Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya.
Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.
“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal.
Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.
“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.
“Iya, Pak.”“Iya sudah.”Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.
“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.”
Aga berjalan ke gerbang.
“Sial. Benar dugaanku.”
Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang melewati dihirupnya.
Uhuk.
“Sial, mana ini taksinya.”
“O itu.” Aga melihat taksi.Aga berjalan mendekat pada taksi dan membuka pintunya.
“Ke mana, Pak?” tanya sopir taksi.
“Jalan saja, Pak. Nanti akan aku katakan jika sudah berjalan jauh dari sini.”“Baik, Pak.”Sepanjang perjalanan ponsel Aga berdering tanda panggilan telefon, dia tidak melihatnya. Bahkan membiarkan ponselnya terus berdering.
“Pak tidak diangkat panggilan telefonnya?” tanya sopir taksi memastikan penumpangnya baik-baik saja.
“Iya, Pak. Biarkan saja tidak penting.” Sopir taksi hanya mengikuti arahan yang dikatakan oleh Aga.Sampai di depan gerbang rumah.
“Ini, Pak. Terima kasih.”
“Iya sama-sama. Ini rumahnya besar sekali.”“Bukan rumah aku, Pak. Ini rumah kakek.”Satpam yang berada di pos melihat Aga.
“Mas Aga, sebentar.”
“Iya, Pak.”Satpam membuka pintu gerbang dengan deretan kunci yang dibawa dan hafal semua kunci.
“Mas Aga dari mana. Kenapa tidak minta sopir untuk jemput?”
“Saya belum ada sopir, Pak. Apa papa sudah pulang?”“Sudah, Mas Aga.”“Saya masuk dahulu.”“Silakan, Mas Aga.”Langkahnya biasa saja padahal mau masuk ke rumah. Setidaknya air dingin di dalam lemari pendingin menunggu untuk diminum.
Aga melihat seorang pelayan membukakan pintu untuknya. Mungkin terlihat lemas terkena panas matahari. Dia melihat jam tanagn menunjukkan pukul satu siang.
“Akh wajar saja jika panas.”
“Terima kasih,” ucap Aga pada pelayan yang membukakan pintu untuknya.Aga tidak mendapati siapapun di dalam. Padahal satpam mengatakan kalau Papa As ada di rumah.
“A, mungkin salah lihat,” kata Aga berjalan ke dapur.Aga mengambil air dingin di lemari pendingin ternyata dia melihat ada botol jus di sana. Dia memilih mengambil itu.
“Aga,” panggil Mama Lud.
Uhuk.
“Mama ke luar dari mana?”
“Maaf, Mama mengagetkanmu. Mama dari dapur di luar.”“Papa sudah pulang?”“Bukannya pulang bersamamu?” Aga menggeleng.“Coba di ruang kerja.”“Iya, Ma. Biarkan saja.”“Kamu pulang dengan siapa?”“Naik taksi, Ma. Ma, aku ke kamar ya. Alex belum pulang kan?”“Belum. Adikmu pulang malam, sebelum makan malam.”“Iya sudah. Aku mau ke kamar.”Aga berjalan ke kamarnya, dia berhenti di depan kamar Alex tidak mendengar suaranya.
“Mungkin belum pulang.”
Crekkk.
Aga masuk ke kamar dan mendapati kamarnya sudah bersih dan rapi.
“E, mereka yang membersihkannya,” katanya menyadari jika dia hanya perlu mengatakan pada pelayan.
Aga meletakkan ponsel di nakas dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan kasur yang empuk.
“Apa bisa aku menjalankan perusahaan seperti mau Papa? Mereka lebih kuat jauh dari yang aku pikirkan.”
Suara ketukan pintu di kamar Aga.
“Masuk.”
“Mau tidur?” tanya Mama Lud.“Tidak, Ma. Masuk saja.”“Kamarmu masih sama seperti kamu ke luar dari rumah.”“Iya, Ma.”“Tidak ada yang mau ceritakan dengan mama?”“E, sepertinya tidak ada. Lagi pula, Aga yakin bisa mengatasinya. Mama tidak perlu cemas dengan apa yang dilakukan Aga. Aga pasti akan melakukan yang terbaik untuk keluarga ini.”“Iya. Mama yakin kamu bisa melakukannya. Istirahatlah. Mama mau menyiapkan makan malam dahulu. Kakekmu mau makan malam di sini.”“Iya, Ma.”Aga memilih untuk memejam menghabiskan waktu dua jam untuk istirahat.
Teng, teng, teng.
Jam dinding di rumah berbunyi setiap jam dengan angka genap. Jam menunjukkan pukul 6 sore.
“Sudah malam,” kata Aga melihat ke luar jendela dengan langit yang sudah gelap.
“A, makan malam.”Aga berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia tidak ingin tampil sempurna seperti ke kantor. Hanya saja pakaian santai dikenakannya.
Crekkk.
Aga berjalan ke ruang makan dan mendapati suara mereka sedang berbincang.
“Aga,” panggil Kakek Aga.
“Selamat malam, Kek.”“Malam. Duduklah. Kursimu masih sama dan tidak ada yang berani menempatinya.”“Iya, Kek,” ucap Aga melihat Papa As dan Mama Lud.“Alex belum pulang?” tanya Aga cemas dengan adiknya.“Sebentar lagi,” kata Mama Lud.“Kita makan saja dahulu,” ajak Kakek Aga.Mereka sudah memegang sendok dan garpu di tangan mereka.
“Aku pulang,” teriak Alex berjalan ke ruang makan.
“Kakek,” sapa Alex.“Mandi dahulu sana,” pinta Kakek Aga.“Iya, Kek.”Sepuluh menit kemudian, Aga melihat Alex sudah duduk di depannya.
Mereka menikmati makan dengan masakan Mama Lud. Di rumah ini hanya Mama Lud yang ahli dengan makanan karena beliau adalah chef.
“Kakek ingin berkumpul di ruang keluarga. Setelah selesai makan,” pinta Kakek Aga.
“Iya, Kek,” jawab Papa As.Mereka saling menatap karena tidak biasanya Kakek Aga mau menemui mereka, setelah makan malam. Biasanya beliau langsung pergi ke kamarnya untuk istirahat atau sekadar nonton televisi di kamarnya.
Makan malam ini bersama dengan Keluarga Paman Bimo yang artinya ada Mos dan Tante Wening juga. Namun, Aga tidak merasakan dirinya diremehkan oleh Mos atau karena ini di rumah Papa As sehingga Mos menjaga sikap.
“Canggung?” tanya Kakek Aga pada mereka yang berada di ruang keluarga.
“Tidak, Pa,” kata Papa As memberanikan diri menjawab.“Kita jarang dan tidak pernah berkumpul. Ada yang mau dikatakan?” tanya Kakek Aga seolah mengetahui apa yang terjadi.Dua pelayan masuk ke ruang keluarga dengan masing-masing membawa teh hangat dan dessert sebagai penghangat di malam hari.
Masing-masing dari mereka mengambil cangkir yang berada di depan mereka.
“Kakek mengajak kalian berkumpul karena ada yang mau diberitahu.”
“Apa itu Kek?” tanya Alex juga memberanikan diri untuk bertanya.“Kakek akan memberitahu pewaris. Seseorang yang akan melanjutkan perusahaan.Mereka yang berada di ruang keluarga saling menatap satu sama lain. Terutama Aga dan Mos, mereka berdua kandidat yang akan menjadi pewaris.
Aga berpikir jika perkataan Kakek Aga secara tidak langsung mengajaknya untuk berkompetisi dengan Mos. Dia bisa saja, tetapi Mos tetaplah sepupunya. Dia tidak bisa menjatuhkan sepupunya dengan kompetisi seperti ini.
“Kek, apa tujuan sebenarnya? Apa kakek mau aku berkompetisi dengan Aga?” tanya Mos tanpa tedeng aling-aling.
“Kurang lebih seperti itu,” jawab Kakek Aga.Aga gemetar memegang cangkir.
“Menarik, Kek,” kata Mos.
“Mos tidak yakin Aga bisa melakukannya.” Mos meremehkan Aga.Aga tidak membalas perkataan Mos karena akan terjadi perdebatan. Dia tidak mau karena kumpul keluarga ini bukan untuk perdebatan. Itu menurutnya.
“Aga pasti akan menghabiskan uang saja. Mundur saja, Ga,” kata Mos meremehkan Aga.
“Ga, mundur lebih baik daripada kamu membuang waktu dan tenagamu. Gunakan saja untuk bersenang-senang. Apa perlu aku carikan tempat untuk bersenang-senang? Kehidupan dua tahunmu tidak bisa bersenang-senang. Ups maaf kelewat batas.“Ga, aku sangat berterima kasih kalau kamu mau mundur dengan sendirinya. Aku juga tidak harus capek-capek yang tidak sebanding denganku.”Lagi-lagi, Aga hanya diam untuk mengalah. Dia tidak membalas ucapan Mos. Sikap Aga membuat Papa As cemas dengan posisinya di perusahaan. Sikap Aga yang diam hanya diremehkan oleh Paman Bimo, Mos, Tante Wening, dan terakhir Kakek Aga.
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat
Aga membiarkan Ben merapikan kembali meja walaupun tidak seharusnya dilakukan.“Tidak perlu dirapikan, Ben,” kata Aga mencegahnya.“Tidak papa, Mas Aga.”“Ingat ya Ben. Jangan katakan apa pun.”“Siap, Mas Aga. Aku akan mengingat semua perkataan Mas Aga. Aku juga sudah mencatat data-data apa saja yang diperlukan.”“Kamu harus setia mau mengantarku pulang. Mobilnya bawa saja.”“Iya, Mas Aga. Terima kasih. Apa boleh aku bawa mobilku sendiri?”“Tidak perlu. Pakai saja mobil milikku. Papa akan curiga.”“Iya, Mas Aga.”“Kita selesaikan kegiatan kita di sini. Aku penasaran merasakan wine yang dibanggakan Ben.”“Rasanya seperti itu.”“Nah itu dia, aku penasaran.”“Sabar, Mas Aga.”“Iya, Ben. Aku tahu itu. Aku sudah melatih kesabaranku dua tahun yang lalu.”“Mas Aga, apa yang bisa aku kerjakan sekarang?”“Tidak perlu, Ben. Kamu mau pesen minuman yang kamu suka?”“Tidak, Mas Aga.”“O, iya udah.”Mereka berduas asy
“Lex, Kakak mandi dahulu. Kakak akan ke ruang makan setelah itu,” kata Aga membuka pintu tanpa menyadari siapa yang ada di depannya. Crekkk.“O, Papa, ada apa?” tanya Aga memasang kembali kancing kemejanya.“Boleh Papa masuk?”“Silakan.” Aga melihat Papa As melihat sekeliling dalam kamarnya. Setidaknya kamarnya rapi terhindar dari sampah dari bungkus makanan yang biasa dia buang di kotak sampah. Aga membiarkan pandangan Papa As menyebar ke seluruh pojok kamarnya.“Pa,” panggil Aga membuat Papa As menyadari jika berada di kamar Aga.“Iya.”“Duduk, Pa.” Aga membiarkan Papa As mengambil posisi duduk lebih dahulu. Baru Aga mengambil posisi duduk di pinggir tempat tidur.“Kamu mau mandi?” tanya Papa As melihat jas yang dilempar sembarang.“Iya, Pa.”“Papa mau mengobrol sebentar. Sebelum makan malam dan kamu akan segera pergi tidur.”“Iya, Pa. Silakan.”“Kamu dari mana?” ta
“Akh segarnya,” kata Aga mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Makan malam ya?” tanya pada dirinya seolah enggan untuk makan malam bersama. Aga mau tidak mau harus melakukannya. Jika tidak dia akan dicoret namanya dalam deretan nama pewaris. Ya walaupun hanya ada Aga dan Mos.“Makan malam saja walaupun suasana hati sedang tidak ingin makan,” ucapnya meletakkan handuk di kamar mandi. Crekkk. Aga berjalan menuju ruang makan. Dia yakin semua sudah berkumpul di ruang makan.“Se-lamat malam,” sapa Aga terkejut karena melihat Kakek Aga tidak ada di kursinya.“Ada apa Ga?” tanya Mama Lud.“Kakek ke mana?”“Kakek ke rumah Paman Bimo.”“O.” Hidangan makan malam tersedia di meja makan, tentu Mama Lud yang memasaknya. Aga menyukai masakan dan apa saja yang dibuat oleh beliau. Ruang makan dengan 10 kursi dengan meja panjang menjadi saksi kesunyian pada makan
Aga menyadari jika Papa As menatapnya.“Tidak papa, Pa. Aku baik-baik saja,” kata Aga mencoba menenangkan Papa As.“Terima kasih, Ga. Kamu berusaha menenangkan Papa.”“Tenang saja. Semua akan baik-baik saja. Papa hanya cukup percaya pada Aga akan melakukan yang terbaik.”“Iya, Papa percaya denganmu. Habiskan makananmu.”“Pa, Aga sudah kenyang menghabiskan segelas jus.” Aga melihat Papa As terheran.“Kakak ini doyan apa lapar?” tanya Alex memecah keheningan dengan leluconnya.“Dua-duanya.” Aga menjawab menahan tawa.“Papa sudah selesai makannya.” Papa As memberitahu. Aga melihat Papa As berdiri dan menggeser kursi. Dia melihat papanya berjalan ke luar dari ruang makan. Setelah itu tidak bisa melihat lagi bayangannya. Entah pergi ke ruang kerja atau ke kamar beliau.“Terima kasih, Ga. Kamu buat Papamu senang.” Mama Lud mengucapkan terima kasih lagi.“Iya, Ma. Aga akan melakuk
Aga mengucek mata untuk memastikan apa yang dilihat benar atau salah. Dia melihat lagi jika angkanya memang benar adanya.“Wow. Ini benar angka-angkanya. Wah orang itu benar-benar melakukannya. Sial, orang ini benar-benar ya.” Aga mengepal kedua tangannya seolah ingin memukul. Aga naik pitam karena masalah ini bukanlah masalah biasa. Masalah yang menyangkut uang perusahaan. Dia tahu bahwa Mos juga memiliki saham di perusahaan, tetapi bukan berarti bisa seenaknya memakai uang perusahaan.“Apakah hal seperti ini aku harus beritahu Papa?” tanya Aga bingung.“Tidak perlulah. Nanti Papa akan menanyakan dari mana data yang kuperoleh. Bisa-bisa gagal rencanaku gara-gara aku menggali lubang sendiri.”“Lalu ini data laporan keuangan siapa lagi. Wah-wah mereka benar-benar melakukan di saat perusahaan sedang terombang-ambing. Tidakkah mereka melihat perusahaan sedang tidak baik-baik saja.” Aga menggerutu
“Aku permisi Om,” pamit Mos pada Papa As. Papa As tidak menjawab. Saat ini beliau hanya penuh emosi. Tanpa menunggu lama, sopir pribadi membawa Mos ke pabrik dengan mobil pribadi. Sepanjang perjalanan, Mos hanya tersenyum puas. Gerak secepat menangkap nyamuk. Sesampainya di pabrik, tanpa menunggu mobil menempatkan di tempat parkir. Mos turun dari mobil lebih dahulu. Dia ingin menemui pimpinan pabrik. Satu kali melihat, Mos dengan cepat menemuka keberadaan pimpinan pabrik. Mos melambaikan tangan untuk memberi tanda memanggil pimpinan pabrik.“Mas Mos memanggilku?” tanya pimpinan pabrik.“Iya, Pak. Aga di mana?”“Mas Aga ada di sana.” Pimpinan pabrik menunjuk Aga yang berada di tempat pemilihan anggur.“Ada satu hal yang harus aku beritahu. Terkait suatu perinta dari Om As.”“Maksud Mas Mos pesan dari Pak As, papanya Mas Aga.”“Iya. Beliau ingin menyampaikan suatu hal dan beliau meng
Suara ketukan pintu kamar Aga.“Iya, aku sudah bangun. Aku akan turun.”“Iya, Mas Aga.” Pagi ini Aga Brawijaya bangun melewati waktu seperti biasanya. Dia juga sudah bangun ketika suara ketukan pintu tanda membangunkannya.“Aku ingin berolahraga tetapi rasa malas terus menghampiriku,” kata Aga melihat dirinya di cermin untuk ukuran full body. Aga masih menggunakan seragam kebesarannya yaitu pakaian untuk tidur. Dia belum memilih mandi untuk menyegarkan tubuhnya dengan wangi sabun mandi kesukaannya.“Mandi tidak ya. Aku malas sekali mau pergi ke kantor atau pabrik. Ada apa denganku hari ini? Apakah rasa malas mulai menghampiriku?” tanya Aga pada dirinya di cermin seolah dia ingin mengkoreksi.“Mandi sajalah sebelum ada suara ketukan pintu lagi.” Aga berlari kecil menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Aga menyelesaikan mandi dengan cepat. Dia keluar
“Siapa kamu?” tanya Aga memberanikan diri menoleh ke belakang.“Astaga. Kamu Ben,” teriak Aga.“Maaf, Mas Aga membuat terkejut.”“Itu tahu. Kamu kenapa berdiri di belakangku?”“Tidak papa. Aku mencari Mas Aga tidak ketemu. Aku pikir orang lain. Maaf, Mas Aga.”“Tidak papa. Kamu mencariku pasti ada yang mau kamu beritahu. Apa itu?”“Aku mau memberitahu tentang peluncuran dan desain dan nama yang baru.” Aga mengangguk.“Iya. Aku sudah tahu itu. Aku akan biarkan mereka untuk memproduksi. Aku tidak akan ikut campur setelah itu.”“Ikut campur pun tidak akan jadi masalah, Mas Aga. Mas Aga menyadarinya?”“Iya. Aku sadar kalau aku direkturnya. Aku bebas untuk melakukan apa pun.” Aga terdiam sesaat memikirkan resiko yang akan dia dapat tetapi sudah siap. Dia harus bisa menyelesaikannya kelak.“Mas Aga sudah lihat pemilihan anggur-anggurnya?” tanya Ben memecakan lamunan.“O, sudah. Anggur-anggurnya seka
Suara ketukan seorang pelayan di pintu kamar tidak akan membuat Aga bangun kecuali bunyi jam weker yang akan membangunkannya dari mimpi yang indah. Kring, kring, kring.“Jam berapa ini? Kenapa sudah berbunyi saja? Ini masih pagi.” Aga berusaha menggapai jam wekeryang terletak di kasur dan jauh dari gapaian tangannya.“Sini, sini kamu.” Aga tetap tidak bisa mengambil jam weker“Kena.” Aga melihat waktu pada jam weker dengan mata terbuka lebar.“Astaga sudah jam 6 pagi.” Aga melempar sembarang selimut dan jam weker. Dia berlari ke kamar mandi karena dia tidak perlu cemas dengan air panas atau handuk yang lupa dibawa. Byur, byur, byur.“Akh segar sekali.” Aga mengambil shampo dengan wangi yang disukainya. Dia membersihkan tubuhnya dan keluar dengan balutan handuk menutupi seluruh tub
“Mas Aga, apakah ada hal yang serius? Maaf jika pertanyaanku lancang.”“Tidak serius juga sih Ben. Mama hanya memberitahu jika Kakek mengundang mereka. Kamu tahulah mereka itu siapa.”“Iya, aku tahu. Mungkin Mamanya Mas Aga tidak ingin anaknya dikecualikan.”“Iya sepertinya begitu Ben.”“Aku pikir ada hal serius yang terjadi. Sekali lagi maaf untuk kelancanganku.”“Iya Ben. Tidak jadi msalah. Aku tidak bisa mengajakmu, Ben.”“Tidak papa Mas Aga.”“Ben, cari supermarket terdekat. Aku akan membeli sesuatu untuk dibawa ke rumah. Setidaknya ada yang aku bawa,” kata Aga tersenyum geli.“Aku tahu supaya Mas Aga tidak dibully lagi oleh Mos karena datang dengan tangan kosong.”“Sekarang aku tidak takut lagi dengannya. Aku akan ingat jika di dalam perusahaan tidak ada status untuk saudara atau sepupu sekalipun. Benar bukan perkataanku?”“Iya benar. Maaf jika selama ini kesannya aku membuat Mas Aga menjadi jahat.”“Tidak kok Ben.”“Aku sangat senang.”“U
“Tidak ada Mas Aga. Ada keperluan apa Mas Aga? Mungkin bisa dibantu.” Kepala departemen desain menymabut Aga dengan hangat.“A, ini aku mau memberikan ini. Aku mau membuat desain baru pada wine yang sedang aku kerjakan.”“Kalau begitu silakan masuk. Mas Aga mau minum teh?”“Tidak. Terima kasih.” Aga mengikuti kepala departemen masuk ke ruangannya. Crekkk.“Silakan duduk, Mas Aga.”“Iya. Tidak perlu repot. Aku hanya mau memberikan desain milikku. Bisa minta tolong dilihat?”“Iya, Mas Aga.” Aga melihat kepala departemen melihat desain dan tersenyum. Aga tidak tahu ini pertanda baik atau ada perbaikan dalam desain yang pasti Aga menginginkan seperti itu. Lebih lanjutnya jika ada perbaikan, Aga bisa memaklumi.“Bagaimana?” tanya Aga dengan wajah tegang.“Bagus kok Mas Aga. Hanya saja bolehkah diperbaiki sedikit dan diberikan sentuhan?”“Boleh. Silakan. Jika diperbaiki bisa memb
Aga melihat pimpinan pabrik yang berdiri tidak jauh darinya. Beliau salah tingkah setelah meyakini bahwa Aga melihatnya. Aga hanya membalas dengan senyuman dan sebaliknya.“Mas Aga senyum sama siapa?” tanya Ben melihat sekeliling.“Senyum dengan seseorang yang aku yakin dia pasti tahu.”“O.”“Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan sebelumnya?”“Iya, aku yakin Mas Aga.”“Aku tidak menyangka akan terjadi juga. Padahal aku sudah menepis akan terjadi.”“Mas Aga hanya perlu berhati-hati saja. Seseorang yang memiliki sikap berubah secepat kilatan petir tidak mungkin tidak ada maksud tersembunyi di dalamnya.”“Iya. Aku tahu itu tetapi ini Mos. Dia sepupu yang dekat denganku.”“Memang ada sepupu lain yang dekat dengan Mas Aga? Anak Pak Bimo hanya Mos.” Ben membela dengan pendapatnya.“Iya sih. Maksudku aku dekat dengan dia.”“Ini perusahaan Mas Aga. Tidak ada kedekatan atau apa pun itu. Ingat Mas Aga. Jabatan yang sudah dicapai dengan
Aga mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Dia tidak peduli dengan suara klason dari mobil lainnya karena memperingatkan untuk berhati-hati dengan kecepatan mobil. Dia hanya berpikir bagaimana cara supaya cepat sampai di pabrik. Ya pabrik lagi yang akan dikunjunginya.“Huft akhirnya sampai juga.” Aga menepikan mobil di bawah pohon yang rimbun. Dia melepas seal belt dan mengambil ponsel di jok mobil. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu pabrik yang terbuka lebar. Sayangnya tidak ada karpet yang digelar.“Selamat pagi, Mas Aga,” sapa salah seorang pekerja pabrik.“Tunggu. Aku mencari pimpinan pabrik di mana?” tanya Aga padanya.“Itu di sana, Mas Aga,” tunjuknya.“Terima kasih. Lanjutkan pekerjaanmu.”“Iya, Mas Aga.” Aga mempercepat langkah kakinya dan pimpinan pabrik menyadari jika dia sedang dicari. Hal yang sama dilakukan oleh pimpinan pabrik untuk mempercepat langkahnya. Be
“Iya, Mas Aga,” jawab pimpinan pabrik seraya berjalan menjauh dari Aga dengan tatapan tanda tanya besar di wajahnya dapat digambarkan. Ben berjalan menghampiri Aga.“Kenapa Mas Aga?” tanya Ben yang berdiri di sampingnya.“Itu pimpinan pbarik. Aku mengatakan kalau besok akan memberitahu produksi wine.”“Apakah akan diproduksi dalam jumlah banyak?”“Iya. Aku juga mau tahu reaksi masyarakat. Kita bisa ambil kembali produksi yang lama. Lalu untuk kemasan bisa bedakan sedikit atau diberi pemberitahuan. Kalau sudah memiliki rasa yang enak.”“Iya, Mas Aga. Aku akan mengatakan pada departemen desain.”“Beritahu aku dahulu. Setelah jadi desainnya.”“Iya, Mas Aga.”“Masih sore, aku mau lihat ke sana dahulu.”“Apakah aku harus ikut?”“Tentu saja, Ben.”“Iya, Mas Aga.” Mereka berdua berjalan ke tempat pemilihan anggur. Terdapat banyak pekerja baru di sana. Mereka terlihat akrab, beberapa dari mereka sudah me