Elle duduk di tangga balkon penginapan tua itu, sambil memeluk kedua lututnya erat-erat.
Angin pagi ini berhembus sepoi-sepoi menyapa kulitnya dengan lembut, tetapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang kacau dan berkabut. Matanya masih terpaku pada jalanan berumput yang membentang di depan properti itu, berharap keajaiban akan terjadi. Bahwa mobilnya akan kembali, bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi kenyataan berkata lain. Mobilnya telah hilang. Dicuri oleh pria asing yang baru saja menginap semalam di penginapannya. Satu-satunya harta yang tersisa, satu-satunya cara untuk pergi dari tempat ini dan memulai kembali hidupnya, telah lenyap begitu saja. Di usia yang masih dua puluh empat tahun, hidupnya sudah seperti puing-puing reruntuhan. Bangkrut. Tak punya uang. Tak punya tempat tinggal. Dan kini, bahkan tak punya kendaraan untuk sekadar mencapai halte bus yang berjarak lima kilometer dari sini. Elle menghembuskan napas panjang yang dipenuhi kelelahan. Jika bukan karena pihak bank akan datang hari ini untuk serah terima dokumen kepemilikan penginapan, mungkin ia sudah berjalan kaki sejak tadi pagi. Rencananya sederhana : begitu transaksi selesai, ia akan menumpang mobil mereka hingga ke halte terdekat. Dari sana, ia bisa naik bus ke kota untuk mencari pekerjaan... atau menjadi gembel di jalanan. Waktu terasa berlalu dengan lambat, hingga waktu menunjukkan pukul 11 siang ketika akhirnya dua orang pria berjas hitam muncul di halaman depan. Salah satunya tampak lebih tua dengan rambut mulai memutih di pelipisnya, sementara yang lain lebih muda mungkin adalah asistennya. Keduanya berjalan mendekat dengan ekspresi tenang dan tampak profesional. "Nona Harper?" tanya si pria rambut putih. Elle segera berdiri, seraya menghapus perasaan getir di hatinya, lalu memasang wajah pasrah menerima. “Saya sudah menyiapkan semuanya,” ucapnya, berusaha terdengar tegar meski ada kepedihan yang masih terasa mengganjal. “Dokumen-dokumen yang diminta juga sudah saya kumpulkan." Pria yang lebih tua yang tampaknya adalah perwakilan utama dari bank, tersenyum ke arahnya. “Sebenarnya kedatangan kami ini tidak untuk mengambil kepemilikan properti ini, Nona Elle Harper.” Elle pun mengernyit bingung “Apa maksud Anda?” “Seseorang telah melunasi seluruh hutang Anda. Properti ini kini sepenuhnya kembali menjadi milik Anda.” Detik itu juga, Elle merasa dunia seolah berhenti berputar. Matanya melebar, dan jantungnya dengan keras berdebar. “Tunggu... apa?” serunya. “Ya, semua hutang telah lunas. Kami hanya butuh tanda tangan Anda untuk dokumen pengembalian kepemilikan.” Elle menatap mereka, masih berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Tapi... tetap saja ini rasanya tidak masuk akal. Siapa yang akan melakukan hal sebesar ini untuknya? “Saya... saya tidak mengerti. Kapan hutang saya dilunasi?” “Pembayaran masuk tadi pagi-pagi sekali,” jawab pria itu tenang. Elle semakin bingung. Itu artinya... pagi ini?? Di saat dia sedang shock karena mobilnya yang mendadak hilang?? “Dan siapa yang telah melunasi hutang saya?” lanjutnya, masih berharap mendapatkan jawaban. “Maaf, Nona Harper. Kami tidak dapat memberikan informasi mengenai pihak yang membayarnya,” jawab pria itu dengan sopan. “Hanya saja, properti ini kini sepenuhnya kembali menjadi milik Anda. Tidak ada lagi hutang yang perlu dikhawatirkan.” Elle membuka mulutnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ia tahu itu sia-sia. Bank tentu memiliki kebijakan ketat mengenai privasi kliennya. Elle merasa masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terjadi, namun pria dari bank itu menyodorkan dokumen-dokumen yang harus ia tanda tangani. Meyakinkan bahwa semua hutangnya benar-benar telah lunas. Dengan tangan sedikit gemetar, Elle mengambil pulpen yang diberikan kepadanya. Ia membaca sekilas dokumen di depannya, memastikan bahwa ini bukan jebakan atau kesalahan administratif. Namun semuanya memang tampak sah dan legal. Maka ia pun menandatangani setiap halaman dengan hati-hati Setelah proses itu selesai, pria tersebut kembali tersenyum kecil sebelum berbicara, "Selamat, Nona Harper. Sekarang penginapan ini sepenuhnya kembali menjadi milik Anda." Elle hanya mengangguk kaku tanpa suara. Ia tidak tahu harus merasa lega atau semakin bingung. Hutangnya mungkin sudah lunas, tetapi apa artinya? Ia masih saja bangkrut, tidak punya pekerjaan, dan mobilnya... satu-satunya benda berharga yang tersisa, masih saja hilang. Pria dari bank itu pun akhirnya berpamitan dan pergi meninggalkan halaman penginapan. Sementara Elle hanya bisa tetap berdiri di sana, menatap kosong ke arah jalanan di depannya. Seharusnya ia senang. Seharusnya ini adalah sebuah kemenangan. Tetapi entah kenapa, hatinya justru terasa semakin berat. Dengan langkah pelan, ia masuk kembali ke dalam penginapan tua itu. Aroma kayu dan debu yang familiar langsung menyambutnya, membawa ingatannya kembali ke masa lalu. Ia menatap sekeliling ruangan yang sudah lama tidak ditempati, lalu mulai menarik kain putih yang menutupi perabotan. Satu per satu, meja, kursi, rak buku, dan sofa tua kembali terlihat. Setiap kali kain putih itu jatuh ke lantai, kenangan tentang ibunya semakin memenuhi pikirannya. Ia bisa membayangkan sosok wanita itu duduk di kursi dekat jendela, membaca buku sambil menikmati secangkir teh. Bisa mendengar suara tawa mereka berdua saat dulu membersihkan penginapan bersama, bercanda sambil bekerja. Lalu beristirahat sesudahnya. (Duduklah di sini, Elle. Ayo temani ibu minum teh dan bersama-sama sambil membaca buku) (Ah, hari ini cuaca sangat dingin, bukan? Jangan lupa selalu kenakan syal-mu jika keluar, Sayang. Jangan sampai kamu terkena flu) Ibu. Betapa ia sangat merindukan sosok lembut itu. Merindukan suaranya, merindukan perhatiannya. Ibunya, yang telah tiada karena penyakit jantung yang telah merampas seluruh kebahagiaan Elle di dunia. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia terisak pelan, membiarkan emosinya tumpah setelah begitu lama menahannya. Elle menyentuh permukaan meja kayu yang dulu selalu digunakan ibunya untuk menyiapkan sarapan bagi tamu-tamu penginapan. Jemarinya gemetar, dan suara lirih pun keluar dari bibirnya. "Ibu, aku berhasil mempertahankan Lakeview Inn, tempat favorit kita. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya." Hening. Tidak ada jawaban. Hanya detak jam tua di sudut ruangan yang mengisi keheningan itu. Elle menutup matanya erat-erat, mencoba mengusir rasa putus asa yang mulai merayap dalam dirinya. Ia telah mempertahankan penginapan ini, tetapi sekarang pertanyaan yang lebih besar muncul di benaknya, yaitu... apa langkah berikutnya? Bagaimana ia bisa bertahan tanpa uang dan tanpa rencana? Satu hal yang pasti, ia tidak bisa terus diam di sini tanpa melakukan apa pun. Ia harus mencari cara untuk bertahan. Tetapi... dari mana ia harus mulai? Elle menghela napas panjang, lalu mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan menyapu halaman penginapan. Angin musim gugur menerbangkan banyak dedaunan kering yang menimbun rerumputan. Setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana. Saat ia sibuk mengumpulkan dedaunan ke dalam satu tumpukan, tiba-tiba terdengar suara menderu dari kejauhan yang membuatnya menghentikan gerakan. Suara mesin itu terdengar begitu familier. Ia menoleh, dan matanya pun langsung membulat. Chevrolet Malibu tua berwarna coklat itu berhenti di hadapannya. Itu... adalah mobilnya! Elle melihat pintu bagian belakang tiba-tiba saja terbuka, dan dua bocah kecil yang ia kenal terlihat berlarian keluar dengan suara riang. "Elle!" seru mereka bersamaan. Mereka adalah Akio dan Ayaka yang berlari mendekat, serta langsung memeluk pinggangnya dengan erat. Tubuh Elle pun membeku. Kejutan demi kejutan datang begitu cepat, hingga ia nyaris kehilangan keseimbangan diri. Tangannya refleks membalas pelukan keduanya, tapi pikirannya masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Kenapa... mereka bisa ada di sini? Saat ia mengangkat kepala, matanya menangkap sosok pria yang ikut turun dari mobil dengan gerakan santai namun penuh wibawa. Sosok tinggi dengan tubuh maskulin, rahang tegas, dan mata hitam yang tajam, seolah mampu menembus pikiran. Ryuu Takahashi. Pria itu tersenyum tipis, tak terbaca dan penuh misteri. "Halo lagi, Nona Elle." Ryuu berucap dengan suaranya yang dalam, sedikit serak, namun penuh ketegasan. Elle masih tak mampu berkata-kata. Hanya mampu membalas tatapan pria itu dengan kebingungan yang jelas terbaca di wajahnya. Mengapa Ryuu ada di sini? Dan bagaimana bisa ia membawa mobilnya kembali? ***"Maaf karena membawa mobilmu," Ryuu akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai. "Aku membutuhkannya untuk... mengurus sesuatu yang mendesak." Elle mengerjap pelan beberapa kali, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, "Tak apa... yang penting mobilnya sudah kembali." Ryuu tidak segera menjawab. Bola matanya yang gelap mengunci Elle dalam tatapan tajam yang membuat gadis itu merasa sulit untuk berpaling. Langkah Ryuu perlahan mendekat dengan gerakan yang penuh kendali, dan entah bagaimana membuat debaran di dada Elle semakin liar tak terkendali. Akio yang masih memeluknya, tiba-tiba menarik pelan kemeja oversize yang dikenakan Elle. Bocah itu mendongak seraya menatapnya dengan mata polos penuh harap. "Elle, aku sangat lapar... Apa kamu sudah masak untuk makan siang?" Elle tersentak dari pikirannya. Ia menunduk untuk mengusap lembut rambut hitam tebal Akio sebelum tersenyum kecil. "Maaf, Sayang. Hari ini aku belum memasak. Makanan di dapur suda
Ryuu menatap Elle yang masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak, mengira bahwa keheningan gadis itu adalah sebuah tanda persetujuan. Jadi tanpa ragu, pria itu pun mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh dagu Elle agar gadis itu bisa menatapnya langsung. Seketika Elle pun tersentak dari lamunannya. Dengan cepat dia pun segera melepaskan tangannya dari cengkeraman Ryuu, lalu bergerak mundur selangkah. Ya Tuhan. Ternyata ia tidak salah mendengar! Ryuu adalah pria yang sangat tampan, Elle harus akui hal itu. Wajahnya yang Asia dengan aura berwibawa serta tubuhnya yang tinggi penuh otot adalah perpaduan yang sempurna, dan Elle pun yakin jika tak kan ada wanita normal yang tidak akan terpikat oleh visualnya. Dan karena itulah semula ia mengira dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan karena kedekatan tubuh mereka, dan Elle pun mengira bahwa ia mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Dan sekarang jantungnya tak bisa berhenti berdebar, seolah ingin meloncat keluar dari
Ayaka berlari masuk ke dalam penginapan dengan langkah mungilnya yang gesit. Sepatu pink ballerina kecilnya menapaki lantai kayu dengan suara berdebum pelan. Manik gelapnya langsung mencari sosok yang ingin ditemuinya. Dan di sanalah Daddy-nya, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke danau, dengan tangan bersidekap di dada. "Daddy! Daddy!" panggil Ayaka dengan penuh semangat. Ryuu menoleh ke arah putrinya dengan sedikit mengernyit. "Ada apa, Ayaka? Kenapa kamu berlari-lari seperti itu?" Ayaka langsung berhenti di hadapan ayahnya, napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat. "Daddy! Hari ini adalah hari spesial!" Ryuu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya. "Hari spesial apa?" Ayaka mengangkat kedua tangannya ke udara dengan penuh antusias. "Hari ini Elle akan menikah dengan Daddy!" Ruangan yang semula tenang mendadak dipenuhi keheningan yang canggung, sementara Ryuu pun terpaku di tempatnya. "... Apa?" Ryuu akhirnya bersuara, suaranya dalam dan t
Suasana ruang makan terasa hangat dan akrab. Aroma keju leleh dan saus tomat yang gurih memenuhi udara saat empat kotak pizza besar terbuka di tengah meja. Sesuai janji sebelumnya, Ryuu telah memesan makan siang kesukaan putra-putrinya, ia sengaja melakukan itu agar Elle tidak lelah memasak untuk mereka. "Ayaka, jangan ambil yang terbesar lagi," tegur Akio dengan suara datarnya, tapi matanya melirik ke arah potongan pizza yang sudah diambil oleh saudara kembarnya. "Tapi ini yang paling banyak kejunya!" protes Ayaka, pipinya sudah menggembung karena gigitan sebelumya. Elle pun tertawa pelan, diam-diam sungguh menikmati kebersamaan mereka. Ayaka yang imut dan lucu serta Akio yang cool tapi ternyata juga berisik, membuat gadis itu merasakan sesuatu yang menyenangkan di dalam hatinya. Namun tawa itu pun seketika terhenti, ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia mengambilnya dan melihat sebuah e-mail masuk. [Draft Kontrak Kerja Sama: Lakeview Inn Investment] Alis Ell
Ketika Elle akhirnya melanjutkan kembali belanjaannya, ia mulai merasakan tidak nyaman. Bukan karena barang-barang di keranjang belanjanya yang jumlahnya semakin bertambah, melainkan karena tatapan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sejak mereka masuk ke supermarket, Elle sudah merasakan bagaimana mata para wanita tertuju pada Ryuu. Pria itu memang tampak mencolok dengan tubuhnya yang maskulin, wajah tampan khas warga Jepang, serta aura percaya diri yang luar biasa. Bahkan hanya dengan berdiri santai sambil memegang troli, Ryuu terlihat seperti model di sebuah iklan eksklusif. Telinga Elle pun juga mendengar bisik-bisik di sekelilingnya. "Siapa pria tampan itu? Seperti orang Jepang ya?" "Lihat otot lengannya. Astaga, dia seksi sekali!" "Apa dua anak itu adalah anaknya? Hah? Tapi siapa wanita di sebelahnya??" Elle pun menundukkan wajahnya seraya berusaha mengabaikan bisikan-bisikan itu, sebelum seseorang menepuk pundaknya dengan lembut. "Elle, sayang… bagaimana kabarm
Elle menghela napas panjang saat menutup pintu bagasi mobil, memastikan semua kantung belanjaan sudah tersusun rapi di dalamnya. Namun sebelum ia bisa melangkah ke sisi pintu penumpang, suara Ryuu yang tenang namun penuh arti tiba-tiba membuatnya berhenti. "Jadi..." Ryuu menyandarkan satu tangan di pinggiran bagasi, menatapnya dengan ekspresi penasaran. "Pria itu, si Bradley Scott, apakah dia adalah alasan kenapa kamu tidak tertarik untuk menjalin hubungan lagi?" Elle tampak menegang sejenak, lalu dengan perlahan ia pun memutar tubuhnya menghadap Ryuu. Pria ini ternyata lebih jeli dari yang ia kira. Dia pasti sudah menebak. Jadi, apa gunanya menyembunyikannya lagi? Elle mengangkat bahunya, berusaha untuk terdengar santai. "Ya, dia mantan tunanganku. Dan sekarang dia akan menikah dengan mantan sahabatku, Catherine." Sejenak, Ryuu terlihat benar-benar terkejut. Manik monolid-nya yang gelap terlihat sedikit membesar, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan ses
Pagi ini, Elle bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju dapur bermaksud untuk menyiapkan sarapan, sebelum semua tamunya bangun. Ia ingin menyibukkan diri dengan sesuatu yang konkret seperti memasak, membersihkan, melakukan pekerjaan yang memang menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun harapannya pun pupus, ketika ia menemukan seseorang sudah berdiri di sana, mengenakan kaus putih sederhana dan celana jogger abu-abu. Ryuu. Pria itu terlihat sedang membuka lemari dapur dengan ekspresi bingung. Wajahnya masih sedikit mengantuk, rambut hitamnya agak berantakan, dan kancing atas kausnya sedikit terbuka, memperlihatkan kulitnya yang putih khas Asia. Elle membeku di ambang pintu. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Ryuu menoleh dengan santai, seolah tidak melihat sesuatu yang aneh dengan kehadirannya di dapur ini. "Mencari kopi," sahutnya dengan senyuman. Elle mengerjap. "Kamu bisa meminta padaku untuk dibuatkan kopi. Aku yang mengelola penginapan ini, dan kamu
Angin kencang terdengar meraung di luar jendela, membuat ranting-ranting pohon di sekitar penginapan bergoyang liar. Langit yang tadinya kelam kini sesekali diterangi kilatan petir, diiringi suara gemuruh yang mengguncang malam. Hujan deras pun turun tanpa ampun, membasahi halaman Lakeview Inn dan menyapu dedaunan yang berserakan. Elle berdiri di dekat jendela ruang tamu, menatap cuaca yang semakin memburuk dengan wajah khawatir. Ia tahu badai sedang menuju ke sini, tetapi tidak menyangka akan datang secepat dan sekuat ini. Lalu tiba-tiba... BRAAK! Elle tersentak ketika sebuah suara keras menggema dari sisi penginapan. Tak butuh waktu lama sebelum listrik yang kemudian mendadak padam, menenggelamkan seluruh bangunan dalam pekatnya kegelapan. Langkah-langkah tergesa pun terdengar dari arah koridor. Elle menoleh dan melihat Ryuu yang datang dengan membawa senter. Sementara Ayaka dan Akio mengikuti di belakangnya dengan mata membelalak karena kaget. "Apa y
Pintu kamar mandi itu tiba-tiba terbuka dari dalam, diiringi oleh Ryuu yang mengayunkan langkah keluar dengan Elle yang berada di dalam dekapannya. Tubuh gadis itu menempel pada tubuh Ryuu seperti koala. Kedua tangannya mengalung di leher pria itu dan kedua kaki Elle melingkari pinggangnya. Ryuu pun melangkah pasti dengan bibirnya yang masih asyik mencumbu bibir lembut Elle yang adiktif. Dengan tubuh yang masih sama-sama setengah basah sehabis bercinta dan mandi sesudahnya, Elle mengenakan bath robe putih yang menutupi tubuhnya, sementara Ryuu hanya mengenakan boxer. Pria itu lalu merebahkan tubuh Elle di atas ranjang, ciuman mereka pun sontak terlepas kala Ryuu menatap lekat penuh damba pada sosok gadis miliknya. Ia memandangi rambut coklat gelap yang mengikal lembut karena setengah basah, tampak berserakan dengan kontras di atas seprai putih. Wajah Elle yang cantik itu juga ikut memandangi dirinya, membuat Ryuu menatap pada manik bening berkilau dan bibir penuh yang tampak r
Ryuu membawa Ayaka dan Akio ke dalam kamar mereka. Langit di luar jendela mulai berubah warna meskipun masih siang hari, menandakan cuaca yang mendung dan mungkin akan diwarnai oleh butiran hujan dari langit. Suasananya tampak syahdu, tenang dan nyaman. Namun bagi Ryuu, ini adalah momen yang paling tepat. "Daddy mau kalian istirahat siang sekarang," ujarnya sambil berdiri di tepi tempat tidur, menatap kedua anak kembarnya yang langsung mengernyit tak suka. "Daddy bercanda?" cetus Ayaka sambil mendengus serta menyilangkan tangan di dada mungilnya. "Aku kan belum mengantuk!" Akio pun ikut menatap Ryuu dengan sorot penuh curiga. "Hm, ya. Rasanya ada yang aneh. Daddy sangat jarang menyuruh kami untuk tidur siang tanpa alasan." Ryuu tertawa kecil. Ia pun memutuskan untuk duduk di tepi ranjang dan menatap mereka secara bergantian. Sebuah seringai samar mewarnai wajahnya yang tampan, karena ia akan mengajukan penawaran yang sulit ditolak oleh kedua anak kembarnya itu."Baiklah. Ka
Perjalanan pulang dari restoran dipenuhi oleh suara riang Ayaka, yang tak henti-hentinya bercerita tentang berbagai hal. Dari rasa es krim yang mereka beli, tempat-tempat yang mereka lewati, hingga bagaimana Ryuu dengan mudah meringkus pria yang hendak menculik seorang anak kecil di depan restoran tadi. "Daddy itu keren banget! Gerakannya cepat sekali, juga langsung menangkap orang jahatnya hanya seorang diri!" seru Ayaka dengan mata yang berbinar-binar. Akio mengangguk setuju, meskipun tidak ikut sebanyak bicara seperti saudara kembarnya. "Benar. Aku sampai penasaran, Daddy ini sebenarnya manusia apa bukan ya?" Elle yang duduk di samping Ryuu hanya mendengarkan sambil tersenyum, tapi sebenarnya dengan benak yang tengah jauh melayang. Ia masih memikirkan kejadian tadi. Bagaimana Ryuu bergerak begitu cepat dengan tangannya yang cekatan, dan tatapan matanya yang berubah tajam dalam sekejap ketika menyelamatkan anak kecil itu. Elle masih larut dalam lamunannya, ketika
Begitu mereka melangkah keluar dari restoran, dua pria berpakaian hitam dengan kacamata gelap sudah menunggu di dekat pintu. Tubuh mereka tegap, postur kaku, dan aura mereka begitu kuat sehingga membuat orang-orang yang lewat secara refleks bergerak menjauh. Begitu melihat Ryuu, kedua pria itu langsung membungkukkan tubuh penuh hormat, melakukan salam khas Jepang yang dalam dan penuh tata krama. Elle berhenti di tempatnya dengan jantung yang mulai berdetak lebih cepat. Seketika ia melirik Akio dan Ayaka, tapi kedua anak itu tampak biasa saja seolah ini bukan sesuatu yang aneh bagi mereka. "Takahashi-shachou (Presiden Direktur Takahashi)," salah satu pria menyapa Ryuu dengan sopan. Ryuu mengangguk ringan. "Tunggu sebentar," ucapnya pada pria itu, lalu berbalik ke arah Elle dan anak-anaknya. "Kalian tunggu di sini, aku harus bicara dengan mereka sebentar." Elle hanya mengangguk pelan, tapi matanya tidak lepas dari Ryuu dan kedua pria itu saat mereka berjalan sedikit
Elle kembali duduk di kursinya, tapi pikirannya masih terpaku pada apa yang baru saja terjadi. Ryuu menangani penculik itu dengan cara yang terlalu cepat, terlalu efisien, dan sama sekali tidak seperti orang biasa. Bahkan polisi pun terlihat terkejut saat mereka tiba di lokasi dan melihat betapa mudahnya Ryuu melumpuhkan pria berbadan besar itu. Namun, Ayaka dan Akio tampak menganggap semua itu sebagai hal biasa. Mereka sama sekali tidak kaget, malah terlihat bangga seolah ini adalah sesuatu yang sering mereka saksikan. Elle melirik ke arah Ryuu yang kini kembali menyantap makan siangnya dengan tenang, seakan kejadian barusan hanyalah sebuah gangguan tak berarti dalam harinya. "Ada yang mau tambah minum?" tanya Ryuu santai, sama sekali tidak menyadari bahwa Elle masih menatapnya dengan penuh kebingungan. Elle membuka mulutnya, ingin menanyakan sesuatu tetapi masih ragu. Haruskah ia bertanya sekarang? Atau lebih baik menunggu waktu yang lebih tepat? Akhirnya ia mena
"Apakah aku boleh bertanya... tentang ibu kandung dari si kembar?" Mendengar pertanyaan Elle yang tiba-tiba itu, Ryuu tampak diam dengan jemarinya yang saling bertaut, seakan sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Pria itu menghela napas pelan seraya menatap wanita bersurai coklat di sampingnya dengan lekat. "Ibu kandung Ayaka dan Akio… dia bukan wanita biasa," pria itu pun akhirnya membuka suara dengan nada yang rendah dan hampir berbisik. "Dari awal, hidupnya selalu dikelilingi oleh bahaya." Elle mengerutkan kening, menunggu Ryuu melanjutkan. Pria itu lagi-lagi menghela napas sebelum kembali berbicara. "Dunia tempatnya berasal, adalah tempat yang tidak akan pernah membiarkan Ayaka dan Akio hidup dengan tenang jika mereka tetap berada di sisinya." Elle terdiam. Ia bisa melihat kesedihan yang tersembunyi di mata Ryuu. Sekilas, pria itu tampak seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri, seakan ada bagian dari cerita ini yang tak seharusnya ia ungkap
Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka dari dalam, dan Ryuu pun keluar dengan menggendong Elle yang berada di dalam pelukannya. Langkahnya tegas dan genggamannya begitu kokoh, seolah ingin selalu memastikan agar Elle tak akan terluka lagi. Sedangkan Elle, gadis itu hanya bisa menyandarkan dirinya dengan pasrah di dada pria itu seraya merasakan denyut jantung Ryuu yang stabil, dan entah sejak kapan telah menjadi buaian yang membuatnya merasakan ketenangan. Ryuu membawa Elle ke ruang tamu, dan ternyata ada Akio yang sejak tadi sudah berdiri menunggu di sana dengan wajah yang murung. Bocah itu menatap Elle dengan manik gelapnya yang berkaca-kaca dipenuhi rasa bersalah, tampak seperti sekuat tenaga menahan tangisnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya yang sedikit gemetar. "Elle..." Akio berucap dengan suaranya lirih berbisik. "Maaf... Aku... aku sudah membuatmu terluka. Kalau saja aku tidak memanjat pohon itu..." Bibirnya bergetar, seolah satu kata lagi akan membuat
Ryuu telah selesai mengompres bengkak di pergelangan kaki Elle, lalu membersihkan sisa air dengan lap bersih, sebelum kemdian memasang perban elastis dengan hati-hati. Jemarinya yang besar dan kokoh bekerja dengan ketelitian serta cermat. Elle memperhatikan setiap gerakan dengan pandangan yang tertuju pada ekspresi serius pria itu. Ada kelembutan tersembunyi dalam cara pria itu menangani lukanya, hingga melukiskan senyum yang terbit di bibirnya. Ryuu yang tanpa sengaja mendongak dan menangkap ekspresi Elle, seketika langsung mengangkat alisnya. "Kenapa tiba-tiba tersenyum?" tanyanya. Elle mengangkat bahu ringan. "Karena kamu. Aku tidak menyangka jika kamu ternyata begitu terampil merawat kakiku." Ryuu pun tertawa tanpa suara. "Aku adalah orang tua tunggal dengan dua anak, Elle. Mengatasi kecelakaan kecil seperti ini sudah jadi bagian dari hidupku." Elle ikut tersenyum, entah kenapa ia merasakan kehangatan yang menelusup di dalam dadanya karena perkataan Ryuu. "Aya
Ryuu tetap diam di ambang pintu, memperhatikan pemandangan di hadapannya dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ayaka masih menempel manja pada Elle, sementara Akio berdiri di samping mereka dengan ekspresi yang lebih terkendali, meskipun Ryuu bisa melihat kilatan kehangatan di matanya. Elle tertawa kecil, mengusap lembut kepala Ayaka. "Kalian datang ke sini sendirian?" Ayaka mengangguk bersemangat. "Iya! Kita naik mobil dengan Renjin!" Ryuu mendengus pelan dan menggerutu dalam hati ketika mendengar nama Renjin. Seharusnya orang itu mengawasi kedua anak kembarnya, bukan malah melepas mereka untuk mengganggunya. Akio yang sejak tadi diam akhirnya ikut angkat bicara. "Ini salah Ayaka. Dia menangis seharian dan bilang kangen dengan Elle, makanya Renjin mengantarkan kita ke sini." Seketika Ayaka mengerucutkan bibirnya. "Kamu juga kangen dengan Elle kan, Akio? Mengaku saja!" Akio hanya menghela napas dan mengedikkan bahu malas, tampak enggan berdebat. Elle tersenyum