“Apa aku melewatkan sesuatu?”
Aku tidak akan menanyakan hal bodoh seperti itu jika aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh orang-orang ini—setidaknya itu yang aku rasakan. Selain nuansa kehangatan pura-pura yang sangat kental, aku tidak tahu kenapa aku mendadak merasa seperti orang asing di sini. Tapi aku tahu satu atau dua hal. Mungkin juga tiga.
Pertama, sepertinya aku mabuk karena kepalaku terasa begitu ringan setelah minum terlalu banyak sampanye.
Kedua, parfum yang dipakai si Adam ini sangat memabukan dan aku benci itu karenanya.
Ketiga, aku berhasil mengontrol diriku sendiri untuk tidak merobek pakaian si Adam dan mengendus leher dan bagian tubuhnya yang terkena semprotan parfum seperti hewan liar. Dan aku sangat bangga pada diriku karenanya.
Sarah yang kebetulan duduk di seberang meja—lebih tepatnya tiga kursi dari tempat bibi Risma duduk—melotot ke arahku. Dia tidak sendirian. Hampir semua orang yang sedang menikmati makan malam menatap tajam ke arahku. Seolah-olah aku baru saja menyebutkan nama kau-tahu-siapa dengan sangat lantang di Azkaban. Yap. Siapa lagi kalau bukan Tom Riddle a.k.a Voldemort? Apalagi Ibuku. Ibuku melotot padaku persis seperti saat dia menangkap basah aku sedang merokok di kebun bambu yang ada di samping lapangan sepak bola dekat rumah. Kedua bola matanya nyaris keluar dari sarangnya dan tidak berkedip.
Beberapa detik kemudian, aku sadar kalau semua aktivitas yang biasa dilakukan di meja makan berhenti total. Mulai dari mengunyah hingga menggesekan alat makan ke piring porselen Cina yang sangat mahal ini. Semuanya berhenti dengan total. Argh! Total saja tidak cukup untuk menjelaskan betapa hening dan kompaknya mereka dalam memperlakukanku seperti orang jahat tidak beradab yang mengencingi bilik telepon umum secara terang-terangan.
Tarik napas. Tenang.
Aku bisa menangani yang satu ini.
Sambil mengamati wajah mereka satu per satu, aku mulai bertanya-tanya apakah ini merupakan salah satu upaya untuk menjahiliku. Menjahiliku adalah gagasan yang brilian, tapi hari ulang tahunku masih sangat jauh—pertengahan Maret tahun depan. Neptunus!
“Aku tidak meminta kalian untuk menjilati bokongku,” kataku, lebih keras dari yang aku maksud dan terdengar seperti bajingan yang tidak tahu sopan santun. “Aku hanya bertanya.”
Bagus sekali. Tidak ada yang tertawa dengan leluconku yang satu itu. Bahkan Rian yang berotak mesum dan memiliki selera humor yang sangat receh pun tidak tertawa. Yang ada hanyalah ketegangan yang semakin mencekik setiap orang yang ada di ruangan ini.
Aku benci harus mengatakan ini, tapi aku bersedia melakukan apa saja—APA SAJA—asalkan aku bisa menghilang dari sini dan tidak pernah datang ke sini lagi untuk seumur hidupku. Aku amat sangat tidak keberatan jika harus mencium pantat ayam yang baru saja selesai bertelur. Atau membiarkan setengah dari tabungan rahasiaku yang lumayan banyak menjadi milik Ibuku.
Si kakek tersenyum. Lebih tepatnya membuat bibirnya yang keriput membentuk sebuah garis tipis dan melengkungkannya ke bawah. “Kami sedang membahas pernikahan Lia, sepupumu, nak.”
“Oh.”
Sial. Tidak. Maksudku adalah APA-APAAN?
Yang ingin coba aku katakan adalah kenapa aku harus terlibat dalam omong kosong ini. Baiklah. Aku memang bersedia datang ke dalam jamuan makan malam terkutuk ini murni karena makanannya. Kemudian ada si kakek yang tidak bisa kau ketahui kapan dia akan menghembuskan napas terakhirnya. Itu artinya aku sudah menjalankan peranku sebagai seorang cucu dengan baik.
Aku menoleh ke arah Nina yang baru aku sadari tidak berbicara padaku sedikit pun malam ini. Untuk menoleh saja tidak dia lakukan. Dia sedang sIbuk mengamati gelas wine yang belum disentuhnya dengan frustasi.
“Kau mau keluar dari sini dan merokok?” desisku.
Lucu karena Edi yang bereaksi.
“Maafkan aku,” kataku dengan ragu-ragu, berusaha menambahkan sedikit saja rasa percaya diriku yang sudah lama hilang ke dalam suaraku. “Aku tidak bermaksud membuat rapat keluarga ini menjadi kacau. Aku bersungguh-sungguh.”
“Tidak apa-apa, sayangku,” kata si kakek sambil mengibaskan tangan keriputnya di udara.
Setelah si kakek kembali memulai rapatnya dan ketegangan yang melingkupi ruang makan yang kelewat besar ini sedikit mencair, aku terus memeras otakku. Bagaimana bisa aku tidak tahu soal ini? Maksudku, aku tahu betul kalau pasti akan ada sepupu yang menikah akhir tahun ini, tapi mereka tidak akan pernah menyimpan keputusannya yang kelewat konyol ini dariku. Maksudku adalah siapa pun itu sepupu yang akan menikah dalam waktu dekat biasanya akan meminta aku dan sepupu-sepupu yang lain untuk membantu mewujudkan pernikahan impiannya. Meski pun sudah tahu akan berakhir dengan kegagalan karena si kakek selalu menginginkan pesta yang meriah dan menjadi pusat perhatian, sebagai sepupu yang baik kami pasti akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku tahu, hubungan kami sangatlah rumit.
Irham, adik laki-lakiku, yang duduk di seberangku langsung menendang kakiku. Dia menelengkan kepala dan menggerakkan matanya yang tidak lebih gelap dari mataku ke kiri.
“Apa?” protesku.
“Um... di sini,” kata Lia. Dia masih saja melambaikan tangannya padaku sekali pun aku sudah menoleh ke arahnya.
“Apa maumu?” Sialan. “Maksudku, ada apa?”
“Kami butuh bantuanmu untuk mempersiapkan pernikahanku,” katanya sembari menatap bibi Rindi, ibunya, dengan penuh cinta.
Sangat dibuat-buat.
“Itu memang tugasku selain selalu menjadi yang kedua di segala situasi,” kataku sambil mengedikkan bahu. Itu memang benar adanya. Menjadi anak kedua sekaligus anak di antara si sulung dan si bungsu itu sangat menyebalkan. Rasanya persis seperti penggalan lirik lagu ... dari band Cokelat, antara ada dan tiada.
“Bagus,” sahut Lia. “Aku selalu tahu kalau kau mau membuatkan kue pernikahan untuk kami.”
Jalang dada kempes sialan.
Mengingat aku adalah salah satu lulusan terbaik dari jurusan Tata Boga di sekolahku empat setengah tahun yang lalu dan sampai sekarang belum ada satu pun hotel yang berbaik hati mau membaca surat lamaran kerjaku dan memberiku kesempatan untuk menunjukkan skill terbaikku. Sudah dapat dipastikan kalau yang dilakukannya sekarang ini adalah salah satu bentuk penghinaan yang dia tujukan secara langsung padaku di depan keluargaku dan keluarga pacarnya yang aku yakini adalah gay.
“Mantap.” Aku menenggak wine merah pertamaku dalam sekali tegukan. “Jadi, kapan kalian akan menikah?”
“Minggu depan,” jawab mereka, nyaris bersamaan.
“Maksudmu benar-benar hari Minggu yang ada di minggu depan?”
Lia menganggukkan kepalanya dengan mantap. Terlalu bersemangat, lebih tepatnya.
Ada banyak sekali reaksi yang bisa aku tunjukan untuk menggambarkan betapa terkejutnya aku dengan kabar bodoh yang satu itu. Menangis bahagia sambil menaruh salah satu tanganku di dadaku, berjuang untuk tidak menangis dengan menutupi mulutku seperti orang dungu sejati, mengangkat gelas wine-ku yang sudah kosong untuk bersulang, dan masih banyak lagi. Hanya saja, itu bukan gayaku. Jadi, yang aku lakukan beberapa detik setelah membiarkan jawaban mereka mengambang di udara adalah tertawa seperti babi gila.
Aku terus tertawa sembari menyikut lengan Edi yang sedang berusaha sekeras mungkin untuk tidak menjadi babi gila kedua. Sementara itu, Ibuku yang duduk di dekat kepala meja makan menatapku dengan tatapan itu. Tatapan yang biasa Ibuku lontarkan padaku setiap kali aku berbuat sesuatu yang membuat Ibuku merasa kalau sudah sepatutnya namaku di hapus dari Kartu Keluarga dan tidak mendapatkan warisan sedikit pun.
“Apa dia hamil duluan?” kataku, setelah akhirnya aku selesai dan puas menjadi babi paling bahagia di ruangan ini. Mungkin juga di seluruh planet ini.
“Febrian,” tegur si kakek. Wajahnya terlihat tidak senang. Artinya aku sedang terlibat dalam masalah serius.
Sebelum aku semakin mengacaukan rapat serius antar dua keluarga, aku memutuskan untuk menaruh serbet yang ada di atas pahaku ke samping piring porselen yang makanannya belum aku sentuh sama sekali. Sebagai catatan, aku tidak akan pernah menyentuh apalagi menelan berlembar-lembar daun sawi putih yang terlalu muda untuk dipanen, cabe hijau yang di iris memanjang dan tidak lebih besar dari korek api yang juga disebut dengan potongan juliene, dua buah tomat ceri yang di belah dua dengan guyuran minyak zaitun ekstra-double-virgin dan sejumput garam. Aku sudah selesai dengan segala jenis makanan pembuka yang melibatkan banyak sekali sayuran segar dan mentah.
Kemudian aku berdiri, menatap setiap orang yang ada di meja makan secara bergantian.
“Um... aku minta maaf,” kataku dengan nada memelas. “Sungguh, aku benar-benar minta maaf karena sudah mengacaukan jamuan makan malam ini. Jadi, izinkan aku untuk meninggalkan jamuan makan malam ini lebih awal sebelum aku mulai mengatakan hal-hal bodoh lainnya yang berkecamuk di dalam kepalaku.”
Ibuku menatapku dengan penuh kebencian saat aku melintas di hadapannya. Pun begitu dengan si kakek yang duduk dengan angkuhnya di kepala meja makan.
Bagus sekali. Instingku mengatakan kalau sudah saatnya aku pergi dari sini untuk mengemasi semua barang-barangku dan pergi dari rumah sebelum Ibuku menghapus namaku dari Kartu Keluarga secara resmi.
“Selamat malam semuanya,” kataku sambil berjalan meninggalkan ruang makan sialan itu.
***
Tarik napas. Tenang.Aku bisa melakukannya.Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang de
Tarik napas. Tenang. Aku bisa melakukannya. Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin. Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang
4 tahun yang lalu...Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau wafer cokelat yang aku beli di mesin penjual makanan milik kalian yang dipajang di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 dan itu benar-benar membuatku kesal.Tidak. Itu terlalu brutal.Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau mesin penjual otomatis nomor 147 yang berada di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 mengalami sedikit kerusakan. Aku tidak akan mengirimi kalian surat jika wafer cokelat yang sudah aku beli tidak tersangkut di... apa pun itu nama benda yang berfungsi untuk mendorongnya hingga terjatuh ke bawah sebelum akhirnya aku ambil dan makan untuk meredakan rasa laparku.Mungkin juga tidak. Karena di saat yang hampir bersamaan aku merasakan banyak sekali emosi di dala
"Kau benar," kataku. "Itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Sebenarnya aku sudah melupakan hal itu untuk waktu yang sangat lama hingga kau datang ke sini dan mengungkitnya. Bagian paling menyebalkannya adalah kau melakukannya tepat di hadapanku. Lengkap dengan melakukan kontak mata yang super intens dalam jarak yang bisa dibilang sangat dekat seperti ini. Dan aku membencinya."Adam tersenyum geli. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kakinya mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang cukup jauh antara aku dan dia."Maaf sudah mengungkitnya kembali," ucapnya, terdengar seperti bersungguh-sungguh. "Aku hanya... kau tahu.""Aku tidak tahu," balasku dengan cepat. "Kau yang tahu.""Kau benar." Adam menudingkan botol berisi jus buatan ibuku ke arahku sambil meringis. "Aku rasa... aku hanya menjadi sedikit terlalu bersemangat setelah bertemu lagi denganmu. Di sini.""Kau sudah mengatakan itu tadi," kataku dengan masa bodoh. "Bisakah kau b
"Jadi, ini teoriku," kata Nina, satu dari banyaknya sepupu yang aku punya, sambil menghembuskan asap rokok yang manis dari hidungnya. "Kau mengambil jatah cutimu yang sangat sedikit untuk berkemah di sebuah tempat yang namanya baru kau dengar. Setelah itu kau akan menghabiskan malam yang panjang tanpa ponsel dengan harapan kau bisa mengurangi sedikit saja kecanduanmu akan benda kecil sialan itu dan sebagai gantinya kau akan menatap langit malam bertaburan bintang lalu entah bagaimana kau akhirnya tiba di fase itu." Aku menaikkan sebelah alisku yang tebal dan sedikit berantakan. "Fase apa?" "Kau tahu," Nina menjentikkan rokoknya ke dalam gelas berisi pink lemonade yang baru di minum setengah lalu tersenyum. "Mulai memikirkan dan membayangkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi jika saja kau melakukan satu saja hal dalam hidupmu dengan benar. Seperti... entahlah. Mengambil tawaran magang di situs berita tempat kau menulis artikel ketimbang menghadiri a
Entahlah. Mataku rasanya seperti terbakar tapi aku tidak bisa berhenti melihat kejadian unik yang sangat jarang terjadi ini. Si kakek yang tidak pernah menganggap kehadiran cucu-cucunya di sini bersikap begitu ramah dan hangat pada orang asing yang sudah berani menginjakkan kaki kotornya di tanahnya. Tidak ada darah yang mengikat hubungan di antara mereka. Benar-benar orang asing.Ini luar biasa. Terakhir kali aku melihat si tua bangka bertingkah seperti orang lain, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak! Empat tahun yang lalu! Saat dia menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Sarah, kalau tidak salah. Aku ingat betul si kakek hampir saja tidak mau datang ke pesta pernikahan Sarah karena mengusung konsep intimate wedding dan hanya dihadiri oleh keluarga inti kedua belah pihak mempelai. Tidak ada kerabat jauh, tidak ada teman dari kantor atau sekolah, dan tentu saja tidak ada media yang meliput pesta pernikahan yang harusnya menjadi pernikahan akbar di kota saat itu. Tapi itu
Hari hampir gelap ketika aku keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponsel yang sengaja aku simpan di meja lampu. Persis seperti dugaanku, tidak ada pesan sama sekali. Itu pertanda bagus. Tiga jam tanpa ponsel dan aku baik-baik saja. Besok aku akan menambah durasinya menjadi enam jam. Mungkin delapan. Aku tidak begitu yakin tapi ini membuatku sangat bersemangat.Aku kembali menaruh ponselku lalu berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamar dekat jendela. Dari bayangan yang dipantulkan oleh salah satu cermin antik yang bingkainya terbuat dari kayu jati asli dan dipahat oleh pemahat elit di Jepara, aku melihat sosok gadis muda berambut sebahu. Aku suka rambutku. Aku tidak akan mengatakan itu dengan lantang jika bukan aku yang memotong rambutku sendiri. Meski pun terlihat tidak rapi di beberaapa bagian—khususnya bagian belakang karena aku tidak pernah bisa memotongnya dengan benar di bagian sana—aku sangat menyukainya. Tidak terla
"Kau benar," kataku. "Itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Sebenarnya aku sudah melupakan hal itu untuk waktu yang sangat lama hingga kau datang ke sini dan mengungkitnya. Bagian paling menyebalkannya adalah kau melakukannya tepat di hadapanku. Lengkap dengan melakukan kontak mata yang super intens dalam jarak yang bisa dibilang sangat dekat seperti ini. Dan aku membencinya."Adam tersenyum geli. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kakinya mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang cukup jauh antara aku dan dia."Maaf sudah mengungkitnya kembali," ucapnya, terdengar seperti bersungguh-sungguh. "Aku hanya... kau tahu.""Aku tidak tahu," balasku dengan cepat. "Kau yang tahu.""Kau benar." Adam menudingkan botol berisi jus buatan ibuku ke arahku sambil meringis. "Aku rasa... aku hanya menjadi sedikit terlalu bersemangat setelah bertemu lagi denganmu. Di sini.""Kau sudah mengatakan itu tadi," kataku dengan masa bodoh. "Bisakah kau b
4 tahun yang lalu...Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau wafer cokelat yang aku beli di mesin penjual makanan milik kalian yang dipajang di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 dan itu benar-benar membuatku kesal.Tidak. Itu terlalu brutal.Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau mesin penjual otomatis nomor 147 yang berada di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 mengalami sedikit kerusakan. Aku tidak akan mengirimi kalian surat jika wafer cokelat yang sudah aku beli tidak tersangkut di... apa pun itu nama benda yang berfungsi untuk mendorongnya hingga terjatuh ke bawah sebelum akhirnya aku ambil dan makan untuk meredakan rasa laparku.Mungkin juga tidak. Karena di saat yang hampir bersamaan aku merasakan banyak sekali emosi di dala
Tarik napas. Tenang. Aku bisa melakukannya. Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin. Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang
Tarik napas. Tenang.Aku bisa melakukannya.Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang de
“Apa aku melewatkan sesuatu?”Aku tidak akan menanyakan hal bodoh seperti itu jika aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh orang-orang ini—setidaknya itu yang aku rasakan. Selain nuansa kehangatan pura-pura yang sangat kental, aku tidak tahu kenapa aku mendadak merasa seperti orang asing di sini. Tapi aku tahu satu atau dua hal. Mungkin juga tiga.Pertama, sepertinya aku mabuk karena kepalaku terasa begitu ringan setelah minum terlalu banyak sampanye.Kedua, parfum yang dipakai si Adam ini sangat memabukan dan aku benci itu karenanya.Ketiga, aku berhasil mengontrol diriku sendiri untuk tidak merobek pakaian si Adam dan mengendus leher dan bagian tubuhnya yang terkena semprotan parfum seperti hewan liar. Dan aku sangat bangga pada diriku karenanya.Sarah yang kebetulan duduk di seberang meja—lebih tepatnya tiga kursi dari tempat bibi Risma duduk—melotot ke arahku. Dia tidak sendirian. Hampir se
Hari hampir gelap ketika aku keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponsel yang sengaja aku simpan di meja lampu. Persis seperti dugaanku, tidak ada pesan sama sekali. Itu pertanda bagus. Tiga jam tanpa ponsel dan aku baik-baik saja. Besok aku akan menambah durasinya menjadi enam jam. Mungkin delapan. Aku tidak begitu yakin tapi ini membuatku sangat bersemangat.Aku kembali menaruh ponselku lalu berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamar dekat jendela. Dari bayangan yang dipantulkan oleh salah satu cermin antik yang bingkainya terbuat dari kayu jati asli dan dipahat oleh pemahat elit di Jepara, aku melihat sosok gadis muda berambut sebahu. Aku suka rambutku. Aku tidak akan mengatakan itu dengan lantang jika bukan aku yang memotong rambutku sendiri. Meski pun terlihat tidak rapi di beberaapa bagian—khususnya bagian belakang karena aku tidak pernah bisa memotongnya dengan benar di bagian sana—aku sangat menyukainya. Tidak terla
Entahlah. Mataku rasanya seperti terbakar tapi aku tidak bisa berhenti melihat kejadian unik yang sangat jarang terjadi ini. Si kakek yang tidak pernah menganggap kehadiran cucu-cucunya di sini bersikap begitu ramah dan hangat pada orang asing yang sudah berani menginjakkan kaki kotornya di tanahnya. Tidak ada darah yang mengikat hubungan di antara mereka. Benar-benar orang asing.Ini luar biasa. Terakhir kali aku melihat si tua bangka bertingkah seperti orang lain, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak! Empat tahun yang lalu! Saat dia menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Sarah, kalau tidak salah. Aku ingat betul si kakek hampir saja tidak mau datang ke pesta pernikahan Sarah karena mengusung konsep intimate wedding dan hanya dihadiri oleh keluarga inti kedua belah pihak mempelai. Tidak ada kerabat jauh, tidak ada teman dari kantor atau sekolah, dan tentu saja tidak ada media yang meliput pesta pernikahan yang harusnya menjadi pernikahan akbar di kota saat itu. Tapi itu
"Jadi, ini teoriku," kata Nina, satu dari banyaknya sepupu yang aku punya, sambil menghembuskan asap rokok yang manis dari hidungnya. "Kau mengambil jatah cutimu yang sangat sedikit untuk berkemah di sebuah tempat yang namanya baru kau dengar. Setelah itu kau akan menghabiskan malam yang panjang tanpa ponsel dengan harapan kau bisa mengurangi sedikit saja kecanduanmu akan benda kecil sialan itu dan sebagai gantinya kau akan menatap langit malam bertaburan bintang lalu entah bagaimana kau akhirnya tiba di fase itu." Aku menaikkan sebelah alisku yang tebal dan sedikit berantakan. "Fase apa?" "Kau tahu," Nina menjentikkan rokoknya ke dalam gelas berisi pink lemonade yang baru di minum setengah lalu tersenyum. "Mulai memikirkan dan membayangkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi jika saja kau melakukan satu saja hal dalam hidupmu dengan benar. Seperti... entahlah. Mengambil tawaran magang di situs berita tempat kau menulis artikel ketimbang menghadiri a