"Maaf karena membawa mobilmu," Ryuu akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai.
"Aku membutuhkannya untuk... mengurus sesuatu yang mendesak." Elle mengerjap pelan beberapa kali, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, "Tak apa... yang penting mobilnya sudah kembali." Ryuu tidak segera menjawab. Bola matanya yang gelap mengunci Elle dalam tatapan tajam yang membuat gadis itu merasa sulit untuk berpaling. Langkah Ryuu perlahan mendekat dengan gerakan yang penuh kendali, dan entah bagaimana membuat debaran di dada Elle semakin liar tak terkendali. Akio yang masih memeluknya, tiba-tiba menarik pelan kemeja oversize yang dikenakan Elle. Bocah itu mendongak seraya menatapnya dengan mata polos penuh harap. "Elle, aku sangat lapar... Apa kamu sudah masak untuk makan siang?" Elle tersentak dari pikirannya. Ia menunduk untuk mengusap lembut rambut hitam tebal Akio sebelum tersenyum kecil. "Maaf, Sayang. Hari ini aku belum memasak. Makanan di dapur sudah habis semalam, hanya tersisa beberapa lembar roti saja," ungkapnya penuh sesal, terutama setelah melihat Akio dan Ayaka yang mengerutkan kening kecewa. Tapi mungkin ia bisa melakukan sesuatu. Mobilnya sudah kembali, kan? Jadi Elle bisa pergi ke swalayan di kota, mungkin bisa berhutang untuk membeli beberapa bahan makanan yang dibutuhkan~~ "Kalau begitu, aku akan memesan makanan. Kamu tak perlu repot-repot memasak, Elle," Ryuu sudah lebih dulu menyela, sebelum Elle sempat mengutarakan pemikirannya. Gadis itu pun mengangkat wajahnya hingga kembali beradu tatap dengan manik gelap Ryuu yang menguncinya sejak tadi, tanpa ia sadari. "Uhm... tapi~~" Ryuu menggeleng. "Tidak ada tapi. Akio dan Ayaka sudah kelaparan, jadi sebaiknya kita memesan pizza untuk makan siang," ucapnya tegas dengan sorot yang lekat menatap Elle tanpa berkedip, seolah tak memberi ruang untuk penolakan. "HOREE, PIZZA!!" jerit Ayaka senang, lalu melakukan tos sepuluh jari dengan Akio yang juga tampak sama senangnya. Kedua bocah itu kemudian berlarian ke sana kemari dengan riang, suara tawa yang renyah dan polos mewarnai udara dan seketika membuat suasana menjadi ceria. Tanpa sadar, Elle pun tersenyum. Hatinya terasa hangat melihat tingkah Akio dan Ayaka yang menggemaskan. Tanpa ia tahu jika Ryuu masih terus menatapnya sedari tadi tanpa putus, seperti seorang ilmuwan yang sedang mempelajari obyek penelitiannya dengan fokus. Pria itu memandangi rambut Elle yang coklat kemerahan dikepang longgar dan tampak berkilau diterpa matahari musim gugur, dengan helai-helai halus berjatuhan di pipi dan lehernya yang putih merona. Memandangi manik hazel gadis itu yang dinaungi oleh bulu mata lentik yang cantik, serta alis yang melengkung indah di atasnya. Pandangan Ryuu pun kemudian turun ke bibir mungil namun tampak penuh dan lembut, dengan warna merah muda natural tanpa pulasan lipstik. "Nona Elle." Seketika gadis itu pun kembali menatap pria di depannya yang menyebut namanya. Manik Elle mengerjap pelan dan sedikit membelalak, kala baru menyadari jika Ryuu telah membungkukkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya, hingga kini jarak wajah mereka pun kurang dari satu jengkal. "Sepertinya... kami akan menambah beberapa hari lagi untuk menginap di Lakeview Inn," ucapnya dengan suara pelan namun dalam, serta tatapan tajam dari bola mata sehitam malam. "Apakah bisa?" tanyanya lagi. Sejenak Elle pun terdiam. "Menambah... hari?" ulangnya pelan, tak mampu menyembunyikan kebingungan di wajahnya. Ryuu mengangguk. Ia merogoh dompet dan mengeluarkan sebuah black card, lalu menyerahkannya ke tangan Elle. "Semalam kamu tidak meminta jaminan pembayaran apa pun padaku, dan itu aneh sekali," ucap pria itu seraya tertawa kecil. "Memangnya kamu hendak memberikan tempat menginap dengan gratis?" Elle masih diam, dengan kartu hitam yang masih berada di tangannya. Ya, sebenarnya yang semalam itu dia memang tidak berniat memungut bayaran apa pun kepada Ryuu. Bahkan Elle mengira pria ini sama sekali tidak memiliki uang sepeser pun, dan hanya berdasar belas kasihan sana ia pun menerima Ryuu dan kedua anaknya itu. Namun lihatlah apa yang sekarang berada di dalam genggaman tangannya! Sebuah black card, yang begitu santainya diberikan Ryuu kepada Elle. Sebuah pembayaran dari pengunjung yang menginap, yang sudah begitu lama tidak pernah ia terima. Elle bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya ia menerima pembayaran, karena terlalu lama tidak ada yang berkunjung ke Lakeview Inn. Elle menelan ludah, dengan tangannya yang sedikit gemetar mencengkram black card milik Ryuu. "Kenapa?" bisik Elle dengan suara lemah, namun cukup terdengar oleh Ryuu. "Kenapa... kamu memutuskan untuk menginap di... sini?" Dengan pembayaran unlimited dari black card ini, Ryuu bisa memesan hotel bintang lima terbaik di pusat kota, alih-alih berada di lokasi terpencil dan antah berantah ini. Oh, danau yang berada di dekat penginapan ini memang indah, pemandangan di sekitarnya juga cukup mengesankan. Tapi... penginapan Lakeview Inn sederhana dan bobrok miliknya ini pastilah bukan tempat yang nyaman bagi keluarga kelas atas seperti mereka. Sebuah seringai setengah yang samar terlukis di wajah Ryuu, sebelum kemudian ia pun berucap, "Well, tanyakan saja pada Akio dan Ayaka," sahutnya. Elle menatap Ryuu dengan ekspresi penuh pertanyaan, tapi pria itu hanya mengangkat bahu seolah hal ini bukan sesuatu yang terlalu penting. "Mereka yang ingin tinggal lebih lama," ulang Ryuu, tapi sorot matanya tetap tak lepas dari Elle, membuat gadis itu merasa tubuhnya semakin memanas. Elle menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan detak jantungnya yang kini berpacu lebih cepat dari biasanya. "Baiklah... kalau begitu, aku akan mencatat perpanjangan menginap kalian." Saat Elle berbalik untuk mengambil buku catatan, tiba-tiba saja Ryuu menangkap pergelangan tangannya, yang seketika menghentikan langkahnya. Jari-jari pria itu hangat dan mencengkeram dengan kuat, namun tidak menyakiti sama sekali. Elle menahan napas saat tubuhnya diputar hingga kembali menghadap ke arah Ryuu. "Tubuhmu gemetar," bisik Ryuu pelan, suaranya serak dan dalam, seperti angin malam yang berbisik di antara dedaunan. "Apa kamu baik-baik saja, Nona Elle?" Elle meneguk ludahnya, mencoba mengabaikan efek yang pria itu berikan padanya. "A-aku baik--" Ryuu menariknya sedikit lebih dekat. Tubuh mereka belum saling bersentuhan, tapi cukup bagi Elle untuk merasakan kehadiran fisiknya dengan lebih intens. Mata hitam berbentuk monolid khas seseorang keturunan Asia itu menelusuri wajah Elle dengan lekat dan tajam, seakan mempelajari setiap detailnya. Tangan Ryuu masih menggenggam pergelangan tangannya, sementara tangan satunya perlahan menyentuh pinggang Elle. Gerakan itu begitu pelan, seolah memberinya kesempatan untuk mundur. Tapi alih-alih melangkah menjauh, Elle justru tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa seperti lumpuh oleh kombinasi ketegangan dan antisipasi yang membakar setiap sarafnya. "Aku akan mengakui sesuatu tentang pertanyaanmu tadi," lanjut Ryuu, suaranya semakin rendah dan terasa semakin intim. "Sejujurnya, bukan cuma Akio dan Ayaka yang ingin kembali ke sini. Tapi, aku pun merasakan hal yang sama." Elle mengerjap pelan, tidak bisa mempercayai pendengarannya sendiri. "Alasannya? Hm... mungkin karena aku ingin melarikan diri... atau mungkin karena aku ingin menemukan sesuatu," lanjut Ryuu lagi. "Dan aku rasa aku telah menemukannya di sini." Elle menelan ludah, merasa udara seolah semakin sulit untuk dihirup. "Lalu apa yang kamu temukan?" Ryuu tersenyum, senyum yang membuat perut Elle seolah dipenuhi oleh kepak sayap lembut dari kupu-kupu liar. "Seseorang yang membuatku ingin berhenti berlari," ucapnya pelan, seraya menatap manik hazel milik Elle dengan lembut. Jarak di antara mereka semakin menipis, membuat Elle bisa merasakan betapa panasnya tubuh Ryuu, meskipun mereka belum benar-benar bersentuhan. Ia tahu ia seharusnya menarik diri, mengatakan sesuatu yang masuk akal... tapi saat itu, akalnya seakan tenggelam oleh daya tarik magnetis pria di depannya. "Elle," bisik Ryuu, memanggil namanya dengan suara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Elle mendongak, matanya terperangkap dalam lautan hitam pekat yang begitu berbahaya... namun juga begitu menggoda. "Beri aku satu saja alasan... untuk tidak menciummu sekarang," ucap Ryuu pelan, namun penuh keyakinan. ***Ryuu menatap Elle yang masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak, mengira bahwa keheningan gadis itu adalah sebuah tanda persetujuan. Jadi tanpa ragu, pria itu pun mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh dagu Elle agar gadis itu bisa menatapnya langsung. Seketika Elle pun tersentak dari lamunannya. Dengan cepat dia pun segera melepaskan tangannya dari cengkeraman Ryuu, lalu bergerak mundur selangkah. Ya Tuhan. Ternyata ia tidak salah mendengar! Ryuu adalah pria yang sangat tampan, Elle harus akui hal itu. Wajahnya yang Asia dengan aura berwibawa serta tubuhnya yang tinggi penuh otot adalah perpaduan yang sempurna, dan Elle pun yakin jika tak kan ada wanita normal yang tidak akan terpikat oleh visualnya. Dan karena itulah semula ia mengira dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan karena kedekatan tubuh mereka, dan Elle pun mengira bahwa ia mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Dan sekarang jantungnya tak bisa berhenti berdebar, seolah ingin meloncat keluar dari
Ayaka berlari masuk ke dalam penginapan dengan langkah mungilnya yang gesit. Sepatu pink ballerina kecilnya menapaki lantai kayu dengan suara berdebum pelan. Manik gelapnya langsung mencari sosok yang ingin ditemuinya. Dan di sanalah Daddy-nya, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke danau, dengan tangan bersidekap di dada. "Daddy! Daddy!" panggil Ayaka dengan penuh semangat. Ryuu menoleh ke arah putrinya dengan sedikit mengernyit. "Ada apa, Ayaka? Kenapa kamu berlari-lari seperti itu?" Ayaka langsung berhenti di hadapan ayahnya, napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat. "Daddy! Hari ini adalah hari spesial!" Ryuu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya. "Hari spesial apa?" Ayaka mengangkat kedua tangannya ke udara dengan penuh antusias. "Hari ini Elle akan menikah dengan Daddy!" Ruangan yang semula tenang mendadak dipenuhi keheningan yang canggung, sementara Ryuu pun terpaku di tempatnya. "... Apa?" Ryuu akhirnya bersuara, suaranya dalam dan t
Suasana ruang makan terasa hangat dan akrab. Aroma keju leleh dan saus tomat yang gurih memenuhi udara saat empat kotak pizza besar terbuka di tengah meja. Sesuai janji sebelumnya, Ryuu telah memesan makan siang kesukaan putra-putrinya, ia sengaja melakukan itu agar Elle tidak lelah memasak untuk mereka. "Ayaka, jangan ambil yang terbesar lagi," tegur Akio dengan suara datarnya, tapi matanya melirik ke arah potongan pizza yang sudah diambil oleh saudara kembarnya. "Tapi ini yang paling banyak kejunya!" protes Ayaka, pipinya sudah menggembung karena gigitan sebelumya. Elle pun tertawa pelan, diam-diam sungguh menikmati kebersamaan mereka. Ayaka yang imut dan lucu serta Akio yang cool tapi ternyata juga berisik, membuat gadis itu merasakan sesuatu yang menyenangkan di dalam hatinya. Namun tawa itu pun seketika terhenti, ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia mengambilnya dan melihat sebuah e-mail masuk. [Draft Kontrak Kerja Sama: Lakeview Inn Investment] Alis Ell
Ketika Elle akhirnya melanjutkan kembali belanjaannya, ia mulai merasakan tidak nyaman. Bukan karena barang-barang di keranjang belanjanya yang jumlahnya semakin bertambah, melainkan karena tatapan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sejak mereka masuk ke supermarket, Elle sudah merasakan bagaimana mata para wanita tertuju pada Ryuu. Pria itu memang tampak mencolok dengan tubuhnya yang maskulin, wajah tampan khas warga Jepang, serta aura percaya diri yang luar biasa. Bahkan hanya dengan berdiri santai sambil memegang troli, Ryuu terlihat seperti model di sebuah iklan eksklusif. Telinga Elle pun juga mendengar bisik-bisik di sekelilingnya. "Siapa pria tampan itu? Seperti orang Jepang ya?" "Lihat otot lengannya. Astaga, dia seksi sekali!" "Apa dua anak itu adalah anaknya? Hah? Tapi siapa wanita di sebelahnya??" Elle pun menundukkan wajahnya seraya berusaha mengabaikan bisikan-bisikan itu, sebelum seseorang menepuk pundaknya dengan lembut. "Elle, sayang… bagaimana kabarm
Elle menghela napas panjang saat menutup pintu bagasi mobil, memastikan semua kantung belanjaan sudah tersusun rapi di dalamnya. Namun sebelum ia bisa melangkah ke sisi pintu penumpang, suara Ryuu yang tenang namun penuh arti tiba-tiba membuatnya berhenti. "Jadi..." Ryuu menyandarkan satu tangan di pinggiran bagasi, menatapnya dengan ekspresi penasaran. "Pria itu, si Bradley Scott, apakah dia adalah alasan kenapa kamu tidak tertarik untuk menjalin hubungan lagi?" Elle tampak menegang sejenak, lalu dengan perlahan ia pun memutar tubuhnya menghadap Ryuu. Pria ini ternyata lebih jeli dari yang ia kira. Dia pasti sudah menebak. Jadi, apa gunanya menyembunyikannya lagi? Elle mengangkat bahunya, berusaha untuk terdengar santai. "Ya, dia mantan tunanganku. Dan sekarang dia akan menikah dengan mantan sahabatku, Catherine." Sejenak, Ryuu terlihat benar-benar terkejut. Manik monolid-nya yang gelap terlihat sedikit membesar, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan ses
Pagi ini, Elle bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju dapur bermaksud untuk menyiapkan sarapan, sebelum semua tamunya bangun. Ia ingin menyibukkan diri dengan sesuatu yang konkret seperti memasak, membersihkan, melakukan pekerjaan yang memang menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun harapannya pun pupus, ketika ia menemukan seseorang sudah berdiri di sana, mengenakan kaus putih sederhana dan celana jogger abu-abu. Ryuu. Pria itu terlihat sedang membuka lemari dapur dengan ekspresi bingung. Wajahnya masih sedikit mengantuk, rambut hitamnya agak berantakan, dan kancing atas kausnya sedikit terbuka, memperlihatkan kulitnya yang putih khas Asia. Elle membeku di ambang pintu. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Ryuu menoleh dengan santai, seolah tidak melihat sesuatu yang aneh dengan kehadirannya di dapur ini. "Mencari kopi," sahutnya dengan senyuman. Elle mengerjap. "Kamu bisa meminta padaku untuk dibuatkan kopi. Aku yang mengelola penginapan ini, dan kamu
Angin kencang terdengar meraung di luar jendela, membuat ranting-ranting pohon di sekitar penginapan bergoyang liar. Langit yang tadinya kelam kini sesekali diterangi kilatan petir, diiringi suara gemuruh yang mengguncang malam. Hujan deras pun turun tanpa ampun, membasahi halaman Lakeview Inn dan menyapu dedaunan yang berserakan. Elle berdiri di dekat jendela ruang tamu, menatap cuaca yang semakin memburuk dengan wajah khawatir. Ia tahu badai sedang menuju ke sini, tetapi tidak menyangka akan datang secepat dan sekuat ini. Lalu tiba-tiba... BRAAK! Elle tersentak ketika sebuah suara keras menggema dari sisi penginapan. Tak butuh waktu lama sebelum listrik yang kemudian mendadak padam, menenggelamkan seluruh bangunan dalam pekatnya kegelapan. Langkah-langkah tergesa pun terdengar dari arah koridor. Elle menoleh dan melihat Ryuu yang datang dengan membawa senter. Sementara Ayaka dan Akio mengikuti di belakangnya dengan mata membelalak karena kaget. "Apa y
Pagi hari ini di Lakeview Inn dimulai dengan langit yang masih kelabu, tampak sisa-sisa badai semalam meninggalkan embun dingin yang masih menyelimuti udara. Namun suasana terasa jauh lebih hangat dan damai di dalam kamar. Ryuu sudah terjaga lebih dulu. Ia duduk di tepi tempat tidur sambil mengamati ketiga orang yang masih terlelap di sisinya. Akio dan Ayaka terlihat tidur dalam posisi berantakan, tangan dan kaki mereka saling bertumpuk, sementara selimut mereka hampir jatuh dari kasur. Dengan sabar, Ryuu pun membetulkan posisi tidur kedua bocah itu. Ia menarik selimut mereka hingga ke bahu, memastikan tubuh kecil mereka tetap hangat. Namun sebelum ia berdiri, manik gelapnya tertumbuk pada sosok di sisi lain tempat tidur. Elle. Gadis itu masih tampak sangat pulas. Napasnya berhembus dengan teratur, dan wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Ryuu memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan bagaimana helaian rambut cokelat kemerahan itu jatuh berantakan di atas bantal
Pintu kamar mandi itu tiba-tiba terbuka dari dalam, diiringi oleh Ryuu yang mengayunkan langkah keluar dengan Elle yang berada di dalam dekapannya. Tubuh gadis itu menempel pada tubuh Ryuu seperti koala. Kedua tangannya mengalung di leher pria itu dan kedua kaki Elle melingkari pinggangnya. Ryuu pun melangkah pasti dengan bibirnya yang masih asyik mencumbu bibir lembut Elle yang adiktif. Dengan tubuh yang masih sama-sama setengah basah sehabis bercinta dan mandi sesudahnya, Elle mengenakan bath robe putih yang menutupi tubuhnya, sementara Ryuu hanya mengenakan boxer. Pria itu lalu merebahkan tubuh Elle di atas ranjang, ciuman mereka pun sontak terlepas kala Ryuu menatap lekat penuh damba pada sosok gadis miliknya. Ia memandangi rambut coklat gelap yang mengikal lembut karena setengah basah, tampak berserakan dengan kontras di atas seprai putih. Wajah Elle yang cantik itu juga ikut memandangi dirinya, membuat Ryuu menatap pada manik bening berkilau dan bibir penuh yang tampak r
Ryuu membawa Ayaka dan Akio ke dalam kamar mereka. Langit di luar jendela mulai berubah warna meskipun masih siang hari, menandakan cuaca yang mendung dan mungkin akan diwarnai oleh butiran hujan dari langit. Suasananya tampak syahdu, tenang dan nyaman. Namun bagi Ryuu, ini adalah momen yang paling tepat. "Daddy mau kalian istirahat siang sekarang," ujarnya sambil berdiri di tepi tempat tidur, menatap kedua anak kembarnya yang langsung mengernyit tak suka. "Daddy bercanda?" cetus Ayaka sambil mendengus serta menyilangkan tangan di dada mungilnya. "Aku kan belum mengantuk!" Akio pun ikut menatap Ryuu dengan sorot penuh curiga. "Hm, ya. Rasanya ada yang aneh. Daddy sangat jarang menyuruh kami untuk tidur siang tanpa alasan." Ryuu tertawa kecil. Ia pun memutuskan untuk duduk di tepi ranjang dan menatap mereka secara bergantian. Sebuah seringai samar mewarnai wajahnya yang tampan, karena ia akan mengajukan penawaran yang sulit ditolak oleh kedua anak kembarnya itu."Baiklah. Ka
Perjalanan pulang dari restoran dipenuhi oleh suara riang Ayaka, yang tak henti-hentinya bercerita tentang berbagai hal. Dari rasa es krim yang mereka beli, tempat-tempat yang mereka lewati, hingga bagaimana Ryuu dengan mudah meringkus pria yang hendak menculik seorang anak kecil di depan restoran tadi. "Daddy itu keren banget! Gerakannya cepat sekali, juga langsung menangkap orang jahatnya hanya seorang diri!" seru Ayaka dengan mata yang berbinar-binar. Akio mengangguk setuju, meskipun tidak ikut sebanyak bicara seperti saudara kembarnya. "Benar. Aku sampai penasaran, Daddy ini sebenarnya manusia apa bukan ya?" Elle yang duduk di samping Ryuu hanya mendengarkan sambil tersenyum, tapi sebenarnya dengan benak yang tengah jauh melayang. Ia masih memikirkan kejadian tadi. Bagaimana Ryuu bergerak begitu cepat dengan tangannya yang cekatan, dan tatapan matanya yang berubah tajam dalam sekejap ketika menyelamatkan anak kecil itu. Elle masih larut dalam lamunannya, ketika
Begitu mereka melangkah keluar dari restoran, dua pria berpakaian hitam dengan kacamata gelap sudah menunggu di dekat pintu. Tubuh mereka tegap, postur kaku, dan aura mereka begitu kuat sehingga membuat orang-orang yang lewat secara refleks bergerak menjauh. Begitu melihat Ryuu, kedua pria itu langsung membungkukkan tubuh penuh hormat, melakukan salam khas Jepang yang dalam dan penuh tata krama. Elle berhenti di tempatnya dengan jantung yang mulai berdetak lebih cepat. Seketika ia melirik Akio dan Ayaka, tapi kedua anak itu tampak biasa saja seolah ini bukan sesuatu yang aneh bagi mereka. "Takahashi-shachou (Presiden Direktur Takahashi)," salah satu pria menyapa Ryuu dengan sopan. Ryuu mengangguk ringan. "Tunggu sebentar," ucapnya pada pria itu, lalu berbalik ke arah Elle dan anak-anaknya. "Kalian tunggu di sini, aku harus bicara dengan mereka sebentar." Elle hanya mengangguk pelan, tapi matanya tidak lepas dari Ryuu dan kedua pria itu saat mereka berjalan sedikit
Elle kembali duduk di kursinya, tapi pikirannya masih terpaku pada apa yang baru saja terjadi. Ryuu menangani penculik itu dengan cara yang terlalu cepat, terlalu efisien, dan sama sekali tidak seperti orang biasa. Bahkan polisi pun terlihat terkejut saat mereka tiba di lokasi dan melihat betapa mudahnya Ryuu melumpuhkan pria berbadan besar itu. Namun, Ayaka dan Akio tampak menganggap semua itu sebagai hal biasa. Mereka sama sekali tidak kaget, malah terlihat bangga seolah ini adalah sesuatu yang sering mereka saksikan. Elle melirik ke arah Ryuu yang kini kembali menyantap makan siangnya dengan tenang, seakan kejadian barusan hanyalah sebuah gangguan tak berarti dalam harinya. "Ada yang mau tambah minum?" tanya Ryuu santai, sama sekali tidak menyadari bahwa Elle masih menatapnya dengan penuh kebingungan. Elle membuka mulutnya, ingin menanyakan sesuatu tetapi masih ragu. Haruskah ia bertanya sekarang? Atau lebih baik menunggu waktu yang lebih tepat? Akhirnya ia mena
"Apakah aku boleh bertanya... tentang ibu kandung dari si kembar?" Mendengar pertanyaan Elle yang tiba-tiba itu, Ryuu tampak diam dengan jemarinya yang saling bertaut, seakan sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Pria itu menghela napas pelan seraya menatap wanita bersurai coklat di sampingnya dengan lekat. "Ibu kandung Ayaka dan Akio… dia bukan wanita biasa," pria itu pun akhirnya membuka suara dengan nada yang rendah dan hampir berbisik. "Dari awal, hidupnya selalu dikelilingi oleh bahaya." Elle mengerutkan kening, menunggu Ryuu melanjutkan. Pria itu lagi-lagi menghela napas sebelum kembali berbicara. "Dunia tempatnya berasal, adalah tempat yang tidak akan pernah membiarkan Ayaka dan Akio hidup dengan tenang jika mereka tetap berada di sisinya." Elle terdiam. Ia bisa melihat kesedihan yang tersembunyi di mata Ryuu. Sekilas, pria itu tampak seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri, seakan ada bagian dari cerita ini yang tak seharusnya ia ungkap
Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka dari dalam, dan Ryuu pun keluar dengan menggendong Elle yang berada di dalam pelukannya. Langkahnya tegas dan genggamannya begitu kokoh, seolah ingin selalu memastikan agar Elle tak akan terluka lagi. Sedangkan Elle, gadis itu hanya bisa menyandarkan dirinya dengan pasrah di dada pria itu seraya merasakan denyut jantung Ryuu yang stabil, dan entah sejak kapan telah menjadi buaian yang membuatnya merasakan ketenangan. Ryuu membawa Elle ke ruang tamu, dan ternyata ada Akio yang sejak tadi sudah berdiri menunggu di sana dengan wajah yang murung. Bocah itu menatap Elle dengan manik gelapnya yang berkaca-kaca dipenuhi rasa bersalah, tampak seperti sekuat tenaga menahan tangisnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya yang sedikit gemetar. "Elle..." Akio berucap dengan suaranya lirih berbisik. "Maaf... Aku... aku sudah membuatmu terluka. Kalau saja aku tidak memanjat pohon itu..." Bibirnya bergetar, seolah satu kata lagi akan membuat
Ryuu telah selesai mengompres bengkak di pergelangan kaki Elle, lalu membersihkan sisa air dengan lap bersih, sebelum kemdian memasang perban elastis dengan hati-hati. Jemarinya yang besar dan kokoh bekerja dengan ketelitian serta cermat. Elle memperhatikan setiap gerakan dengan pandangan yang tertuju pada ekspresi serius pria itu. Ada kelembutan tersembunyi dalam cara pria itu menangani lukanya, hingga melukiskan senyum yang terbit di bibirnya. Ryuu yang tanpa sengaja mendongak dan menangkap ekspresi Elle, seketika langsung mengangkat alisnya. "Kenapa tiba-tiba tersenyum?" tanyanya. Elle mengangkat bahu ringan. "Karena kamu. Aku tidak menyangka jika kamu ternyata begitu terampil merawat kakiku." Ryuu pun tertawa tanpa suara. "Aku adalah orang tua tunggal dengan dua anak, Elle. Mengatasi kecelakaan kecil seperti ini sudah jadi bagian dari hidupku." Elle ikut tersenyum, entah kenapa ia merasakan kehangatan yang menelusup di dalam dadanya karena perkataan Ryuu. "Aya
Ryuu tetap diam di ambang pintu, memperhatikan pemandangan di hadapannya dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ayaka masih menempel manja pada Elle, sementara Akio berdiri di samping mereka dengan ekspresi yang lebih terkendali, meskipun Ryuu bisa melihat kilatan kehangatan di matanya. Elle tertawa kecil, mengusap lembut kepala Ayaka. "Kalian datang ke sini sendirian?" Ayaka mengangguk bersemangat. "Iya! Kita naik mobil dengan Renjin!" Ryuu mendengus pelan dan menggerutu dalam hati ketika mendengar nama Renjin. Seharusnya orang itu mengawasi kedua anak kembarnya, bukan malah melepas mereka untuk mengganggunya. Akio yang sejak tadi diam akhirnya ikut angkat bicara. "Ini salah Ayaka. Dia menangis seharian dan bilang kangen dengan Elle, makanya Renjin mengantarkan kita ke sini." Seketika Ayaka mengerucutkan bibirnya. "Kamu juga kangen dengan Elle kan, Akio? Mengaku saja!" Akio hanya menghela napas dan mengedikkan bahu malas, tampak enggan berdebat. Elle tersenyum