Klara POV
Jarum jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka delapan malam, artinya waktuku untuk pulang sebelum bus selesai beroperasi.
Aku meminta Jacob untuk membujuk Gavin pulang, karena berhubung besok masih hari kerja. Tapi sepertinya dia sudah mabuk berat, pria itu bahkan tidak bergeming sama sekali dan memilih untuk tidur di atas meja.
Aku pun akhirnya ikut membantu membangunkannya. Percobaan pertama dan kedua gagal total. Pada percobaan ketiga, sepertinya berhasil, namun, tiba-tiba saja dia menerjangku sampai membuatku hampir terjengkang.
Aku membelakakan mataku saat Gavin tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya tidak begitu terdengar olehku.
Tampak sekilas dari kejauhan, Kak Nathaniel menyaksikan kami berdua. Ekspresinya berubah seketika, seperti akan menerkamku.
“He-heii! Lepasin aku, Gavin! Aku sesak nihh!” protesku sambil meronta-ronta.
Tak ingin jadi pusat perhatian, Jacob dengan sigap menarik tubuh Gavin agar melepas pelukannya. Setelah beberapa saat, Jacob berhasil melepaskannya dariku dan langsung bergegas menuntunnya berjalan keluar dari kafe secepatnya.
Aku langsung mengikutinya dari belakang, setelah sebelumnya membayar makanan kami tadi di kasir.
.
.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ada taksi yang lewat. Akupun langsung menghentikannya.
“Untuk hari ini aku dan Gavin akan naik taksi saja. Terima kasih ya, Klara ... uangnya besok akan kuganti. Maaf kami tak bisa menemanimu menunggu bus,” ucapnya saat mereka berdua sudah memasuki taksi. “See you tomorrow!” sambungnya lagi sesaat sebelum taksinya berangkat.
“It’s okay, sampai jumpa besok!” seruku pada mereka sambil melambaikan tanganku. Setelah taksinya sudah cukup jauh, aku langsung berjalan ke arah halte bus.
Setibanya di halte, tidak ada seorang pun di situ, jadi aku memutuskan untuk duduk di kursi sambil mendengarkan musik di MP3 Playerku. Sembari mendengarkan musik, aku mengamati ada beberapa butiran berwarna putih yang jatuh di aspal. Aku mendongakan sedikit kepalaku dan betapa senang hatiku saat melihat butiran salju turun secara perlahan dan jatuh di atas aspal. Melihat begitu banyak salju yang turun, membuatku tertarik untuk mencoba menangkap salah satu butiran saljunya.
Tanpa membuang banyak waktu, aku langsung bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari halte. Aku membuka salah satu sarung tanganku dan mengulurkannya sedikit untuk menangkap butiran saljunya. Butiran salju yang mengenai telapak tanganku, memberiku sensasi dingin yang sedikit tajam.
Meskipun salju turun tiap tahun, aku tidak pernah merasa bosan. Sejujurnya, musim salju merupakan musim kesukaanku, karena menurutku sangat menyenangkan bisa bermain lempar bola salju dan berlomba membuat boneka salju.
—Tiiiiiiiiiinnn—
Suara klakson mobil membuatku melonjak kaget hingga reflek berlari mundur ke arah halte.
Tampilan mobilnya mirip seperti mobil Kak Nathaniel. Dan benar saja, aku mengerjap kaget saat melihat sosok pengemudinya yang tak lain memang dia.
Mau apa dia kemari? Bukankah dia sedang bersama dengan Kak Stefani tadi? Tidak mungkin, aku pasti sedang berhalusinasi sekarang!
End POV
.
.
Nathaniel POV
Dua minggu berlalu sejak kami membuat kesepakatan, aku menghabiskan waktuku dengan menyibukan diri mengerjakan pekerjaan kantorku. Begitupun dengan wanita itu, ia terlihat begitu bersemangat tiap kali mau berangkat kerja. Syukurlah, kehidupanku akan berjalan mulus seperti dulu lagi, begitu pikirku awalnya.
Namun, saat aku melihatnya di depan kafe bersama pria tua waktu itu, aku mulai merasakan perasaan aneh. Senyum tulus dan kebaikan yang dia berikan pada pria tua itu, seperti menimbulkan sesuatu di dalam dadaku.
Sejak itu, aku terus bertanya-tanya, kenapa dia mau berbaik hati pada orang yang bahkan dia tidak tahu asal usulnya. Aku bahkan hampir tertawa saat memikirkannya, karena tidak masuk akal sama sekali.
Apa yang akan dia dapat dengan melakukan hal itu? Dia hanya akan merugikan dirinya sendiri.
Ayah dan ibuku memang pernah menasihatiku, kalau kita harus membantu orang yang kurang mampu tanpa pilih-pilih. Awalnya kupikir memang sudah seharusnya membantu orang yang kesusahan.
Tapi, setelah mengetahui kenyataan kalau orang yang dibantu orang tuaku menyalahgunakan uangnya untuk berfoya-foya, aku sangat marah.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak sembarangan membantu orang, apalagi yang tidak kuketahui asal usulnya.
Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh kedua orang tuaku.
Awalnya, aku tidak ingin mempedulikannya, karena menurutku wanita itu hanya akan membuang-buang waktuku. Namun, seiring berjalannya waktu, aku sering melihatnya mengunjungi kafe tersebut bersama ketiga temannya. Melihatnya tertawa lepas sambil melempar canda ke teman-temannya membuatku jadi ingin terus mengamatinya dari kejauhan, kuakui senyumannya sangat manis.
Bahkan, aku pernah tak sengaja mendengar saat dia menjawab salah satu pertanyaan temannya perihal tipe kesukaannya. Wanita itu dengan polosnya bilang kalau dia suka pria yang gemar menolong sesama yang membutuhkan. Dia juga bilang, suka dengan pria yang apa adanya dan tidak jaim.
Setelah kupikir-pikir lagi, selama ini wanita itu memang tidak pernah jaga image di hadapanku, dia selalu menunjukan dirinya apa adanya, dan selalu bertingkah konyol. Selain itu, aku juga tidak pernah melihatnya memakai make up saat di rumah, wajahnya sangat polos tanpa polesan.
Mungkin secara tidak langsung dia ingin memberitahuku kalau tidak apa-apa menunjukan sisi burukku di hadapannya.
Saat aku membuang access cardnya, dia sama sekali tidak mencoba untuk balas dendam padaku. Dia cuma marah sebentar, setelah itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Wanita itu memang pernah mencoba untuk mencurinya, namun, itu karena dia ingin bertemu dengan anak-anak panti. Padahal bisa saja, dia diam-diam mengambil access cardku saat aku sedang terlelap dan membuangnya, aku tidak akan marah padanya, karena aku pikir kalau aku pantas mendapatkannya.
Tapi, wanita itu malah dengan ajaibnya mengajakku untuk berteman dengannya, karena dia tidak suka bermusuhan dengan orang lain.
Padahal, yang seharusnya dia lakukan itu marah dan balas dendam padaku, karena ulahku dia jadi kehilangan pekerjaan yang disukainya! Harusnya dia tidak mau berbicara lagi denganku, bahkan harusnya memusuhiku. Tapi dia tetap mau berbicara denganku dan memperlakukanku seolah aku ini tidak melakukan kesalahan apa-apa padanya.
Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu, padahal aku selalu ingin membuatnya menderita. Kenapa dia tidak pernah membalasnya?
“Kamu itu Nathaniel yang terkenal dengan kejeniusannya dalam memecahkan masalah dengan merancang program 'kan? Tapi, untuk hal semudah itu saja kamu tidak bisa memecahkannya sama sekali?" balas Alex lalu mengembuskan napas sejenak, "Itu artinya Klara mencintaimu tanpa syarat! Dia memaafkan semua kesalahanmu, karena dia menerima dirimu seutuhnya!” sambungnya lagi dengan tegas.
“Cinta tanpa syarat? Bukankah hal seperti itu cuma ada di cerita dongeng?” sahutku masih tidak mengerti.
“Tidak juga, aku pernah menyaksikannya sendiri, kok. Kalau kamu mau tahu, saat SMA dulu, aku pernah beberapa kali tak sengaja memergokinya sedang memberi makan siangnya pada seorang anak gelandangan,” sambungnya lagi.
“Oke, aku paham. Tapi, kenapa dia harus melakukan itu?” Aku masih benar-benar tidak mengerti kenapa wanita itu bisa begitu baik pada orang asing.
“Tentu saja karena dia memiliki rasa empati yang besar, itu sebabnya dia peduli dengan masalah kemanusiaan! Apa yang salah denganmu, bung? Dalam hal ini, dia tidak perlu mengenal orang yang dia bantu secara pribadi. Dia melakukannya karena rasa kemanusiaan, mengerti? Pikirkan baik-baik, dia bisa memberikan begitu banyak cinta kepada orang asing, apalagi kepadamu, suaminya. Mungkin dia akan memberikan seluruh hidupnya untukmu! Kamu harus bersyukur memiliki istri yang bisa memberi cinta tanpa syarat dan peduli tentang masalah sosial. Saat ini, orang jarang peduli pada orang miskin, mungkin satu dari seribu orang. Dan dia adalah salah satu dari orang-orang itu. Kamu harus merawat istrimu dengan baik!” sahutnya panjang lebar dengan nada kesal.
Tapi, kata-katanya mulai menyadarkanku akan sesuatu.
“Cinta tanpa syarat? Empati? Rasa kemanusiaan?”
Aahh, sekarang aku paham kenapa aku sering merasakan perasaan aneh itu.
Ya, aku sadar kebaikan hatinya telah berhasil menyentuh hatiku dan memberiku perasaan hangat. Oleh karena itu, secara perlahan aku mulai terbiasa dengan kehadirannya, dia telah mengajariku tentang cinta tanpa syarat dan rasa empati pada orang lain.
Mungkin itu sebabnya kenapa aku merasa kesepian saat dia menjaga jarak denganku, usai kesepakatan yang kami buat. Tapi perasaan ini, entah mengapa aku rasa lebih dari sekedar kesepian. Lebih ke rasa— cinta—
Ya, cinta ... sepertinya aku telah jatuh cinta padanya.
“Sepertinya aku mulai jatuh cinta padanya ...,”ucapku setelah beberapa saat terdiam. Ya, perasaan hangat ini muncul lagi, ada sedikit perasaan menggelitik di perutku.
Itu alasannya kenapa aku kesal saat Klara dipeluk oleh teman prianya di kafe, kusadari kalau aku cemburu. Rasanya aku ingin sekali memukul pria itu karena telah berani menyentuhnya. Tapi, aku menahan diri karena tidak ingin membuat keributan di tempat umum.
Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mengantar Stefani pulang terlebih dahulu lalu kembali lagi untuk menjemput Klara di sini. Dan benar saja, saat aku hampir tiba di halte bus yang biasa dia tumpangi. Lagi-lagi tanpa ia sadari, dia memperlihatkan kepolosannya padaku.
Wanita itu terlihat begitu gembira saat mencoba mengulurkan tangannya untuk menangkap beberapa butiran salju yang turun secara perlahan. Rasanya aku ingin sekali menarik tubuh mungilnya ke dalam pelukanku sembari menciumnya sampai dia kehabisan napas.
—Tiiiiiiiiiinnn—
Suara klakson mobilku membuatnya melonjak kaget hingga reflek berlari mundur ke arah halte.
Ku akui, aku suka sekali mengerjainya, karena reaksinya sangat lucu. Terlihat jelas sekali dari raut mukanya kalau ia tak menyangka akan melihatku di sini. Wanita itu bahkan tidak bergerak sama sekali, ia hanya menatapku dalam diam. Kami berdua saling bertatapan selama beberapa saat, tapi dia malah membuang pandangannya ke sembarang tempat lagi seperti waktu itu.
Sepertinya aku harus memaksanya sedikit agar mau pulang denganku. Oleh karena itu, aku berinisiatif untuk membukakan pintu mobil untuknya. Saat aku keluar dari mobilku untuk membuka pintu sebelahnya, ia sedikit membelakakan matanya.
“Hei, masuklah ...,” ucapku setelah membukakan pintunya, sembari menahannya agar tetap terbuka. Dia tampak bingung, mungkin dipikirnya bukan dia yang sedang kuajak bicara. Terlihat jelas saat dia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seolah mencari orang yang kuajak bicara.
“Klara, masuklah, malam mulai terasa dingin,” sambungku lagi. Tampaknya, sekarang ia yakin kalau dia orang yang sedang kuajak bicara.
“Tidak perlu repot-repot, aku bisa naik bus,” sahutnya singkat. Sepertinya wanita itu masih berusaha jaga jarak denganku. Well, aku tidak bisa menyalahkannya, hal ini terjadi karena usulku.
“Please, ada yang ingin kusampaikan padamu ...,” sahutku lagi, agak memohon kali ini.
“Well, katakan sekarang,” ujarnya dengan ekspresi datar. Ia tetap berdiri di posisi semula.
“Aku tidak bisa bilang di sini. Masuklah ke mobilku sebentar,” ucapku setengah memohon padanya. Sampai-sampai tanpa sadar, aku melangkahkan kakiku ke arahnya.
“Okay,” sahutnya setelah berpikir sejenak.
Wanita itu akhirnya berjalan melewatiku dan masuk ke mobilku, diam tanpa kata. Aku pun berbalik ke arah mobilku dan ikut masuk ke dalamnya. Seketika itu juga suasana menjadi canggung, selama beberapa menit tidak ada dari kami yang membuka suara. Sampai—
“Ba-baiklah aku ketahuan sekarang!” seruannya secara tiba-tiba sukses mengejutkanku.
“Aku mengaku salah karena memakai sabunmu diam-diam selama dua hari berturut-turut. Aku terpaksa melakukannya karena aku baru tahu kalau sabunku sudah habis saat itu juga! Kumohon jangan denda aku, aku tidak punya uang sebanyak itu, jadi-jadi a-aku janji akan menggantinya dengan merek yang sama, bila Kakak mau memaafkanku! Aku tidak akan mengulanginya lagi! Aku janji!” pengakuannya yang panjang lebar membuatku tertegun sesaat lalu tertawa pelan.
“Ke-kenapa tertawa?? Aku serius tahu!” protesnya dengan wajah cemberut.
“Well, haha ... sorry. Hanya saja bukan itu yang ingin kukatakan padamu,“ ujarku sembari menghentikan tawaku dan kembali memposisikan diriku bersandar di kursi pengemudi.
“Bukan itu? Lalu apa?” tanyanya dengan ekspresi bingung.
“Aku ... sudah mengakhiri hubunganku dengannya,” sahutku sembari menatapnya dengan lekat.
“Hah? Benarkah?? Kenapa? Kalian bertengkar??” tanyanya bertubi-tubi dengan ekspresi kaget dan sedikit khawatir.
Aku tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Kenapa dia bisa-bisanya malah mengkhawatirkan hubunganku dan Stefani? Apa dia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri?
“Hmm, tidak ... kami berpisah secara baik-baik kok,” sahutku dengan nada tenang.
“Lalu?” tanyanya lagi.
“Ada wanita lain yang berhasil memikat hatiku ...,” sahutku bermaksud memberinya hint.
“Wh-what? Maksudnya Kakak selingkuh di belakang Kak Stefani?? Kok Kakak bisa jahat begituuu sihh??” protesnya kesal.
Astaga... Kenapa dia bisa begitu lemot? Kupikir dia akan segera menyadarinya.
“Aku baru tahu ternyata kamu agak lemot juga,” ucapku datar.
“Hah? Aku lemot? Issh, aku 'kan lagi serius sekarang!” protesnya lagi sambil cemberut.
“Aku juga serius! Jadi, tolong dengarkan aku,” seruku padanya dengan sedikit berteriak. Ia tertegun saat aku sedikit mengeraskan suaraku.
“Wanita itu adalah kamu, Klara!” tegasku padanya. Tampaknya ia terkejut dengan pernyataanku barusan, seperti salah tingkah.
“Oooh ... emm, itu ... Kakak tidak salah makan, kan?” tanyanya seperti mencari kepastian dari kata-kataku.
“... Pffftt—ahahaha ... kamu lucu sekali, Klara. Tentu saja tidak! Aku bahkan belum makan apa-apa malam ini. Dan aku benar-benar lapar sekarang ... hmmmpph ...,” ujarku sembari perlahan mendekati wajahnya lalu mengecup bibirnya dengan lembut.
Untuk beberapa saat, Klara tidak merespon ciumanku, ia hanya diam membiarkanku mengecup bibir mungilnya. Aku sedikit memaksanya agar meresponku dengan mencoba memasukan lidahku ke dalam mulutnya. Sepertinya cara ini berhasil, ia sedikit mengeluh saat membuka mulutnya dan membiarkan lidahku masuk untuk beradu lidah dengannya.
Yah, aku tahu apa yang aku lakukan itu salah, karena aku tidak meminta persetujuannya terlebih dahulu. Tapi, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya sekarang. Aku hanya ingin merasakannya sedekat mungkin denganku.
“Ku rasa ... hahh ... haah ... sudah cukup untuk saat ini ... hufft ...,” ucapnya dengan napas terengah-engah.
Ia mendorong tubuhku sedikit lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sembari membuang pandangannya dariku.
“Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak terlibat dalam hal apapun? Tapi, kenapa tiba-tiba Kakak melakukan ini padaku?” lanjutnya lagi, masih enggan menatapku.
“Maaf ... aku baru menyadarinya ketika kita membuat kesepakatan. Pada awalnya aku berusaha mengabaikannya karena kupikir itu tidak berarti apa-apa, tapi secara perlahan ada perasaan aneh di dalam diriku. Aku selalu merasa hampa saat melihatmu mengabaikanku. Aku tahu semua itu karena perjanjian yang kubuat ... Tapi, aku tidak tahan lagi, aku benar-benar ingin memberitahumu tentang perasaanku. Tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang telah kulakukan padamu,” sahutku lalu mengeluarkan surat kesepakatan dari dalam tas kerjaku.
“Aku akan membuang surat perjanjian. Mari kita mulai dari awal. Kamu mau?” lanjutku.
“Tolong beri aku waktu untuk berpikir ...,” pintanya setengah berbisik.
Sekarang ia menoleh ke arahku dengan ekspresi sendu. Sepertinya semua ini terlalu mendadak untuknya, baiklah tidak apa-apa, mari kita mulai pelan-pelan.
“Baiklah, aku akan menunggumu sampai kamu siap.”
End POV
.
.
Klara POV
Saat mendengar pernyataannya, kuakui aku sangat bahagia karena akhirnya perasaanku berbalas. Tapi, entah kenapa aku malah merasa takut ... what’s wrong with me? Apa yang kutakutkan? Aku tidak mengerti ... yang kutahu dengan pasti, sekarang aku merasa takut ...
End POV
KlaraPOV Seminggu berlalu sejak pernyataan cintanya padaku, pria bersurai coklat yang sudah resmi menjadi suamiku itu selalu mengirimkan buket bunga mawar merah dan sekotak coklat ke tempat kerjaku. Tapi kalau setiap hari dia memberiku sekotak coklat, bisa-bisa aku terkena penyakit diabetes sebelum aku menua. Apa kalian tahu? Sejak saat itu dia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pria yang romantis dan hangat. Bahkan saat kami sudah kembali ke unit apartemen malam itu, tiba-tiba saja dia berubah menjadi pria gentleman. Tanpa aba-aba, dia langsung membukakan pintu unitnya dan mempersilahkanku untuk masuk duluan. Bukan cuma itu saja, di hari libur pun dia selalu mencari-cari alasan agar bisa berada di dekatku, seperti memelukku dengan alasan kedinginan. Sejujurnya aku sangat bahagia karena akhirnya aku bisa sedikit mendapatkan perhatiannya, tapi aku masih grogi. Well, kuakui aku
KlaraPOV Hmmm, Sepertinya kamu jauh lebih kurus dari sebelumnya. Apakah kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Mrs. Emily dengan ekspresi sedikit khawatir. “Aku baik-baik saja Ibu. Setiap musim dingin, tubuhku memang selalu menyusut. Aku bahkan tidak tahu apa alasannya ... hehe,” candaku. Perkataanku membuat Kak Nathaniel dan Mrs. Emily terkekeh pelan. Syukurlah, aku tidak mau membuat mereka cemas akan kondisiku saat ini. Alasan sebenarnya adalah aku sempat mengalami stress saat Kak Nathaniel mengurungku selama berbulan-bulan di unit apartemen. Rasa stress tersebut membuatku hampir kehilangan nafsu makan, makanya selama itu aku tidak pernah makan malam. Namun, sejak Kak Nathaniel mulai mengijinkanku untuk keluar dari unit apartemen, nafsu makanku sudah mulai membaik. “Sekarang giliranku mencoba pakaiannya,” ucap Kak Nathaniel kemudian. Pria bersurai coklat itu membawa jas
Nathaniel POV Hmmm, jadi Kakak minta tolong aku buat temenin pilih kado yang bagus dan cocok untuk Natalie?” ujarnya memperjelas maksud dan tujuanku mengajaknya ke mall sepulang kerja. “Well, maaf ... sejujurnya, aku tidak tahu apa yang disukai seorang wanita berusia dua puluh tahun,” sahutku terus terang. “Selama Kakak pacaran dengan Kak Stefani, memang Kakak tidak pernah memberikan sesuatu padanya sebagai hadiah ulang tahun?” tanyanya lagi. Pertanyaannya membuatku tertegun sesaat, aku agak heran mengapa dia terlihat biasa saja saat mengatakannya. “Aah, well ... Klara, kamu tidak apa-apa menanyakan hal seperti itu?” tanyaku padanya, mencoba meyakinkannya. “Kenapa? Itu 'kan sudah masa lalu, aku cuma bertanya karena siapa tahu dari situ kita punya ide untuk membeli hadiah untuk Natalie,” sahutnya dengan polos. Aku tidak bisa membantahnya, karena apa yang dia katakan cukup mas
KlaraPOV "Apa kamu lapar?” tanyanya tiba-tiba. “Umm, sedikit ...,” sahutku pelan. “Baiklah, ayo kita makan dulu,” ucapnya lagi seraya menarikku masuk ke dalam sebuah restoran. Astaga, aku baru kali ini masuk ke restoran yang ada di taman bermain ini. Desain interiornya terlihat klasik dan mampu menaikan mood. Usai makan malam, kami melanjutkan perjalanan menikmati berbagai atraksi yang tersedia. Bertemu dengan santa di Santa Land, bermain ice skating bersama, dan juga menikmati karya seni yang terbuat dari es. Bila dipikir-pikir lagi, kegiatan yang kami lakukan sekarang seperti orang-orang yang sedang berkencan. Berkencan— astagaaaaaa, sekarang kita lagi kencan??!!! “Ka-Kak ... kita sekarang lagi ke-kencan ya?” tanyaku dengan sedikit terbata-bata. Aku bahkan tidak bisa merasakan kakiku lagi, sudah lemas karena terlalu grogi. “Iya,” sahutnya sant
KlaraPOV Hmmm ... jadi, kalian berdua sudah berdamai sekarang?” Seusai acara pesta, Mr. Jonathan memintaku untuk menceritakan hubungan kami berdua. Bukan tanpa alasan beliau memintaku untuk bercerita padanya. Seperti yang kalian tahu, di awal pernikahan aku dan Kak Nathaniel jauh dari kata harmonis. Saat ini aku dan Kak Nathaniel sudah berada di rumah Mr. Jonathan dan Mrs. Emily untuk berkumpul bersama keluarga inti. Kami berdua duduk di sofa berhadapan dengan mereka. Senyuman diwajah mereka berdua semakin merekah saat aku menceritakan yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Kak Nathaniel hanya memandang ke arahku dalam diam, tidak berkata satu patah katapun. “Syukurlah kalau begitu. Kalau boleh jujur, kami berdua sangat bahagia mendengarnya,” ujar Mrs. Emily dengan nada lembut sembari tersenyum hangat, “maafkan Ibu bila terlalu ikut campur dengan urusan pribadi kalia
KlaraPOV Aku tidak menjawab pertanyaannya. Karena sejak awal aku sudah berprinsip tidak akan memberitahu siapapun tentang kegiatan sosial yang kulakukan. Tapi, bukankah sekarang aku bisa memberitahu Kak Nathaniel tentang hal ini? Saat ini kami berdua sudah menjadi sepasang suami istri, berarti tidak ada yang perlu dirahasiakan darinya, kan? Meskipun aku belum mengiyakan permintaannya untuk memulai hubungan dari awal. Tapi secara hukum negara dan hukum agama, kami sudah resmi sebagai suami istri. Baiklah, kalau begitu— “... Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kamu bisa bilang kalau kamu sudah siap,” selanya, lalu keluar dari mobil. Setibanya di unit apartemen, aku langsung menghentikannya. “Kak! Aku mau menjawab pertanyaanmu tadi!” seruku. Tampaknya ia sedikit terkejut saat aku tiba-tiba menarik lengannya. “Emm, itu ... iya! Sejak kecil aku memang suka melakukan kegiatan sosial. Jadi, kumo
Nathaniel POV Saat kami berdua sudah berada di dalam mobil, seperti biasa tidak ada satupun dari kami yang membuka topik pembicaraan. Kami berdua sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Aku fokus menyetir, sedangkan Klara sibuk berkutat dengan ponselnya. Saat membuka ponselnya, wanita itu tiba-tiba tertawa pelan, membuatku sedikit penasaran. “Kenapa?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. “Ah, tidak. Teman-teman rekan kerjaku saling memberi ucapan selamat natal digrup chat. Mereka suka sekali memakai emoticon lucu seperti ini hahaha ...,” sahutnya sembari memperlihatkan pesan yang ada di layar ponselnya padaku. “Kamu sangat akrab dengan semua rekan kerjamu ya?” tanyaku lagi. “Ah, tidak semuanya, cuma beberapa orang saja kok. Kenapa?” sahutnya kemudian bertanya balik padaku. “Tidak apa-apa, cuma mau bertanya saja,” sahutku singkat. Pandanganku tetap fokus pada jalan raya. “Kalau
Nathaniel POV Jadi, sekarang Kakak sudah tidak marah lagi padaku?” tanyanya dengan malu-malu sambil sedikit memainkan kedua jari telunjuknya. Wanita yang ada di hadapanku ini dengan polosnya mengeluarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin kujawab. “Well, sejujurnya aku masih kesal padamu. Tapi, melihat dirimu yang sangat ketakutan seperti tadi membuat rasa cemasku padamu lebih mendominasi,” sahutku terus terang. “Hmm ... apa Kakak marah karena tadi pagi aku menyebut nama teman kerjaku?” tanyanya lagi dengan nada polos. Well, akhirnya wanita ini peka juga. Kali ini dia butuh waktu lebih dari setengah hari untuk menyadarinya. Aku sudah tahu kalau dia sedikit lemot untuk peka pada hal seperti ini. Sepertinya aku butuh usaha ekstra untuk membuatnya peka. Tapi kalau kupikir-pikir lagi, karakternya memang unik. Di satu sisi dia bisa sangat peka pada orang lain, tapi di satu sisi dia bisa sanga
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah
Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.
Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap
Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s