Elle menghela napas panjang saat menutup pintu bagasi mobil, memastikan semua kantung belanjaan sudah tersusun rapi di dalamnya. Namun sebelum ia bisa melangkah ke sisi pintu penumpang, suara Ryuu yang tenang namun penuh arti tiba-tiba membuatnya berhenti. "Jadi..." Ryuu menyandarkan satu tangan di pinggiran bagasi, menatapnya dengan ekspresi penasaran. "Pria itu, si Bradley Scott, apakah dia adalah alasan kenapa kamu tidak tertarik untuk menjalin hubungan lagi?" Elle tampak menegang sejenak, lalu dengan perlahan ia pun memutar tubuhnya menghadap Ryuu. Pria ini ternyata lebih jeli dari yang ia kira. Dia pasti sudah menebak. Jadi, apa gunanya menyembunyikannya lagi? Elle mengangkat bahunya, berusaha untuk terdengar santai. "Ya, dia mantan tunanganku. Dan sekarang dia akan menikah dengan mantan sahabatku, Catherine." Sejenak, Ryuu terlihat benar-benar terkejut. Manik monolid-nya yang gelap terlihat sedikit membesar, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan ses
Pagi ini, Elle bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju dapur bermaksud untuk menyiapkan sarapan, sebelum semua tamunya bangun. Ia ingin menyibukkan diri dengan sesuatu yang konkret seperti memasak, membersihkan, melakukan pekerjaan yang memang menjadi bagian dari rutinitasnya. Namun harapannya pun pupus, ketika ia menemukan seseorang sudah berdiri di sana, mengenakan kaus putih sederhana dan celana jogger abu-abu. Ryuu. Pria itu terlihat sedang membuka lemari dapur dengan ekspresi bingung. Wajahnya masih sedikit mengantuk, rambut hitamnya agak berantakan, dan kancing atas kausnya sedikit terbuka, memperlihatkan kulitnya yang putih khas Asia. Elle membeku di ambang pintu. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Ryuu menoleh dengan santai, seolah tidak melihat sesuatu yang aneh dengan kehadirannya di dapur ini. "Mencari kopi," sahutnya dengan senyuman. Elle mengerjap. "Kamu bisa meminta padaku untuk dibuatkan kopi. Aku yang mengelola penginapan ini, dan kamu
Angin kencang terdengar meraung di luar jendela, membuat ranting-ranting pohon di sekitar penginapan bergoyang liar. Langit yang tadinya kelam kini sesekali diterangi kilatan petir, diiringi suara gemuruh yang mengguncang malam. Hujan deras pun turun tanpa ampun, membasahi halaman Lakeview Inn dan menyapu dedaunan yang berserakan. Elle berdiri di dekat jendela ruang tamu, menatap cuaca yang semakin memburuk dengan wajah khawatir. Ia tahu badai sedang menuju ke sini, tetapi tidak menyangka akan datang secepat dan sekuat ini. Lalu tiba-tiba... BRAAK! Elle tersentak ketika sebuah suara keras menggema dari sisi penginapan. Tak butuh waktu lama sebelum listrik yang kemudian mendadak padam, menenggelamkan seluruh bangunan dalam pekatnya kegelapan. Langkah-langkah tergesa pun terdengar dari arah koridor. Elle menoleh dan melihat Ryuu yang datang dengan membawa senter. Sementara Ayaka dan Akio mengikuti di belakangnya dengan mata membelalak karena kaget. "Apa y
Pagi hari ini di Lakeview Inn dimulai dengan langit yang masih kelabu, tampak sisa-sisa badai semalam meninggalkan embun dingin yang masih menyelimuti udara. Namun suasana terasa jauh lebih hangat dan damai di dalam kamar. Ryuu sudah terjaga lebih dulu. Ia duduk di tepi tempat tidur sambil mengamati ketiga orang yang masih terlelap di sisinya. Akio dan Ayaka terlihat tidur dalam posisi berantakan, tangan dan kaki mereka saling bertumpuk, sementara selimut mereka hampir jatuh dari kasur. Dengan sabar, Ryuu pun membetulkan posisi tidur kedua bocah itu. Ia menarik selimut mereka hingga ke bahu, memastikan tubuh kecil mereka tetap hangat. Namun sebelum ia berdiri, manik gelapnya tertumbuk pada sosok di sisi lain tempat tidur. Elle. Gadis itu masih tampak sangat pulas. Napasnya berhembus dengan teratur, dan wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Ryuu memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan bagaimana helaian rambut cokelat kemerahan itu jatuh berantakan di atas bantal
Elle menggigit bibirnya gugup saat melihat bagaimana Ryuu masih menatapnya dengan intens. Ada sesuatu di mata pria itu yang membuat napasnya tercekat... sesuatu yang mendalam, berbahaya, dan menghipnotis. Gadis itu tersentak ketika tubuhnya tiba-tiba ditarik mendekat dalam satu gerakan cepat, lalu tiba-tiba saja Ryuu telah mengangkat dan mendudukkannya di atas meja makan. Seketika Elle pun menahan napasnya dengan dada yang naik turun tak beraturan, serta kedua tangannya yang otomatis berpegangan pada bahu Ryuu demi keseimbangan. "R-Ryuu~~" "Sshh..." Jari Ryuu menyentuh dagu Elle, mengangkat wajahnya sedikit agar ia bisa menatap mata gadis itu lebih dalam. "Kamu terlalu menggemaskan pagi ini," bisiknya dengan suaranya yang dalam. "Dan aku pun tidak ingin lagi menahan diri." Kemudian bibirnya kembali menyentuh bibir Elle, untuk yang kedua kalinya. Dan kali ini... Ryuu tidak terburu-buru. Ia mengeksplorasi dengan lembut untuk menguji respons Elle, menikmati set
"Aku hanya ingin memastikan Elle benar-benar baik-baik saja." Nada suara Bradley terdengar santai tapi tajam. Matanya yang biru memandang lurus ke arah Ryuu, seolah menantang pria itu untuk membantah. Ryuu melukiskan seringai kecil di wajahnya, sebelum melipat kedua tangannya di dada. Tatapan dari maniknya yang gelap dan dingin menelusuri sosok Bradley dari kepala hingga kaki, sebelum ia akhirnya menjawab. "Selama ada aku di sini yang bersamanya, berarti Elle pasti akan baik-baik saja. Jadi lain kali, kamu tidak perlu repot-repot datang untuk mengecek." Bradley menghela napas tajam dan tersenyum meremehkan. "Kamu bicara seperti punya hak atas Elle. Kamu hanya tamu di penginapan ini, bukan seseorang yang benar-benar ada dalam hidupnya." Mendengar kalimat Bradley membuat Ryuu menaikkan kedua alisnya yang lebat, lalu tertawa kecil. "Tamu, hm?" Lalu pria bersurai hitam itu tiba-tiba mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Setidaknya aku ada di sisinya sekarang. Bukan se
Langit sore mulai membakar cakrawala ketika Ryuu, Ayaka, dan Akio akhirnya berangkat ke kota. Elle berdiri di beranda penginapan, memperhatikan mobilnya yang membawa mereka perlahan menghilang di tikungan jalan berbatu. Udara dingin pegunungan menyapu lembut kulitnya, membawa serta keheningan yang aneh. Seharusnya ia merasa lega, karena tidak ada gangguan, tidak ada pertanyaan aneh dari Ayaka, serta tidak ada tatapan tajam dan menusuk dari Ryuu. Namun... mengapa justru kini terasa hampa? Elle menggeleng pelan, berusaha untuk mengabaikan perasaan aneh itu. Ia harus fokus, karena masih ada banyak pekerjaan yang harus dibereskan. Saat melangkah masuk ke dalam penginapan, pikirannya masih berkecamuk pada kata-kata Ayaka tadi pagi. "Kalau Daddy? Kamu juga suka Daddy, kan?" Sial. Gadis kecil itu benar-benar pandai menjebaknya. Dan akhirnya yang bisa Elle lakukan, hanyalah menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mencoba mengabaikan senyum miring khas Ryuu yang penuh a
Napas Elle terputus-putus saat bibir Ryuu kembali menelusuri lehernya, meninggalkan jejak panas di kulitnya. Tubuhnya menegang dalam dekapan pria itu. Bukan karena takut, melainkan karena sesuatu yang lebih rumit dan lebih menggelitik. Jemari Ryuu yang besar dan kokoh melayang di atas kulit halusnya, perlahan menjelajah setiap lekuk tubuhnya. Elle menggigit bibirnya dengan jantung yang berdegup liar. Sensasi ini begitu asing, begitu menggetarkan dan... sedikit menakutkan. Ryuu menyentuh bagian pinggir karet celana piyamanya, mengusap garisnya perlahan dengan gerakan yang sensual, sebelum mulai menariknya ke bawah. Gerakan itu membuat Elle tersentak. Serta-merta gadis itu menahan tangan Ryuu, dan menatap lekat manik gelapnya yang penuh hasrat namun kini penuh tanya. Elle menarik napas sejenak untuk mengumpulkan keberaniannya. Lalu dengan suara yang agak bergetar, ia berbisik pelan, “Ryuu… tunggu.” Ryuu pun berhenti seketika. Matanya yang menggelap karena gelora kini me
Cahaya mentari pagi menyusup pelan melalui tirai putih yang bergoyang tertiup angin lembut. Udara kamar itu masih penuh terisi oleh aroma semalam, yaitu aroma keintiman mendalam yang dipenuhi emosi. Di atas ranjang besar dengan seprainya yang kusut, tubuh Elle terbaring di atas tubuh Ryuu yang masih setengah tertidur. Dada bidang pria itu naik turun dengan perlahan, membuat Elle tersenyum kecil. Jemarinya yang lentik menyusuri garis tegas rahang Ryuu, lalu turun ke leher serta bahunya yang kekar. Elle mengecup kulit bahu itu dengan lembut, hingga akhirnya Ryuu membuka mata dan menatapnya dengan setengah mengantuk. "Sudah pagi?" guman Ryuu dengan suaranya yang serak dan dalam, suara maskulin penuh sensualitas yang selalu membuat Elle merinding. Elle mengangguk, lalu mengecup singkat bibir pria itu. "Ya, sudah pagi. Tapi rasanya aku malas sekali untuk beranjak." Ryuu tersenyum tipis. Lalu tangannya yang besar dan kokoh mengusap punggung Elle dengan lembut. "Hm. Kalau begit
Desahan lirih Elle pecah begitu saja, saat jemari Ryuu menyentuh kulit pahanya yang halus. Untuk beberapa saat, Ryuu hanya mengusap perlahan pahanya dengan gerakan naik-turun yang sensual... namun seolah menyimpan sejuta peringatan yang membuat Elle merinding penuh antisipasi. Dan ia pun menggigit bibirnya serta memejamkan mata, ketika Ryuu menyentuh bagian sensitifnya yang lembut. Jemari piawai pria itu bermain-main serta menggodanya di sana, hingga tanpa sadar membuat Elle melenguh lirih. Hawa di kamar pun terasa penuh dan intens karena tarikan hasrat yang tak lagi mampu lagi mereka tahan. Ryuu menatap lekat pada wajah Elle yang mulai merona dengan cantiknya. Manik gelap pria itu menyorotkan kerinduan sekaligus rasa memiliki yang menakutkan, seakan menyatakan bahwa malam ini bukan sekadar tentang sentuhan atau gairah, tapi tentang penegasan, pengakuan, serta penaklukan yang lembut. “Elle…” bisik Ryuu di antara kecupan kecil pada kelopak mata gadis itu, “Aku ingin kamu meman
Suasana di kamar itu terasa sunyi. Hanya denting jam dinding dan desiran lembut angin yang menyusup dari celah jendela yang samar terdengar. Ryuu membuka pintu kamar dengan perlahan, berusaha untuk tak menimbulkan suara. Lalu ketika pintu itu terbuka, tatapannya pun langsung jatuh pada sosok Elle yang tertidur di tepi ranjang. Gadis itu tampak lelah, tubuhnya sedikit meringkuk, dan di dalam pelukannya tergenggam erat sebuah pigura kecil dari kayu. Ryuu melangkah mendekat dengan ayunan kaki tanpa suara, dan seketika hatinya pun langsung mencelos saat menyadari foto seseorang di dalam pigura itu. Foto dari mendiang ibu Elle. Senyuman wanita dalam foto itu terasa begitu nyata, seolah sedang mengawasinya… dan mungkin sedang bertanya, "apa yang kau lakukan pada putriku?" Ryuu masih berdiri mematung di sisi ranjang sambil memandangi ritme gerakan pelan napas Elle yang naik turun dengan teratur, namun wajah gadis itu tetap menampakkan kesedihan yang belum benar-benar sirna.
Elle sedang berada sendirian di dalam kamarnya. Ryuu meminta waktu beberapa menit untuk berdiskusi di ruangan lain dengan Michael, yang datang ke Lakeview Inn setelah dihubungi oleh Ryuu.Saat ini penginapannya telah dijaga ketat oleh sepuluh pengawal Ryuu yang menyebar di tiap titik, dan Ryuu juga menekankan pengawasan ketat untuk dirinya.Itu artinya, Elle tidak mungkin lagi bisa pergi kemana-mana tanpa dikawal setidaknya oleh lima orang penjaga. Terutama setelah kejadian barusan yang hampir saja merenggut nyawanya.Elle menghela napas pelan. Ia duduk di kursi depan meja rias, lalu menatap pigura foto ibunya yang berdiri anggun di sudut meja. Wajah teduh wanita itu tersenyum lembut, seolah menyapanya dalam diam. Cahaya lampu kamar yang temaram membuat bayangan di sekitar pigura menari pelan, memberi kesan hidup pada tatapan foto tersebut.“Ibu...” bisik Elle lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, seperti angin yang tertahan di dada. “Apa aku telah salah memilih?”Ia menatap lebi
Ryuu segera menurunkan Elle dan memposisikannya di belakang tubuhnya. Gerakannya begitu cekatan dan tiba-tiba, hingga membuat Elle pun terkejut. “Ryuu?” guman Elle bingung, namun sayangnya gadis itu tak sempat bertanya lebih lanjut, karena teralihkan olen suara dentum keras dari pintu dapur yang merupakan akses ke bagian belakang. Pintu itu ditendang hingga terbuka lebar hingga menghantam dinding. Tiga orang pria bertubuh besar masuk dengan langkah cepat dan sigap. Masing-masing dari mereka mengangkat senjata dan menodongkannya langsung ke arah Ryuu. “Jauhkan dirimu dari perempuan itu,” gertak salah satu dari mereka. Ryuu pun serta-merta menyipitkan matanya. Ia tidak mengenal para penyusup ini, namun ia tahu pasti jika mereka bukanlah anak buahnya. Sayangnya, ia memang belum memberi perintah pada siapa pun untuk kembali mengawasi Lakeview Inn. Dan sekarang, para penjahat ini mengincar Elle? Tubuh Ryuu tetap berdiri tegak, melindungi Elle sepenuhnya dengan dada bidan
Elle membuka matanya yang sayu dengan perlahan, ketika ia mendengar suara-suara berdenting lembut dari arah dapur. Suara itu seperti alunan irama pagi yang menenangkan, mengusik kesadarannya dari sisa-sisa mimpi yang masih melekat di pelupuk mata. Denting logam yang bersentuhan satu sama lain terdengar seperti simfoni sederhana namun hangat, yang hanya bisa berasal dari satu orang. Senyum manisnya pun seketika terurai saat menghirup aroma lezat di udara. Harumnya menyusup masuk ke dalam hidungnya, mengaduk perut kosong yang tiba-tiba menyadari bahwa ia lapar. Bukan hanya lapar akan makanan, tetapi juga akan kehadiran pria yang kini sedang berada di dapur. Sepertinya seseorang sedang memasak makanan untuk sarapan, dan itu pasti Ryuu. Tanpa sadar, Elle merasa rindu akan suasana ini. Rindu yang muncul begitu saja, mengalir dari lembut namun dalam, seperti gerimis tipis yang membasahi hati. Rasa rindu yang bukan hanya tertuju pada tempat atau rutinitas, tapi lebi
Detak jantung Ryuu pun semakin menggila, seiring dengan celah pada pintu itu yang semakin lebar terbuka. Hingga akhirnya, seraut wajah cantik namun sendu mulai terlihat dari baliknya. Dua pasang bola mata berbeda warna itu pun saling beradu pandang untuk beberapa saat, sebelum kemudian Ryuu-lah yang bersuara lebih dulu. "Hai," ucap pria itu. Elle masih terdiam, dengan manik hazel-nya yang terpaku pada bola mata gelap Ryuu yang dalam dan selalu bisa membuatnya terhipnotis. "Terima kasih karena sudah membuka pintunya," ucap Ryuu lagi, sebelum kemudian ia mulai bergerak masuk ke dalam. Bukan dengan gerakan yang pelan, namun menerjang dengan kuat. Elle merasakan sepuluh jari kokoh dan hangat yang tiba-tiba merangkum wajahnya, lalu sesuatu yang basah dan panas memagut bibirnya. Ciuman itu datang dengan mendadak, bahkan Elle belum sempat mengambil satu napas pun. Ciuman yang dipenuhi dengan kelegaan, pelepas rindu, serta rasa cinta yang mendalam. "Maaf. Aku sungguh-sungguh
Elle turun dari mobil dengan langkah-langkah pelan. Lakeview Inn tampak sepi seperti biasanya, hanya suara gesekan dedaunan serta kicau burung yang terdengar samar di kejauhan. Angin musim semi menyapu rambutnya, membawa aroma danau yang tenang dan nostalgia yang samar. Ia berdiri beberapa saat di depan pintu, memandang ke properti miliknya yang dulu selalu menjadi tempat perlindungan dari dunia luar. Bangunan tua berbalut ketenangan itu kini terasa seperti satu-satunya tempat yang tidak akan mengkhianatinya. Tidak seperti semua orang yang ia kenal. Saat kakinya menyentuh lantai kayu ruang tengah yang dingin dan sunyi, Elle pun menghela satu napas panjang. Sendiri. Lagi-lagi ia sendiri. Tapi sesungguhnya untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kesendirian ini… ternyata tidaklah menyakitkan. Justru sebaliknya. "Mungkin memang sepatutnya seperti ini," guman Elle. Mungkin tidak semua kebersamaan itu berarti. Mungkin sendiri tidak selalu sepi… tapi sebuah pilihan untuk me
Elle duduk di kursi belakang dengan tangan terlipat di pangkuannya. Kini ia tengah berada di dalam mobil yang melaju perlahan, keluar dari gerbang Mansion Takahashi yang megah. Di balik jendela yang mulai berembun oleh embusan udara dingin dari AC, Elle menatap kosong ke luar. Dunia di sekelilingnya seperti bergerak lambat, tak sejalan dengan kekacauan yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Sang supir yaitu seorang pria paruh baya berseragam rapi, sedikit menoleh ke arahnya melalui kaca spion di bagian tengah. “Ke mana kita akan pergi, Nona Elle?” tanyanya sopan. Elle mengangkat wajah, dan terdiam untuk sejenak. Ia bahkan tidak tahu harus ke mana. Sekujur tubuhnya masih dipenuhi amarah dan luka. Kata-kata Ryuu, atau lebih tepatnya keengganannya untuk berkata apa pun… membuat hatinya terasa seperti diremas dari dalam. Setelah beberapa saat ia berpikir, Elle pun menarik napas panjang dan menjawab, “Lakeview Inn," ucapnya akhirnya. "Itu tujuan kita." Supir itu han