“Lihat apa yang terjadi,” kata Reno menunjuk Aga yang membawa dua kantong sampah.
“Mana?” tanya Risky mengucek mata karena baru bangun tidur.“Itu Aga dengan siapa? Serius sekali kelihatannya,” kata Rafa.“Coba lihat mereka mengendarai mobil mewah dan itu keluaran terbaru,” seru Reno.“Jangan-jangan selama ini Aga bekerja dengan yang lain,” seru Rafa.“Bisa begitu,” ucap Risky.“Tunggu dahulu. Kenapa Aga diam saja?” tanya Reno membaca situasi.Aga berdiri terpaku dan diam, tanpa ada satu kata pun ke luar dari mulutnya. Dia mencari cara bagaimana ke luar dari situasi yang membuatnya sulit. Lari? Mungkin pilihan yang baik.
Di sisi lain, Aga melihat ketiga temannya sudah bangun tidur
“Sial. Seharusnya mereka belum bangun di jam ini,” gerutu Aga.
“Apa yang harus saya lakukan selain melarikan diri dari sini?” gumam Aga.Aga melihat mereka bertiga diam-diam membicarakannya. Hal biasa bagi Aga karena sudah menjadi sarapan pagi hari, setiap mereka bertiga membicarakannya.
“Mas Aga, mari pulang bersama saya,” pinta Cakra. Cakra adalah sekretaris Papanya. Dia bekerja semenjak Aga lahir sehingga tahu benar sikap dan sifat Aga. Belum lagi Cakra adalah pengganti Papa dan Mamanya setiap kali pergi keluar negeri.
“Maaf, Pak Cakra. Aku tidak bisa. Lalu untuk apa aku pulang?”“Tuan membutuhkanmu.”“Membutuhkan saya? Lalu ketika aku pergi Papa diam saja.”“Iya begitulah, Sekarang Tuan membutuhkan Mas Aga.”“Okelah aku pulang ke rumah. Selanjutnya, aku akan dijodohkan?” tanya Aga masih penasaran dengan perjodohannya.“Tidak, Mas Aga. Tuan tidak membicarakan tentang hal itu.”“Oke Papa tidak mengatakannya, tetapi Kakek.”“Ini tidak ada hubungannya dengan Tuan besar.”“Sial.”Aga berpikir bisa bernegosiasi dengan Cakra. Ternyata sulit sekali, belum lagi empat orang di belakangnya terus menatap Aga seolah ingin menangkapnya.
Aga mendengar suara ketika temannya. Mereka menggosipkannya dengan bahasa yang sedikit kasar. Dia mencoba menahan amarahnya karena bukan saat yang tepat.
“Coba lihat nomor plat mobil itu.” Rafa menunjuknya.
“Ada apa?”“Nomor itu hanya dibuat dan mobil hanya dipakai oleh Keluarga Brawijaya Group.”“Apa maksudmu Brawijaya Group?” tanya Risky penasaran.“Perusahaan wine terbesar dan terkenal di dunia. Tidak hanya itu saja. Ada rumah sakit, restoran, hotel, dan masih banyak lagi usaha yang didirikan Brawijaya Group.” Rafa menjelaskan.“Apa benar?”“Coba saja cari di internet.”Aga menahan amarahnya mendengar pembicaraan mereka bertiga termasuk menatap Cakra seolah mau menangkap dan mengikatnya.
“Kita buat kesepakatan saja, Mas Aga,” kata Cakra mencoba membujuk.
“Apakah kamu membujukku dengan membuat kesepakatan?”“Iya, Mas Aga.”“Jujur sekali kamu. Aku tidak mau membuat kesepakatan denganmu.”“Cakra bisa jamin jika Tuan tidak akan menjodohkan Mas Aga.”“Wah, wah. Aku tidak ada di rumah. Kamu sudah bisa menjamin kehidupan masa depanku.”“Sepertinya Mas Aga salah paham.”“Di bagian mana aku salah paham?”Aga melihat Cakra sulit untuk menjawabnya.
“Sudahlah. Aku tidak mau pulang dengan alasan apa pun. Jangan mencoba membujuk saya dengan alasan Mama atau Alex.” Aga mencoba memberikan peringatan.
“Cakra tidak akan membujuk dengan nama Nyonya dan Alex.”“Bagus kalau begitu. Pergilah. Aku tidak mau mereka yang ada di dalam terus melihat ke arah sini. Aku tidak nyaman.”“Baik, Mas Aga. Kami akan mundur.”Aga tidak menyangka jika Cakra semudah ini dan mudah menyerah.
“Tetapi maaf, Mas Aga. Kami tidak bisa mundur,” kata Cakra berjalan mendekati Aga.
“Wo, wo, stop.” Aga berjalan mundur dengan dua kantong sampah di kedua sisinya.“Kami tidak bisa berhenti. Kecuali Mas Aga mau ikut dengan kami.”"Tidak akan.”Trap, trap, trap.
Aga berlari dengan membawa dua kantong sampah yang dipegangnya.
“Sial, berat. Kenapa juga aku membawanya? Sebaiknya aku lemparkan pada mereka saja memperlambat mereka.” Napasnya terengah-engah.
Aga melempar dua kantong sampah ke arah mereka.
Bap.
Bap.
Brukkk.
Brukkk.
Brukkk.
Brukkk.
Dua kantong sampah membuat empat pria yang memakai pakaian hitam terjatuh.
“Aduh,” teriak salah satu dari pria yang mengejar Aga.
“Berhasil,” kata Aga tersenyum dan berlari menjauh dari mereka.Sambil berlari, Aga berpikir bagaimana cara bersembunyi dari mereka. Untung saja matahari sudah terbit, setidaknya ada rumah penduduk yang sudah dibuka pintunya.
“Semoga saja menemukan rumah dengan pintu terbuka,” gumam Aga.
“Aaa, mereka masih mengejarku,” kata Aga dengan napas terengah-engah karena jarang berolahraga. Waktunya dihabiskan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya walaupun hanya untuk makan tiga kali sehari.Aga melihat dari jauh jika salah satu rumah pelanggannya, pintu rumahnya terbuka dan lampu di depan rumahnya sudah dimatikan.
“A, di sana,” kata Aga menunjuk rumah pelanggannya.
Aga mengatur napas dan berjalan mendekati rumah tersebut, rumah yang diyakini adalah pelanggannya.
“Permisi,” sapa Aga.
“Permisi,” sapanya lagi.“Iya,” jawab pemilik rumah.Crekkk.
“O, Mas Aga. Masuk, masuk. Terima kasih pagi-pagi sekali mau ke sini.”
“Iya, Bu. Boleh aku minta segelas air putih?”“Boleh, saya ambilkan. Segelas saja?”“Iya, Bu. Segelas saja sudah cukup.”“Tidak biasanya mau ke sini. Apakah olahraga?”“I, iya, Bu. Lupa membawa air minum.”“Ini, Mas Aga. Saya buatkan jus jeruk?”“Tidak perlu, Bu. Hanya membutuhkan air putih.”“Mumpung Mas Aga ada di sini. Ibu mau tanya untuk makan pagi ini.”“Untuk sarapan pagi ini usahakan jangan makan berat. Maksudku makan ringan bukan berarti asal makan. Makanan seperti roti dengan madu bisa menjadi pilihan untuk sarapan.”“Rotinya gandum tidak papa?”"Tidak papa, Bu. Jika ada pantangan dari dokter, baru Ibu bisa mencari pilihan makanan yang lain.”“Sangat membantu sekali. Mas Aga datang ke sini.”“Iya, Bu. Sekalian sedang olahraga.”Aga mengambil gelas yang berisi air putih dan memastikan jika tidak ada suara teriakan dari luar. Bisa dipastikan jika Cakra sudah pergi dari daerah ini. Aga hanya tidak mau jika keadaannya sekarang membuat orang lain tidak nyaman. Termasuk ketiga temannya yang pasti berpikiran macam-macam tentangnya.
“Bu, permisi. Masih ada pekerjaan yang menantiku di dapur,” pamitnya.
“Terima kasih, Mas Aga.”“Sama-sama, Bu."Aga berjalan mengendap-endap. Dia hanya tidak ingin tertangkap basah. Sepertinya dia harus ke luar dari restoran dan mencari tempat yang baru.
Tempat dia dapat hidup dengan tenang tanpa ada gangguan dari Papanya. Dia berpikir jika Cakra dan keempat pria yang lain mungkin melapor pada Papanya.
Aga berjalan menuju tempat tinggal sekaligus restoran karena berada dalam satu bangunan. Dia mendapati ketiga temannya berdiri di depan restoran karena belum jam buka.
“Pangeran kita sudah pulang,” kata Rafa menyindir Aga.
“Pangeran? Mana pangerannya? Pangeran berkuda putih,” kata Risky tertawa.“Aga, kamu tidak memberitahu kami kalau kamu seorang pangeran,” kata Reno yang tertuju pada Aga.Aga diam dan berjalan ke kamarnya.
Tiba-tiba pemilik restoran menunggunya di tangga.
“Maaf Bos. Saya belum menyiapkan bahan-bahannya,” kata Aga meminta maaf.
“Tidak papa, Ga. Apa yang membuatmu tidak nyaman? Apakah mereka bertiga?” tanya pemilik restoran.“Tidak, Pak. Mereka baik-baik.” Aga berusaha menutupi apa yang sudah mereka lakukan.“Tidak usah menutupi, Ga. Saya sudah tahu apa yang mereka lakukan dan katakan padamu.”“A, aku tidak keberatan dengan mereka. Bapak juga tidak perlu khawatir.”“Saya akan tetap khawatir denganmu.”“Pak, boleh aku mengatakan sesuatu?”“Silakan, katakan saja.”“Aku mau pamit, Pak. Aku tidak bisa bekerja di sini lagi.”“Apa karena mereka bertiga?”“Bukan karena mereka,” kata Aga mencoba lagi menutupinya walaupun mereka bertiga adalah salah satu alasan.“Kamu mau pergi ke mana?”“Tidak tahu, Pak. Aku akan mencari tempat tinggal yang nyaman dan aman.”“Bapak ada teman yang membutuhkan karyawan. Apakah kamu mau bekerja di sana?”“Tidak perlu sejauh ini, Pak. Bapak banyak membantu. Aku berterima kasih.”“Bapak juga berterima kasih, Ga, semenjak ada kamu. Restoran jadi ramai. Tidak tahu nanti ketika kamu tidak ada.”“Maaf, Pak. Aku harus pergi. Aku mau mengemasi pakaian dahulu.”“Silakan. Bapak tunggu di bawah.”Aga berjalan menaiki tangga karena kamarnya berada di lantai atas sama dengan ketiga temannya. Hanya saja kamar Aga terdapat di ujung.
Aga turun dengan membawa koper. Dia berjalan menemui pemilik restoran untuk berpamitan lagi.
“Mau ke mana kamu, Aga?” tanya Rafa sinis dengan melirik Aga.
“Aku mau pergi dari sini supaya kalian nyaman bekerja tanpaku,” jawab Aga untuk terakhir kalinya.“Hei, ditanya baik-baik jawabnya ketus,” kata Rafa membalas.Aga berjalan lima langkah menemui pemilik restoran.
“Pak, aku pamit.”
“Ini, untukmu.”“Pak, tidak perlu. Bapak sudah memberikan banyak sekali.”“Tidak, tolong diterima. Hubungi Bapak jika kamu mengalami kesulitan. Bapak akan membantumu lagi.”"Aku terima ya, Pak.”“Hati-hati, Ga.”Aga ke luar dari restoran dengan langkah yang berat dan wajah yang pucat. Dia berharap bisa menemukan tempat tinggal. Tidak mungkin untuk menginap di hotel untuk saat ini.
Pluk.
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Aga tidak berani menoleh.
Aga perlahan menggerakkan lehernya. Dia berusaha menoleh dan mendapati Cakra berdiri di hadapannya.“Selamat pagi, Mas Aga.”“Hai, Pak. Kita bertemu lagi,” sapa Aga tersenyum menahan kesal.“Mari kita pulang, Mas Aga.”“Pulang? Sekarang?” tanya Aga berpura-pura polos.“Iya sekarang. Tuan sudah menunggu untuk mengajak sarapan.”“Papa bisa sarapan sendiri atau dengan Mama dan Alex. Selama ini juga tanpa ada aku,” jawab Aga membela diri.“Pagi ini Tuan ingin sarapan dengan Mas Aga.”“Aku tidak mau.” Aga terang-terangan menolak. Aga mencoba mengulur waktu untuk mencari jalan keluar, tetapi tidak ada jalan ke luar yang terlihat. Dia senyum-senyum melihat Cakra, tetapi Cakra tahu apa yang dipikirkan Aga.“Ikut saja, Mas Aga. Tidak ada jalan ke luar di sini.”“Kata siapa tidak ada jalan ke luar. Pasti ada kok. Jalan tersembunyi.” Aga mengatakannya untuk mengalihkan perhatian.“Percaya saja padaku, Mas A
Aga berjalan mengikuti Cakra yang membawa kopernya. Dia mengikuti dengan langkahnya yang berat walaupun kesempatan baginya untuk lepas dari ketiga rekannya. Namun, rasanya ada yang hilang. Kesempatan dia untuk melakukan passionnya.“Terima kasih, Mas Aga,” kata Cakra membukakan pintu mobil.“Untuk apa?”“Untuk pulang ke rumah.”“O itu. Aku hanya tidak nyaman saja dengan perkataan dan permohonan papa.”“Silakan masuk.”“Iya.” Mereka; ketiga rekan kerja Aga terkejut ketika masuk ke mobil mewah tersebut. Aga menyadari pasti akan terjadi seperti ini. Mereka tahu jika Aga bukanlah orang biasa atau mereka berpikir jika Aga banyak utang. Sepanjang perjalanan, Aga hanya diam dan menatap ke luar. Cakra yang melihatnya merasa bersalah, tetapi ini pekerjaannya. Cakra kembali fokus dengan kemudi mobil. Lagi pula, Cakra mengenal Aga lebih lama dan mengetahui kebiasaannya.“Mas Aga, mau mampir k
Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur. Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga. Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex. Crekkk.“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya. Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.“Mama,” panggil
“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun. Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral. Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini. Aga masih tetap penasaran dengan rasa ter
Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat
“Aku permisi Om,” pamit Mos pada Papa As. Papa As tidak menjawab. Saat ini beliau hanya penuh emosi. Tanpa menunggu lama, sopir pribadi membawa Mos ke pabrik dengan mobil pribadi. Sepanjang perjalanan, Mos hanya tersenyum puas. Gerak secepat menangkap nyamuk. Sesampainya di pabrik, tanpa menunggu mobil menempatkan di tempat parkir. Mos turun dari mobil lebih dahulu. Dia ingin menemui pimpinan pabrik. Satu kali melihat, Mos dengan cepat menemuka keberadaan pimpinan pabrik. Mos melambaikan tangan untuk memberi tanda memanggil pimpinan pabrik.“Mas Mos memanggilku?” tanya pimpinan pabrik.“Iya, Pak. Aga di mana?”“Mas Aga ada di sana.” Pimpinan pabrik menunjuk Aga yang berada di tempat pemilihan anggur.“Ada satu hal yang harus aku beritahu. Terkait suatu perinta dari Om As.”“Maksud Mas Mos pesan dari Pak As, papanya Mas Aga.”“Iya. Beliau ingin menyampaikan suatu hal dan beliau meng
Suara ketukan pintu kamar Aga.“Iya, aku sudah bangun. Aku akan turun.”“Iya, Mas Aga.” Pagi ini Aga Brawijaya bangun melewati waktu seperti biasanya. Dia juga sudah bangun ketika suara ketukan pintu tanda membangunkannya.“Aku ingin berolahraga tetapi rasa malas terus menghampiriku,” kata Aga melihat dirinya di cermin untuk ukuran full body. Aga masih menggunakan seragam kebesarannya yaitu pakaian untuk tidur. Dia belum memilih mandi untuk menyegarkan tubuhnya dengan wangi sabun mandi kesukaannya.“Mandi tidak ya. Aku malas sekali mau pergi ke kantor atau pabrik. Ada apa denganku hari ini? Apakah rasa malas mulai menghampiriku?” tanya Aga pada dirinya di cermin seolah dia ingin mengkoreksi.“Mandi sajalah sebelum ada suara ketukan pintu lagi.” Aga berlari kecil menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Aga menyelesaikan mandi dengan cepat. Dia keluar
“Siapa kamu?” tanya Aga memberanikan diri menoleh ke belakang.“Astaga. Kamu Ben,” teriak Aga.“Maaf, Mas Aga membuat terkejut.”“Itu tahu. Kamu kenapa berdiri di belakangku?”“Tidak papa. Aku mencari Mas Aga tidak ketemu. Aku pikir orang lain. Maaf, Mas Aga.”“Tidak papa. Kamu mencariku pasti ada yang mau kamu beritahu. Apa itu?”“Aku mau memberitahu tentang peluncuran dan desain dan nama yang baru.” Aga mengangguk.“Iya. Aku sudah tahu itu. Aku akan biarkan mereka untuk memproduksi. Aku tidak akan ikut campur setelah itu.”“Ikut campur pun tidak akan jadi masalah, Mas Aga. Mas Aga menyadarinya?”“Iya. Aku sadar kalau aku direkturnya. Aku bebas untuk melakukan apa pun.” Aga terdiam sesaat memikirkan resiko yang akan dia dapat tetapi sudah siap. Dia harus bisa menyelesaikannya kelak.“Mas Aga sudah lihat pemilihan anggur-anggurnya?” tanya Ben memecakan lamunan.“O, sudah. Anggur-anggurnya seka
Suara ketukan seorang pelayan di pintu kamar tidak akan membuat Aga bangun kecuali bunyi jam weker yang akan membangunkannya dari mimpi yang indah. Kring, kring, kring.“Jam berapa ini? Kenapa sudah berbunyi saja? Ini masih pagi.” Aga berusaha menggapai jam wekeryang terletak di kasur dan jauh dari gapaian tangannya.“Sini, sini kamu.” Aga tetap tidak bisa mengambil jam weker“Kena.” Aga melihat waktu pada jam weker dengan mata terbuka lebar.“Astaga sudah jam 6 pagi.” Aga melempar sembarang selimut dan jam weker. Dia berlari ke kamar mandi karena dia tidak perlu cemas dengan air panas atau handuk yang lupa dibawa. Byur, byur, byur.“Akh segar sekali.” Aga mengambil shampo dengan wangi yang disukainya. Dia membersihkan tubuhnya dan keluar dengan balutan handuk menutupi seluruh tub
“Mas Aga, apakah ada hal yang serius? Maaf jika pertanyaanku lancang.”“Tidak serius juga sih Ben. Mama hanya memberitahu jika Kakek mengundang mereka. Kamu tahulah mereka itu siapa.”“Iya, aku tahu. Mungkin Mamanya Mas Aga tidak ingin anaknya dikecualikan.”“Iya sepertinya begitu Ben.”“Aku pikir ada hal serius yang terjadi. Sekali lagi maaf untuk kelancanganku.”“Iya Ben. Tidak jadi msalah. Aku tidak bisa mengajakmu, Ben.”“Tidak papa Mas Aga.”“Ben, cari supermarket terdekat. Aku akan membeli sesuatu untuk dibawa ke rumah. Setidaknya ada yang aku bawa,” kata Aga tersenyum geli.“Aku tahu supaya Mas Aga tidak dibully lagi oleh Mos karena datang dengan tangan kosong.”“Sekarang aku tidak takut lagi dengannya. Aku akan ingat jika di dalam perusahaan tidak ada status untuk saudara atau sepupu sekalipun. Benar bukan perkataanku?”“Iya benar. Maaf jika selama ini kesannya aku membuat Mas Aga menjadi jahat.”“Tidak kok Ben.”“Aku sangat senang.”“U
“Tidak ada Mas Aga. Ada keperluan apa Mas Aga? Mungkin bisa dibantu.” Kepala departemen desain menymabut Aga dengan hangat.“A, ini aku mau memberikan ini. Aku mau membuat desain baru pada wine yang sedang aku kerjakan.”“Kalau begitu silakan masuk. Mas Aga mau minum teh?”“Tidak. Terima kasih.” Aga mengikuti kepala departemen masuk ke ruangannya. Crekkk.“Silakan duduk, Mas Aga.”“Iya. Tidak perlu repot. Aku hanya mau memberikan desain milikku. Bisa minta tolong dilihat?”“Iya, Mas Aga.” Aga melihat kepala departemen melihat desain dan tersenyum. Aga tidak tahu ini pertanda baik atau ada perbaikan dalam desain yang pasti Aga menginginkan seperti itu. Lebih lanjutnya jika ada perbaikan, Aga bisa memaklumi.“Bagaimana?” tanya Aga dengan wajah tegang.“Bagus kok Mas Aga. Hanya saja bolehkah diperbaiki sedikit dan diberikan sentuhan?”“Boleh. Silakan. Jika diperbaiki bisa memb
Aga melihat pimpinan pabrik yang berdiri tidak jauh darinya. Beliau salah tingkah setelah meyakini bahwa Aga melihatnya. Aga hanya membalas dengan senyuman dan sebaliknya.“Mas Aga senyum sama siapa?” tanya Ben melihat sekeliling.“Senyum dengan seseorang yang aku yakin dia pasti tahu.”“O.”“Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan sebelumnya?”“Iya, aku yakin Mas Aga.”“Aku tidak menyangka akan terjadi juga. Padahal aku sudah menepis akan terjadi.”“Mas Aga hanya perlu berhati-hati saja. Seseorang yang memiliki sikap berubah secepat kilatan petir tidak mungkin tidak ada maksud tersembunyi di dalamnya.”“Iya. Aku tahu itu tetapi ini Mos. Dia sepupu yang dekat denganku.”“Memang ada sepupu lain yang dekat dengan Mas Aga? Anak Pak Bimo hanya Mos.” Ben membela dengan pendapatnya.“Iya sih. Maksudku aku dekat dengan dia.”“Ini perusahaan Mas Aga. Tidak ada kedekatan atau apa pun itu. Ingat Mas Aga. Jabatan yang sudah dicapai dengan
Aga mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Dia tidak peduli dengan suara klason dari mobil lainnya karena memperingatkan untuk berhati-hati dengan kecepatan mobil. Dia hanya berpikir bagaimana cara supaya cepat sampai di pabrik. Ya pabrik lagi yang akan dikunjunginya.“Huft akhirnya sampai juga.” Aga menepikan mobil di bawah pohon yang rimbun. Dia melepas seal belt dan mengambil ponsel di jok mobil. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu pabrik yang terbuka lebar. Sayangnya tidak ada karpet yang digelar.“Selamat pagi, Mas Aga,” sapa salah seorang pekerja pabrik.“Tunggu. Aku mencari pimpinan pabrik di mana?” tanya Aga padanya.“Itu di sana, Mas Aga,” tunjuknya.“Terima kasih. Lanjutkan pekerjaanmu.”“Iya, Mas Aga.” Aga mempercepat langkah kakinya dan pimpinan pabrik menyadari jika dia sedang dicari. Hal yang sama dilakukan oleh pimpinan pabrik untuk mempercepat langkahnya. Be
“Iya, Mas Aga,” jawab pimpinan pabrik seraya berjalan menjauh dari Aga dengan tatapan tanda tanya besar di wajahnya dapat digambarkan. Ben berjalan menghampiri Aga.“Kenapa Mas Aga?” tanya Ben yang berdiri di sampingnya.“Itu pimpinan pbarik. Aku mengatakan kalau besok akan memberitahu produksi wine.”“Apakah akan diproduksi dalam jumlah banyak?”“Iya. Aku juga mau tahu reaksi masyarakat. Kita bisa ambil kembali produksi yang lama. Lalu untuk kemasan bisa bedakan sedikit atau diberi pemberitahuan. Kalau sudah memiliki rasa yang enak.”“Iya, Mas Aga. Aku akan mengatakan pada departemen desain.”“Beritahu aku dahulu. Setelah jadi desainnya.”“Iya, Mas Aga.”“Masih sore, aku mau lihat ke sana dahulu.”“Apakah aku harus ikut?”“Tentu saja, Ben.”“Iya, Mas Aga.” Mereka berdua berjalan ke tempat pemilihan anggur. Terdapat banyak pekerja baru di sana. Mereka terlihat akrab, beberapa dari mereka sudah me