Beranda / Lain / The Rich Man Passion / 05. Rapat dadakan

Share

05. Rapat dadakan

Penulis: Maria Goreti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

     Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.

“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur.

     Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.

“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga.

     Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex.

     Crekkk.

“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya.

     Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.

“Mama,” panggil Aga.

“Sudah bangun, Ga.”

“Iya, Ma. Mama masak apa?” tanya Aga berjalan mendekati Mama Lud.

“Ini mama masak makanan kesukaanmu. Bakso.”

“Terima kasih ya, Ma.”

“Sama-sama, Ga. Kamu terlihat kurus sekali. Apa makanmu kurang? Bagaimana kehidupanmu di luar? Kamu baik-baik saja?”

“Ma, Aga baik-baik saja. Tidak nyaman dilihat pelayan.” Aga melihat pelayan yang membantu Mama Lud memasak tersenyum padanya.

“Iya. Mandi dahulu. Mama selesaikan masaknya.”

“Iya, Ma. Papa belum bangun?”

“Papa pergi sama kakek main golf.”

“O iya sudah.”

     Aga berjalan kembali ke kamarnya untuk mandi. Kamarnya didesain dengan kamar mandi di dalam sehingga setiap kamar memiliki kamar mandi. Termasuk kamar tamu yang terdapat di dalamnya.

     Aga menyelesaikan membersihkan dirinya. Dia ke luar dari kamar mandi dengan balutan handuk yang menutupi tubuhnya. Dia berjalan ke walk in closet yang menyediakan pakaian dengan segala model dan warna. Terdapat lemari untuk menempatkan dasi dan jam tangannya. Koleksinya bukanlah harga yang biasanya saja. Terdapat satu jam tangan dengan harga yang fantastis.

     Crekkk.

     Crekkk.

“Kakak, mau ke mana?” tanya Alex yang juga ke luar dari kamar.

“Mau sarapan dan setelah itu tidak tahu papa mau mengajak ke mana.”

“Luangkan waktu untuk makan denganku, Kak.”

“Iya, adikku.” Aga mengacak rambut Alex dan berlari kecil untuk menghindari pukulannya.

“Kakak,” teriak Alex.

“Coba tangkap Kakak.”

“Awas saja.” Alex mengatakannya dengan tersenyum.

     Aga berjalan perlahan karena berpapasan dengan dua pelayan yang membawa barang.

“Tunggu saja, Kak,” teriak Alex.

“Alex, ada apa teriak-teriak? Tidak sopan, Nak,” tegur Mama Lud.

“Itu, Ma. Kakak.”

“Sudah, Alex. Kamu ini sudah dewasa jangan seperti anak kecil lagi,” kata Mama Lud tegas.

“Iya, Ma.”

“Tidak boleh lari-lari. Ada Kakek di ruang makan.”

“Iya, Ma.”

     Mereka menikmati sarapan yang dimasak oleh Mama Lud denagn dibantu pelayan untuk membersihkan sayuran dan lauk. Masing-masing dari mereka menikmati makanan di piring tanpa ada suara sedikit pun termasuk Alex, Aga melihatnya begitu. Inilah yang membuatnya bosan di rumah.

     Aga melihat Kakek Aga menyelesaikan sarapannya lebih dahulu disusul dengan Papa As, Mama Lud, Alex, dan terakhir Aga.

“Pa, Ma, berangkat dahulu. Kakak berangkat.”

“Iya,” jawab Papa singkat.

“Hati-hati ya, Lex.”

“Iya, Kak. Ma, aku pulang sedikit terlambat.”

     Aga melihat Papa As melirik Alex dengan pertanyaan.

“Tenang saja, Pa. Alex mau les piano. Gurunya bisanya sore,” kata Alex yang menyadari dilihat oleh Papa As.

“Lain kali kalau begitu makan berduanya.”

“Iya, Kak. Aku sudah terlambat.”

     Aga membawa piring membantu Mama lud.

“Sudah, Ga. Berikan pada pelayan yang akan mengerjakannya.”

“Iya, Ma.”

“Mana pelayan tadi?”

“Saya, Nyonya.”

“Ini Aga. Anak laki-laki dan anak pertama. Dia memiliki alergi udang. Jika masak dengan udang ingatkan saja untuk tidak memberikan padanya.”

“Iya, Nyonya.”

“Ma, tenang saja. Aku akan menyingkirkannya jika ada. Mama tidak perlu cemas.”

“Ga,” panggil Papa As.

“Iya, Pa.”

“Ma. Aku pergi dahulu.”

     Aga berjalan mengikuti Papa As. Dia berjalan di samping beliau.

“Kita mau ke mana, Pa?” tanya Aga padahal dia sudah tahu mau ke mana.

“Kita pakai satu mobil saja. Mobilmu belum datang dari dealer.”

“Iya, Pa.”

“Silakan, Mas Aga.” Cakra membukakan pintu mobil untuk Aga.

     Sepanjang perjalan dari rumah dan sekitar sepuluh menit lagi sampai kantor. Mereka berdua hanya diam dan memainkan ponsel masing-masing.

“Berikan nomor ponselmu,” pinta Papa As yang menyadari ponsel Aga baru.

     Aga melihat Cakra melihat dari spion depan.

“Masih nomor yang lama kok, Pa.”

     Sampai di kantor, Aga ke luar dari mobil tanpa harus dibukakan pintu. Dia juga hanya mengikuti berjalan di samping Papa As. Karyawan-karyawan yang berpapasan menyapa Papa As karena direktur utama. Mereka berbisik tentang Aga yang tidak pernah mereka lihat.

     Direksi-direksi yang berada di pihak Papa As berjalan mengikuti. Ternyata, Papa As mengadakan rapat dadakan atau malah rapat ini meminta Aga untuk pulang.

     Aga duduk di samping Papa As yang bersebrangan dengan Mos.

“Ga, bantu Papa. Perusahan sedang terombang-ambing,” bisik Papa As berbisik.

     Aga melihat mata Papa As dengan tatapan yang hangat.

“Iya. Aku bantu sebisaku.”

     Aga melihat tatapan Paman Bimo dan Mos mengarah padanya. Tatapan seolah mau menerkamnya seperti harimau yang mencari mangsa untuk dimakan karena kelaparan.

“Bagaimana ini penjualan menurun, permintaan wine sedikit. Bagaimana ini?” tanya Papa As dengan wajah yang memerah menahan marahnya.

“Maaf, Om. Saya mau memberitahu. Ada rasa wine yang baru. Semoga saja bisa membantu meningkatkan penjualan.”

“Mos, saya lagi menanyakan mengapa penjualan menurun,” kata Papa As meninggikan suaranya.

“As, makanya Mos memberitahu,” kata Paman Bimo juga meninggikan suara seolah tidak terimanya anaknya dimarahi.

     Aga hanya melihat mereka dengan perbedaan pendapat dan keegosian. Mereka ribut dengan pendapatnya masing-masing yang belum tentu bisa diterima.

“Diam,” teriak Papa As.

     Mereka diam dan melihat Papa As dengan tatapan marahnya yang berapi-api.

“Aga, katakan pendapatmu,” pinta Papa As.

     Semua pasang mata yang ada di ruang rapat melihat Aga sedangkan yang ditatap bingung. Padahal dia hanya ingin duduk manis di ruang rapat.

“Aku?”

“Iya, kamu. Tidak ada nama Aga lain di ruang ini,” kata Papa As.

“Bukankah rasa wine yang baru menimbulkan keributan? Jika begitu pasti ada masalah yang terjadi. Seekor kucing pasti berteriak jika diinjak, sama halnya dengan rasa wine yang baru ini. Tidak mungkin ada keributan, jika tidak ada keibutan yang terjadi.”

“Apa maksud dengan perkataanmu?” tanya Mos denagn meninggikan suara.

“Benar perkataanku. Aku hanya mengatakan sesuai dengan apa yang terjadi,” kata Aga membela diri.

“Kamu tidak bisa mengatakan semaumu, Ga.”

“Alangkah baiknya untuk ditunda peresmian atau peluncurannya.”

“Aga,” teriak Mos yang dilihat semua pasang mata di ruang rapat.

“Aga Brawijaya, kamu tidak tahu apa-apa di sini. Kamu tidak tahu apa yang sedang aku kerjakan bersama timku. Kamu mau apa dengan mengatakan ditunda? Aku tahu kita sama-sama cucu Kakek Aga, tetapi kamu tidak bisa mengatakan semaumu,” kata Mos dengan tatapan yang mematikan.

     Aga melihat Mos dengan tatapannya yang lembut.

“Kamu baru anak kemarin sore dan kamu juga baru masuk beberapa jam yang lalu. Belum ada lima jam, kamu berada di sini. Kamu jangan gagalkan rencanaku dengan tim. Kamu juga menunjukkan kinerjamu. Kamu bisa apa? Kamu hanya bisa melakukan pekerjaan dengan bantuan dari Om As.

     Aga hanya terdiam dan membuat Mos kesal.

Bab terkait

  • The Rich Man Passion   06. Voting

    “Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun. Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral. Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini. Aga masih tetap penasaran dengan rasa ter

  • The Rich Man Passion   07. Pemberitahuan Kakek Aga

    Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele

  • The Rich Man Passion   08. Golden Dragon

    Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.

  • The Rich Man Passion   09. Kenapa kamu di sini?

    “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d

  • The Rich Man Passion   10. Secret room

    Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat

  • The Rich Man Passion   11. Sesuatu yang disembunyikan

    Aga membiarkan Ben merapikan kembali meja walaupun tidak seharusnya dilakukan.“Tidak perlu dirapikan, Ben,” kata Aga mencegahnya.“Tidak papa, Mas Aga.”“Ingat ya Ben. Jangan katakan apa pun.”“Siap, Mas Aga. Aku akan mengingat semua perkataan Mas Aga. Aku juga sudah mencatat data-data apa saja yang diperlukan.”“Kamu harus setia mau mengantarku pulang. Mobilnya bawa saja.”“Iya, Mas Aga. Terima kasih. Apa boleh aku bawa mobilku sendiri?”“Tidak perlu. Pakai saja mobil milikku. Papa akan curiga.”“Iya, Mas Aga.”“Kita selesaikan kegiatan kita di sini. Aku penasaran merasakan wine yang dibanggakan Ben.”“Rasanya seperti itu.”“Nah itu dia, aku penasaran.”“Sabar, Mas Aga.”“Iya, Ben. Aku tahu itu. Aku sudah melatih kesabaranku dua tahun yang lalu.”“Mas Aga, apa yang bisa aku kerjakan sekarang?”“Tidak perlu, Ben. Kamu mau pesen minuman yang kamu suka?”“Tidak, Mas Aga.”“O, iya udah.”Mereka berduas asy

  • The Rich Man Passion   12. Permintaan Papa As

    “Lex, Kakak mandi dahulu. Kakak akan ke ruang makan setelah itu,” kata Aga membuka pintu tanpa menyadari siapa yang ada di depannya. Crekkk.“O, Papa, ada apa?” tanya Aga memasang kembali kancing kemejanya.“Boleh Papa masuk?”“Silakan.” Aga melihat Papa As melihat sekeliling dalam kamarnya. Setidaknya kamarnya rapi terhindar dari sampah dari bungkus makanan yang biasa dia buang di kotak sampah. Aga membiarkan pandangan Papa As menyebar ke seluruh pojok kamarnya.“Pa,” panggil Aga membuat Papa As menyadari jika berada di kamar Aga.“Iya.”“Duduk, Pa.” Aga membiarkan Papa As mengambil posisi duduk lebih dahulu. Baru Aga mengambil posisi duduk di pinggir tempat tidur.“Kamu mau mandi?” tanya Papa As melihat jas yang dilempar sembarang.“Iya, Pa.”“Papa mau mengobrol sebentar. Sebelum makan malam dan kamu akan segera pergi tidur.”“Iya, Pa. Silakan.”“Kamu dari mana?” ta

  • The Rich Man Passion   13. Makan malam yang sunyi

    “Akh segarnya,” kata Aga mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Makan malam ya?” tanya pada dirinya seolah enggan untuk makan malam bersama. Aga mau tidak mau harus melakukannya. Jika tidak dia akan dicoret namanya dalam deretan nama pewaris. Ya walaupun hanya ada Aga dan Mos.“Makan malam saja walaupun suasana hati sedang tidak ingin makan,” ucapnya meletakkan handuk di kamar mandi. Crekkk. Aga berjalan menuju ruang makan. Dia yakin semua sudah berkumpul di ruang makan.“Se-lamat malam,” sapa Aga terkejut karena melihat Kakek Aga tidak ada di kursinya.“Ada apa Ga?” tanya Mama Lud.“Kakek ke mana?”“Kakek ke rumah Paman Bimo.”“O.” Hidangan makan malam tersedia di meja makan, tentu Mama Lud yang memasaknya. Aga menyukai masakan dan apa saja yang dibuat oleh beliau. Ruang makan dengan 10 kursi dengan meja panjang menjadi saksi kesunyian pada makan

Bab terbaru

  • The Rich Man Passion   57. Sea dipecat dan Aga menghilang (End)

    “Aku permisi Om,” pamit Mos pada Papa As. Papa As tidak menjawab. Saat ini beliau hanya penuh emosi. Tanpa menunggu lama, sopir pribadi membawa Mos ke pabrik dengan mobil pribadi. Sepanjang perjalanan, Mos hanya tersenyum puas. Gerak secepat menangkap nyamuk. Sesampainya di pabrik, tanpa menunggu mobil menempatkan di tempat parkir. Mos turun dari mobil lebih dahulu. Dia ingin menemui pimpinan pabrik. Satu kali melihat, Mos dengan cepat menemuka keberadaan pimpinan pabrik. Mos melambaikan tangan untuk memberi tanda memanggil pimpinan pabrik.“Mas Mos memanggilku?” tanya pimpinan pabrik.“Iya, Pak. Aga di mana?”“Mas Aga ada di sana.” Pimpinan pabrik menunjuk Aga yang berada di tempat pemilihan anggur.“Ada satu hal yang harus aku beritahu. Terkait suatu perinta dari Om As.”“Maksud Mas Mos pesan dari Pak As, papanya Mas Aga.”“Iya. Beliau ingin menyampaikan suatu hal dan beliau meng

  • The Rich Man Passion   56. Rencana Mos

    Suara ketukan pintu kamar Aga.“Iya, aku sudah bangun. Aku akan turun.”“Iya, Mas Aga.” Pagi ini Aga Brawijaya bangun melewati waktu seperti biasanya. Dia juga sudah bangun ketika suara ketukan pintu tanda membangunkannya.“Aku ingin berolahraga tetapi rasa malas terus menghampiriku,” kata Aga melihat dirinya di cermin untuk ukuran full body. Aga masih menggunakan seragam kebesarannya yaitu pakaian untuk tidur. Dia belum memilih mandi untuk menyegarkan tubuhnya dengan wangi sabun mandi kesukaannya.“Mandi tidak ya. Aku malas sekali mau pergi ke kantor atau pabrik. Ada apa denganku hari ini? Apakah rasa malas mulai menghampiriku?” tanya Aga pada dirinya di cermin seolah dia ingin mengkoreksi.“Mandi sajalah sebelum ada suara ketukan pintu lagi.” Aga berlari kecil menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Aga menyelesaikan mandi dengan cepat. Dia keluar

  • The Rich Man Passion   56. Mos mencurigai Aga

    “Siapa kamu?” tanya Aga memberanikan diri menoleh ke belakang.“Astaga. Kamu Ben,” teriak Aga.“Maaf, Mas Aga membuat terkejut.”“Itu tahu. Kamu kenapa berdiri di belakangku?”“Tidak papa. Aku mencari Mas Aga tidak ketemu. Aku pikir orang lain. Maaf, Mas Aga.”“Tidak papa. Kamu mencariku pasti ada yang mau kamu beritahu. Apa itu?”“Aku mau memberitahu tentang peluncuran dan desain dan nama yang baru.” Aga mengangguk.“Iya. Aku sudah tahu itu. Aku akan biarkan mereka untuk memproduksi. Aku tidak akan ikut campur setelah itu.”“Ikut campur pun tidak akan jadi masalah, Mas Aga. Mas Aga menyadarinya?”“Iya. Aku sadar kalau aku direkturnya. Aku bebas untuk melakukan apa pun.” Aga terdiam sesaat memikirkan resiko yang akan dia dapat tetapi sudah siap. Dia harus bisa menyelesaikannya kelak.“Mas Aga sudah lihat pemilihan anggur-anggurnya?” tanya Ben memecakan lamunan.“O, sudah. Anggur-anggurnya seka

  • The Rich Man Passion   54. Pabrik adalah rumah kedua

    Suara ketukan seorang pelayan di pintu kamar tidak akan membuat Aga bangun kecuali bunyi jam weker yang akan membangunkannya dari mimpi yang indah. Kring, kring, kring.“Jam berapa ini? Kenapa sudah berbunyi saja? Ini masih pagi.” Aga berusaha menggapai jam wekeryang terletak di kasur dan jauh dari gapaian tangannya.“Sini, sini kamu.” Aga tetap tidak bisa mengambil jam weker“Kena.” Aga melihat waktu pada jam weker dengan mata terbuka lebar.“Astaga sudah jam 6 pagi.” Aga melempar sembarang selimut dan jam weker. Dia berlari ke kamar mandi karena dia tidak perlu cemas dengan air panas atau handuk yang lupa dibawa. Byur, byur, byur.“Akh segar sekali.” Aga mengambil shampo dengan wangi yang disukainya. Dia membersihkan tubuhnya dan keluar dengan balutan handuk menutupi seluruh tub

  • The Rich Man Passion   53. Makan malam Keluarga Brawijaya

    “Mas Aga, apakah ada hal yang serius? Maaf jika pertanyaanku lancang.”“Tidak serius juga sih Ben. Mama hanya memberitahu jika Kakek mengundang mereka. Kamu tahulah mereka itu siapa.”“Iya, aku tahu. Mungkin Mamanya Mas Aga tidak ingin anaknya dikecualikan.”“Iya sepertinya begitu Ben.”“Aku pikir ada hal serius yang terjadi. Sekali lagi maaf untuk kelancanganku.”“Iya Ben. Tidak jadi msalah. Aku tidak bisa mengajakmu, Ben.”“Tidak papa Mas Aga.”“Ben, cari supermarket terdekat. Aku akan membeli sesuatu untuk dibawa ke rumah. Setidaknya ada yang aku bawa,” kata Aga tersenyum geli.“Aku tahu supaya Mas Aga tidak dibully lagi oleh Mos karena datang dengan tangan kosong.”“Sekarang aku tidak takut lagi dengannya. Aku akan ingat jika di dalam perusahaan tidak ada status untuk saudara atau sepupu sekalipun. Benar bukan perkataanku?”“Iya benar. Maaf jika selama ini kesannya aku membuat Mas Aga menjadi jahat.”“Tidak kok Ben.”“Aku sangat senang.”“U

  • The Rich Man Passion   52. Desain yang baru

    “Tidak ada Mas Aga. Ada keperluan apa Mas Aga? Mungkin bisa dibantu.” Kepala departemen desain menymabut Aga dengan hangat.“A, ini aku mau memberikan ini. Aku mau membuat desain baru pada wine yang sedang aku kerjakan.”“Kalau begitu silakan masuk. Mas Aga mau minum teh?”“Tidak. Terima kasih.” Aga mengikuti kepala departemen masuk ke ruangannya. Crekkk.“Silakan duduk, Mas Aga.”“Iya. Tidak perlu repot. Aku hanya mau memberikan desain milikku. Bisa minta tolong dilihat?”“Iya, Mas Aga.” Aga melihat kepala departemen melihat desain dan tersenyum. Aga tidak tahu ini pertanda baik atau ada perbaikan dalam desain yang pasti Aga menginginkan seperti itu. Lebih lanjutnya jika ada perbaikan, Aga bisa memaklumi.“Bagaimana?” tanya Aga dengan wajah tegang.“Bagus kok Mas Aga. Hanya saja bolehkah diperbaiki sedikit dan diberikan sentuhan?”“Boleh. Silakan. Jika diperbaiki bisa memb

  • The Rich Man Passion   51. Saran dari Ben

    Aga melihat pimpinan pabrik yang berdiri tidak jauh darinya. Beliau salah tingkah setelah meyakini bahwa Aga melihatnya. Aga hanya membalas dengan senyuman dan sebaliknya.“Mas Aga senyum sama siapa?” tanya Ben melihat sekeliling.“Senyum dengan seseorang yang aku yakin dia pasti tahu.”“O.”“Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan sebelumnya?”“Iya, aku yakin Mas Aga.”“Aku tidak menyangka akan terjadi juga. Padahal aku sudah menepis akan terjadi.”“Mas Aga hanya perlu berhati-hati saja. Seseorang yang memiliki sikap berubah secepat kilatan petir tidak mungkin tidak ada maksud tersembunyi di dalamnya.”“Iya. Aku tahu itu tetapi ini Mos. Dia sepupu yang dekat denganku.”“Memang ada sepupu lain yang dekat dengan Mas Aga? Anak Pak Bimo hanya Mos.” Ben membela dengan pendapatnya.“Iya sih. Maksudku aku dekat dengan dia.”“Ini perusahaan Mas Aga. Tidak ada kedekatan atau apa pun itu. Ingat Mas Aga. Jabatan yang sudah dicapai dengan

  • The Rich Man Passion   50. Pabrik lagi

    Aga mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Dia tidak peduli dengan suara klason dari mobil lainnya karena memperingatkan untuk berhati-hati dengan kecepatan mobil. Dia hanya berpikir bagaimana cara supaya cepat sampai di pabrik. Ya pabrik lagi yang akan dikunjunginya.“Huft akhirnya sampai juga.” Aga menepikan mobil di bawah pohon yang rimbun. Dia melepas seal belt dan mengambil ponsel di jok mobil. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu pabrik yang terbuka lebar. Sayangnya tidak ada karpet yang digelar.“Selamat pagi, Mas Aga,” sapa salah seorang pekerja pabrik.“Tunggu. Aku mencari pimpinan pabrik di mana?” tanya Aga padanya.“Itu di sana, Mas Aga,” tunjuknya.“Terima kasih. Lanjutkan pekerjaanmu.”“Iya, Mas Aga.” Aga mempercepat langkah kakinya dan pimpinan pabrik menyadari jika dia sedang dicari. Hal yang sama dilakukan oleh pimpinan pabrik untuk mempercepat langkahnya. Be

  • The Rich Man Passion   49. Proses produksi wine

    “Iya, Mas Aga,” jawab pimpinan pabrik seraya berjalan menjauh dari Aga dengan tatapan tanda tanya besar di wajahnya dapat digambarkan. Ben berjalan menghampiri Aga.“Kenapa Mas Aga?” tanya Ben yang berdiri di sampingnya.“Itu pimpinan pbarik. Aku mengatakan kalau besok akan memberitahu produksi wine.”“Apakah akan diproduksi dalam jumlah banyak?”“Iya. Aku juga mau tahu reaksi masyarakat. Kita bisa ambil kembali produksi yang lama. Lalu untuk kemasan bisa bedakan sedikit atau diberi pemberitahuan. Kalau sudah memiliki rasa yang enak.”“Iya, Mas Aga. Aku akan mengatakan pada departemen desain.”“Beritahu aku dahulu. Setelah jadi desainnya.”“Iya, Mas Aga.”“Masih sore, aku mau lihat ke sana dahulu.”“Apakah aku harus ikut?”“Tentu saja, Ben.”“Iya, Mas Aga.” Mereka berdua berjalan ke tempat pemilihan anggur. Terdapat banyak pekerja baru di sana. Mereka terlihat akrab, beberapa dari mereka sudah me

DMCA.com Protection Status