampaknya ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamarku agar tidak mengganggunya.
Sejak kami sepakat untuk menjalani hidup masing-masing, aku terus berusaha untuk jaga jarak dengannya, begitupun sebaliknya. Jadi, kupikir dengan tetap seperti ini, semuanya akan baik-baik saja, tidak akan ada yang tersakiti.
Keesokan harinya, aku kembali disibukkan dengan pekerjaanku mempelajari alur storyboard agar aku bisa segera membuat modellingnya. Kulalui hariku dengan sibuk mengerjakan pekerjaan yang kusenangi, bahkan sampai tak terasa sudah sebulan berlalu sejak kesepakatan itu. Kuakui, aku juga cukup menikmati keseharianku bersama dengan teman-temanku, bertukar pendapat tentang banyak hal, membuatku jadi belajar melihat dunia dari berbagai perspektif.
Aku bersyukur karena saat ini dapat merasakan serunya memiliki teman yang bisa kuajak ngobrol tentang apa saja tanpa rasa sungkan dan gengsi. Mungkin, cuma beberapa hal yang bersifat privasi saja yang tetap kusimpan di dalam lubuk hatiku, menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya.
“Huwaaa ... tidak terasa sepuluh hari lagi hari natal! Padahal aku ingin sekali berkencan dihari natal, tapi tidak ada wanita yang ingin kuajak kencan! Aku kesaaal! Huufft ...,” teriaknya saat melihat kalender digital di meja kerjanya.
Sudah sejak seminggu yang lalu pria yang bernama Gavin itu terus mengeluh perihal kegiatan kencannya dengan wanita yang selalu gagal total. Well, bagaimana tidak? Dia selalu bersikap agresif ke setiap wanita yang ia kencani. Padahal aku sudah sering menasihatinya untuk mendekatinya secara perlahan. Jujur saja, bila aku ada di posisi wanita yang ia kencani, maka aku juga akan pergi meninggakannya.
“Tentu saja mereka akan meninggalkanmu, bodoh! Kamu selalu agresif terhadap setiap wanita yang kamu kencani, meskipun kalian berdua baru saja bertemu. Sekarang lebih baik berhenti mengeluh dan selesaikan pekerjaanmu dulu! Karena sebelum Natal, proses animatik harus selesai!” seru Jacob dari meja kerjanya.
Sayang sekali Dorothy berada di divisi Concept Art, pasti akan seru sekali melihat Dorothy ikut mengomelinya habis-habisan saat jam kerja seperti ini.
Jam digital di meja kerjaku sudah menunjukan pukul lima sore lewat tiga puluh menit. Artinya sudah waktunya untuk menghentikan pekerjaanku sementara waktu dan pulang ke rumah. Tapi sepertinya, hari ini aku tidak akan pulang tepat waktu seperti biasanya.
Kalau kalian tanya kenapa, jawabannya tak lain karena Gavin memintaku dan Jacob untuk menemaninya melepas penat di kafe yang biasa kami kunjungi untuk hangout. Kebetulan Dorothy sudah pulang duluan karena ada urusan penting, jadi cuma kita bertiga yang akan hangout di kafe tersebut.
Setibanya di kafe, kami duduk di tempat biasa, karena kebetulan meja itu masih kosong. Saat aku duduk dan menaruh tasku di meja, aku baru sadar kalau Kak Nathaniel dan Kak Stefani juga sedang makan bersama di sini. Untung saja tempat mereka duduk agak jauh dari kami, jadi setidaknya aku tidak akan begitu canggung.
“Huwaaaa ... aku sebal! Kenapa tidak ada satu pun wanita yang mau berkencan denganku!! Padahal aku ingin sekali memiliki kekasih sejati! Please help me, guys!” serunya sembari memasang wajah memelas padaku dan Jacob, dengan sebotol beer di genggamannya.
Tampaknya Gavin sudah mulai mabuk, dia terus mengoceh hal-hal yang tidak masuk akal. Entah sudah yang ke berapa kalinya ia mengatakan kalimat itu. Aku dan Jacob bahkan sampai bosan mendengarkan keluh kesahnya berulang kali, dia terus mengulanginya selama hampir satu setengah jam.
“Kamu pikir saja sendiri!” sahutku dan Jacob bersamaan saking jengkelnya.
End POV
Klara POV Jarum jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka delapan malam, artinya waktuku untuk pulang sebelum bus selesai beroperasi. Aku meminta Jacob untuk membujuk Gavin pulang, karena berhubung besok masih hari kerja. Tapi sepertinya dia sudah mabuk berat, pria itu bahkan tidak bergeming sama sekali dan memilih untuk tidur di atas meja. Aku pun akhirnya ikut membantu membangunkannya. Percobaan pertama dan kedua gagal total. Pada percobaan ketiga, sepertinya berhasil, namun, tiba-tiba saja dia menerjangku sampai membuatku hampir terjengkang. Aku membelakakan mataku saat Gavin tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya tidak begitu terdengar olehku. Tampak sekilas dari kejauhan, Kak Nathaniel menyaksikan kami berdua. Ekspresinya berubah seketika, seperti akan menerkamku. “He-heii! Lepasin aku, Gavin! Aku sesak nihh!” protesku sambil meronta-ronta.
KlaraPOV Seminggu berlalu sejak pernyataan cintanya padaku, pria bersurai coklat yang sudah resmi menjadi suamiku itu selalu mengirimkan buket bunga mawar merah dan sekotak coklat ke tempat kerjaku. Tapi kalau setiap hari dia memberiku sekotak coklat, bisa-bisa aku terkena penyakit diabetes sebelum aku menua. Apa kalian tahu? Sejak saat itu dia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pria yang romantis dan hangat. Bahkan saat kami sudah kembali ke unit apartemen malam itu, tiba-tiba saja dia berubah menjadi pria gentleman. Tanpa aba-aba, dia langsung membukakan pintu unitnya dan mempersilahkanku untuk masuk duluan. Bukan cuma itu saja, di hari libur pun dia selalu mencari-cari alasan agar bisa berada di dekatku, seperti memelukku dengan alasan kedinginan. Sejujurnya aku sangat bahagia karena akhirnya aku bisa sedikit mendapatkan perhatiannya, tapi aku masih grogi. Well, kuakui aku
KlaraPOV Hmmm, Sepertinya kamu jauh lebih kurus dari sebelumnya. Apakah kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Mrs. Emily dengan ekspresi sedikit khawatir. “Aku baik-baik saja Ibu. Setiap musim dingin, tubuhku memang selalu menyusut. Aku bahkan tidak tahu apa alasannya ... hehe,” candaku. Perkataanku membuat Kak Nathaniel dan Mrs. Emily terkekeh pelan. Syukurlah, aku tidak mau membuat mereka cemas akan kondisiku saat ini. Alasan sebenarnya adalah aku sempat mengalami stress saat Kak Nathaniel mengurungku selama berbulan-bulan di unit apartemen. Rasa stress tersebut membuatku hampir kehilangan nafsu makan, makanya selama itu aku tidak pernah makan malam. Namun, sejak Kak Nathaniel mulai mengijinkanku untuk keluar dari unit apartemen, nafsu makanku sudah mulai membaik. “Sekarang giliranku mencoba pakaiannya,” ucap Kak Nathaniel kemudian. Pria bersurai coklat itu membawa jas
Nathaniel POV Hmmm, jadi Kakak minta tolong aku buat temenin pilih kado yang bagus dan cocok untuk Natalie?” ujarnya memperjelas maksud dan tujuanku mengajaknya ke mall sepulang kerja. “Well, maaf ... sejujurnya, aku tidak tahu apa yang disukai seorang wanita berusia dua puluh tahun,” sahutku terus terang. “Selama Kakak pacaran dengan Kak Stefani, memang Kakak tidak pernah memberikan sesuatu padanya sebagai hadiah ulang tahun?” tanyanya lagi. Pertanyaannya membuatku tertegun sesaat, aku agak heran mengapa dia terlihat biasa saja saat mengatakannya. “Aah, well ... Klara, kamu tidak apa-apa menanyakan hal seperti itu?” tanyaku padanya, mencoba meyakinkannya. “Kenapa? Itu 'kan sudah masa lalu, aku cuma bertanya karena siapa tahu dari situ kita punya ide untuk membeli hadiah untuk Natalie,” sahutnya dengan polos. Aku tidak bisa membantahnya, karena apa yang dia katakan cukup mas
KlaraPOV "Apa kamu lapar?” tanyanya tiba-tiba. “Umm, sedikit ...,” sahutku pelan. “Baiklah, ayo kita makan dulu,” ucapnya lagi seraya menarikku masuk ke dalam sebuah restoran. Astaga, aku baru kali ini masuk ke restoran yang ada di taman bermain ini. Desain interiornya terlihat klasik dan mampu menaikan mood. Usai makan malam, kami melanjutkan perjalanan menikmati berbagai atraksi yang tersedia. Bertemu dengan santa di Santa Land, bermain ice skating bersama, dan juga menikmati karya seni yang terbuat dari es. Bila dipikir-pikir lagi, kegiatan yang kami lakukan sekarang seperti orang-orang yang sedang berkencan. Berkencan— astagaaaaaa, sekarang kita lagi kencan??!!! “Ka-Kak ... kita sekarang lagi ke-kencan ya?” tanyaku dengan sedikit terbata-bata. Aku bahkan tidak bisa merasakan kakiku lagi, sudah lemas karena terlalu grogi. “Iya,” sahutnya sant
KlaraPOV Hmmm ... jadi, kalian berdua sudah berdamai sekarang?” Seusai acara pesta, Mr. Jonathan memintaku untuk menceritakan hubungan kami berdua. Bukan tanpa alasan beliau memintaku untuk bercerita padanya. Seperti yang kalian tahu, di awal pernikahan aku dan Kak Nathaniel jauh dari kata harmonis. Saat ini aku dan Kak Nathaniel sudah berada di rumah Mr. Jonathan dan Mrs. Emily untuk berkumpul bersama keluarga inti. Kami berdua duduk di sofa berhadapan dengan mereka. Senyuman diwajah mereka berdua semakin merekah saat aku menceritakan yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Kak Nathaniel hanya memandang ke arahku dalam diam, tidak berkata satu patah katapun. “Syukurlah kalau begitu. Kalau boleh jujur, kami berdua sangat bahagia mendengarnya,” ujar Mrs. Emily dengan nada lembut sembari tersenyum hangat, “maafkan Ibu bila terlalu ikut campur dengan urusan pribadi kalia
KlaraPOV Aku tidak menjawab pertanyaannya. Karena sejak awal aku sudah berprinsip tidak akan memberitahu siapapun tentang kegiatan sosial yang kulakukan. Tapi, bukankah sekarang aku bisa memberitahu Kak Nathaniel tentang hal ini? Saat ini kami berdua sudah menjadi sepasang suami istri, berarti tidak ada yang perlu dirahasiakan darinya, kan? Meskipun aku belum mengiyakan permintaannya untuk memulai hubungan dari awal. Tapi secara hukum negara dan hukum agama, kami sudah resmi sebagai suami istri. Baiklah, kalau begitu— “... Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kamu bisa bilang kalau kamu sudah siap,” selanya, lalu keluar dari mobil. Setibanya di unit apartemen, aku langsung menghentikannya. “Kak! Aku mau menjawab pertanyaanmu tadi!” seruku. Tampaknya ia sedikit terkejut saat aku tiba-tiba menarik lengannya. “Emm, itu ... iya! Sejak kecil aku memang suka melakukan kegiatan sosial. Jadi, kumo
Nathaniel POV Saat kami berdua sudah berada di dalam mobil, seperti biasa tidak ada satupun dari kami yang membuka topik pembicaraan. Kami berdua sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Aku fokus menyetir, sedangkan Klara sibuk berkutat dengan ponselnya. Saat membuka ponselnya, wanita itu tiba-tiba tertawa pelan, membuatku sedikit penasaran. “Kenapa?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. “Ah, tidak. Teman-teman rekan kerjaku saling memberi ucapan selamat natal digrup chat. Mereka suka sekali memakai emoticon lucu seperti ini hahaha ...,” sahutnya sembari memperlihatkan pesan yang ada di layar ponselnya padaku. “Kamu sangat akrab dengan semua rekan kerjamu ya?” tanyaku lagi. “Ah, tidak semuanya, cuma beberapa orang saja kok. Kenapa?” sahutnya kemudian bertanya balik padaku. “Tidak apa-apa, cuma mau bertanya saja,” sahutku singkat. Pandanganku tetap fokus pada jalan raya. “Kalau
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah
Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.
Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap
Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s