Elle duduk di tangga balkon penginapan tua itu, sambil memeluk kedua lututnya erat-erat.
Angin pagi ini berhembus sepoi-sepoi menyapa kulitnya dengan lembut, tetapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang kacau dan berkabut. Matanya masih terpaku pada jalanan berumput yang membentang di depan properti itu, berharap keajaiban akan terjadi. Bahwa mobilnya akan kembali, bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi kenyataan berkata lain. Mobilnya telah hilang. Dicuri oleh pria asing yang baru saja menginap semalam di penginapannya. Satu-satunya harta yang tersisa, satu-satunya cara untuk pergi dari tempat ini dan memulai kembali hidupnya, telah lenyap begitu saja. Di usia yang masih dua puluh empat tahun, hidupnya sudah seperti puing-puing reruntuhan. Bangkrut. Tak punya uang. Tak punya tempat tinggal. Dan kini, bahkan tak punya kendaraan untuk sekadar mencapai halte bus yang berjarak lima kilometer dari sini. Elle menghembuskan napas panjang yang dipenuhi kelelahan. Jika bukan karena pihak bank akan datang hari ini untuk serah terima dokumen kepemilikan penginapan, mungkin ia sudah berjalan kaki sejak tadi pagi. Rencananya sederhana : begitu transaksi selesai, ia akan menumpang mobil mereka hingga ke halte terdekat. Dari sana, ia bisa naik bus ke kota untuk mencari pekerjaan... atau menjadi gembel di jalanan. Waktu terasa berlalu dengan lambat, hingga waktu menunjukkan pukul 11 siang ketika akhirnya dua orang pria berjas hitam muncul di halaman depan. Salah satunya tampak lebih tua dengan rambut mulai memutih di pelipisnya, sementara yang lain lebih muda mungkin adalah asistennya. Keduanya berjalan mendekat dengan ekspresi tenang dan tampak profesional. "Nona Harper?" tanya si pria rambut putih. Elle segera berdiri, seraya menghapus perasaan getir di hatinya, lalu memasang wajah pasrah menerima. “Saya sudah menyiapkan semuanya,” ucapnya, berusaha terdengar tegar meski ada kepedihan yang masih terasa mengganjal. “Dokumen-dokumen yang diminta juga sudah saya kumpulkan." Pria yang lebih tua yang tampaknya adalah perwakilan utama dari bank, tersenyum ke arahnya. “Sebenarnya kedatangan kami ini tidak untuk mengambil kepemilikan properti ini, Nona Elle Harper.” Elle pun mengernyit bingung “Apa maksud Anda?” “Seseorang telah melunasi seluruh hutang Anda. Properti ini kini sepenuhnya kembali menjadi milik Anda.” Detik itu juga, Elle merasa dunia seolah berhenti berputar. Matanya melebar, dan jantungnya dengan keras berdebar. “Tunggu... apa?” serunya. “Ya, semua hutang telah lunas. Kami hanya butuh tanda tangan Anda untuk dokumen pengembalian kepemilikan.” Elle menatap mereka, masih berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Tapi... tetap saja ini rasanya tidak masuk akal. Siapa yang akan melakukan hal sebesar ini untuknya? “Saya... saya tidak mengerti. Kapan hutang saya dilunasi?” “Pembayaran masuk tadi pagi-pagi sekali,” jawab pria itu tenang. Elle semakin bingung. Itu artinya... pagi ini?? Di saat dia sedang shock karena mobilnya yang mendadak hilang?? “Dan siapa yang telah melunasi hutang saya?” lanjutnya, masih berharap mendapatkan jawaban. “Maaf, Nona Harper. Kami tidak dapat memberikan informasi mengenai pihak yang membayarnya,” jawab pria itu dengan sopan. “Hanya saja, properti ini kini sepenuhnya kembali menjadi milik Anda. Tidak ada lagi hutang yang perlu dikhawatirkan.” Elle membuka mulutnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ia tahu itu sia-sia. Bank tentu memiliki kebijakan ketat mengenai privasi kliennya. Elle merasa masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terjadi, namun pria dari bank itu menyodorkan dokumen-dokumen yang harus ia tanda tangani. Meyakinkan bahwa semua hutangnya benar-benar telah lunas. Dengan tangan sedikit gemetar, Elle mengambil pulpen yang diberikan kepadanya. Ia membaca sekilas dokumen di depannya, memastikan bahwa ini bukan jebakan atau kesalahan administratif. Namun semuanya memang tampak sah dan legal. Maka ia pun menandatangani setiap halaman dengan hati-hati Setelah proses itu selesai, pria tersebut kembali tersenyum kecil sebelum berbicara, "Selamat, Nona Harper. Sekarang penginapan ini sepenuhnya kembali menjadi milik Anda." Elle hanya mengangguk kaku tanpa suara. Ia tidak tahu harus merasa lega atau semakin bingung. Hutangnya mungkin sudah lunas, tetapi apa artinya? Ia masih saja bangkrut, tidak punya pekerjaan, dan mobilnya... satu-satunya benda berharga yang tersisa, masih saja hilang. Pria dari bank itu pun akhirnya berpamitan dan pergi meninggalkan halaman penginapan. Sementara Elle hanya bisa tetap berdiri di sana, menatap kosong ke arah jalanan di depannya. Seharusnya ia senang. Seharusnya ini adalah sebuah kemenangan. Tetapi entah kenapa, hatinya justru terasa semakin berat. Dengan langkah pelan, ia masuk kembali ke dalam penginapan tua itu. Aroma kayu dan debu yang familiar langsung menyambutnya, membawa ingatannya kembali ke masa lalu. Ia menatap sekeliling ruangan yang sudah lama tidak ditempati, lalu mulai menarik kain putih yang menutupi perabotan. Satu per satu, meja, kursi, rak buku, dan sofa tua kembali terlihat. Setiap kali kain putih itu jatuh ke lantai, kenangan tentang ibunya semakin memenuhi pikirannya. Ia bisa membayangkan sosok wanita itu duduk di kursi dekat jendela, membaca buku sambil menikmati secangkir teh. Bisa mendengar suara tawa mereka berdua saat dulu membersihkan penginapan bersama, bercanda sambil bekerja. Lalu beristirahat sesudahnya. (Duduklah di sini, Elle. Ayo temani ibu minum teh dan bersama-sama sambil membaca buku) (Ah, hari ini cuaca sangat dingin, bukan? Jangan lupa selalu kenakan syal-mu jika keluar, Sayang. Jangan sampai kamu terkena flu) Ibu. Betapa ia sangat merindukan sosok lembut itu. Merindukan suaranya, merindukan perhatiannya. Ibunya, yang telah tiada karena penyakit jantung yang telah merampas seluruh kebahagiaan Elle di dunia. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia terisak pelan, membiarkan emosinya tumpah setelah begitu lama menahannya. Elle menyentuh permukaan meja kayu yang dulu selalu digunakan ibunya untuk menyiapkan sarapan bagi tamu-tamu penginapan. Jemarinya gemetar, dan suara lirih pun keluar dari bibirnya. "Ibu, aku berhasil mempertahankan Lakeview Inn, tempat favorit kita. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya." Hening. Tidak ada jawaban. Hanya detak jam tua di sudut ruangan yang mengisi keheningan itu. Elle menutup matanya erat-erat, mencoba mengusir rasa putus asa yang mulai merayap dalam dirinya. Ia telah mempertahankan penginapan ini, tetapi sekarang pertanyaan yang lebih besar muncul di benaknya, yaitu... apa langkah berikutnya? Bagaimana ia bisa bertahan tanpa uang dan tanpa rencana? Satu hal yang pasti, ia tidak bisa terus diam di sini tanpa melakukan apa pun. Ia harus mencari cara untuk bertahan. Tetapi... dari mana ia harus mulai? Elle menghela napas panjang, lalu mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan menyapu halaman penginapan. Angin musim gugur menerbangkan banyak dedaunan kering yang menimbun rerumputan. Setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana. Saat ia sibuk mengumpulkan dedaunan ke dalam satu tumpukan, tiba-tiba terdengar suara menderu dari kejauhan yang membuatnya menghentikan gerakan. Suara mesin itu terdengar begitu familier. Ia menoleh, dan matanya pun langsung membulat. Chevrolet Malibu tua berwarna coklat itu berhenti di hadapannya. Itu... adalah mobilnya! Elle melihat pintu bagian belakang tiba-tiba saja terbuka, dan dua bocah kecil yang ia kenal terlihat berlarian keluar dengan suara riang. "Elle!" seru mereka bersamaan. Mereka adalah Akio dan Ayaka yang berlari mendekat, serta langsung memeluk pinggangnya dengan erat. Tubuh Elle pun membeku. Kejutan demi kejutan datang begitu cepat, hingga ia nyaris kehilangan keseimbangan diri. Tangannya refleks membalas pelukan keduanya, tapi pikirannya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Kenapa... mereka bisa ada di sini? Saat ia mengangkat kepala, matanya menangkap sosok pria yang ikut turun dari mobil dengan gerakan santai namun penuh wibawa. Sosok tinggi dengan tubuh maskulin, rahang tegas, dan mata hitam yang tajam, seolah mampu menembus pikiran. Ryuu Takahashi. Pria itu tersenyum tipis, tak terbaca dan penuh misteri. "Halo lagi, Nona Elle." Ryuu berucap dengan suaranya yang dalam, sedikit serak, namun penuh ketegasan. Elle masih tak mampu berkata-kata. Hanya mampu membalas tatapan pria itu dengan kebingungan yang jelas terbaca di wajahnya. Mengapa Ryuu ada di sini? Dan bagaimana bisa ia membawa mobilnya kembali? ***"Maaf karena membawa mobilmu," Ryuu akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai."Aku membutuhkannya untuk... mengurus sesuatu yang mendesak." Elle mengerjap pelan beberapa kali, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, "Tak apa... yang penting mobilnya sudah kembali." Ryuu tidak segera menjawab. Bola matanya yang gelap mengunci Elle dalam tatapan tajam yang membuat gadis itu merasa sulit untuk berpaling. Langkah Ryuu perlahan mendekat dengan gerakan yang penuh kendali, dan entah bagaimana membuat debaran di dada Elle semakin liar tak terkendali. Akio yang masih memeluknya, tiba-tiba menarik pelan kemeja oversize yang dikenakan Elle. Bocah itu mendongak seraya menatapnya dengan mata polos penuh harap. "Elle, aku sangat lapar... Apa kamu sudah masak untuk makan siang?" Elle tersentak dari pikirannya. Ia menunduk untuk mengusap lembut rambut hitam tebal Akio sebelum tersenyum kecil. "Maaf, Sayang. Hari ini aku belum memasak. Makanan di dapur sudah
Ryuu menatap Elle yang masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak, mengira bahwa keheningan gadis itu adalah sebuah tanda persetujuan. Jadi tanpa ragu, pria itu pun mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh dagu Elle agar gadis itu bisa menatapnya langsung. Seketika Elle pun tersentak dari lamunannya. Dengan cepat dia pun segera melepaskan tangannya dari cengkeraman Ryuu, lalu bergerak mundur selangkah. Ya Tuhan. Ternyata ia tidak salah mendengar! Ryuu adalah pria yang sangat tampan, Elle harus akui hal itu. Wajahnya yang Asia dengan aura berwibawa serta tubuhnya yang tinggi penuh otot adalah perpaduan yang sempurna, dan Elle pun yakin jika tak kan ada wanita normal yang tidak akan terpikat oleh visualnya. Dan karena itulah semula ia mengira dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan karena kedekatan tubuh mereka, dan Elle pun mengira bahwa ia mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Dan sekarang jantungnya tak bisa berhenti berdebar, seolah ingin meloncat keluar dari
Ayaka berlari masuk ke dalam penginapan dengan langkah mungilnya yang gesit. Sepatu pink ballerina kecilnya menapaki lantai kayu dengan suara berdebum pelan. Manik gelapnya langsung mencari sosok yang ingin ditemuinya. Dan di sanalah Daddy-nya, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke danau, dengan tangan bersidekap di dada. "Daddy! Daddy!" panggil Ayaka dengan penuh semangat. Ryuu menoleh ke arah putrinya dengan sedikit mengernyit. "Ada apa, Ayaka? Kenapa kamu berlari-lari seperti itu?" Ayaka langsung berhenti di hadapan ayahnya, napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat. "Daddy! Hari ini adalah hari spesial!" Ryuu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya. "Hari spesial apa?" Ayaka mengangkat kedua tangannya ke udara dengan penuh antusias. "Hari ini Elle akan menikah dengan Daddy!" Ruangan yang semula tenang mendadak dipenuhi keheningan yang canggung, sementara Ryuu pun terpaku di tempatnya. "... Apa?" Ryuu akhirnya bersuara, suaranya dalam dan t
Langit malam menumpahkan gerimis tipis, saat Elle menyandarkan tubuhnya di ambang pintu sebuah rumah penginapan, yang dalam waktu dekat ini bukanlah miliknya lagi. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, tetapi pikirannya lebih kacau dibandingkan cuaca yang tak bisa diprediksi. Hari ini adalah malam terakhirnya di Lakeview Inn, tempat yang telah menjadi rumahnya selama ini. Esok, bank akan mengambil alih segalanya. Elle menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan meskipun terasa sangat pahit. Penginapan kecil di tepi danau ini dulunya ramai oleh wisatawan, tetapi kini hanya menjadi bangunan sepi dengan ribuan kenangan yang memenuhi di setiap sudutnya. Ia sudah mencoba segala cara untuk mempertahankannya. Diskon besar-besaran, paket promo, bahkan bekerja lebih keras dari biasanya. Namun tetap saja, keadaan ekonomi tak juga berpihak padanya. Saat Elle hendak masuk dan menutup pintu untuk terakhir kalinya, ia menatap lampu depan yang tampak berkedip hidup dan
Ayaka berlari masuk ke dalam penginapan dengan langkah mungilnya yang gesit. Sepatu pink ballerina kecilnya menapaki lantai kayu dengan suara berdebum pelan. Manik gelapnya langsung mencari sosok yang ingin ditemuinya. Dan di sanalah Daddy-nya, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke danau, dengan tangan bersidekap di dada. "Daddy! Daddy!" panggil Ayaka dengan penuh semangat. Ryuu menoleh ke arah putrinya dengan sedikit mengernyit. "Ada apa, Ayaka? Kenapa kamu berlari-lari seperti itu?" Ayaka langsung berhenti di hadapan ayahnya, napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat. "Daddy! Hari ini adalah hari spesial!" Ryuu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya. "Hari spesial apa?" Ayaka mengangkat kedua tangannya ke udara dengan penuh antusias. "Hari ini Elle akan menikah dengan Daddy!" Ruangan yang semula tenang mendadak dipenuhi keheningan yang canggung, sementara Ryuu pun terpaku di tempatnya. "... Apa?" Ryuu akhirnya bersuara, suaranya dalam dan t
Ryuu menatap Elle yang masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak, mengira bahwa keheningan gadis itu adalah sebuah tanda persetujuan. Jadi tanpa ragu, pria itu pun mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh dagu Elle agar gadis itu bisa menatapnya langsung. Seketika Elle pun tersentak dari lamunannya. Dengan cepat dia pun segera melepaskan tangannya dari cengkeraman Ryuu, lalu bergerak mundur selangkah. Ya Tuhan. Ternyata ia tidak salah mendengar! Ryuu adalah pria yang sangat tampan, Elle harus akui hal itu. Wajahnya yang Asia dengan aura berwibawa serta tubuhnya yang tinggi penuh otot adalah perpaduan yang sempurna, dan Elle pun yakin jika tak kan ada wanita normal yang tidak akan terpikat oleh visualnya. Dan karena itulah semula ia mengira dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan karena kedekatan tubuh mereka, dan Elle pun mengira bahwa ia mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Dan sekarang jantungnya tak bisa berhenti berdebar, seolah ingin meloncat keluar dari
"Maaf karena membawa mobilmu," Ryuu akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai."Aku membutuhkannya untuk... mengurus sesuatu yang mendesak." Elle mengerjap pelan beberapa kali, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, "Tak apa... yang penting mobilnya sudah kembali." Ryuu tidak segera menjawab. Bola matanya yang gelap mengunci Elle dalam tatapan tajam yang membuat gadis itu merasa sulit untuk berpaling. Langkah Ryuu perlahan mendekat dengan gerakan yang penuh kendali, dan entah bagaimana membuat debaran di dada Elle semakin liar tak terkendali. Akio yang masih memeluknya, tiba-tiba menarik pelan kemeja oversize yang dikenakan Elle. Bocah itu mendongak seraya menatapnya dengan mata polos penuh harap. "Elle, aku sangat lapar... Apa kamu sudah masak untuk makan siang?" Elle tersentak dari pikirannya. Ia menunduk untuk mengusap lembut rambut hitam tebal Akio sebelum tersenyum kecil. "Maaf, Sayang. Hari ini aku belum memasak. Makanan di dapur sudah
Elle duduk di tangga balkon penginapan tua itu, sambil memeluk kedua lututnya erat-erat. Angin pagi ini berhembus sepoi-sepoi menyapa kulitnya dengan lembut, tetapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang kacau dan berkabut. Matanya masih terpaku pada jalanan berumput yang membentang di depan properti itu, berharap keajaiban akan terjadi. Bahwa mobilnya akan kembali, bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi kenyataan berkata lain. Mobilnya telah hilang. Dicuri oleh pria asing yang baru saja menginap semalam di penginapannya. Satu-satunya harta yang tersisa, satu-satunya cara untuk pergi dari tempat ini dan memulai kembali hidupnya, telah lenyap begitu saja. Di usia yang masih dua puluh empat tahun, hidupnya sudah seperti puing-puing reruntuhan. Bangkrut. Tak punya uang. Tak punya tempat tinggal. Dan kini, bahkan tak punya kendaraan untuk sekadar mencapai halte bus yang berjarak lima kilometer dari sini. Elle menghembuskan napas panja
Langit malam menumpahkan gerimis tipis, saat Elle menyandarkan tubuhnya di ambang pintu sebuah rumah penginapan, yang dalam waktu dekat ini bukanlah miliknya lagi. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, tetapi pikirannya lebih kacau dibandingkan cuaca yang tak bisa diprediksi. Hari ini adalah malam terakhirnya di Lakeview Inn, tempat yang telah menjadi rumahnya selama ini. Esok, bank akan mengambil alih segalanya. Elle menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan meskipun terasa sangat pahit. Penginapan kecil di tepi danau ini dulunya ramai oleh wisatawan, tetapi kini hanya menjadi bangunan sepi dengan ribuan kenangan yang memenuhi di setiap sudutnya. Ia sudah mencoba segala cara untuk mempertahankannya. Diskon besar-besaran, paket promo, bahkan bekerja lebih keras dari biasanya. Namun tetap saja, keadaan ekonomi tak juga berpihak padanya. Saat Elle hendak masuk dan menutup pintu untuk terakhir kalinya, ia menatap lampu depan yang tampak berkedip hidup dan