"Wih, preman gang mana, nih!"
Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah."
"Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.
Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.
Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.
Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal.
"Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh."
"Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin."
"Bentar lagi juga cerai. Liat aja."
"Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."
"Namanya juga anak broken home. Bapak brengsek anaknya juga pasti brengsek. Buah kan nggak pernah jatuh jauh dari pohonnya."
Alvi yang mendapati Ethan terdiam dengan tatapan kosong itu pun menyikut pelan Ethan. Namun pemuda itu masih diam dalam lamunannya. Sampai Alvi pun akhirnya menggebrak meja Ethan cukup keras. Hingga Ethan mengerjap tersadar.
"Ditanyain Joshua. Alasannya apa?"
"Ha?" Ethan mengangkat dua alis tinggi, tak mengerti. "Apa? Alasan apa?"
"Alasan lo bentrok." kata Miko menoyor kepala Ethan, gemas sendiri. "Makin budek ya lo diajak omong, lama-lama."
"Oh, itu," Ethan mengalihkan pandangan. "Gue lewat pas mereka lagi mabok sih, terus ketauan beach gue anak sekolah sini. Jadi ya bentrok." bohong Ethan dengan sempurna.
Alvi pun melebarkan mata. Tanpa sadar mulutnya ternganga. Ditambah dengan kehebohan Miko, Ethan terus menutupi lukanya dengan cerita bohong. Hingga tanpa sadar jarak psikis Ethan dan teman-temannya jadi semakin jauh. Tapi ia tak masalah. Sebab semua orang pun akan pergi kalau mereka tahu kisah yang sebenarnya. Kisah yang tak seharusnya orang lain dengar.
Mungkin perasaan jarak inilah yang membuat mereka tak sedekat kelihatannya. Sama seperti Ella, Ethan tak pernah tahu kapan ia akan dikhianati oleh teman-temannya itu.
**
"Pulang bareng gue ya, La."
Ella terdiam di depan pintu kelasnya. Baru selesai ia piket, di tengah lorong jurusan yang sudah sepi, Ella nampak berpikir dan ragu.
"Nggak usah, gue biasa pulang sendiri."
"Nah, makanya, kan. Dari pada lo pulang sendiri, mending bareng gue."
Ella memalingkan pandang, ia meneguk saliva berat. Seno adalah orang kedua yang mampir ke rumah setelah Abian. Ethan tidak tahu soal ini. Mereka belum sempat membicarakannya. Kemungkinan besar ia juga tidak tahu karena suara Ayah di ruang tengah waktu itu lebih besar dari suara motor Seno.
"Gue nggak langsung pulang hari ini, Sen." kilah Ella masih menghindar.
Bagaimana pun, kondisinya hari ini sudah kembali normal di rumah. Ia juga berangkat dan pulang bersama Ethan. Ella hanya ingin minggu tenang untuk mulai menyambut kesibukan ujian. Ia tidak ingin memercik sedikit pun masalah dengan Ethan yang memang sensitif.
"Oh ya? Lo mau ke mana? Cari buku buat SBM? Atau apa?"
Ella agak membelalak, ia menoleh kaget Seno bisa tahu wishlist Ella minggu ini. Bahkan saat Ethan tak pernah peduli dengan hal itu.
"Iya."
"Ya udah! Ke Gramedia, yuk!" ajak Seno bersemangat.
Ella terdiam sejenak, masih ragu. Terakhir Ella tak langsung pulang ke rumah, Ethan berakhir dipukuli oleh Ayah. Kalau dibilang Ella tidak peduli dan Ella tidak punya rasa bersalah, semua itu bohong. Ella juga memikirkan Ethan. Ella juga pedih melihat semua bekas luka dari Ayah di sekujur tubuh Ethan. Ella juga sakit. Ethan tak pernah tahu itu.
"Gimana, La?"
Pertanyaan Seno menyeret kembali pikiran Ella ke alam nyata. Ia mendongak, lalu mengangguk dengan senyuman tipis. "Yuk!"
**
03.45 PM
Ella: Gw pergi sama temen gw, lo langsung pulang aja
Ethan yang membaca pesan masuk dari Ella beberapa detik lalu itu terdiam selama beberapa saat. Lalu mendengus sembari melempar ponsel ke kursi sebelah kemudi.
Terakhir mereka tak pulang bersama karena Ethan dan Ella bertengkar. Lalu Ethan pergi menemui pacarnya dan berakhir dipukuli Ayah. Belum genap seminggu setelah kejadian itu, mengapa Ella tak pernah sedikit pun memikirkannya? Mengapa Ella tak pernah khawatir sedikit pun akan kondisi Ethan di rumah? Kenapa?
Apa Ella benar-benar berniat menyingkirkan Ethan seperti yang selalu dilakukan Tante Ita?
Sial, Ethan tak bisa berhenti berpikir buruk tentang adik kembarnya itu. Tapi kenyataannya memang begitu, kan? Apa hal baik yang ada dalam Ella selain menjadi sempurna di mata orang tuanya dan terus membuat Ethan tersingkir?
Ethan menarik napas panjang, kemudian menyandarkan diri ke sandaran kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan napas berat.
"Liat, deh. El emang cocok pake wig buat teater. Jadi lebih cantik dari Ella."
"Ella kan tomboy, ya."
"Iya ketuker. El laki-laki, tapi kayak banci."
Suara tawa menggema di kepala Ethan. Ethan yang saat itu berusia 8 tahun hanya bisa diam menatap mereka semua setelah didandani bak princess.
Mereka bilang, gender Ethan dan Ella tertukar saat dalam kandungan. Mereka bilang saat itu Ella yang lebih berani dan keras seharusnya terlahir menjadi laki-laki.
Namun sejujurnya, Ethan tahu seharusnya ia tak pernah lahir di dunia ini.
Saat hari persalinan dulu, Ethan mendengar cerita dari Tante Ita tentang kebenarannya. Bunda tidak pernah tahu kalau ia akan melahirkan anak kembar dengan dua jenis kelamin berbeda. Dari hasil pemeriksaan dulu, yang Ethan tahu Bunda hanya akan melahirkan satu anak perempuan. Memang ada kemungkinan Bunda melahirkan anak kembar, tapi tidak ada yang berpikir itu adalah Ethan. Anak kembar laki-laki mereka, versi laki-laki dari Ella, adiknya.
Karena itulah sejak kecil di rumah, lebih banyak mainan dan pernak-pernik anak perempuan. Sebab dari awal, kehadiran Ethan memang tidak pernah diharapkan.
"Eh," Ethan tersentak kecil saat menyadari ujung matanya basah. Ia terdiam sejenak di sana, memandang pantulan dirinya dari balik kaca di tengah mobil.
Ethan... menangis.
Ia benar-benar berada dalam titik stresnya di minggu-minggu terakhir ini.
"Astaga," Ethan langsung menyeka air matanya. Ia duduk menegak lalu mengambil napas panjang. Kembali bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.
Padahal Ethan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menangis. Ethan akan menjadi laki-laki sejati, seperti dalam gambaran orang-orang. Walau terkadang rasanya... begitu berat dan sakit.
Dering ponsel Ethan masuk, menandakan sebuah panggilan. Pemuda itu langsung menoleh. Kemudian mengangkat alisnya tinggi melihat panggilan masuk dari Jenn.
**
"Ella, liat, deh. Lem Aibon."
Ella menoleh. Dahinya mengernyit. "Kenapa?" sahutnya kemudian berjalan mendekat.
"Mabok, La. Ngelem." kata Seno tak berdosa. Nampak tersenyum lebar, sontak hal itu mengundang toyoran dari Ella.
"Sinting lo." kata Ella mendengus pendek. Seno hanya terkekeh pelan dan mengembalikan kaleng lem itu ke tempatnya di rak.
"Ella, pulpen!"
Ella hampir oleng ketika Seno tiba-tiba menariknya ke rak pulpen warna-warni. Bak anak kecil dengan rasa penasaran yang besar, Seno mengambil sebuah pulpen berwarna hijau kemudian menuliskan sesuatu di kertas tester.
'Seno ♥️ Ella forever'
"Sen, gila ya!" ujar Ella malu seketika langsung memukul lengan Seno. "Kayak anak SD aja lo! Parah!"
Namun Seno hanya tertawa. Ya, ia kembali tertawa. Seolah ia memang benar-benar senang berada di sekitar Ella.
"Gue ambil ini, deh. Satu." kata Seno santai. "Warna wadahnya ijo neon, tapi tintanya warna item. Bagus."
"Aduh. Iya deh, terserah. Lo nggak jadi cari buku buat SBM? Gue udah ambil." kata Ella mengganti topik, masih salah tingkah.
"Ha? Enggak." jawab Seno tegas, tapi tetap nampak santai. "Gue cuma mau pergi sama lo. Jadi itung-itung nemenin gitu."
Ella sontak terbatuk kecil. Ia memalingkan wajahnya yang terasa hangat. Dari awal pun, kehadiran Seno memang benar-benar tak baik bagi jantung Ella.
"Eh? Kenapa?" tanya Seno pura-pura bodoh, ia nampak tertawa pelan melihat tingkah Ella. Hingga ia teringat akan sesuatu. Akhirnya Seno pun mengeluarkan ponselnya dari balik jaket denim. "Nomor lo, La." kata Seno sembari memberikan benda pipih berwarna hitam itu pada Ella.
Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak
Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **
"Lo pulang duluan aja. Gue udah bilang ke Bunda hari ini ada kerja kelompok di rumah temen gue." Tanpa butuh mendengar jawaban dari ujung telepon sana, Ella langsung memutus sambungan telepon. Lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket bomber. Dari sudut tersepi di sekolah, Ella pun berjalan ke parkiran. Menyambut tiga temannya yang sudah menunggu. "Yuk." "La, kita nggak bisa pesen taksi. Kalo lo naik bus sama Abian, gimana?" kata Fara agak tidak enak. "Vouchernya Fara abis. Lo biasa naik bus, kan. Hapal rutenya, dong." kata Lucy menambahi. "Bisa, kan?" "Yaaa, bisa, sih. Hapal." jawab Ella lalu beralih pada Abian. "Tapi lo gimana?" "Gue tadi pagi nebeng kakak gue ke kampus, sih. Gue nggak bawa motor. Jadi ya bareng sama lo naik bus." "Enggak. Bukan itu maksud gue," Ella menggelengkan kepalanya. "Lo nggak masalah naik bus?" "Nggak masalah. Gue nggak mabok, kok." "Hm." Ella sontak mengangkat dua alis, l
"Gue main gitar, deh. Lagu ini kayaknya cocok kalo dibawain pake gitar. Gue cobain chordnya dulu." kata Abian beranjak mengambil gitar, lalu duduk di salah satu bangku di sana.Sementara Ella terdiam di tempat mengulum bibirnya ke dalam. Merasakan perasaan aneh yang merepotkan. Ah, seharusnya sekarang tidak begini.Fara mengangguk setuju. Sebagai orang yang paling kenal musik di ruangan itu, Fara pun dipasrahkan untuk mengatur tiap bagian masing-masing. "Eh, kalau kita semua main alat musik gimana?" celetuknya tiba-tiba. "Lo kan pernah pegang kahon buat band sekolah waktu pensi, Lus. Gue pegang keyboard. Lo gimana, La?""Aish. Gue pengen pegang kahon." Ella mendengus pendek."Ella vokal aja, kali." kata Abian menyarankan."Oke, sama elo, ya. Aransemen dikit ditambahan suara bariton kayaknya cocok." jawab Fara setuju. "Pas bagian reff kalian berdua nyanyi bareng, ya."Ella meneguk ludah, agak merasa tak percaya diri. Namun mereka semua nampak
"Bunda udah nanyain aku." "Hm?" Linda yang baru saja kembali duduk di kursi pada teras rumahnya dengan dua gelas jus jeruk itu menoleh dengan dua alis terangkat tinggi. "Soal apa?" sambungnya sembari memberikan satu gelas ke depan Ethan. "Soal kamu." kata Ethan meneguk ludah. "Kapan ke rumah." ucapnya menatap ke luar, tidak melempar tatap sedetik pun pada Linda. Raut wajah Linda pun seketika berubah. Ia duduk tegak, nampak diam selama beberapa saat dan tidak langsung menjawab. "Gimana ya, Than. Aku..." Ethan menoleh. "Bunda nggak keras, Bunda juga bukan orang yang sempurna banget. Kamu nggak usah insecure, Bunda cuma ingin kamu datang ke rumah, Lin." ucapnya berbohong pada kalimat pertama. Segala tentang keluarganya, Ethan memang tidak pernah terbuka. Jangankan sahabat dekat, Linda yang sudah 5 bulan berpacaran dengan Ethan pun tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah keluarga Rahadi. Setelah kalimat penenang
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar
"Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.
"Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,
"Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.
Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua
Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d
"Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.
"Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa