Ayaka berlari masuk ke dalam penginapan dengan langkah mungilnya yang gesit.
Sepatu pink ballerina kecilnya menapaki lantai kayu dengan suara berdebum pelan. Manik gelapnya langsung mencari sosok yang ingin ditemuinya. Dan di sanalah Daddy-nya, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke danau, dengan tangan bersidekap di dada. "Daddy! Daddy!" panggil Ayaka dengan penuh semangat. Ryuu menoleh ke arah putrinya dengan sedikit mengernyit. "Ada apa, Ayaka? Kenapa kamu berlari-lari seperti itu?" Ayaka langsung berhenti di hadapan ayahnya, napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat. "Daddy! Hari ini adalah hari spesial!" Ryuu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya. "Hari spesial apa?" Ayaka mengangkat kedua tangannya ke udara dengan penuh antusias. "Hari ini Elle akan menikah dengan Daddy!" Ruangan yang semula tenang mendadak dipenuhi keheningan yang canggung, sementara Ryuu pun terpaku di tempatnya. "... Apa?" Ryuu akhirnya bersuara, suaranya dalam dan terdengar sedikit bingung. Ayaka mengangguk cepat. "Elle sudah memakai mahkota bunga yang aku buatkan, itu artinya dia setuju!" Ryuu memijat pelipisnya, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan putrinya. "Tunggu sebentar. Ayaka, siapa yang bilang bahwa aku akan menikah dengan Elle?" "Daddy sendiri!" Ayaka bersikeras, dengan wajah yang mulai menekuk cemberut. "Daddy pernah bilang kalau Daddy menyukai Elle, dan tadi pagi Daddy menggandeng tangan Elle. Itu berarti Daddy memilih Elle sebagai istri, kan?" Ryuu menatap putrinya dengan ekspresi campuran antara terkejut dan geli. Ayaka memang cerdas, tetapi terkadang logika anak-anak benar-benar sulit ditebak. Pria itu pun menghela napas panjang dan mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Ayaka, masalahnya... menikah tidak sesederhana itu," ujar Ryuu akhirnya. "Elle dan Daddy baru saja mengenal satu sama lain." "Tapi Elle bilang dia tidak percaya!" Ayaka semakin cemberut, lalu berkacak pinggang dengan gestur penuh drama. Rambutnya yang dikuncir dua tampak bergerak-gerak seiring dengan gerakan kepalanya. "Makanya Ayaka datang ke sini untuk memastikan! Daddy harus memberitahu Elle bahwa Daddy memang akan menikahinya!" Ryuu mengangkat sebelah alisnya, lalu menatap putrinya dengan ekspresi menyelidik. "Dan kalau Daddy tidak mau bilang?" Ayaka menyipitkan matanya dengan penuh kewaspadaan. "Kalau Daddy tidak bilang begitu... Ayaka akan bilang pada semua orang kalau Daddy takut sama badut!" Seketika Ryuu pun tersenyum geli. Putrinya ini benar-benar tahu cara menempatkan dirinya dalam posisi menang. "Hei, Daddy tidak takut sama badut, ya! Cuma tidak suka saja, jadi tolong bedakan," kilah Ryuu, seraya ikut-ikutan berkacak pinggang mengikuti gaya Ayaka. Sementara itu di luar pintu penginapan, Elle berdiri dengan napas tertahan, mendengar seluruh percakapan mereka dengan wajah semakin memanas. Ya Tuhan. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus segera menghentikan sebelum Ayaka dan imajinasinya itu tidak semakin liar berkembang kemana-mana. Elle melangkah masuk ke dalam ruangan, mendapati Ryuu dan Ayaka yang sepertinya tampak sudah menunggunya. Tanpa sadar ia masih mengenakan mahkota bunga di kepalanya, sesuatu yang langsung menarik perhatian Ryuu. Tatapan pria itu pun berubah sekilas dengan matanya yang gelap menyiratkan kekaguman, meskipun tetap saja tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Namun Elle tidak memperhatikan hal itu. Ia langsung menghampiri gadis mungil berkuncir dua dengan pita pink itu. "Ayaka, aku hanya ingin meluruskan sesuatu. Antara aku dan Daddy-mu tidak ada hubungan apa pun, selain sebagai penyewa dan pemilik penginapan. Aku hanya tidak mau kamu berharap terlalu tinggi untuk sesuatu yang tidak ada." Ayaka yang masih belum terima dengan kenyataan itu, melipat kedua tangannya di dada dengan ekspresi keras kepala. Maniknya menatap Elle dengan dagu yang terangkat, lalu bertanya dengan nada yang menantang, "Kenapa tidak mau mempertimbangkan Daddy? Apa menurutmu Daddy itu tidak tampan?" Elle mengerjap kaget. Pertanyaan itu membuatnya tidak tahu harus menjawab apa. Apalagi ketika Ryuu yang sejak tadi diam, kini justru tiba-tiba mengikuti gerakan putrinya dengan sengaja. Ia melipat tangan di dada, menatap Elle dengan sorot jahil, lalu mengulang pertanyaan Ayaka dengan suara rendah yang menggoda. "Ya, menurutmu bagaimana, Nona Elle? Aku tampan atau tidak?" Elle berdehem pelan, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral. Ia sungguh tidak menyangka jika Tuan Ryuu Takahashi ini ternyata malah semakin membuatnya merasa terpojok. Elle menyunggingkan senyum diplomatis sebelum menjawab, "Tampan atau tidaknya seseorang itu relatif, bukan? Yang jelas, saat ini aku tidak sedang mencari pasangan. Aku masih harus fokus mengurus penginapanku yang hampir bangkrut. Jadi, hal seperti ini bukan prioritas untukku sekarang." Ayaka mendengus kecewa, sementara Ryuu hanya menaikkan alisnya, seolah tertarik dengan jawaban Elle. Tapi alih-alih berhenti menggoda, pria itu justru berujar santai, "Jadi kalau penginapanmu ini sudah stabil, apa kamu baru akan mempertimbangkannya?" Elle menatapnya kesal, sadar bahwa pria itu tidak akan berhenti menggodanya begitu saja. "Mungkin," sahutnya kemudian, sengaja tidak memberikan jawaban yang pasti. Ryuu tersenyum kecil, menangkap ekspresi kesal Elle yang berusaha ditutupi dengan sikap tenangnya. "Kalau begitu, aku ingin tahu," katanya, suaranya terdengar santai tetapi penuh maksud tersembunyi. "Menurutmu, berapa banyak dana yang kamu butuhkan untuk memperbaiki penginapan ini?" Elle mengernyit, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. "Kenapa kamu bertanya begitu?" Ryuu mengangkat bahu, dan masih dengan gaya santainya. "Karena aku tertarik menjadi investor di Lakeview Inn." Elle pun sontak tertegun. "Apa?" "Sederhana saja," Ryuu melanjutkan. "Aku bisa melihat potensinya. Penginapan ini sebenarnya punya cukup daya tarik, hanya saja perlu beberapa perbaikan saja agar lebih menarik bagi tamu. Jika kamu memiliki rencana bisnis yang jelas, aku bersedia menyuntikkan modal dengan jumlah yang kamu tentukan." Ayaka yang sejak tadi mendengarkan dengan antusias, seketika langsung bersorak, "Yes! Dengan begitu, Elle dan Daddy bisa semakin dekat!" Elle yang masih mencoba mencerna perkataan Ryuu, langsung menatap gadis kecil itu dengan wajah meringis. "Ayaka, ini murni cuma urusan bisnis." Namun sesungguhnya yang membuat Elle lebih cemas, adalah pria di hadapannya. Ryuu tidak terlihat seperti seseorang yang mengatakan sesuatu tanpa alasan. Ia lebih seperti seseorang yang selalu penuh perhitungan. "Kenapa kamu ingin melakukan ini?" tanya Elle akhirnya, menatap pria itu dengan curiga. Dengan black card yang dengan santainya diberikan Ryuu kepadanya, Elle sangat yakin jika pria ini bukanlah pria pengangguran tak jelas, Ryuu pasti memiliki pekerjaan atau bisnis lain di luar sana. Lalu mengapa dia se-kurang kerjaaan itu, dengan memberikan suntikan dana untuk penginapan bobrok di lokasi antah berantah seperti ini?? Ryuu menatap lekat dan langsung ke dalam manik hazel milik Elle, membuat jantung gadis itu tiba-tiba saja berdebar tanpa alasan yang jelas. "Aku punya insting bisnis yang baik, Nona Elle. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan jika melihat sesuatu yang menjanjikan." "Atau," Ryuu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, nadanya terdengar lebih rendah dan kembali menggoda, "mungkin aku hanya ingin memastikan... kalau kamu tidak punya alasan untuk menghindar lagi dariku." ***Langit malam menumpahkan gerimis tipis, saat Elle menyandarkan tubuhnya di ambang pintu sebuah rumah penginapan, yang dalam waktu dekat ini bukanlah miliknya lagi. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, tetapi pikirannya lebih kacau dibandingkan cuaca yang tak bisa diprediksi. Hari ini adalah malam terakhirnya di Lakeview Inn, tempat yang telah menjadi rumahnya selama ini. Esok, bank akan mengambil alih segalanya. Elle menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan meskipun terasa sangat pahit. Penginapan kecil di tepi danau ini dulunya ramai oleh wisatawan, tetapi kini hanya menjadi bangunan sepi dengan ribuan kenangan yang memenuhi di setiap sudutnya. Ia sudah mencoba segala cara untuk mempertahankannya. Diskon besar-besaran, paket promo, bahkan bekerja lebih keras dari biasanya. Namun tetap saja, keadaan ekonomi tak juga berpihak padanya. Saat Elle hendak masuk dan menutup pintu untuk terakhir kalinya, ia menatap lampu depan yang tampak berkedip hidup dan
Elle duduk di tangga balkon penginapan tua itu, sambil memeluk kedua lututnya erat-erat. Angin pagi ini berhembus sepoi-sepoi menyapa kulitnya dengan lembut, tetapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang kacau dan berkabut. Matanya masih terpaku pada jalanan berumput yang membentang di depan properti itu, berharap keajaiban akan terjadi. Bahwa mobilnya akan kembali, bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi kenyataan berkata lain. Mobilnya telah hilang. Dicuri oleh pria asing yang baru saja menginap semalam di penginapannya. Satu-satunya harta yang tersisa, satu-satunya cara untuk pergi dari tempat ini dan memulai kembali hidupnya, telah lenyap begitu saja. Di usia yang masih dua puluh empat tahun, hidupnya sudah seperti puing-puing reruntuhan. Bangkrut. Tak punya uang. Tak punya tempat tinggal. Dan kini, bahkan tak punya kendaraan untuk sekadar mencapai halte bus yang berjarak lima kilometer dari sini. Elle menghembuskan napas panja
"Maaf karena membawa mobilmu," Ryuu akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai."Aku membutuhkannya untuk... mengurus sesuatu yang mendesak." Elle mengerjap pelan beberapa kali, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, "Tak apa... yang penting mobilnya sudah kembali." Ryuu tidak segera menjawab. Bola matanya yang gelap mengunci Elle dalam tatapan tajam yang membuat gadis itu merasa sulit untuk berpaling. Langkah Ryuu perlahan mendekat dengan gerakan yang penuh kendali, dan entah bagaimana membuat debaran di dada Elle semakin liar tak terkendali. Akio yang masih memeluknya, tiba-tiba menarik pelan kemeja oversize yang dikenakan Elle. Bocah itu mendongak seraya menatapnya dengan mata polos penuh harap. "Elle, aku sangat lapar... Apa kamu sudah masak untuk makan siang?" Elle tersentak dari pikirannya. Ia menunduk untuk mengusap lembut rambut hitam tebal Akio sebelum tersenyum kecil. "Maaf, Sayang. Hari ini aku belum memasak. Makanan di dapur sudah
Ryuu menatap Elle yang masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak, mengira bahwa keheningan gadis itu adalah sebuah tanda persetujuan. Jadi tanpa ragu, pria itu pun mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh dagu Elle agar gadis itu bisa menatapnya langsung. Seketika Elle pun tersentak dari lamunannya. Dengan cepat dia pun segera melepaskan tangannya dari cengkeraman Ryuu, lalu bergerak mundur selangkah. Ya Tuhan. Ternyata ia tidak salah mendengar! Ryuu adalah pria yang sangat tampan, Elle harus akui hal itu. Wajahnya yang Asia dengan aura berwibawa serta tubuhnya yang tinggi penuh otot adalah perpaduan yang sempurna, dan Elle pun yakin jika tak kan ada wanita normal yang tidak akan terpikat oleh visualnya. Dan karena itulah semula ia mengira dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan karena kedekatan tubuh mereka, dan Elle pun mengira bahwa ia mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Dan sekarang jantungnya tak bisa berhenti berdebar, seolah ingin meloncat keluar dari
Ayaka berlari masuk ke dalam penginapan dengan langkah mungilnya yang gesit. Sepatu pink ballerina kecilnya menapaki lantai kayu dengan suara berdebum pelan. Manik gelapnya langsung mencari sosok yang ingin ditemuinya. Dan di sanalah Daddy-nya, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke danau, dengan tangan bersidekap di dada. "Daddy! Daddy!" panggil Ayaka dengan penuh semangat. Ryuu menoleh ke arah putrinya dengan sedikit mengernyit. "Ada apa, Ayaka? Kenapa kamu berlari-lari seperti itu?" Ayaka langsung berhenti di hadapan ayahnya, napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat. "Daddy! Hari ini adalah hari spesial!" Ryuu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya. "Hari spesial apa?" Ayaka mengangkat kedua tangannya ke udara dengan penuh antusias. "Hari ini Elle akan menikah dengan Daddy!" Ruangan yang semula tenang mendadak dipenuhi keheningan yang canggung, sementara Ryuu pun terpaku di tempatnya. "... Apa?" Ryuu akhirnya bersuara, suaranya dalam dan t
Ryuu menatap Elle yang masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak, mengira bahwa keheningan gadis itu adalah sebuah tanda persetujuan. Jadi tanpa ragu, pria itu pun mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menyentuh dagu Elle agar gadis itu bisa menatapnya langsung. Seketika Elle pun tersentak dari lamunannya. Dengan cepat dia pun segera melepaskan tangannya dari cengkeraman Ryuu, lalu bergerak mundur selangkah. Ya Tuhan. Ternyata ia tidak salah mendengar! Ryuu adalah pria yang sangat tampan, Elle harus akui hal itu. Wajahnya yang Asia dengan aura berwibawa serta tubuhnya yang tinggi penuh otot adalah perpaduan yang sempurna, dan Elle pun yakin jika tak kan ada wanita normal yang tidak akan terpikat oleh visualnya. Dan karena itulah semula ia mengira dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan karena kedekatan tubuh mereka, dan Elle pun mengira bahwa ia mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Dan sekarang jantungnya tak bisa berhenti berdebar, seolah ingin meloncat keluar dari
"Maaf karena membawa mobilmu," Ryuu akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai."Aku membutuhkannya untuk... mengurus sesuatu yang mendesak." Elle mengerjap pelan beberapa kali, lalu menghela napas pendek sebelum menjawab, "Tak apa... yang penting mobilnya sudah kembali." Ryuu tidak segera menjawab. Bola matanya yang gelap mengunci Elle dalam tatapan tajam yang membuat gadis itu merasa sulit untuk berpaling. Langkah Ryuu perlahan mendekat dengan gerakan yang penuh kendali, dan entah bagaimana membuat debaran di dada Elle semakin liar tak terkendali. Akio yang masih memeluknya, tiba-tiba menarik pelan kemeja oversize yang dikenakan Elle. Bocah itu mendongak seraya menatapnya dengan mata polos penuh harap. "Elle, aku sangat lapar... Apa kamu sudah masak untuk makan siang?" Elle tersentak dari pikirannya. Ia menunduk untuk mengusap lembut rambut hitam tebal Akio sebelum tersenyum kecil. "Maaf, Sayang. Hari ini aku belum memasak. Makanan di dapur sudah
Elle duduk di tangga balkon penginapan tua itu, sambil memeluk kedua lututnya erat-erat. Angin pagi ini berhembus sepoi-sepoi menyapa kulitnya dengan lembut, tetapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang kacau dan berkabut. Matanya masih terpaku pada jalanan berumput yang membentang di depan properti itu, berharap keajaiban akan terjadi. Bahwa mobilnya akan kembali, bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi kenyataan berkata lain. Mobilnya telah hilang. Dicuri oleh pria asing yang baru saja menginap semalam di penginapannya. Satu-satunya harta yang tersisa, satu-satunya cara untuk pergi dari tempat ini dan memulai kembali hidupnya, telah lenyap begitu saja. Di usia yang masih dua puluh empat tahun, hidupnya sudah seperti puing-puing reruntuhan. Bangkrut. Tak punya uang. Tak punya tempat tinggal. Dan kini, bahkan tak punya kendaraan untuk sekadar mencapai halte bus yang berjarak lima kilometer dari sini. Elle menghembuskan napas panja
Langit malam menumpahkan gerimis tipis, saat Elle menyandarkan tubuhnya di ambang pintu sebuah rumah penginapan, yang dalam waktu dekat ini bukanlah miliknya lagi. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, tetapi pikirannya lebih kacau dibandingkan cuaca yang tak bisa diprediksi. Hari ini adalah malam terakhirnya di Lakeview Inn, tempat yang telah menjadi rumahnya selama ini. Esok, bank akan mengambil alih segalanya. Elle menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan meskipun terasa sangat pahit. Penginapan kecil di tepi danau ini dulunya ramai oleh wisatawan, tetapi kini hanya menjadi bangunan sepi dengan ribuan kenangan yang memenuhi di setiap sudutnya. Ia sudah mencoba segala cara untuk mempertahankannya. Diskon besar-besaran, paket promo, bahkan bekerja lebih keras dari biasanya. Namun tetap saja, keadaan ekonomi tak juga berpihak padanya. Saat Elle hendak masuk dan menutup pintu untuk terakhir kalinya, ia menatap lampu depan yang tampak berkedip hidup dan