Di Restoran Uenak Food dengan suasana yang hangat. Menu yang tersedia di sini merupakan menu makanan sehat. Orang-orang tertentu yang datang ke sini karena makanannya.
“Aga, mana sayurnya?” teriak salah satu Chef bernama Risky.
“Iya, iya, saya akan bawakan,” jawab Aga berlari dengan membawa wadah tempat sayur yang sudah dibersihkan di kedua tangannya.Brukkk.
“Auw,” teriak Aga yang jatuh tersungkur ke lantai dengan sayur juga ikut jatuh di lantai.
Chef yang lain; Rafa dan Reno melihat Aga jatuh ke lantai dengan menahan sakit.
“Apa yang kamu lakukan? Cepat bangun!” teriak Rafa.
“Iya. Aku berusaha untuk bangun.”“Bawakan lagi sayur yang baru. Kamu mau pakai sayur yang jatuh ini untuk dimasak?” tanya Reno sengit.“Iya. Aku akan bawakan yang baru.”“Cepat!” teriak Rafa.Aga terjatuh karena kaki salah satu dari Rafa atau Reno menghalangi jalannya.
“Mana Aga?” tanya Risky melihat sekelilingnya.
“Pergi ke belakang mengambil sayuran lagi,” jawab Reno.“Apa? Ambil sayur lagi? Mau tambah berapa lagi pengeluaran gara-gara dia ceroboh.”“Kembalilah ke dapur. Kita berdua yang akan urus,” kata Rafa menengahi.Aga berjalan tergopoh-gopoh dengan membawa sayur-sayur yang sudah dibersihkan di wadah. Sayur-sayur masih terlihat basah dan air masih menetes ke lantai.
“Ini, sayur-sayurnya,” kata Aga dengan napas terengah-engah.
“Berikan pada Risky,” ucap Rafa.“Kamu tidak akan bisa jadi chef,” kata Reno sinis.Aga tidak membalas perkataan Reno dan memberikan sayur-sayur pada Risky, tetapi selalu disambut dengan tatapan sengit darinya.
“Sisa sayur letakkan di meja,” kata Risky.
“Iya,” jawab Aga lembut.Aga menutup dengan piring transparan supaya sayur tidak kotor dan terkena debu. Dia berjalan ke luar dari dapur menuju gudang untuk mengambil buah dan membersihkannya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Risky tidak melihatnya.
“Aa, aku mau ke gudang.”“Iya bagus.”Aga berjalan dengan langkah gontai menuju gudang, tempat yang seharusnya dia tidak berada di sana dan di sini tempat yang juga seharusnya dia tidak di sini.
Aga berada di Restoran Uenak Food karena ingin membiayai hidupnya. Dia diminta oleh Papa As, Papanya untuk mengelola perusahan. Jika dia menolak akan dijodohkan. Hasilnya Aga menolak dan berakhir di Restoran Uenak Food.
“Aga!” teriak Risky.
“Iya,” jawab Aga tanpa membalas dengan teriakan.Ketiga temannya yang bekerja sebagai chef selalu meremehkannya karena dia tidak bisa bekerja dengan baik. Itu menurut mereka karena selalu mengacaukan pekerjaan Aga.
Aga berlari kecil menghampiri Risky.
“Bawakan buahnya mana? Aku mau buat salad,” pinta Risky berteriak.
“Iya. Aku masih mengupas, belum mencucinya.”“Cepat! Bawakan sekarang!”Aga berlari lagi ke gudang untuk menyelesaikan mengupas buah. Helaan napas panjang mengiring Aga berlari ke gudang. Dia menyadari jika lahir dengan sendok emas di tangannya. Wajar saja jika dia kesulitan setelah ke luar dari rumah.
“Aga, mana buahnya?” teriak Risky karena menunggu Aga yang tidak kunjung datang.
“Iya,” jawab Aga membawa wadah yang berisi buah-buahan sampai kesulitan membawanya karena banyak dan berat.Aga melihat Rafa dan Reno duduk santai tanpa mengerjakan apa pun. Padahal di luar banyak pesanan menanti. Dia ingin rasanya mengumpat, tetapi tidak bisa mengingat posisinya. Dia harus memanjangkan kesabarannya untuk bertahan hidup dengan dinamika kehidupan yang harus dijalani.
Kartu kredit dan kunci mobil diminta oleh Papa As. Aga harus tetap bekerja dengan segala tekanan yang ada. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk bertahan hidup.
“Aga!” teriak Rafa memanggilnya.
“Iya. Katakan apa yang harus saya lakukan?” tanya Aga dengan polosnya.“Catat pesanan di luar. Tidak ada yang melakukannya.”“Iya,” jawab Aga dengan menahan sesak.Aga mencuci tangan lebih dahulu. Dia berjalan mendekati kasir.
“Menunya mana?” tanya Aga sopan.
“Ini. Jangan lupa dicatat yang benar,” kata kasir dengan sinisnya.“Iya. Aku akan mencatat dengan jelas,” jawab Aga dengan sedikit nada tinggi.Aga berjalan ke pelanggan yang menanti untuk memesan. Mereka datang bukan karena makanan yang enak, tetapi alasan utama adalah Aga. Kenapa Aga? Karena wajahnya yang menarik perhatian kaum hawa.
“Permisi,” sapa Aga pada kedua wanita yang senyum-senyum melihat Aga.
“Iya, Mas. Kami mau pesan salad. Ada salad apa saja?” tanya salah satu wanita.“Banyak pilihan salad kok. Ada juga pilihan makanan yang lain. Ini menunya. Silakan dilihat.” Aga meletakkan di meja, buku menu.“Terima kasih.”Kedua wanita tersebut melihat menu. Sementara Aga menunggu pesanan dan mencatat untuk segera pergi dari hadapan mereka.
“Ini saja, Mas.”
“Baik, aku akan mencatatnya.”“Hanya itu saja?” tanya Aga memastikan pesanan.“Ada lagi.”“Apa? Biar saya mencatatnya lagi.”“Nomor ponselmu berapa?” tanya salah satu dari mereka berdua.“A, itu.” Aga gugup jika ditanya nomor ponsel.Aga melihat nomor ponsel yang tertera di buku menu, nomor ponsel restoran. Dia memberitahu mereka.
“Jangan lupa hubungi. Aku permisi untuk memberitahu pesanan,” kata Aga tersenyum.
“Terima kasih, Mas. Baik sekali."Aga senyum-senyum sendiri, bukan maksud untuk menjahili mereka. Hanya saja Aga tidak tahu memberitahu nomor ponsel siapa. Di saat ponselnya dalam keadaan non aktif. Mereka berdua pasti akan datang terus hanya untuk meminta nomor ponsel.
Aga berjalan ke dapur dan dilihat dengan tatapan sinis oleh mereka bertiga.
“Ini pesanannya.” Aga memberikan kertas kecil.
“Letakkan saja di situ,” kata Reno.Aga berjalan ke luar dari dapur.
“Mau ke mana?” tanya Risky melihat ke arahnya.
“Mau ke dapur. Membersihkan sayur dan buah. Mereka pesan salad buah dan sayur. Kamu hanya perlu siapkan tuna dan bumbunya,” jawab Aga berlalu dari mereka.“Kok jadi dia yang memerintah saya?” tanya Risky bingung.Tidak ada suasana tenang di Restoran Uenak Food. Baik itu di dapur dan di gudang. Mungkin di hadapan pelanggan beda ceritanya.
“Sampai kapan aku seperti ini?” tanya Aga mencuci buah-buahan.
“Ikhlas dan sabar saja dengan begitu mudah menjalani hidup ini. Aku tidak akan menyesal keluar dari rumah,” ucap Aga mencoba untuk tidak mengeluh.Aga berjalan ke dapur untuk memberikan buah-buahan dan sayur-sayuran pada mereka bertiga yang ada di dapur.
Hari semakin malam, matahari tidak terlihat lagi. Aga memilih untuk mandi di saat ketiga temannya sedang asyik makan malam.
Di kamar mandi, Aga menahan perut yang sakit minta diisi. Dia baru bisa makan setelah mereka selesai. Dia hanya tidak mau berdebat dengan mereka. Seharian bekerja tanpa henti membuat dia merasa lelah. Dia melakukannya kurang lebih dua tahun.
“Sudah selesai,” kata Aga melihat meja makan bersih tidak tersisa satu pun makanan di piring.
“Sabar,” ucap Aga lagi mencoba menenangkan dirinya.Aga berjalan ke luar dari tempat tinggalnya bersama dengan ketiga temannya, mungkin tidak bagi mereka. Dia berjalan ke warung yang tidak jauh dari restoran.
“Malam, Bu,” sapa Aga pada Ibu yang menunggu warung.
“Ei, Nak Aga. Mau beli apa?” tanyanya.“Aku mau beli roti, Bu.”“Tunggu sebentar Ibu ambilkan, Nak Aga.”“Ini rotinya. Tidak makan nasi?”“A, tidak Bu. Nasinya sudah habis. Aku beli lima ya, Bu.”“Iya. Ini Ibu lebihkan dua untuk sarapan besok.”“Terima kasih, Bu. Aku permisi,” kata Aga setelah membayar.Mata Aga berkaca-kaca berusaha menahan yang akan jatuh ke pipi, hembusan napas yang berat, dan juga sesak. Alhasil dia meneteskan air matanya, mengusap, dan berjalan kembali ke restoran dengan langkah yang berat.
Malam yang panjang bisa menemani Aga dengan perut yang terisi. Dia makan roti sebanyak tiga bungkus, sisanya untuk besok pagi sarapan. Dia pasti tidak akan mendapatkan nasi dan sayur lagi. Setelah kemarin malam juga begitu.
Tepat pukul 4 pagi, di saat mereka masih tidur. Aga sudah bangun dan berada di dapur.
“Berantakkan sekali dapur ini. Perasaan semalam sudah aku bereskan. Apakah mereka makan lagi?” tanya Aga yang tidak tahu jawabnya.
“Aku lagi yang membereskan dan membuang kantong sampah ini,” keluh Aga.Aga berjalan ke luar dari dapur dengan membawa dua kantong sampah di sisi kanan dan kirinya.
Aga menghentikan langkahnya. Dia melihat seorang pria yang dikenalinya.
“Waduh kok ketemu juga,” bisik Aga mengernyitkan dahi.
“Pasukannya mengerikan,” kata Aga mencoba berpikir dia harus bagaimana.Seorang pria yang dikenali Aga datang dengan empat pria yang lain memakai pakaian hitam walaupun gelap Aga mengenalinya.
Aga hanya diam dan terpaku, dia melihat mereka dengan pemikirannya sendiri.
“Lihat apa yang terjadi,” kata Reno menunjuk Aga yang membawa dua kantong sampah.“Mana?” tanya Risky mengucek mata karena baru bangun tidur.“Itu Aga dengan siapa? Serius sekali kelihatannya,” kata Rafa.“Coba lihat mereka mengendarai mobil mewah dan itu keluaran terbaru,” seru Reno.“Jangan-jangan selama ini Aga bekerja dengan yang lain,” seru Rafa.“Bisa begitu,” ucap Risky.“Tunggu dahulu. Kenapa Aga diam saja?” tanya Reno membaca situasi. Aga berdiri terpaku dan diam, tanpa ada satu kata pun ke luar dari mulutnya. Dia mencari cara bagaimana ke luar dari situasi yang membuatnya sulit. Lari? Mungkin pilihan yang baik. Di sisi lain, Aga melihat ketiga temannya sudah bangun tidur“Sial. Seharusnya mereka belum bangun di jam ini,” gerutu Aga.“Apa yang harus saya lakukan selain melarikan diri dari sini?” gumam Aga. Aga melihat mereka bertiga diam-diam membicarakannya. Hal bia
Aga perlahan menggerakkan lehernya. Dia berusaha menoleh dan mendapati Cakra berdiri di hadapannya.“Selamat pagi, Mas Aga.”“Hai, Pak. Kita bertemu lagi,” sapa Aga tersenyum menahan kesal.“Mari kita pulang, Mas Aga.”“Pulang? Sekarang?” tanya Aga berpura-pura polos.“Iya sekarang. Tuan sudah menunggu untuk mengajak sarapan.”“Papa bisa sarapan sendiri atau dengan Mama dan Alex. Selama ini juga tanpa ada aku,” jawab Aga membela diri.“Pagi ini Tuan ingin sarapan dengan Mas Aga.”“Aku tidak mau.” Aga terang-terangan menolak. Aga mencoba mengulur waktu untuk mencari jalan keluar, tetapi tidak ada jalan ke luar yang terlihat. Dia senyum-senyum melihat Cakra, tetapi Cakra tahu apa yang dipikirkan Aga.“Ikut saja, Mas Aga. Tidak ada jalan ke luar di sini.”“Kata siapa tidak ada jalan ke luar. Pasti ada kok. Jalan tersembunyi.” Aga mengatakannya untuk mengalihkan perhatian.“Percaya saja padaku, Mas A
Aga berjalan mengikuti Cakra yang membawa kopernya. Dia mengikuti dengan langkahnya yang berat walaupun kesempatan baginya untuk lepas dari ketiga rekannya. Namun, rasanya ada yang hilang. Kesempatan dia untuk melakukan passionnya.“Terima kasih, Mas Aga,” kata Cakra membukakan pintu mobil.“Untuk apa?”“Untuk pulang ke rumah.”“O itu. Aku hanya tidak nyaman saja dengan perkataan dan permohonan papa.”“Silakan masuk.”“Iya.” Mereka; ketiga rekan kerja Aga terkejut ketika masuk ke mobil mewah tersebut. Aga menyadari pasti akan terjadi seperti ini. Mereka tahu jika Aga bukanlah orang biasa atau mereka berpikir jika Aga banyak utang. Sepanjang perjalanan, Aga hanya diam dan menatap ke luar. Cakra yang melihatnya merasa bersalah, tetapi ini pekerjaannya. Cakra kembali fokus dengan kemudi mobil. Lagi pula, Cakra mengenal Aga lebih lama dan mengetahui kebiasaannya.“Mas Aga, mau mampir k
Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur. Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga. Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex. Crekkk.“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya. Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.“Mama,” panggil
“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun. Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral. Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini. Aga masih tetap penasaran dengan rasa ter
Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
“Aku permisi Om,” pamit Mos pada Papa As. Papa As tidak menjawab. Saat ini beliau hanya penuh emosi. Tanpa menunggu lama, sopir pribadi membawa Mos ke pabrik dengan mobil pribadi. Sepanjang perjalanan, Mos hanya tersenyum puas. Gerak secepat menangkap nyamuk. Sesampainya di pabrik, tanpa menunggu mobil menempatkan di tempat parkir. Mos turun dari mobil lebih dahulu. Dia ingin menemui pimpinan pabrik. Satu kali melihat, Mos dengan cepat menemuka keberadaan pimpinan pabrik. Mos melambaikan tangan untuk memberi tanda memanggil pimpinan pabrik.“Mas Mos memanggilku?” tanya pimpinan pabrik.“Iya, Pak. Aga di mana?”“Mas Aga ada di sana.” Pimpinan pabrik menunjuk Aga yang berada di tempat pemilihan anggur.“Ada satu hal yang harus aku beritahu. Terkait suatu perinta dari Om As.”“Maksud Mas Mos pesan dari Pak As, papanya Mas Aga.”“Iya. Beliau ingin menyampaikan suatu hal dan beliau meng
Suara ketukan pintu kamar Aga.“Iya, aku sudah bangun. Aku akan turun.”“Iya, Mas Aga.” Pagi ini Aga Brawijaya bangun melewati waktu seperti biasanya. Dia juga sudah bangun ketika suara ketukan pintu tanda membangunkannya.“Aku ingin berolahraga tetapi rasa malas terus menghampiriku,” kata Aga melihat dirinya di cermin untuk ukuran full body. Aga masih menggunakan seragam kebesarannya yaitu pakaian untuk tidur. Dia belum memilih mandi untuk menyegarkan tubuhnya dengan wangi sabun mandi kesukaannya.“Mandi tidak ya. Aku malas sekali mau pergi ke kantor atau pabrik. Ada apa denganku hari ini? Apakah rasa malas mulai menghampiriku?” tanya Aga pada dirinya di cermin seolah dia ingin mengkoreksi.“Mandi sajalah sebelum ada suara ketukan pintu lagi.” Aga berlari kecil menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Aga menyelesaikan mandi dengan cepat. Dia keluar
“Siapa kamu?” tanya Aga memberanikan diri menoleh ke belakang.“Astaga. Kamu Ben,” teriak Aga.“Maaf, Mas Aga membuat terkejut.”“Itu tahu. Kamu kenapa berdiri di belakangku?”“Tidak papa. Aku mencari Mas Aga tidak ketemu. Aku pikir orang lain. Maaf, Mas Aga.”“Tidak papa. Kamu mencariku pasti ada yang mau kamu beritahu. Apa itu?”“Aku mau memberitahu tentang peluncuran dan desain dan nama yang baru.” Aga mengangguk.“Iya. Aku sudah tahu itu. Aku akan biarkan mereka untuk memproduksi. Aku tidak akan ikut campur setelah itu.”“Ikut campur pun tidak akan jadi masalah, Mas Aga. Mas Aga menyadarinya?”“Iya. Aku sadar kalau aku direkturnya. Aku bebas untuk melakukan apa pun.” Aga terdiam sesaat memikirkan resiko yang akan dia dapat tetapi sudah siap. Dia harus bisa menyelesaikannya kelak.“Mas Aga sudah lihat pemilihan anggur-anggurnya?” tanya Ben memecakan lamunan.“O, sudah. Anggur-anggurnya seka
Suara ketukan seorang pelayan di pintu kamar tidak akan membuat Aga bangun kecuali bunyi jam weker yang akan membangunkannya dari mimpi yang indah. Kring, kring, kring.“Jam berapa ini? Kenapa sudah berbunyi saja? Ini masih pagi.” Aga berusaha menggapai jam wekeryang terletak di kasur dan jauh dari gapaian tangannya.“Sini, sini kamu.” Aga tetap tidak bisa mengambil jam weker“Kena.” Aga melihat waktu pada jam weker dengan mata terbuka lebar.“Astaga sudah jam 6 pagi.” Aga melempar sembarang selimut dan jam weker. Dia berlari ke kamar mandi karena dia tidak perlu cemas dengan air panas atau handuk yang lupa dibawa. Byur, byur, byur.“Akh segar sekali.” Aga mengambil shampo dengan wangi yang disukainya. Dia membersihkan tubuhnya dan keluar dengan balutan handuk menutupi seluruh tub
“Mas Aga, apakah ada hal yang serius? Maaf jika pertanyaanku lancang.”“Tidak serius juga sih Ben. Mama hanya memberitahu jika Kakek mengundang mereka. Kamu tahulah mereka itu siapa.”“Iya, aku tahu. Mungkin Mamanya Mas Aga tidak ingin anaknya dikecualikan.”“Iya sepertinya begitu Ben.”“Aku pikir ada hal serius yang terjadi. Sekali lagi maaf untuk kelancanganku.”“Iya Ben. Tidak jadi msalah. Aku tidak bisa mengajakmu, Ben.”“Tidak papa Mas Aga.”“Ben, cari supermarket terdekat. Aku akan membeli sesuatu untuk dibawa ke rumah. Setidaknya ada yang aku bawa,” kata Aga tersenyum geli.“Aku tahu supaya Mas Aga tidak dibully lagi oleh Mos karena datang dengan tangan kosong.”“Sekarang aku tidak takut lagi dengannya. Aku akan ingat jika di dalam perusahaan tidak ada status untuk saudara atau sepupu sekalipun. Benar bukan perkataanku?”“Iya benar. Maaf jika selama ini kesannya aku membuat Mas Aga menjadi jahat.”“Tidak kok Ben.”“Aku sangat senang.”“U
“Tidak ada Mas Aga. Ada keperluan apa Mas Aga? Mungkin bisa dibantu.” Kepala departemen desain menymabut Aga dengan hangat.“A, ini aku mau memberikan ini. Aku mau membuat desain baru pada wine yang sedang aku kerjakan.”“Kalau begitu silakan masuk. Mas Aga mau minum teh?”“Tidak. Terima kasih.” Aga mengikuti kepala departemen masuk ke ruangannya. Crekkk.“Silakan duduk, Mas Aga.”“Iya. Tidak perlu repot. Aku hanya mau memberikan desain milikku. Bisa minta tolong dilihat?”“Iya, Mas Aga.” Aga melihat kepala departemen melihat desain dan tersenyum. Aga tidak tahu ini pertanda baik atau ada perbaikan dalam desain yang pasti Aga menginginkan seperti itu. Lebih lanjutnya jika ada perbaikan, Aga bisa memaklumi.“Bagaimana?” tanya Aga dengan wajah tegang.“Bagus kok Mas Aga. Hanya saja bolehkah diperbaiki sedikit dan diberikan sentuhan?”“Boleh. Silakan. Jika diperbaiki bisa memb
Aga melihat pimpinan pabrik yang berdiri tidak jauh darinya. Beliau salah tingkah setelah meyakini bahwa Aga melihatnya. Aga hanya membalas dengan senyuman dan sebaliknya.“Mas Aga senyum sama siapa?” tanya Ben melihat sekeliling.“Senyum dengan seseorang yang aku yakin dia pasti tahu.”“O.”“Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan sebelumnya?”“Iya, aku yakin Mas Aga.”“Aku tidak menyangka akan terjadi juga. Padahal aku sudah menepis akan terjadi.”“Mas Aga hanya perlu berhati-hati saja. Seseorang yang memiliki sikap berubah secepat kilatan petir tidak mungkin tidak ada maksud tersembunyi di dalamnya.”“Iya. Aku tahu itu tetapi ini Mos. Dia sepupu yang dekat denganku.”“Memang ada sepupu lain yang dekat dengan Mas Aga? Anak Pak Bimo hanya Mos.” Ben membela dengan pendapatnya.“Iya sih. Maksudku aku dekat dengan dia.”“Ini perusahaan Mas Aga. Tidak ada kedekatan atau apa pun itu. Ingat Mas Aga. Jabatan yang sudah dicapai dengan
Aga mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Dia tidak peduli dengan suara klason dari mobil lainnya karena memperingatkan untuk berhati-hati dengan kecepatan mobil. Dia hanya berpikir bagaimana cara supaya cepat sampai di pabrik. Ya pabrik lagi yang akan dikunjunginya.“Huft akhirnya sampai juga.” Aga menepikan mobil di bawah pohon yang rimbun. Dia melepas seal belt dan mengambil ponsel di jok mobil. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu pabrik yang terbuka lebar. Sayangnya tidak ada karpet yang digelar.“Selamat pagi, Mas Aga,” sapa salah seorang pekerja pabrik.“Tunggu. Aku mencari pimpinan pabrik di mana?” tanya Aga padanya.“Itu di sana, Mas Aga,” tunjuknya.“Terima kasih. Lanjutkan pekerjaanmu.”“Iya, Mas Aga.” Aga mempercepat langkah kakinya dan pimpinan pabrik menyadari jika dia sedang dicari. Hal yang sama dilakukan oleh pimpinan pabrik untuk mempercepat langkahnya. Be
“Iya, Mas Aga,” jawab pimpinan pabrik seraya berjalan menjauh dari Aga dengan tatapan tanda tanya besar di wajahnya dapat digambarkan. Ben berjalan menghampiri Aga.“Kenapa Mas Aga?” tanya Ben yang berdiri di sampingnya.“Itu pimpinan pbarik. Aku mengatakan kalau besok akan memberitahu produksi wine.”“Apakah akan diproduksi dalam jumlah banyak?”“Iya. Aku juga mau tahu reaksi masyarakat. Kita bisa ambil kembali produksi yang lama. Lalu untuk kemasan bisa bedakan sedikit atau diberi pemberitahuan. Kalau sudah memiliki rasa yang enak.”“Iya, Mas Aga. Aku akan mengatakan pada departemen desain.”“Beritahu aku dahulu. Setelah jadi desainnya.”“Iya, Mas Aga.”“Masih sore, aku mau lihat ke sana dahulu.”“Apakah aku harus ikut?”“Tentu saja, Ben.”“Iya, Mas Aga.” Mereka berdua berjalan ke tempat pemilihan anggur. Terdapat banyak pekerja baru di sana. Mereka terlihat akrab, beberapa dari mereka sudah me