4 tahun yang lalu...
Kepada tim pusat layanan bantuan,
Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau wafer cokelat yang aku beli di mesin penjual makanan milik kalian yang dipajang di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 dan itu benar-benar membuatku kesal.
Tidak. Itu terlalu brutal.
Kepada tim pusat layanan bantuan,
Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau mesin penjual otomatis nomor 147 yang berada di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 mengalami sedikit kerusakan. Aku tidak akan mengirimi kalian surat jika wafer cokelat yang sudah aku beli tidak tersangkut di... apa pun itu nama benda yang berfungsi untuk mendorongnya hingga terjatuh ke bawah sebelum akhirnya aku ambil dan makan untuk meredakan rasa laparku.
Mungkin juga tidak. Karena di saat yang hampir bersamaan aku merasakan banyak sekali emosi di dalam diriku. Kebanyakan bingung dan marah—mengingat aku baru saja tiba di UGD satu jam setelah Sarah meneleponku soal si ayah yang terkena serangan jantung atau semacamnya tepat saat mie instan yang aku masak baru saja aku tuangkan ke dalam mangkuk. Well, jika kau mengira aku memakan mie instan rasa soto dengan koya yang melimpah terlebih dahulu lalu baru datang ke sini, kau salah. Aku tidak pernah, sama sekali, menyentuhnya. Aku juga masih belum tahu apakah tekstur mie yang baru matang itu sesuai dengan kesukaanku atau tidak. Dan aku tidak akan pernah ingin mengetahuinya.
Terdengar sangat menyedihkan. Lagipula tim pusat layanan bantuan tidak akan membaca surat keluhan semacam ini. Di sisi lain, aku tidak bisa menahan kekesalanku lebih lama lagi. Jadi, persetan dengan semua ini.
Itu membuatku kesal. Wafer cokelat dan mie instan, ngomong-ngomong. Kedua hal itu membuatku terjebak dalam kekacauan. Wafer cokelat itu satu setengah kali lebih mahal dari harga jual aslinya dan tersangkut di mesin penjual otomatis kalian. Sementara mie instan, benda yang sama yang sudah aku masak dengan tambahan telur, sawi putih, dan beberapa potong udang segar dengan mudahnya mengkhianatiku.
Bagaimana pun, aku tidak akan menuntut ganti rugi pada kalian. Aku hanya... aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini. Aku juga tidak yakin apakah aku bisa melalui hari ini dengan baik atau tidak.
Untuk sesaat, aku merasa kalau si ayah adalah penyebab dari semua ini. Maksudku, aku tahu si ayah sudah berhenti merokok dan menjalani pola hidup sehat sejak serangan jantung pertama. Itu sekitar setahun yang lalu. Tapi ya, baik si ayah dan aku tidak punya kendali atas itu. Jadi, aku sendiri tidak tahu apa yang tengah aku keluhkan di sini.
Tidak. Coret kalimat terakhir.
Bagian terakhir, aku tidak tahu harus menulis apa untuk mengakhiri surat ini. Tapi yang pasti, aku tidak bisa berhenti memikirkan penyebab kenapa kalian membiarkan mesin penjual otomatis dengan kualitas yang sangat payah ini berada di tempat publik seperti ini. Maksudku, saat aku sedang menulis ini, ada seorang laki-laki yang menangis hebat di depan mesin kalian. Sepertinya dia baru saja mengalami hal yang sama denganku. Mungkin dia sedang meluapkan amarahnya setelah melihat tagihan rumah sakit yang kadang tidak masuk akal. Aku tidak tahu pasti.
***
Aku menghembuskan napas sedikit terlalu dramatis. Baiklah. Melihat cowok itu menangis sesenggukan sambil bersimpuh di depan mesin penjual otomatis yang sepertinya baru saja merampok uang terakhirnya benar-benar menyayat batin. Aku benci harus mengatakan ini, tapi, aku merasa kasihan padanya. Tentu saja. Sekarang cowok itu merangkak ke samping mesin penjual otomatis dan memeluk lututnya. Tubuhnya sesekali berguncang dengan hebat karena menahan isak tangis yang begitu kuat.
Aku tersenyum lalu menggelengkan kepala. Tidak. Itu sangat manis untuk dilakukan tapi tidak jika aku yang melakukannya. Di sisi lain, aku tidak tahu siapa cowok itu. Faktanya adalah aku baru menyadari keberadaannya di alam semesta ini belasan menit yang lalu. Itu pun karena dia bertingkah seperti orang yang sedang kerasukan hantu penunggu rumah sakit ini.
Persetan.
Aku mendapati diriku beranjak dari bangku besi. Perlahan tapi pasti aku berjalan ke arah mesin penjual otomatis, menghampiri cowok yang masih menangis sambil mempertanyakan kembali apa yang sedang aku lakukan sambil memasukan jurnal dan sobekan kertas yang sudah terlipat rapi ke dalam tas gendongku yang usang.
Sialan. Aku baru sadar kalau suasana UGD saat ini benar-benar lengang. Hanya ada deretan bangku besi kosong, deru kipas angin, dan keheningan yang memekakkan telinga. Bahkan resepsionis yang bertugas hari ini pun terlihat sangat bosan. Seperti sedang mencoba melawan rasa kantuk yang melanda dirinya saat ini dengan terus melihat apa pun itu yang muncul di layar ponselnya saat ini. Bahkan acara gosip yang tayang di televisi tidak mampu membuatnya terhibur.
Aku berdiri tepat di tengah-tengah koridor UGD, dimana para perawat yang membawa pasien kritis bisa saja menabrakku karena berusaha untuk menjaga siapa pun yang berbaring di atas tempat tidur tetap sadar. Paling tidak sampai mereka tiba di ruang perawatan dan melakukan pertolongan pertama.
Beberapa langkah di hadapanku, si cowok itu masih memeluk lututnya. Aku sangat yakin kalau dia tidak menyadari keberadaanku di sini. Aku mengerti. Sepenuhnya bukan salahnya. Mungkin dia masih mengalami shock berat. Aku bukan pengamat yang handal tapi dilihat dari noda bercak darah yang hampir tidak terlihat di bagian lengan dan kerah kemejanya, aku cukup yakin kalau dia baru saja mengalami kecelakaan. Mungkin dia juga yang mengemudikan mobilnya. Atau motor. Sudah pasti mobil karena jika kendaraan yang dipakainya saat kecelakaan adalah motor maka dia tidak akan berada di sini. ICU atau ruang jenazah adalah tempat yang tepat dan jauh lebih masuk akal ketimbang lorong rumah sakit. Sialan. Itu terdengar sangat kejam dan tidak berperasaan.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Masih sepi dan tidak ada tanda-tanda akan ada badai manusia yang menerjang ruangan ini dalam satu atau beberapa jam ke depan. Ibu dan kakak perempuanku pun sepertinya masih berada di dalam sana. Apalagi kalau bukan untuk mengintimidasi dokter dan para perawat. Jadi ya, mungkin duduk di bawah sini tidak terlihat begitu memalukan.
Aku melemparkan tas gendongku terlebih dahulu ke lantai. Semacam memberi tanda-tanda kalau aku berada di sini, hidup dan nyata. Yang mana sia-sia saja karena cowok itu tidak bergeming. Peduli setan. Aku menjadikan tas gendongku sebagai pembatas antara aku dan cowok itu lalu duduk di sampingnya.
"Kau tidak harus melakukan itu," gumamnya.
Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Di sana, tepat di sampingku, si cowok menyandarkan kepalanya dengan lemas ke dinding rumah sakit yang dingin. Matanya merah dan basah karena terlalu banyak menangis hari ini. Wajahnya terlihat lelah. Pun begitu dengan rambutnya yang berantakan dan bakal jenggot yang mengintip di sekitar rahang dan dagunya.
"Bagaimana aku memberitahu mereka?" tambahnya dengan suara bergetar.
"Siapa?" bisikku.
Air mata mengalir dari sudut matanya. "Orangtua tunanganku."
Belasan bahkan puluhan kata kejam yang sudah berada di ujung lidahku seketika lenyap. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kedua tanganku meraih tangan si cowok dan menarik tubuhnya ke dalam pelukanku saat otakku sendiri memerintah untuk tidak melakukan itu.
***
"Kau benar," kataku. "Itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Sebenarnya aku sudah melupakan hal itu untuk waktu yang sangat lama hingga kau datang ke sini dan mengungkitnya. Bagian paling menyebalkannya adalah kau melakukannya tepat di hadapanku. Lengkap dengan melakukan kontak mata yang super intens dalam jarak yang bisa dibilang sangat dekat seperti ini. Dan aku membencinya."Adam tersenyum geli. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kakinya mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang cukup jauh antara aku dan dia."Maaf sudah mengungkitnya kembali," ucapnya, terdengar seperti bersungguh-sungguh. "Aku hanya... kau tahu.""Aku tidak tahu," balasku dengan cepat. "Kau yang tahu.""Kau benar." Adam menudingkan botol berisi jus buatan ibuku ke arahku sambil meringis. "Aku rasa... aku hanya menjadi sedikit terlalu bersemangat setelah bertemu lagi denganmu. Di sini.""Kau sudah mengatakan itu tadi," kataku dengan masa bodoh. "Bisakah kau b
"Jadi, ini teoriku," kata Nina, satu dari banyaknya sepupu yang aku punya, sambil menghembuskan asap rokok yang manis dari hidungnya. "Kau mengambil jatah cutimu yang sangat sedikit untuk berkemah di sebuah tempat yang namanya baru kau dengar. Setelah itu kau akan menghabiskan malam yang panjang tanpa ponsel dengan harapan kau bisa mengurangi sedikit saja kecanduanmu akan benda kecil sialan itu dan sebagai gantinya kau akan menatap langit malam bertaburan bintang lalu entah bagaimana kau akhirnya tiba di fase itu." Aku menaikkan sebelah alisku yang tebal dan sedikit berantakan. "Fase apa?" "Kau tahu," Nina menjentikkan rokoknya ke dalam gelas berisi pink lemonade yang baru di minum setengah lalu tersenyum. "Mulai memikirkan dan membayangkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi jika saja kau melakukan satu saja hal dalam hidupmu dengan benar. Seperti... entahlah. Mengambil tawaran magang di situs berita tempat kau menulis artikel ketimbang menghadiri a
Entahlah. Mataku rasanya seperti terbakar tapi aku tidak bisa berhenti melihat kejadian unik yang sangat jarang terjadi ini. Si kakek yang tidak pernah menganggap kehadiran cucu-cucunya di sini bersikap begitu ramah dan hangat pada orang asing yang sudah berani menginjakkan kaki kotornya di tanahnya. Tidak ada darah yang mengikat hubungan di antara mereka. Benar-benar orang asing.Ini luar biasa. Terakhir kali aku melihat si tua bangka bertingkah seperti orang lain, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak! Empat tahun yang lalu! Saat dia menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Sarah, kalau tidak salah. Aku ingat betul si kakek hampir saja tidak mau datang ke pesta pernikahan Sarah karena mengusung konsep intimate wedding dan hanya dihadiri oleh keluarga inti kedua belah pihak mempelai. Tidak ada kerabat jauh, tidak ada teman dari kantor atau sekolah, dan tentu saja tidak ada media yang meliput pesta pernikahan yang harusnya menjadi pernikahan akbar di kota saat itu. Tapi itu
Hari hampir gelap ketika aku keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponsel yang sengaja aku simpan di meja lampu. Persis seperti dugaanku, tidak ada pesan sama sekali. Itu pertanda bagus. Tiga jam tanpa ponsel dan aku baik-baik saja. Besok aku akan menambah durasinya menjadi enam jam. Mungkin delapan. Aku tidak begitu yakin tapi ini membuatku sangat bersemangat.Aku kembali menaruh ponselku lalu berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamar dekat jendela. Dari bayangan yang dipantulkan oleh salah satu cermin antik yang bingkainya terbuat dari kayu jati asli dan dipahat oleh pemahat elit di Jepara, aku melihat sosok gadis muda berambut sebahu. Aku suka rambutku. Aku tidak akan mengatakan itu dengan lantang jika bukan aku yang memotong rambutku sendiri. Meski pun terlihat tidak rapi di beberaapa bagian—khususnya bagian belakang karena aku tidak pernah bisa memotongnya dengan benar di bagian sana—aku sangat menyukainya. Tidak terla
“Apa aku melewatkan sesuatu?”Aku tidak akan menanyakan hal bodoh seperti itu jika aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh orang-orang ini—setidaknya itu yang aku rasakan. Selain nuansa kehangatan pura-pura yang sangat kental, aku tidak tahu kenapa aku mendadak merasa seperti orang asing di sini. Tapi aku tahu satu atau dua hal. Mungkin juga tiga.Pertama, sepertinya aku mabuk karena kepalaku terasa begitu ringan setelah minum terlalu banyak sampanye.Kedua, parfum yang dipakai si Adam ini sangat memabukan dan aku benci itu karenanya.Ketiga, aku berhasil mengontrol diriku sendiri untuk tidak merobek pakaian si Adam dan mengendus leher dan bagian tubuhnya yang terkena semprotan parfum seperti hewan liar. Dan aku sangat bangga pada diriku karenanya.Sarah yang kebetulan duduk di seberang meja—lebih tepatnya tiga kursi dari tempat bibi Risma duduk—melotot ke arahku. Dia tidak sendirian. Hampir se
Tarik napas. Tenang.Aku bisa melakukannya.Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang de
Tarik napas. Tenang. Aku bisa melakukannya. Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin. Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang
"Kau benar," kataku. "Itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Sebenarnya aku sudah melupakan hal itu untuk waktu yang sangat lama hingga kau datang ke sini dan mengungkitnya. Bagian paling menyebalkannya adalah kau melakukannya tepat di hadapanku. Lengkap dengan melakukan kontak mata yang super intens dalam jarak yang bisa dibilang sangat dekat seperti ini. Dan aku membencinya."Adam tersenyum geli. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kakinya mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang cukup jauh antara aku dan dia."Maaf sudah mengungkitnya kembali," ucapnya, terdengar seperti bersungguh-sungguh. "Aku hanya... kau tahu.""Aku tidak tahu," balasku dengan cepat. "Kau yang tahu.""Kau benar." Adam menudingkan botol berisi jus buatan ibuku ke arahku sambil meringis. "Aku rasa... aku hanya menjadi sedikit terlalu bersemangat setelah bertemu lagi denganmu. Di sini.""Kau sudah mengatakan itu tadi," kataku dengan masa bodoh. "Bisakah kau b
4 tahun yang lalu...Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau wafer cokelat yang aku beli di mesin penjual makanan milik kalian yang dipajang di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 dan itu benar-benar membuatku kesal.Tidak. Itu terlalu brutal.Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau mesin penjual otomatis nomor 147 yang berada di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 mengalami sedikit kerusakan. Aku tidak akan mengirimi kalian surat jika wafer cokelat yang sudah aku beli tidak tersangkut di... apa pun itu nama benda yang berfungsi untuk mendorongnya hingga terjatuh ke bawah sebelum akhirnya aku ambil dan makan untuk meredakan rasa laparku.Mungkin juga tidak. Karena di saat yang hampir bersamaan aku merasakan banyak sekali emosi di dala
Tarik napas. Tenang. Aku bisa melakukannya. Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin. Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang
Tarik napas. Tenang.Aku bisa melakukannya.Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang de
“Apa aku melewatkan sesuatu?”Aku tidak akan menanyakan hal bodoh seperti itu jika aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh orang-orang ini—setidaknya itu yang aku rasakan. Selain nuansa kehangatan pura-pura yang sangat kental, aku tidak tahu kenapa aku mendadak merasa seperti orang asing di sini. Tapi aku tahu satu atau dua hal. Mungkin juga tiga.Pertama, sepertinya aku mabuk karena kepalaku terasa begitu ringan setelah minum terlalu banyak sampanye.Kedua, parfum yang dipakai si Adam ini sangat memabukan dan aku benci itu karenanya.Ketiga, aku berhasil mengontrol diriku sendiri untuk tidak merobek pakaian si Adam dan mengendus leher dan bagian tubuhnya yang terkena semprotan parfum seperti hewan liar. Dan aku sangat bangga pada diriku karenanya.Sarah yang kebetulan duduk di seberang meja—lebih tepatnya tiga kursi dari tempat bibi Risma duduk—melotot ke arahku. Dia tidak sendirian. Hampir se
Hari hampir gelap ketika aku keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponsel yang sengaja aku simpan di meja lampu. Persis seperti dugaanku, tidak ada pesan sama sekali. Itu pertanda bagus. Tiga jam tanpa ponsel dan aku baik-baik saja. Besok aku akan menambah durasinya menjadi enam jam. Mungkin delapan. Aku tidak begitu yakin tapi ini membuatku sangat bersemangat.Aku kembali menaruh ponselku lalu berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamar dekat jendela. Dari bayangan yang dipantulkan oleh salah satu cermin antik yang bingkainya terbuat dari kayu jati asli dan dipahat oleh pemahat elit di Jepara, aku melihat sosok gadis muda berambut sebahu. Aku suka rambutku. Aku tidak akan mengatakan itu dengan lantang jika bukan aku yang memotong rambutku sendiri. Meski pun terlihat tidak rapi di beberaapa bagian—khususnya bagian belakang karena aku tidak pernah bisa memotongnya dengan benar di bagian sana—aku sangat menyukainya. Tidak terla
Entahlah. Mataku rasanya seperti terbakar tapi aku tidak bisa berhenti melihat kejadian unik yang sangat jarang terjadi ini. Si kakek yang tidak pernah menganggap kehadiran cucu-cucunya di sini bersikap begitu ramah dan hangat pada orang asing yang sudah berani menginjakkan kaki kotornya di tanahnya. Tidak ada darah yang mengikat hubungan di antara mereka. Benar-benar orang asing.Ini luar biasa. Terakhir kali aku melihat si tua bangka bertingkah seperti orang lain, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak! Empat tahun yang lalu! Saat dia menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Sarah, kalau tidak salah. Aku ingat betul si kakek hampir saja tidak mau datang ke pesta pernikahan Sarah karena mengusung konsep intimate wedding dan hanya dihadiri oleh keluarga inti kedua belah pihak mempelai. Tidak ada kerabat jauh, tidak ada teman dari kantor atau sekolah, dan tentu saja tidak ada media yang meliput pesta pernikahan yang harusnya menjadi pernikahan akbar di kota saat itu. Tapi itu
"Jadi, ini teoriku," kata Nina, satu dari banyaknya sepupu yang aku punya, sambil menghembuskan asap rokok yang manis dari hidungnya. "Kau mengambil jatah cutimu yang sangat sedikit untuk berkemah di sebuah tempat yang namanya baru kau dengar. Setelah itu kau akan menghabiskan malam yang panjang tanpa ponsel dengan harapan kau bisa mengurangi sedikit saja kecanduanmu akan benda kecil sialan itu dan sebagai gantinya kau akan menatap langit malam bertaburan bintang lalu entah bagaimana kau akhirnya tiba di fase itu." Aku menaikkan sebelah alisku yang tebal dan sedikit berantakan. "Fase apa?" "Kau tahu," Nina menjentikkan rokoknya ke dalam gelas berisi pink lemonade yang baru di minum setengah lalu tersenyum. "Mulai memikirkan dan membayangkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi jika saja kau melakukan satu saja hal dalam hidupmu dengan benar. Seperti... entahlah. Mengambil tawaran magang di situs berita tempat kau menulis artikel ketimbang menghadiri a