Pukul enam pagi tepat, sebuah mobil hitam perlahan memelan lajunya dan kemudian berhenti di parkiran kosong apotek. Masih sekitar 50 meter dari sekolah. Seorang pemuda yang mengemudi mobil itu menghela napas, kemudian bersandar diam pada sandaran jok mobil.
Gadis yang duduk di sebelah kursi kemudi itu mengerjap. "Lo nggak mau nganterin gue sampe depan, El?"
"Nggak usah manja—"
"Ini masih jam enam pagi—"
"Gue bilang enggak, ya enggak." potong Ethan, pemuda itu dengan cepat. "Kita sepakat untuk nggak pernah debatin ini kan, La?"
Tanpa pikir panjang lagi, Ella, gadis itu langsung mengambil ranselnya di jok belakang. Ketika ia bersiap untuk keluar, gadis itu terdiam. Menoleh kecil.
"Gue harap suatu hari nanti, lo bakal sudi ngakuin gue sebagai adek lo, El."
Ethan diam sejenak. Tak langsung menjawab. Sampai satu sudut bibirnya naik, membuat sebuah tawa kecil. "Jangan pernah harap."
Tepat setelah jawaban itu, Ella langsung keluar. Ia turun dan membanting pintu mobil lalu berjalan ke sekolahnya. Pukul enam pagi, dingin merangkul kulit pucat gadis itu. Bahkan setelah 18 tahun hidup di dunia, Emmanuella Tiara tak pernah dapat pengakuan dari kakak kembarnya sendiri, Emmanuel Tithan.
**
"Than! Woy! Ethan!"
Teriakan itu menyeret seketika pikiran Ethan ke alam nyata. Ia menoleh, mengerjap beberapa kali, mendapati Alvi menyodorkan buku tulis fisika padanya. "Nih, katanya mau pinjem? Gue udah selesai nyalin punya Syifa."
"Oh, iya. Thanks." sambutnya pada buku itu.
Alvi yang mendapati Ethan melamun di pagi hari pun mengernyit. Ia saling tatap dengan Miko dan Joshua, heran dengan sikap aneh cowok itu.
"Mikirin apa sih, boy? Utang negara?" goda Miko menepuk pundak Ethan. Beralih dari duduk di meja Alvi menuju ke bangku di samping Ethan.
"Jauh-jauh, gih. Nanti gue ketularan gila." tepis Ethan.
Jawaban itu pun sontak mengundang umpatan kasar dari Miko. "Belagu nih si Ethan anak Sethan. Kalo gue bocorin beasiswa lo cuma hasil nyontek, kelar riwayat lo."
"Nggak pernah sering, sih. Nilai ujian murni gue juga selalu di atas lu pada," jawab Ethan santai, jujur, apa adanya, dan didasarkan fakta.
Mendengar Miko yang kalah telak, Alvi pun sontak tertawa pelan.
"Nggak usah ketawa, Pi. Tugas hasil contekan Syifa nggak usah sok." ujar Miko kesal.
"Berisik ah, kalian. Panas bener situasinya, gue nggak suka." Giliran Joshua melompat turun dari meja, kemudian menarik tangan Ethan. Sementara buku catatan fisika milik Ethan ia sodorkan pada Miko beserta dengan buku milik Syifa. "Kerjain dulu, gue mau ngomong bentar sama Ethan."
Miko kembali mengumpat kasar. Namun sudah tak ada gunanya. Joshua sudah pergi menarik tangan Ethan begitu saja. Mereka berjalan ke kantin yang tak begitu ramai, jam pelajaran pertama bahkan belum dimulai.
"Napa?" tanya Ethan.
Joshua melirik, "lo tuh dari dulu emang gak suka basa-basi, ya." ujarnya terkekeh pelan sambil membuka bungkus permen dan memakannya tanpa menawari pada Ethan. "Gue kenalan. Sama cewek."
"Dari IG?" sambar Ethan cepat, sudah hapal tabiat kawannya itu.
Joshua tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Anaknya blasteran gitu, cantik." jelasnya santai. "Gue mau lo gantiin gue jalan sama dia hari Sabtu be—"
"Lo gila, ya?" potong Ethan, cepat. "Lo mau nyariin masalah gue sama Lin—"
"Haishhh, dengerin dulu!" sambar Joshua seakan tak puas. "Kalo lo tau lo juga bakal tertarik," katanya sembari membuka salah satu laman di media sosial. Kemudian menunjukannya pada Ethan. "Liat,"
Ethan menyipit ketika Joshua menunjukkan foto gadis campuran Asia-Amerika yang nampak duduk dengan seorang cowok berseragam futsal. "Ceweknya Lingga?" kata Ethan melebarkan mata.
"Tetot, salah." Joshua menggeleng dan menurunkan ponselnya. "Bisa dibilang dia gebetannya Lingga. Lingga doang sih, yang mikir gitu. Soalnya dia cuma difriendzone sama si cewek."
Ethan mengangguk mengerti. Alisnya satu naik, mengartikan sesuatu. "Lo mau gue..."
"Ya gue nggak maksa sih, Than. Cuma gue udah agak deket sama nih cewek, tapi ya pas harinya, gue mau ke rumah sakit jenguk nenek gua." Joshua menghela napas santai kemudian tersenyum penuh arti pada Ethan. "Lo juga seneng kalo bisa bikin Lingga ketar ketir, kan." sambungnya pelan.
Ethan tertawa. "Brengsek. Iya, gue ambil. Gue berangkat Sabtu besok."
"Nah, gitu dong!" Joshua tersenyum lebar dan merangkul Ethan. Mereka berdua berjalan menuju kantin dengan langkah ringan.
**
Ella perlahan membuka mata ketika ponsel di nakas bergetar kesekian kalinya. Dengan mata masih setengah terpejam, tangannya meraba benda pipih itu dan mengangkat telepon yang masuk.
"La, lo di mana? Yang lain udah pada dateng, loh."
Mendengar suara dari ujung telepon itu, Ella seketika langsung melirik jam dinding, kalender, lalu terlonjak mengingat ini hari Sabtu jam setengah 4 sore.
"Iya, ini gue udah mau berangkat. Tunggu sebentar, ya!" dustanya turun dari kasur seketika. Ia mengambil handuk dan bergegas lari ke kamar mandi.
Tak butuh waktu lama, Ella memilih baju casual setelah mandi. Ia memoles sedikit wajahnya dengan bedak dan lip balm, menyisir rambutnya kemudian berjalan ke kamar Ethan.
"Emmanuel, bangun. Anterin gue ke—" Ella mendadak diam. Tak melanjutkan kalimatnya saat ia melihat Ethan sudah rapi di depan kaca. "Lo... mau jalan sama Linda?"
"Bukan urusan lo." jawab Ethan memasang kancing teratas bajunya. Mengambil kunci mobil, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar.
"El, mampir dulu nganterin gue ke Janji Jiwa, ya." ucap Ella berjalan menyusul Ethan.
"Ada ojol."
"Pasti lama ordernya, El."
"Bukan urusan gue, sih."
"Ah, sumpah. Lo susah banget sih cuma disuruh nganterin gue doang."
Kalimat keluhan Ella yang terakhir membuat langkah Ethan terhenti. Di ujung tangga, cowok itu diam dan berbalik. "Dengan Bunda minta gue berangkat bareng lo setiap pagi, bukan berarti gue jadi supir pribadi lo. Jangan manja. Lo makin di diemin makin nggak tau diri, ya." cerca cowok itu penuh penekanan. Lalu kembali berbalik dan beranjak.
Untuk sesaat Ella terdiam, membatu di tempat tak menduga Ethan akan mengeluarkan kata-kata sekasar itu. Ia mengepalkan tangan erat, dan mengambil napas panjang.
"Gue juga nggak pernah melihat lo sebagai supir pribadi gue, kok. Gue minta ke elo sebagai adik kakak pada umumnya." ucap Ella dengan nada agak tinggi, tahu Ethan sudah jauh menuruni tangga. "Sebagai saudara. Yang bisa diandalkan." tambahnya pelan.
Ethan pun sempat berhenti. Ia mendongak menatap Ella. Lalu tertawa pelan. "Bullshit." jawabnya lalu pergi, sebagai seorang anak laki-laki yang tak pernah kenal apa arti saudara dalam hidupnya sendiri.
18 tahun besar sabagai bagian dari keluarga Rahadi, Ethan tak pernah dianggap sebagai Ethan, kakak laki-laki, atau anak pertama. Setiap kali keluarga besar datang, atau bahkan kedua orang tua Ethan dan Ella sendiri selalu menyebut Ethan adalah versi laki-laki dari Ella.
Sebagai kembar identik beda gender, Ethan punya segala kecantikan wajah Ella pada wajahnya juga. Bulu mata yang panjang dan lentik, bibir tipis, dan rahang melengkung indah. Juga suara yang tidak terlalu dalam, padahal setelah melewati masa pubertasnya.
Sungguh, Ethan adalah Ella versi laki-laki. Tapi versi yang lebih buruk. Versi lebih cacat.
Dering bel yang ada di atas pintu kafe terdengar ketika Ethan masuk. Ia merunduk, membaca pesan dari Joshua untuk memastikan posisi gadis blasteran itu. Lantai satu pojok dekat bunga anggrek. Ethan langsung mengedarkan pandangannya. Tak butuh lama bagi manik coklatnya untuk mendapati seorang gadis duduk di sudut sana, sendirian. Namun parasnya berbeda dengan foto yang Joshua tunjukkan, membuat Ethan ragu. Namun gadis itu malah melambaikan tangan padanya. Membuat Ethan akhirnya menghampiri dan duduk di depan gadis itu, canggung. "Joanna nggak bisa datang. Jadi aku yang gantikan. Nggak papa, kan?" Ethan tersentak kecil mendengar aksen bahasa Indonesia gadis itu yang masih sangat mengambang. Berbeda dengan di foto, semua orang pun tahu gadis yang ada di depannya ini bukan blasteran. Tapi orang asing murni. "Eh, Joshua juga nggak bisa datang. Dia harus jenguk neneknya di rumah sakit. Aku Ethan." "Nggak masalah, aku sudah tahu. Joanna beri tahu aku
Ethan menyipitkan mata dari dalam mobil mendapati seorang pemuda asing ada di rumahnya, nampak berbincang dengan dua orang tua Ethan beserta Ella. Entah apa yang mereka bicarakan, namun hal itu membuat Ethan harus diam di dalam mobil selama beberapa saat. Sampai setidaknya pemuda itu kembali memakai sepatunya, lalu berpamitan pergi dengan semua orang. Ethan pun akhirnya turun dari mobilnya. Ethan masuk ke dalam rumah. Mendapati Ella yang sedang bicara pada dua orang tuanya soal pemuda tadi. Sementara Ethan melirik Ella sinis, kemudian langsung naik ke lantai dua rumah mereka. Ayah yang menyadari hal itu pun mengernyit. "Kamu bertengkar sama El?" "Eng? Oh, enggak, kok. Cuma aku bilang mau tidur sampe sore sama Kak El. Makanya dia heran liat aku pulang gini." jawab Ella berbohong. Seperti biasanya, Ethan dan Ella berpura-pura baik-baik saja di depan orang tua mereka. Ayah pun mengangguk percaya. "Oh, ya udah. Istirahat gih, sana." ujar pria itu sembari
"Ohhh, Jennifer? Dia sepupunya Joanna, sih." ujar Joshua santai sembari mengaduk mie ayamnya di kantin."Lo nggak bilang ke gue, brengsek. Gue kira yang dateng gebetannya Lingga," umpat Ethan kasar. Ia duduk bersama Joshua di tegah ramainya jam istirahat makan siang.Joshua tertawa pelan. "Tapi Jennifer juga oke, kan?"Ethan sontak memalingkan wajah, ikut tertawa pelan. "Sialan."Melihat temannya yang salah tingkah itu, sontak saja Joshua tertawa. "Kenapa? Akuin aja kali. Badannya bagus.""Iya, anjing, iya. Nggak diladenin makin ngeres lo.""Ngeres? Gue ngeres apa, coba. Gue tau kali, apa yang lo pikirin." kata Joshua menyuapkan mie ayam ke mulutnya.Ethan hanya tersenyum tipis. Berbeda dengan Joshua yang perut karet, Ethan hanya memainkan sedotan es susu cokelat miliknya. Suasana hati dan rumah yang buruk membuat nafsu makan Ethan turun drastis akhir-akhir ini. Sampai ia melihat sosok Lingga memasuki kantin, Ethan melirik pemud
"Lo liat dua cewek tadi?" "Ha?" Ella yang baru saja tiba sembari menyedot boba mengernyit melihat raut panik Ethan. "Siapa? Yang mana?" "Bule. Rambut coklat bergelombang." "Enggak, nggak tau. Nggak liat. Gue abis ngantri beli boba," jawab Ella apa adanya, sambil dua tangannya menunjukan boba brown sugar yang ia beli. Mendengar jawaban itu, Ethan bersandar pada mobil sembari menghela napas lega. Ia memegangi dadanya sembari mengambil napas panjang. Antrian boba memang cukup panjang. Kalau pun mereka berpapasan, maka seharusnya Jenn atau Joanna hanya melihat punggung Ella saja. "Besok cat rambut lo." kata Ethan masuk ke mobil. "Hah?" Ella tersentak kecil. Dan ikut masuk lewat pintu samping. "Cat rambut gimana? Gue kan masih sekolah, kena peraturan dong, El." "Terserah. Yang penting lo nggak keliatan mirip gue." jawab Ethan sembari menyalakan mesin mobil. "Lo nggak mau keliatan mirip? Ya udah, lo aja yang semir."&nbs
Bugh! Pukulan kembali mendarat di pipi kiri Ethan. Membuat dirinya yang kehilangan keseimbangan itu jatuh tersungkur ke lantai. Malam sudah semakin gelap dengan wajah Ethan yang penuh luka. Bahkan sampai sebuah darah kering di sudut bibirnya. Sementara Bunda hanya duduk diam di sofa. Menundukkan pandangan pada layar Tab seakan tak melihat atau mendengar suara anaknya dipukuli sampai jatuh. Ethan diam tak bangkit untuk beberapa saat. Membuat Ayah berjalan mendekat, menatap Ethan tajam. "Kenapa? Udah nggak kuat?" Ethan diam, tak menjawab. "Bundamu lebih capek punya anak yang nggak pernah bisa jaga adiknya." Ethan mengepalkan tangan. Benaknya sudah siap dengan segala macam jawaban, tapi Ethan tetap memilih diam. Berdebat dengan Ayah hanya akan memperburuk suasana. Apalagi sampai lebih berisik dari ini, tetangga bisa datang. Merintih atau meminta ampun juga percuma, Bunda tak akan menoleh. "Nggak ada penyesalannya?"
"Wih, preman gang mana, nih!"Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah.""Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal."Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh.""Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin.""Bentar lagi juga cerai. Liat aja.""Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."
Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak
Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **
"Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,
"Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.
Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua
Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d
"Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.
"Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa