Klara POV
Halo, namaku Klara. Aku adalah seorang wanita yang bermimpi untuk mendapatkan sedikit perhatian dari seorang pria yang kucintai sejak lama. Nama pria itu adalah Nathaniel. Saat ini ia sudah resmi menjadi suamiku, namun bukan karena kami saling mencintai layaknya suami istri, namun karena suatu hal ...
Apa kalian penasaran seperti apa ceritanya? Baiklah, akan kuceritakan awal mula aku bertemu dengannya.
Saat aku berumur tujuh tahun, adik dan kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan mobil. Sejak saat itu aku diasuh oleh pamanku, beliau merupakan adik dari mendiang ibuku, ia memang baru saja mendirikan sebuah yayasan panti asuhan. Akulah anak asuh pertama di panti asuhan miliknya.
Ketika aku menginjak usia sepuluh tahun, aku bertemu dengan salah satu donatur tetap di panti asuhan milik pamanku, yang saat ini menjadi ayah mertuaku. Ia bernama Mr. Jonathan, beliau datang bersama Kak Nathaniel, yang saat itu masih berusia dua belas tahun. Ketika pertama kali melihatnya, aku berpikir kalau dia orang yang sangat dingin.
Namun ternyata dugaanku salah.
Semasa aku duduk di kelas satu SMA, beberapa kakak kelas pernah merundungku saat sedang mengantri untuk mengambil makan siang di kantin. Iya, tiba-tiba saja segerombolan kakak kelas perempuan datang dan langsung menyerobot antrian. Mereka berpakaian seksi, juga dandanan yang terbilang cukup menor.
Mereka menyelak dan memberikan tatapan mencemooh padaku, mungkin mereka pikir kalau pakaianku sangatlah tidak kekinian, tapi aku tidak peduli akan hal itu. Aku langsung menegurnya agar mau mengantri sesuai urutan, tapi mereka malah memberikanku tatapan sinis dan mendorongku hingga jatuh ke lantai.
Well, aku tidak bisa membiarkan mereka berperilaku seperti itu, jadi aku balik mendorongnya dan menegur mereka dengan keras agar mau mengantri.
Karena kejadian itu, alhasil kami menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Segerombolan kakak kelas itu merasa dipermalukan olehku, salah satu dari mereka menamparku dan meludahi wajahku.
Di saat mereka melakukan itu, Kak Nathaniel datang menghampiri kami lalu menyuruh kakak kelas tersebut meminta maaf dan mengancam akan melaporkan tindakan bullying tersebut kepada kepala sekolah.
Karena merasa terancam, segerombolan kakak kelas itupun langsung pergi meninggalkan kantin. Usai mereka pergi, Kak Nathaniel menghampiriku lalu memberikan sapu tangannya padaku untuk membersihkan wajahku dari ludahan kakak kelas tadi.
Jujur saja, sejak saat itu aku mulai suka padanya. Iya, kalian tidak salah dengar, aku mulai menyukainya, mungkin lebih tepatnya, aku mulai jatuh cinta ...
Kak Nathaniel adalah kakak kelasku sekaligus ketua OSIS semasa SMA. Dia dikenal sebagai sosok yang ramah dan juga berkarisma, selain itu dia juga aktif dalam kegiatan organisasi sekolah. Dia juga dikenal sebagai murid yang berprestasi karena selalu mendapat peringkat pertama dalam sebagian besar mata pelajaran dan ujian.
Oh iya, ada satu hal lagi yang membuatku tergila-gila padanya. Tapi, kalau aku mengatakannya pada kalian, pasti kalian mengira aku adalah seorang wanita yang cuma melihat rupa. Terus terang saja, sosoknya yang tegas dalam menyikapi pembuli waktu itu, terlihat seperti prince charming yang sering kulihat di cerita dongeng.
Jadi, ya kuakui kalau aku juga menyukai fisiknya ... tapi, faktor itu berada di urutan sekian. Hal utama yang membuatku menyukainya adalah ... rahasia.
Hahaha ... maaf, tapi aku memang tidak mau menceritakannya pada siapapun, termasuk pada pria yang sudah resmi menjadi suamiku saat ini.
Jadi, lebih baik aku melanjutkan cerita tentangnya saja. Tunggu dulu, ceritanya tadi sampai mana ya? Oh iya! Sosok pria yang sekarang sudah resmi menjadi suamiku memiliki wajah yang tampan dan raut wajah yang serius. Warna matanya juga cukup unik, yaitu dominan biru langit dengan sedikit magenta. Ia juga memilik rambut berwarna coklat muda dan merupakan keturunan mix-raced, yakni Inggris dan Indonesia.
Waktu masuk perguruan tinggi pun, ia diterima di University of Cambridge, salah satu universitas terbaik di Inggris. Ia mengambil jurusan Computer Engineering karena dirinya kompeten dalam hal merancang sistem operasi pada komputer. Masih di semester empat saja, ia pernah mendapatkan penghargaan lomba tingkat nasional dalam membuat sebuah sistem operasi pada perangkat komunikasi.
Selang setahun kemudian, aku masuk ke perguruan tinggi yang sama, sayangnya aku mengambil jurusan 3D Animation. Namun, saat aku masuk perguruan tinggi, aku patah hati.
Kalian tahu kenapa aku patah hati?
Itu karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat dia berciuman dengan perempuan lain. Perempuan tersebut bernama Stefani. Ia memiliki paras yang cantik dan sangat berkarisma. Rambutnya panjang sepinggang dan bergelombang, seperti seorang model. Tidak, lebih tepatnya seperti seorang putri bangsawan.
Aku benci mengakuinya, tapi Kak Nathaniel dan Kak Stefani terlihat sangat cocok sebagai sepasang kekasih. Mereka sama-sama memiliki paras yang memukau dan berasal dari keluarga kaya raya.
Kak Stefani adalah seorang model majalah terkenal yang saat ini sedang melanjutkan pendidikannya di jurusan Musikal, dan beruntungnya ia kuliah di universitas yang berbeda.
Waktu pun berlalu begitu cepat, sampai tidak terasa kalau Kak Nathaniel sudah lulus dari perguruan tinggi dan menjadi seorang Engineering yang handal. Karena kemampuannya yang patut diacungi jempol, ia dipercaya oleh ayahnya untuk menempati posisi Systems Development Manager di perusahaan milik ayahnya, J&E Group.
Kak Nathaniel memiliki seorang adik perempuan yang berusia lima tahun lebih muda darinya, namanya Natalie. Adik iparku yang periang itu memiliki minat yang cukup besar dalam seni tari, saat ini ia sedang menempuh pendidikan seni tari di University Gloucesterhire, London.
Kalian pasti berpikir kalau aku mengetahui semuanya setelah menikah dengan Kak Nathaniel, kan?
Kalau kalian berpikir begitu, kalian salah besar! Jauh sebelum aku menikah dengan Kak Nathaniel, aku sudah mengenal mertuaku lebih dahulu.
Kalian penasaran kapan dan bagaimana aku bisa mengenal mertuaku? Baiklah, akan kuceritakan pada kalian.
Itu karena sewaktu masih berada di kelas dua SMA, aku pernah tidak sengaja bertemu dengan ibu mertuaku. Saat itu beliau pernah hampir kecopetan, aku yang melihatnya langsung mencegat pencopet tersebut. Pencopet itu langsung kabur, setelah sebelumnya mendorongku hingga aku terjatuh dan membuat kepalaku terbentur trotoar dengan cukup keras.
Saat aku tersadar kembali, aku sudah ada di rumah sakit. Aku mencoba untuk bangun, namun rasa sakit yang teramat sangat di kepalaku membuatku tidak mampu untuk bangun. Kemudian, aku melirik ke arah samping tempat tidur. Di situ aku melihat seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang saat ini sudah resmi menjadi ibu mertuaku, sedang menatapku khawatir.
“Syukurlah kamu sudah bangun, kamu sekarang berada di rumah sakit ...,” ucapnya dengan wajah yang ramah.
Aku yang belum tersadar sepenuhnya, hanya bisa menatapnya tanpa mengatakan apa-apa.
“Saya ingin berterima kasih padamu karena telah menolong saya dan suami saya dari pencuri. Sekarang istirahatlah sampai kamu pulih. Kamu tidak perlu memikirkan soal biayanya, saya sudah mengurus semua biaya administrasinya,” lanjutnya sambil tersenyum lembut.
“Terima ... kasih ... banyak ...,” ucapku lirih.
Sejak saat itulah aku mulai menjalin hubungan kekeluargaan dengan mereka. Oh iya, ibu mertuaku bernama Mrs. Emily.
Betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa mereka merupakan salah satu donatur di kampusku. Aku tidak menyangka kalau mereka orang yang sangat ramah dan baik, aku merasa bersyukur karena bisa bertemu dan mengenal mereka.
Selang setahun kemudian, aku pun lulus dan menerima gelar Bachelor of Art. Saat itu, aku terpilih menjadi perwakilan angkatan untuk memberikan sedikit pidato ucapan terima kasih dan salam perpisahan. Setelah acara kelulusan selesai, tak disangka-sangka mereka meminta bertemu untuk membicarakan sesuatu.
“Selamat atas kelulusanmu Klara. Dan juga tadi pidatomu sangat bagus dan menyentuh hati,” ucap Mrs. Emily sembari memeluku dengan erat.
“Selamat atas kelulusanmu Klara,” ucap Mr. Jonathan sembari tersenyum tipis.
“Terima kasih banyak Mrs. Emily dan Mr. Jonathan atas bantuanya selama ini. Aku harap kalian selalu di berkati Tuhan di sepanjang hidup kalian. Dan jika kalian membutuhkan bantuan, kalian bisa langsung menghubungiku,” ucapku dengan penuh semangat.
“Iyaa, terima kasih Klara. Begitupun dengan kamu, jangan ragu untuk meminta bantuan kami ya,” jawab Mr. Jonathan.
Saat ini kami sedang berada di sebuah restoran untuk membicarakan sesuatu hal yang penting, yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
“APA?! Me-Menikah dengan putra kalian!?” ucapku spontan. Aku langsung berdiri dari kursi makan dengan mata terbelakak.
“Tenang dulu Klara, dengarkan penjelasan kami terlebih dahulu ...,” pinta Mrs. Emily dengan nada pelan.
Aku duduk kembali dan mulai mendengarkan penjelasan mereka.
Waktu berlalu dengan cepat, langit sudah kehilangan cahayanya, jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul tujuh malam. Usai berbicara, mereka mengantarku pulang ke kosanku. Sesampainya di kosan aku pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada mereka karena sudah repot-repot mengantarku. Jujur saja sepanjang perjalanan aku masih saja terngiang-ngiang perkataan dari Mrs. Emily.
.
.
*FLASHBACK: ON*
“Begini Klara, sebelumnya kami sudah memikirkan hal ini matang-matang, saya rasa kamu pasti tahu bahwa saat ini Nathaniel sedang menjalin hubungan khusus dengan seorang wanita bernama Stefani kan?” lanjut Mrs. Emily.
Aku mengangguk pelan.
“Mungkin ini terdengar jahat, tapi sejujurnya kami berdua sangat menentang hubungan mereka berdua,” lanjut Mrs. Emily, sedikit mengerutkan alisnya.
Mendengar hal itu aku agak terkejut lalu spontan bertanya, “Kenapa? Sepertinya Stefani wanita yang baik ....”
Mrs. Emily dan Mr. Jonathan pun saling bertatapan sesaat kemudian melihat ke arahku sambil menghela napas pelan.
“Sebelumnya berjanjilah untuk merahasiakan ini dari Nathan,” pinta Mr. Jonathan.
“Baik aku janji,” ucapku sambil mengangguk pelan.
“Saat pertama kali mendengar bahwa Nathan menjalin hubungan dengan wanita bernama Stefani, kami tidak menaruh curiga sama sekali. Awalnya kami juga berpikir sama sepertimu. Tapi kami salah, setelah hampir satu tahun mereka berpacaran, Stefani mulai menunjukan sikap yang sedikit berbeda dari sebelumnya,” ucap Mr. Jonathan tanpa menyembunyikan ekspresi kesalnya.
“Aku meminta asistenku untuk memata-matai wanita tersebut …,” lanjut Mr. Jonathan kemudian mengambil napas berat dan menghelanya.
“Dan benar saja, setelah beberapa hari memata-matainya, saya mendapat info bahwa wanita yang bernama Stefani itu merupakan anak dari musuh bebuyutan keluarga kami,” ucap Mr. Jonathan dengan ekspresi menahan marah.
“Kami tidak ingin Nathan menjadi alat balas dendam mereka, kami ingin melindunginya dari wanita licik itu. Kami mohon padamu, menikahlah dengan Nathaniel. Kami tahu kamu mencintai putra kami, kan?” sambung Mr. Jonathan dengan wajah penuh arti.
*FLASHBACK: OFF*
.
.
Sambil merebahkan diri di kasur, aku memejamkan mata lalu menghela napas panjang, “Apa yang harus kulakukan?”
Ya, seperti itulah kisah awal mula penyebab aku bisa menikah dengan Nathaniel. Aku harap kalian tidak merasa bosan mendengar ceritaku ...
Karena kisah ini baru permulaannya saja.
End POV
Nathaniel POV Sudah empat tahun sejak aku menjalin hubungan dengan Stefani. Aku selalu punya rencana untuk melamarnya. Oleh karena itu, aku ingin membicarakan hal ini dengan Ayah dan Ibu untuk meminta restu mereka terlebih dahulu. Setelah menunggu sampai langit menggelap, mereka baru tiba di rumah. Setibanya mereka di ruang tamu, aku memberanikan diri untuk mengajak mereka membicarakan rencana pernikahanku. Kami langsung duduk di sofa ruang tamu untuk membicarakannya. Aku memulai percakapan, " Begini, Ayah, Ibu ... sebenarnya ini sudah direncanakan sejak lama, tapi aku baru bisa bilang sekarang ...." "Ada apa, nathan? tanya ibuku, memasang senyum tipis di wajahnya. "Err ... begini, aku berencana untuk melamar Stefani ...," ungkapku kemudian. Jantungku mulai berdegup dengan cepat. Mendengar perkataanku membuat mereka terlonjak. "Apa katamu?! KAMU INGIN MENIKAHI PEREMPUAN ITU!??" Wajah ayahku menjadi merah padam, seperti menahan amarah yang sudah memuncak. "Ya, aku ingin menikahi
Nathaniel POV Siang hari seperti biasa, Stefani mengajaku makan siang bersama di tempat yang biasa kami kunjungi. Tempat itu adalah tempat favorit kami untuk berkencan. Aku masih tidak mengerti alasan Ayah dan Ibu sangat menentang hubunganku dengan Stefani. Faktanya, dia adalah wanita yang sangat baik dan juga lembut. Dia juga sangat cantik dan berpendidikan. Apa yang kurang darinya? Apakah Stefani tidak memenuhi standar mereka? Atau karena mereka tidak ingin aku menikah seumur hidupku? Memikirkannya saja sudah membuatku sakit kepala. "Ada apa? Kenapa kamu melamun? Makanannya tidak enak ya?” tanya wanita yang masih berstatus menjadi kekasihku itu sambil tersenyum lembut. “Ah tidak, makanannya enak ... aku hanya memikirkan sesuatu ...," ujarku dengan sedikit terbata-bata. “Memikirkan tentang apa? Sepertinya cukup penting untuk membuatmu melamun,” ujarnya penasaran. “Erm, sepertinya aku tidak bisa memberitahumu sekarang, mungkin nanti ... di waktu yang tepat,” ucapku sedikit gugup
Klara POV Hari ini merupakan hari pertama kami sebagai suami istri. Pagi ini aku sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kak Nathaniel. Aku memasakan makanan favoritnya, yaitu capcay. Aku diberitahu oleh Mrs. Emily, yang sekarang sudah resmi menjadi ibu mertuaku. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamarnya, sudah berpakaian rapi dan bersiap-siap untuk berangkat. "Kakak sudah mau berangkat? Tidak mau sarapan dulu?" tanyaku. Namun, ia tidak menghiraukannya dan langsung berangkat tanpa pamit terlebih dahulu. Melihat perilakunya membuatku sedikit sedih. Akhirnya, aku membungkus makanannya untuk kubawa sebagai bekal di tempatku bekerja. Tak terasa langit sudah kehilangan cahayanya, aku menunggu bus di halte dekat tempat kerjaku. Setiap berangkat maupun pulang aku selalu menggunakan bus, karena menghemat ongkos. Beberapa saat kemudian, bus tiba, kebetulan transportasi tersebut sudah penuh dengan penumpang. Mau tak mau aku harus mengalah dan menunggu bus selanjutnya. Selang du
Klara POV Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Mrs. Emily, membuatku dan Kak Nathaniel terkejut dan menghentikan kegiatan menyantap makan kami. Kak Nathaniel langsung menatap tajam Mrs. Emily kemudian melirik tajam ke arahku yang duduk di sebelahnya. Aku mendapat tatapan tajam dari Kak Nathaniel serta tatapan Mrs. Emily yang seolah-olah menuntutku untuk berbicara terus terang. Aku merasa mendapat tekanan dari kedua belah pihak. Sebenarnya, aku ingin berterus terang, tapi, aku tahu kalau hal itu akan merusak hubungan Kak Nathaniel dengan Mrs. Emily. Aku tidak ingin merusak hubungan antara ibu dengan anaknya, jadi aku terpaksa berbohong pada Mrs. Emily. “Ohh, emm ... begini, sebenarnya ...,” ucapku dengan terbata-bata, bingung memilih kata-kata yang tepat. “Sebenarnya ... aku resign karena aku merasa skill yang kumiliki belum cukup untuk bekerja di perusahaan sebesar itu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendalami skillku terlebih dahulu, oh iya saat ini aku sedang mengiku
Klara POV Pada akhirnya, aku dikurung di kamarku sendiri. Tepatnya di atas tempat tidur. Kak Nathaniel melilitku dengan sprei, untuk mencegahku melakukan hal-hal yang tidak dia sukai. "Jadi, Kakak benar-benar mau membunuhku secara perlahan ya?" tanyaku saat Kak Nathaniel sedang sibuk membalut tubuhku dengan sehelai seprei katun polos dan mengikat kedua tanganku di belakang. "Kamu lebih suka diam atau aku lakban mulutnya?" tanyanya santai dengan gulungan lakban di tangan kirinya dan gunting di tangan kanannya. Dari sorot matanya, jelas sekali kalau dia menyimpan dendam terhadapku. "Baik, aku akan diam!" seruku singkat lalu menjulurkan lidahku sedikit. "Apa kamu baru saja menjulurkan lidah padaku?" ucapnya saat melirikku, sembari berbalik ke arahku. Oh, tidak aku ketahuan. "Itu cuma perasaanmu saja, Kak!" sahutku dengan jantung berdebar. Astaga, kumohon cepat keluar dari kamarku. "Awas saja, kalau kamu berani kabur, aku benar-benar akan menghabisimu. Mengerti?" tegasnya, lalu bera
Klara POV Mulai hari ini aku menjalani kehidupan normal kembali setelah sekian lama terkurung di apartemen. Usai membuat kesepakatan dengan Kak Nathaniel, aku bisa mendapatkan kebebasanku kembali dan mencari pekerjaan baru. Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit di hatiku. Karena perjanjian yang tertera di selembar kertas putih tersebut merupakan bukti nyata akan penolakan tegas Kak Nathaniel atas perasaanku padanya. Hanya saja, dia tidak tahu kalau aku memendam perasaan cinta padanya sejak dulu. Rasanya sakit seperti ditolak sebelum sempat menyatakan cinta. Kedengaran menyedihkan bukan? Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menandingi seorang Stefani. Dari segi mana pun aku kalah telak. Dan itu kenyataan yang harus kuterima. Lagipula pernikahan ini memang bukan murni karna cinta. Meski aku tahu menjalani pernikahan seperti ini begitu menyakitkan. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap memegang teguh janjiku pada Mr. Jonathan dan Mrs. Emily. Jad
Klara POV Di hari Selasa pagi yang dingin ini, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat karena mulai hari ini aku sudah menjadi salah satu staf divisi 3D Animator resmi di salah satu studio ternama bernama Animotion Studio. Sejujurnya, aku sangat gugup dan juga khawatir apakah aku akan mendapatkan teman di sana. Tapi aku berusaha untuk mengusir pikiran negatifku dan menggantinya dengan pikiran positif, pasti aku akan dapat teman di sana. Tanpa berlama-lama lagi, aku bergegas ke sana dengan menaiki bus seperti biasa. Cuaca hari ini sepertinya terasa lebih dingin dari kemarin, aku bahkan sengaja memakai pakaian tebal plus jaket yang tebal juga, sampai-sampai aku terlihat seperti penguin raksasa. Tapi aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting aku tidak kedinginan dan bisa fokus untuk menjalani hari pertamaku bekerja. Setibanya aku di tempat kerja, aku langsung menemui Mr.A
Klara POV Jarum jam di pergelangan tanganku sudah berada di angka delapan malam, artinya waktuku untuk pulang sebelum bus selesai beroperasi. Aku meminta Jacob untuk membujuk Gavin pulang, karena berhubung besok masih hari kerja. Tapi sepertinya dia sudah mabuk berat, pria itu bahkan tidak bergeming sama sekali dan memilih untuk tidur di atas meja. Aku pun akhirnya ikut membantu membangunkannya. Percobaan pertama dan kedua gagal total. Pada percobaan ketiga, sepertinya berhasil, namun, tiba-tiba saja dia menerjangku sampai membuatku hampir terjengkang. Aku membelakakan mataku saat Gavin tiba-tiba memelukku dengan erat dan mengatakan sesuatu. Tapi, sayangnya tidak begitu terdengar olehku. Tampak sekilas dari kejauhan, Kak Nathaniel menyaksikan kami berdua. Ekspresinya berubah seketika, seperti akan menerkamku. “He-heii! Lepasin aku, Gavin! Aku sesak nihh!” protesku sambil meronta-ronta.
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah
Author POV Tok tok tok—cklek "Selamat pagi, Nona. Ini sarapan Anda," ucap Marcus dengan nada lugas, sembari membawa nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas air putih. "Untuk apa? Lebih baik aku mati saja ... aku lelah dengan semuanya ...," sahut Stefani dengan lirih. Wajahnya sudah pucat dan sedikit tirus. Badannya juga terlihat lebih kurus dan lesu, tak bertenaga. "Anda harus makan, Nona. Bukankah Anda mau keluar dari sini secepatnya?" tegur pria itu dengan sedikit menaikan suaranya. Stefani langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya yang sudah lemas itu menatapnya dengan penuh tanda tanya. Pria itu berjalan mendekatinya, meletakan nampannya di atas meja lalu duduk di tepi kasurnya. "Saya terus memikirkan perkataan Anda. Dan saya akui, saya mulai berpikir kalau Anda selama ini benar. Jadi ... saya akan membantu Anda untuk kabur dari sini. Saya janji," ujarnya dengan raut wajah serius.
Author POV "Akhirnya Klara mengetahuinya semuanya ...," ucap Mr. Jonathan sembari membenamkan wajahnya di pundak istrinya. "A-apakah ... dia akan meninggalkan Nathan ...?" "Entahlah Jonathan ... untuk saat ini kita hanya bisa berdoa supaya Klara mau memaafkan perbuatan kita ...," balas Mrs. Emily dengan raut wajah sendu. Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pasrah. Sejujurnya ia sudah pasrah apabila menantunya memutuskan untuk pergi meninggalkan anaknya. Karena bagaimanapun juga, semuanya memang salah dirinya. Dialah yang menyebakan semua ini terjadi. Oleh karena kebodohannya sendiri, semua orang menjadi menderita. . . . "Ma-mau apa Anda ke sini ...?" pekik Stefani. "Wah, baru saja berpisah selama dua bulan lebih, kamu sudah berani kurang ajar pada ayahmu sendiri ...," sahut pria berjas hitam tersebut yang ternyata merupakan ayah dari wanita itu. "Mau ap
Author POV Di Sabtu siang yang cerah, tampak sepasang muda mudi sedang jalan-jalan mengitari sebuah taman bunga. Pasangan tersebut tak lain adalah Alex dan Dorothy. "Hmm ... sejak minggu lalu kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Dorothy penasaran. "Umm ... aku sedang memikirkan sesuatu," sahut Alex, tampak sedikit ragu. "Apa itu?" tanyanya lagi. "Well ... masalah kerjaan ... as always," jawab pria itu usai terdiam sejenak. "Hmmm ...? I know you very well," sanggah wanita cantik itu. "Kamu lagi bohong, kan?." Seketika itu juga, langkahnya terhenti lalu menghela napas pelan. "Maaf ... tapi, aku sudah berjanji pada beliau untuk merahasiakannya ...." Mendengar hal itu, Dorothy hanya diam menatapnya. Sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami kekasihnya itu. Kalau boleh terus terang, wanita itu tidak suka bila kekasihnya itu menyembunyikan s