Ethan menyipitkan mata dari dalam mobil mendapati seorang pemuda asing ada di rumahnya, nampak berbincang dengan dua orang tua Ethan beserta Ella. Entah apa yang mereka bicarakan, namun hal itu membuat Ethan harus diam di dalam mobil selama beberapa saat. Sampai setidaknya pemuda itu kembali memakai sepatunya, lalu berpamitan pergi dengan semua orang. Ethan pun akhirnya turun dari mobilnya.
Ethan masuk ke dalam rumah. Mendapati Ella yang sedang bicara pada dua orang tuanya soal pemuda tadi. Sementara Ethan melirik Ella sinis, kemudian langsung naik ke lantai dua rumah mereka.
Ayah yang menyadari hal itu pun mengernyit. "Kamu bertengkar sama El?"
"Eng? Oh, enggak, kok. Cuma aku bilang mau tidur sampe sore sama Kak El. Makanya dia heran liat aku pulang gini." jawab Ella berbohong. Seperti biasanya, Ethan dan Ella berpura-pura baik-baik saja di depan orang tua mereka.
Ayah pun mengangguk percaya. "Oh, ya udah. Istirahat gih, sana." ujar pria itu sembari menepuk pundak Ella.
Ella mengangguk dengan senyuman tipis. Ia pun beranjak pergi. Namun langkah Ella terhenti di tangga menuju ke lantai dua, di mana kamarnya dan kamar Ethan berada. Ia memperhatikan susunan anak tangga berwarna putih itu. Lalu terdiam.
Ethan pasti akan marah. Ethan pasti akan marah padanya. Ethan pun menatapnya sinis karena dia marah mendapati seseorang berkunjung ke rumah.
Ya, Ethan dan Ella sudah membicarakan soal ini. Mereka tak pernah tahu kapan salah satu dari mereka akan muncul bersamaan. Jadi untuk menghindari hal itu, tak ada teman Ethan ataupun Ella yang boleh datang ke rumah. Apalagi sampai masuk dan berbincang dengan dua orang tua mereka. Sebab Ayah dan Bunda juga tidak pernah tahu bahwa Ethan dan Ella saling menyembunyikan eksistensi satu sama lain.
Dan hari ini Ella melanggarnya. Ethan sudah pasti marah besar.
"Kenapa, Nak?" tanya Bunda mendekat.
Membuat pikiran Ella langsung kembali ke alam sadar. Ia tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Nggak papa, Bun. Aku cuma lagi inget-inget, siapa tau ada barangku yang ketinggalan di resto tadi." dustanya, lagi.
"Hm? Ditanya ke temenmu aja, coba."
"Iya, Bun. Nanti deh," jawab Ella. "Aku istirahat dulu, ya."
Bunda mengangguk ringan. Ella pun beranjak naik ke tangga menuju ke lantai dua. Dan benar saja, Ethan sudah menunggu di depan kamar Ella. Ia berdiri bersandar ke dinding sembari melipat dua tangan di depan dada.
"El—"
"Lo bener-bener nggak tau diri, ya."
Ella meneguk ludah. Firasatnya benar, Ethan sudah pasti marah.
"El, dengerin du—"
"Akhir-akhir ini lo selalu cari masalah sama gue, La. Dari minta dianterin ke depan sekolah, sampai minta dianterin nongkrong sama temen-temen lo. Kenapa, sih? Sakit otak lo?"
"Gue nggak mau cari masalah sama lo. Tapi liat saudara lain, El! Mekeka damai normal! Kenapa kita nggak pernah bisa kayak gitu!?"
"KARENA KITA KEMBAR IDENTIK, BRENGSEK!"
Ella terdiam mematung. Dirinya terkejut dibentak oleh Ethan. Pemuda itu menatap Ella tajam, menjadikan sore ini semakin emosional.
"Lo mau jadi saudara normal pada umumnya? Jangan harap, La." tegas Ethan. "Sampai gue lulus, gue nikah, bahkan gue mati pun, gue nggak mau ada orang yang tahu lo hidup sebagai saudara kembar gue."
Ella terdiam tak menjawab. Matanya melebar, diam membeku menatap Ethan tanpa jawaban.
"Semua kelakuan lo akhir-akhir ini sengaja, kan. Lo mau ngerusak masa SMA gue?"
Ella tersentak kecil. "Nggak. Nggak gitu, El. Gue kan udah bilang—"
"BULLSHIT, BULLSHIT, BULLSHIT! Bisa nggak sih lo berhenti ngomongin omong kosong!? Apa bedanya lo sama Tante Ita sekarang!?"
"NGGAK BULLSHIT KALO LO MAU PERCAYA GUE! KARENA GUE EMANG NGGAK BOHONG, EMMANUEL!"
"LO—" Ethan menahan tangannya sendiri, melayang terhenti ke udara ketika Ella nampak memejamkan mata dan hendak menahan diri dari pukulan Ethan. Ya, Ethan hampir saja kelepasan memukul Ella.
"Brengsek." umpat Ethan. Ia berbalik dan berjalan ke ke kamarnya. "Sekali lagi lo melangkah buat ngerusak masa SMA gue, gue bisa lakuin lebih, La. Gue hancurin hidup lo juga." ancam Ethan terhenti membuka pintu. "Sebagai saudara kembar. Yang saling merasaka sakit satu sama lain." sambungnya kemudian membanting pintu kamar. Hilang dibalik kayu itu. Menyisakkan Ella dan rasa sakitnya, sendirian.
**
Pagi berbeda, sakit kepala yang sama. Ethan menatap dirinya di kaca, memasangkan dasi di tengah kamar yang berantakan. Kebiasaan buruk Ethan ketika bertengkar hebat dengan Ella, merusak barang-barang yang ada.
Setelah rapi dengan seragam putih abu-abunya, Ethan keluar dari kamar. Namun ia melihat lantai dua yang rasanya sepi. Membuat Ethan mengernyit, namun memutuskan untuk langsung turun ke ruang tengah.
Namun di sana pun sama, sepi. Warnanya berbeda karena tidak ada Ella dan segala ocehan cerewetnya di pagi hari.
"Ella belum turun, Nak?" tanya Bunda sembari menyiapkan sarapan.
"Hm?" Ethan mengangkat alis, terkejut. Biasanya anak itu bangun dan siap lebih pagi. Ethan kira Ella sedang berjuang dengan sakit perut di toilet.
"Dibangunin gih, adik kamu. Nanti telat loh,"
Ethan mendengus pendek, kemudian berdiri. Tak banyak bicara, ia langsung naik kembali ke kamar Ella. Kemudian mengetuk pintu. "Heh, bangun! Lebih dari ini gue nggak ngaterin lo, ngerti?"
Namun tak ada sahutan dari sana. Tidak terdengar juga suara gaduh Ella yang bersiap-siap. Membuat Ethan semakin jengkel.
"Emanuella! Brengsek! Bangun!" ujarnya lebih keras sembari mengetuk pintu secara arogan.
Hingga terdengar sebuah suara sahutan serak, pelan.
"Gue nggak berangkat, El. Gue sakit."
Ethan terdiam mendengar itu. Ya, sore kemarin memang hujan. Ella pergi nongkrong bersama teman-temannya dengan ojek online sementara Ethan naik mobil pergi menemani Jennifer kencan. Imunitas Ella memang buruk. Lalu kalau dia kehujanan dan sekarang sakit, apa itu salahnya? Haha, lucu sekali.
Imunitas Ethan bahkan jauh lebih buruk dari Ella.
"Ella sakit, Bun." kata Ethan memberi tahu Bunda sembari berjalan turun. Kemudian ia duduk memakan sarapannya dengan tenang di depan Ayah.
"Aduh, firasat Bunda bener. Ella kena hujan sekali aja tumbang," Bunda menghela napas kemudian berjalan naik ke lantai dua. Meninggalkan suami dan anak yang sudah ia sediakan sarapan pagi ini.
Melihat Bunda yang naik ke kamar, Ethan meneguk ludah. Ah, tapi kan Ethan sudah mengunci pintu kamarnya. Sekali pun Bunda punya kunci cadangan, lalu membuka pintu kamar Ethan juga dengan entah apa tujuannya, kamar anak laki-laki kan memang normalnya lebih berantakan dari kamar perempuan. Seharusnya tak jadi masalah. Bunda hanya akan mengomel, tak menayakan apa yang terjadi.
"Mau berangkat sama Ayah, Kak?"
Tawaran Ayah menarik pikiran Ethan kembali ke alam nyata. Pemuda itu mendongak menatap Ayah, lalu menggeleng dengan senyuman tipis.
"Kamu berangkat sendiri, loh. Nggak kesepian?"
Malah lega dong nggak ada Ella, brengsek.
Ethan menahan jawaban itu dalam hati. Ia tersenyum tipis di depan ayahnya. "Aku bisa diledek temenku kalo berangkat sepagi ini. Biasanya kan nganter ke sekolah Ella dulu."
"Hm? Terus kamu mau ke mana dulu?" tanya Ayah.
"Aku? Nonton Spongebob, lah." jawab Ethan terkekeh pelan. Ia meraih remote TV dan makan sarapannya di depan alat elektronik itu.
Ayah hanya tertawa pelan melihat kelakuan anak laki-lakinya yang masih saja menonton kartun di usia 18 tahun.
Sementara itu, Ethan melirik ponselnya ketika muncul sebuah notifikasi chat.
05.50 AM
Jennifer: Gm buddy, how it is?
Dua sudut bibir Ethan sontak naik membaca nama pengirim pesan itu. Ya, kemarin ia memang sempat bertukar nomor dengan Jennifer. Mereka memutuskan untuk melanjutkan semuanya. Ethan tak berpikir lebih. Berteman dengan gadis asing seperti Jennifer sepertinya akan sangat mengasyikkan. Semoga saja Linda tidak salah paham.
Oh, tunggu, gadis itu. Pacarnya. Kapan terakhir kali mereka berangkat bersama?
"Mau ke mana, Kak?" tanya Ayah begitu melihat Ethan tiba-tiba meraih jaket dan kunci mobil.
"Berangkat. Duluan, Yah!" kata Ethan mengambil sepatu dan memakainya cepat. Tak sempat menicum tangan Ayah.
"Itu Spongebobnya belum selesai!" kata Ayah, lagi. Tapi tak dihiraukan Ethan yang sudah beranjak pergi.
"Ohhh, Jennifer? Dia sepupunya Joanna, sih." ujar Joshua santai sembari mengaduk mie ayamnya di kantin."Lo nggak bilang ke gue, brengsek. Gue kira yang dateng gebetannya Lingga," umpat Ethan kasar. Ia duduk bersama Joshua di tegah ramainya jam istirahat makan siang.Joshua tertawa pelan. "Tapi Jennifer juga oke, kan?"Ethan sontak memalingkan wajah, ikut tertawa pelan. "Sialan."Melihat temannya yang salah tingkah itu, sontak saja Joshua tertawa. "Kenapa? Akuin aja kali. Badannya bagus.""Iya, anjing, iya. Nggak diladenin makin ngeres lo.""Ngeres? Gue ngeres apa, coba. Gue tau kali, apa yang lo pikirin." kata Joshua menyuapkan mie ayam ke mulutnya.Ethan hanya tersenyum tipis. Berbeda dengan Joshua yang perut karet, Ethan hanya memainkan sedotan es susu cokelat miliknya. Suasana hati dan rumah yang buruk membuat nafsu makan Ethan turun drastis akhir-akhir ini. Sampai ia melihat sosok Lingga memasuki kantin, Ethan melirik pemud
"Lo liat dua cewek tadi?" "Ha?" Ella yang baru saja tiba sembari menyedot boba mengernyit melihat raut panik Ethan. "Siapa? Yang mana?" "Bule. Rambut coklat bergelombang." "Enggak, nggak tau. Nggak liat. Gue abis ngantri beli boba," jawab Ella apa adanya, sambil dua tangannya menunjukan boba brown sugar yang ia beli. Mendengar jawaban itu, Ethan bersandar pada mobil sembari menghela napas lega. Ia memegangi dadanya sembari mengambil napas panjang. Antrian boba memang cukup panjang. Kalau pun mereka berpapasan, maka seharusnya Jenn atau Joanna hanya melihat punggung Ella saja. "Besok cat rambut lo." kata Ethan masuk ke mobil. "Hah?" Ella tersentak kecil. Dan ikut masuk lewat pintu samping. "Cat rambut gimana? Gue kan masih sekolah, kena peraturan dong, El." "Terserah. Yang penting lo nggak keliatan mirip gue." jawab Ethan sembari menyalakan mesin mobil. "Lo nggak mau keliatan mirip? Ya udah, lo aja yang semir."&nbs
Bugh! Pukulan kembali mendarat di pipi kiri Ethan. Membuat dirinya yang kehilangan keseimbangan itu jatuh tersungkur ke lantai. Malam sudah semakin gelap dengan wajah Ethan yang penuh luka. Bahkan sampai sebuah darah kering di sudut bibirnya. Sementara Bunda hanya duduk diam di sofa. Menundukkan pandangan pada layar Tab seakan tak melihat atau mendengar suara anaknya dipukuli sampai jatuh. Ethan diam tak bangkit untuk beberapa saat. Membuat Ayah berjalan mendekat, menatap Ethan tajam. "Kenapa? Udah nggak kuat?" Ethan diam, tak menjawab. "Bundamu lebih capek punya anak yang nggak pernah bisa jaga adiknya." Ethan mengepalkan tangan. Benaknya sudah siap dengan segala macam jawaban, tapi Ethan tetap memilih diam. Berdebat dengan Ayah hanya akan memperburuk suasana. Apalagi sampai lebih berisik dari ini, tetangga bisa datang. Merintih atau meminta ampun juga percuma, Bunda tak akan menoleh. "Nggak ada penyesalannya?"
"Wih, preman gang mana, nih!"Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah.""Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal."Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh.""Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin.""Bentar lagi juga cerai. Liat aja.""Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."
Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak
Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **
"Lo pulang duluan aja. Gue udah bilang ke Bunda hari ini ada kerja kelompok di rumah temen gue." Tanpa butuh mendengar jawaban dari ujung telepon sana, Ella langsung memutus sambungan telepon. Lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket bomber. Dari sudut tersepi di sekolah, Ella pun berjalan ke parkiran. Menyambut tiga temannya yang sudah menunggu. "Yuk." "La, kita nggak bisa pesen taksi. Kalo lo naik bus sama Abian, gimana?" kata Fara agak tidak enak. "Vouchernya Fara abis. Lo biasa naik bus, kan. Hapal rutenya, dong." kata Lucy menambahi. "Bisa, kan?" "Yaaa, bisa, sih. Hapal." jawab Ella lalu beralih pada Abian. "Tapi lo gimana?" "Gue tadi pagi nebeng kakak gue ke kampus, sih. Gue nggak bawa motor. Jadi ya bareng sama lo naik bus." "Enggak. Bukan itu maksud gue," Ella menggelengkan kepalanya. "Lo nggak masalah naik bus?" "Nggak masalah. Gue nggak mabok, kok." "Hm." Ella sontak mengangkat dua alis, l
"Gue main gitar, deh. Lagu ini kayaknya cocok kalo dibawain pake gitar. Gue cobain chordnya dulu." kata Abian beranjak mengambil gitar, lalu duduk di salah satu bangku di sana.Sementara Ella terdiam di tempat mengulum bibirnya ke dalam. Merasakan perasaan aneh yang merepotkan. Ah, seharusnya sekarang tidak begini.Fara mengangguk setuju. Sebagai orang yang paling kenal musik di ruangan itu, Fara pun dipasrahkan untuk mengatur tiap bagian masing-masing. "Eh, kalau kita semua main alat musik gimana?" celetuknya tiba-tiba. "Lo kan pernah pegang kahon buat band sekolah waktu pensi, Lus. Gue pegang keyboard. Lo gimana, La?""Aish. Gue pengen pegang kahon." Ella mendengus pendek."Ella vokal aja, kali." kata Abian menyarankan."Oke, sama elo, ya. Aransemen dikit ditambahan suara bariton kayaknya cocok." jawab Fara setuju. "Pas bagian reff kalian berdua nyanyi bareng, ya."Ella meneguk ludah, agak merasa tak percaya diri. Namun mereka semua nampak
"Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,
"Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.
Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua
Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d
"Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.
"Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa