Tarik napas. Tenang.
Aku bisa melakukannya.
Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.
Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang dengan nilai pecahan yang beragam. Atau mungkin jauh lebih baik dari itu. Aku akan tidur di rumah kucing yang berada di seberang danau, bermain dengan kucing-kucingku sampai muak, berbaring di atas sofa lapuk sambil memikirkan jutaan kemungkinan yang akan terjadi jika aku melakukan satu saja—sekali lagi—satu saja hal dalam hidupku dengan benar karena aku tidak tahu harus melakukan apa tanpa ponsel ditanganku. Lalu aku akan terbangun dalam keadaan pengar oleh cakaran yang menyayat permukaan kulitku karena mereka lapar dan tidak ada apa pun untuk mereka makan di piring mereka. Alih-alih memberi mereka makan, aku akan menghabiskan beberapa jam untuk menangisi hidupku hingga aku sanggup menghadapi kembali kenyataan yang tidak pernah sesuai dengan harapanku karena harapan adalah kata paling berbahaya yang pernah ada.
Aku memejamkan mata. Sialan. Nina benar. Sekeras apa pun aku menghindarinya, aku tetap akan tiba di fase itu. Aku kira aku tidak—
“Febrian.”
Aku membuka mata dan mendapati si tamu spesial tengah berdiri beberapa langkah di hadapanku. Matanya berbinar-binar saat dia tersenyum tipis. Ditangannya terdapat baju hangat warna hitam yang aku yakini adalah milik salah satu dari bibiku yang sangat banyak dan sebotol air berwarna hijau pekat di tangannya yang lain.
“Apa?” kataku, pada akhirnya.
Adam memberikan baju hangat dan minuman aneh itu padaku. “Ibumu ingin kau meminumnya agar kepalamu tidak terlalu pengar besok pagi. Ibumu juga ingin kau memakai baju hangat ini sepanjang malam karena dia tidak ingin mendengarmu mengeluh soal masuk angin karena berkeliaran sepanjang malam dengan pakaian tipis.”
“Ibuku mengatakan itu?”
“Ya.” Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel mahalnya yang terlihat nyaman dan hangat lalu tersenyum malu. “Tidak. Well, aku cukup yakin ibumu tidak akan mengatakan itu jika aku tidak bertanya terlalu banyak. Kau tahu, soal kenapa dia membawa baju hangat dan memasukan jus bayam dan nanas ke dalam botol saat semua orang pergi ke mezanin untuk merencanakan pernikahan sepupumu. Juga dirimu, tentu saja.”
Apa dia baru saja bilang padaku—tepat di depan wajahku—kalau dia bertanya langsung pada ibuku soal diriku?
“Itu menyeramkan,” tambahnya dengan cepat. “Yang benar adalah aku bertanya pada ibumu soal baju hangat dan jus lalu ibumu memberitahuku kalau kedua benda itu akan dia berikan padamu. Lalu, mungkin karena aku terlalu bersemangat atau mencoba untuk membuat suasananya tidak terlalu canggung, aku bilang padanya soal kau yang sebenarnya baik tapi terlalu keras kepala dan semacamnya. Kau tahu, soal kau yang tidak memberikan tatapan itu saat melihat pria dewasa dalam keadaan kacau yang menangis sesenggukan di lorong UGD karena tidak tahu harus melakukan apa.”
Hening.
Baiklah. Mungkin tidak terlalu hening. Aku masih bisa mendengar deru angin malam yang meniup rambutku yang tidak terikat dengan ganas. Atau daun-daun di pohon yang bergesekan antara satu dengan yang lainnya. Atau lolongan anjing liar yang hidup di hutan belantara yang berada tidak jauh dari sini. Juga hembusan napasku yang terdengar begitu berat dan detak jantungku yang menggila.
“Kau tahu, saat pertama kali aku bertemu lagi denganmu, aku sangat yakin kalau kau adalah perempuan yang aku temui di UGD hari itu.” Dia memiringkan sedikit kepalanya ke kiri lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.”Di sinilah aku, berdiri di hadapannya. Ingin mengucapkan banyak sekali terima kasih banyak tapi tidak aku lakukan karena itu sia-sia.”
“Sialan,” desahku. “Dengar. Kau tidak perlu repot-repot berterima kasih. Itu sudah lama sekali.”
“Dan?”
“Dan itu saja,” tandasku. “Kenapa kau harus mengungkitnya saat aku sendiri menganggap hari itu tidak pernah ada di dalam hidupku?”
“Terlalu menyakitkan untuk diingat?”
Aku memilih untuk tidak merespons. Sebaliknya, aku jadi bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika aku bersikeras untuk terus menulis surat keluhan yang aku tujukan pada perusahaan pembuat mesin penjual otomatis yang sudah mencuri wafer cokelatku dan mengabaikannya ketimbang mencoba untuk menjadi manusia yang lebih baik dari yang orang-orang katakan dengan menghampirinya. Memberikan uang terakhirku untuk membelikannya sebotol air mineral dan menemaninya. Tidak peduli betapa menyedihkan kondisinya saat itu—duduk di lantai lorong UGD sambil menangis karena tunangannya meninggal dalam kecelakaan—mungkin aku tidak akan berada dalam situasi tidak menyenangkan seperti ini.
***
4 tahun yang lalu...Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau wafer cokelat yang aku beli di mesin penjual makanan milik kalian yang dipajang di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 dan itu benar-benar membuatku kesal.Tidak. Itu terlalu brutal.Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau mesin penjual otomatis nomor 147 yang berada di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 mengalami sedikit kerusakan. Aku tidak akan mengirimi kalian surat jika wafer cokelat yang sudah aku beli tidak tersangkut di... apa pun itu nama benda yang berfungsi untuk mendorongnya hingga terjatuh ke bawah sebelum akhirnya aku ambil dan makan untuk meredakan rasa laparku.Mungkin juga tidak. Karena di saat yang hampir bersamaan aku merasakan banyak sekali emosi di dala
"Kau benar," kataku. "Itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Sebenarnya aku sudah melupakan hal itu untuk waktu yang sangat lama hingga kau datang ke sini dan mengungkitnya. Bagian paling menyebalkannya adalah kau melakukannya tepat di hadapanku. Lengkap dengan melakukan kontak mata yang super intens dalam jarak yang bisa dibilang sangat dekat seperti ini. Dan aku membencinya."Adam tersenyum geli. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kakinya mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang cukup jauh antara aku dan dia."Maaf sudah mengungkitnya kembali," ucapnya, terdengar seperti bersungguh-sungguh. "Aku hanya... kau tahu.""Aku tidak tahu," balasku dengan cepat. "Kau yang tahu.""Kau benar." Adam menudingkan botol berisi jus buatan ibuku ke arahku sambil meringis. "Aku rasa... aku hanya menjadi sedikit terlalu bersemangat setelah bertemu lagi denganmu. Di sini.""Kau sudah mengatakan itu tadi," kataku dengan masa bodoh. "Bisakah kau b
"Jadi, ini teoriku," kata Nina, satu dari banyaknya sepupu yang aku punya, sambil menghembuskan asap rokok yang manis dari hidungnya. "Kau mengambil jatah cutimu yang sangat sedikit untuk berkemah di sebuah tempat yang namanya baru kau dengar. Setelah itu kau akan menghabiskan malam yang panjang tanpa ponsel dengan harapan kau bisa mengurangi sedikit saja kecanduanmu akan benda kecil sialan itu dan sebagai gantinya kau akan menatap langit malam bertaburan bintang lalu entah bagaimana kau akhirnya tiba di fase itu." Aku menaikkan sebelah alisku yang tebal dan sedikit berantakan. "Fase apa?" "Kau tahu," Nina menjentikkan rokoknya ke dalam gelas berisi pink lemonade yang baru di minum setengah lalu tersenyum. "Mulai memikirkan dan membayangkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi jika saja kau melakukan satu saja hal dalam hidupmu dengan benar. Seperti... entahlah. Mengambil tawaran magang di situs berita tempat kau menulis artikel ketimbang menghadiri a
Entahlah. Mataku rasanya seperti terbakar tapi aku tidak bisa berhenti melihat kejadian unik yang sangat jarang terjadi ini. Si kakek yang tidak pernah menganggap kehadiran cucu-cucunya di sini bersikap begitu ramah dan hangat pada orang asing yang sudah berani menginjakkan kaki kotornya di tanahnya. Tidak ada darah yang mengikat hubungan di antara mereka. Benar-benar orang asing.Ini luar biasa. Terakhir kali aku melihat si tua bangka bertingkah seperti orang lain, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak! Empat tahun yang lalu! Saat dia menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Sarah, kalau tidak salah. Aku ingat betul si kakek hampir saja tidak mau datang ke pesta pernikahan Sarah karena mengusung konsep intimate wedding dan hanya dihadiri oleh keluarga inti kedua belah pihak mempelai. Tidak ada kerabat jauh, tidak ada teman dari kantor atau sekolah, dan tentu saja tidak ada media yang meliput pesta pernikahan yang harusnya menjadi pernikahan akbar di kota saat itu. Tapi itu
Hari hampir gelap ketika aku keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponsel yang sengaja aku simpan di meja lampu. Persis seperti dugaanku, tidak ada pesan sama sekali. Itu pertanda bagus. Tiga jam tanpa ponsel dan aku baik-baik saja. Besok aku akan menambah durasinya menjadi enam jam. Mungkin delapan. Aku tidak begitu yakin tapi ini membuatku sangat bersemangat.Aku kembali menaruh ponselku lalu berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamar dekat jendela. Dari bayangan yang dipantulkan oleh salah satu cermin antik yang bingkainya terbuat dari kayu jati asli dan dipahat oleh pemahat elit di Jepara, aku melihat sosok gadis muda berambut sebahu. Aku suka rambutku. Aku tidak akan mengatakan itu dengan lantang jika bukan aku yang memotong rambutku sendiri. Meski pun terlihat tidak rapi di beberaapa bagian—khususnya bagian belakang karena aku tidak pernah bisa memotongnya dengan benar di bagian sana—aku sangat menyukainya. Tidak terla
“Apa aku melewatkan sesuatu?”Aku tidak akan menanyakan hal bodoh seperti itu jika aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh orang-orang ini—setidaknya itu yang aku rasakan. Selain nuansa kehangatan pura-pura yang sangat kental, aku tidak tahu kenapa aku mendadak merasa seperti orang asing di sini. Tapi aku tahu satu atau dua hal. Mungkin juga tiga.Pertama, sepertinya aku mabuk karena kepalaku terasa begitu ringan setelah minum terlalu banyak sampanye.Kedua, parfum yang dipakai si Adam ini sangat memabukan dan aku benci itu karenanya.Ketiga, aku berhasil mengontrol diriku sendiri untuk tidak merobek pakaian si Adam dan mengendus leher dan bagian tubuhnya yang terkena semprotan parfum seperti hewan liar. Dan aku sangat bangga pada diriku karenanya.Sarah yang kebetulan duduk di seberang meja—lebih tepatnya tiga kursi dari tempat bibi Risma duduk—melotot ke arahku. Dia tidak sendirian. Hampir se
Tarik napas. Tenang.Aku bisa melakukannya.Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang de
"Kau benar," kataku. "Itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Sebenarnya aku sudah melupakan hal itu untuk waktu yang sangat lama hingga kau datang ke sini dan mengungkitnya. Bagian paling menyebalkannya adalah kau melakukannya tepat di hadapanku. Lengkap dengan melakukan kontak mata yang super intens dalam jarak yang bisa dibilang sangat dekat seperti ini. Dan aku membencinya."Adam tersenyum geli. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kakinya mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang cukup jauh antara aku dan dia."Maaf sudah mengungkitnya kembali," ucapnya, terdengar seperti bersungguh-sungguh. "Aku hanya... kau tahu.""Aku tidak tahu," balasku dengan cepat. "Kau yang tahu.""Kau benar." Adam menudingkan botol berisi jus buatan ibuku ke arahku sambil meringis. "Aku rasa... aku hanya menjadi sedikit terlalu bersemangat setelah bertemu lagi denganmu. Di sini.""Kau sudah mengatakan itu tadi," kataku dengan masa bodoh. "Bisakah kau b
4 tahun yang lalu...Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau wafer cokelat yang aku beli di mesin penjual makanan milik kalian yang dipajang di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 dan itu benar-benar membuatku kesal.Tidak. Itu terlalu brutal.Kepada tim pusat layanan bantuan,Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau mesin penjual otomatis nomor 147 yang berada di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 mengalami sedikit kerusakan. Aku tidak akan mengirimi kalian surat jika wafer cokelat yang sudah aku beli tidak tersangkut di... apa pun itu nama benda yang berfungsi untuk mendorongnya hingga terjatuh ke bawah sebelum akhirnya aku ambil dan makan untuk meredakan rasa laparku.Mungkin juga tidak. Karena di saat yang hampir bersamaan aku merasakan banyak sekali emosi di dala
Tarik napas. Tenang. Aku bisa melakukannya. Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin. Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang
Tarik napas. Tenang.Aku bisa melakukannya.Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang de
“Apa aku melewatkan sesuatu?”Aku tidak akan menanyakan hal bodoh seperti itu jika aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh orang-orang ini—setidaknya itu yang aku rasakan. Selain nuansa kehangatan pura-pura yang sangat kental, aku tidak tahu kenapa aku mendadak merasa seperti orang asing di sini. Tapi aku tahu satu atau dua hal. Mungkin juga tiga.Pertama, sepertinya aku mabuk karena kepalaku terasa begitu ringan setelah minum terlalu banyak sampanye.Kedua, parfum yang dipakai si Adam ini sangat memabukan dan aku benci itu karenanya.Ketiga, aku berhasil mengontrol diriku sendiri untuk tidak merobek pakaian si Adam dan mengendus leher dan bagian tubuhnya yang terkena semprotan parfum seperti hewan liar. Dan aku sangat bangga pada diriku karenanya.Sarah yang kebetulan duduk di seberang meja—lebih tepatnya tiga kursi dari tempat bibi Risma duduk—melotot ke arahku. Dia tidak sendirian. Hampir se
Hari hampir gelap ketika aku keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponsel yang sengaja aku simpan di meja lampu. Persis seperti dugaanku, tidak ada pesan sama sekali. Itu pertanda bagus. Tiga jam tanpa ponsel dan aku baik-baik saja. Besok aku akan menambah durasinya menjadi enam jam. Mungkin delapan. Aku tidak begitu yakin tapi ini membuatku sangat bersemangat.Aku kembali menaruh ponselku lalu berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamar dekat jendela. Dari bayangan yang dipantulkan oleh salah satu cermin antik yang bingkainya terbuat dari kayu jati asli dan dipahat oleh pemahat elit di Jepara, aku melihat sosok gadis muda berambut sebahu. Aku suka rambutku. Aku tidak akan mengatakan itu dengan lantang jika bukan aku yang memotong rambutku sendiri. Meski pun terlihat tidak rapi di beberaapa bagian—khususnya bagian belakang karena aku tidak pernah bisa memotongnya dengan benar di bagian sana—aku sangat menyukainya. Tidak terla
Entahlah. Mataku rasanya seperti terbakar tapi aku tidak bisa berhenti melihat kejadian unik yang sangat jarang terjadi ini. Si kakek yang tidak pernah menganggap kehadiran cucu-cucunya di sini bersikap begitu ramah dan hangat pada orang asing yang sudah berani menginjakkan kaki kotornya di tanahnya. Tidak ada darah yang mengikat hubungan di antara mereka. Benar-benar orang asing.Ini luar biasa. Terakhir kali aku melihat si tua bangka bertingkah seperti orang lain, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak! Empat tahun yang lalu! Saat dia menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Sarah, kalau tidak salah. Aku ingat betul si kakek hampir saja tidak mau datang ke pesta pernikahan Sarah karena mengusung konsep intimate wedding dan hanya dihadiri oleh keluarga inti kedua belah pihak mempelai. Tidak ada kerabat jauh, tidak ada teman dari kantor atau sekolah, dan tentu saja tidak ada media yang meliput pesta pernikahan yang harusnya menjadi pernikahan akbar di kota saat itu. Tapi itu
"Jadi, ini teoriku," kata Nina, satu dari banyaknya sepupu yang aku punya, sambil menghembuskan asap rokok yang manis dari hidungnya. "Kau mengambil jatah cutimu yang sangat sedikit untuk berkemah di sebuah tempat yang namanya baru kau dengar. Setelah itu kau akan menghabiskan malam yang panjang tanpa ponsel dengan harapan kau bisa mengurangi sedikit saja kecanduanmu akan benda kecil sialan itu dan sebagai gantinya kau akan menatap langit malam bertaburan bintang lalu entah bagaimana kau akhirnya tiba di fase itu." Aku menaikkan sebelah alisku yang tebal dan sedikit berantakan. "Fase apa?" "Kau tahu," Nina menjentikkan rokoknya ke dalam gelas berisi pink lemonade yang baru di minum setengah lalu tersenyum. "Mulai memikirkan dan membayangkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi jika saja kau melakukan satu saja hal dalam hidupmu dengan benar. Seperti... entahlah. Mengambil tawaran magang di situs berita tempat kau menulis artikel ketimbang menghadiri a