Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh.
Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri?
"Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih,"
"Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya.
Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?"
"Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang.
Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak dikenal.
'Akhirnya gue beli pulpen hari ini'
Ella sontak tersenyum, lalu menatap Seno. "Emang tadi ngga pake pulpen?"
"Engga, gacul punya temen."
"Gacul?"
"Pinjem, La. Bercanda elah."
Ella terkekeh pelan. "Emang udah punya temen?"
"Hm?" Seno tak menjawab ia justru menaruh tangannya di pucuk kepala Ella, lalu mengusapnya lembut.
Ella hanya diam. Tak mengerti maksud perlakuan Seno. Sampai pemuda itu berbalik dan berjalan terlebih dahulu ke kasir.
"Udah, yuk. Dibayar dulu." kata Seno sudah berjalan.
Ella pun mengangguk setuju. Tak berpikir lebih jauh. Laki-laki kan kebanyakan memang lebih cepat akrab dalam suatu ruang lingkup pertemanan baru.
**
Ethan tiba di rumah dengan tubuh yang lelah dan raut wajah lesu. Ia tiba di rumah ketika hari sudah semakin petang. Walau begitu, ia tidak menerima ajakan Jenn untuk pergi kemana pun. Ethan hanya menenangkan diri sejenak di minimarket.
Tiba di melewati ruang tengah, Ethan mendapati Bunda sudah duduk di sofa. Fokus dengan Tab, membaca berita di sana.
"Ella—"
"Iya. Ella udah ngabarin Bunda dia pergi cari buku sama temennya."
Ethan meneguk ludah, diam. Agak lega karena hal itu. Walau sejujurnya Ethan tak tahu Ella akan pergi mencari buku. Tapi yang penting, Bunda tidak mempermasalahkan hal itu. Ayah juga belum nampak pulang.
"Hm." Ethan mengangguk tak enak, lalu memutuskan untuk berjalan naik.
"Kamu nggak mau salim dulu?" kata Bunda membuat langkah Ethan terhenti seketika.
Bunda menoleh, maniknya melirik menatap Ethan. Lalu kembali melengos merunduk pada Tab. "Kamu selalu salahkan Ella kalau merasa tersingkir. Sedangkan attitude kamu sendiri nggak membuat kamu pantas ada di atas."
Ethan langsung mendekati ibunya. Tanpa pikir panjang lagi, Ethan mencium tangan. Walau hatinya rasanya dongkol sekali. Tapi Ethan menyembunyikan semua itu dengan wajah datar. Berakting baik-baik saja di depan orang tuanya seperti biasa.
"El masuk dulu ya, Bun." katanya pada Bunda.
Bunda tak langsung menjawab. Wanita itu nampak membenahkan gagang kaca matanya, dan kembali membaca berita. Lalu barulah terdengar jawaban.
"Sana naik."
Saya juga nggak mau lihat wajahmu di depan mata saya.
Ethan tahu, kalimat itu ditahan Bunda dalam pikirannya. Ini bukan waktunya untuk berdebat besar tanpa alasan. Bunda ingin bernapas tenang di rumah tanpa ada pertengkaran.
"Iya, Bunda." jawab Ethan lembut. Kemudian barulah ia kembali berjalan naik ke kamarnya di lantai atas.
Ethan masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di sana. Melepas lelah dan segala beban pikirannya. Tentang bagaimana Ella hidup tenang dan bisa berkumpul dengan teman-temannya tanpa kecurigaan ataupun perasaan berjarak.
Sial, Ethan benar-benar tiba di fase kehidupan di mana... dia sangat iri dengan Ella.
**
Suara deru motor yang berlalu-lalang menjadi pengisi sepi. Ella dan Seno memalingkan pandang, keduanya sama-sama menahan diri. Tahu akan ada perang yang pecah kalau sampai mereka sama-sama melangkah lebih jauh lagi dari ini.
"La—" Seno mendadak diam tak melanjutkan. "Lo bener-bener, ya. Nggak bisa dipercaya."
"Gue justru nggak tau lo berubah jadi pemaksa gini, Sen." jawab Ella menoleh sepenuhnya menatap Seno.
Seno diam, tak langsung menjawab. Ia melempar pandangan ke aspal. "Sikap keras lo itu, wah," Seno mengusap belakang kepalanya. "Kayak siapa, aja." sambungnya pelan, menyindir.
Membuat raut wajah Ella seketika berubah. Tahu siapa orang yang Seno maksud. Ia sudah bersiap untuk meledak di sana, tapi Ella kembali menahan diri. Sebab segala tentang Emmanuel Tithan Rahadi, Ella harus berhati-hati.
"Gue pulang naik ojek. Lo terserah mau ngapain." kata Ella beranjak. Tak ingin memicu perdebatan lebih besar.
"Gue udah bilang. Gue anterin lo sampe ke rumah, Ella." kata Seno menarik lengan Ella dan membuat langkahnya terhenti.
Ella menoleh. "Dan gue cuma nggak mau lo datang ke rumah, Arseno Gibran." tegasnya menatap Seno tepat.
Membuat Seno sedikit terkejut dengan hal itu. "Wah, lo, elo. Bener-bener gila." kata Seno termundur dan melepaskan genggaman di lengan Ella. "Belum apa-apa lo udah mau ngusir gue aja, La."
"Gue nggak ngusir lo, Seno. Gue cuma—"
"Gue cuma? Cuma apa?" sahut Seno cepat, nampak mulai terbawa emosi. "Lo emang nggak suka gue datang kan, La?"
"Seno lo apa sih, nuduh gue gini terus."
"Lo tersinggung karena semua tuduhan itu bener, kan, La?"
Ella ternganga kecil. Nampak tak percaya Seno terus menyudutkannya. Dan Ella sangat benci kondisi ini. Di mana ia terus dituduh tapi tak diberi kesempatan untuk bicara sama sekali.
Ella melirik sekitar. Mereka masih ada di trototar yang kini semakin ramai karena para pedagang sudah mulai buka lapak menjelang hari makin petang.
Tanpa pikir panjang, Ella langsung beranjak dari sana menuju ke sebuah pusat perbelanjaan yang tak jauh dari toko buku. Setidaknya kini ia harus menjauh dari Seno untuk menghindari pertengkaran di pinggir jalan.
Namun Seno justru turun dari motor dan berlari mengejar Ella. "La, mau lo apa sih?" tanyanya menarik tangan Ella dan membuat gadis itu berbalik secara paksa.
"Jangan maksa, Sen. Mau gue, lo jangan maksa!" katanya tegas.
Seno mendadak diam. Tak percaya Ella membentaknya di pinggir jalan begini. Hingga tanpa sadar ekspresinya berubah serius.
"Eh, itu Ella, kan?"
"Ella? Eh iya, Ella."
"Woi! Lepasin nggak!"
Seno sontak mundur ketika sepasang kekasih mendekati mereka. Ella menoleh, mendapati Fara dan pacarnya, Marvin keluar dari pusat perbelanjaan dan menghampiri. Marvin nampak garang hendak membela Ella. Namun Seno sudah mundur duluan. Ia langsung berbalik pergi dengan motornya. Meninggalkan Ella di sana dengan dua orang itu.
"Ella lo nggak papa, kan?" tanya Fara langsung memastikan kondisi Ella.
"Enggak, gue nggak papa, kok." jawabnya masih menatap Seno yang pergi dan Fara di depannya secara bergantian.
"Itu anak pindahan jurusan MIPA kan, Yang?" kata Marvin memastikan.
"Iya." kata Fara menjawab.
"Gila. Belum ada satu minggu udah problematic." kata Marvin geleng-geleng kepala, tak percaya.
Sementara Marvin dan Fara membicarakan Seno, Ella melirik pergelangan tangan dan juga lengannya. Mendapati brkas merah di sana. Seakan Ella tahu, Seno sudah berubah. Ella tak pernah mengenali Seno yang sekarang.
Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **
"Lo pulang duluan aja. Gue udah bilang ke Bunda hari ini ada kerja kelompok di rumah temen gue." Tanpa butuh mendengar jawaban dari ujung telepon sana, Ella langsung memutus sambungan telepon. Lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket bomber. Dari sudut tersepi di sekolah, Ella pun berjalan ke parkiran. Menyambut tiga temannya yang sudah menunggu. "Yuk." "La, kita nggak bisa pesen taksi. Kalo lo naik bus sama Abian, gimana?" kata Fara agak tidak enak. "Vouchernya Fara abis. Lo biasa naik bus, kan. Hapal rutenya, dong." kata Lucy menambahi. "Bisa, kan?" "Yaaa, bisa, sih. Hapal." jawab Ella lalu beralih pada Abian. "Tapi lo gimana?" "Gue tadi pagi nebeng kakak gue ke kampus, sih. Gue nggak bawa motor. Jadi ya bareng sama lo naik bus." "Enggak. Bukan itu maksud gue," Ella menggelengkan kepalanya. "Lo nggak masalah naik bus?" "Nggak masalah. Gue nggak mabok, kok." "Hm." Ella sontak mengangkat dua alis, l
"Gue main gitar, deh. Lagu ini kayaknya cocok kalo dibawain pake gitar. Gue cobain chordnya dulu." kata Abian beranjak mengambil gitar, lalu duduk di salah satu bangku di sana.Sementara Ella terdiam di tempat mengulum bibirnya ke dalam. Merasakan perasaan aneh yang merepotkan. Ah, seharusnya sekarang tidak begini.Fara mengangguk setuju. Sebagai orang yang paling kenal musik di ruangan itu, Fara pun dipasrahkan untuk mengatur tiap bagian masing-masing. "Eh, kalau kita semua main alat musik gimana?" celetuknya tiba-tiba. "Lo kan pernah pegang kahon buat band sekolah waktu pensi, Lus. Gue pegang keyboard. Lo gimana, La?""Aish. Gue pengen pegang kahon." Ella mendengus pendek."Ella vokal aja, kali." kata Abian menyarankan."Oke, sama elo, ya. Aransemen dikit ditambahan suara bariton kayaknya cocok." jawab Fara setuju. "Pas bagian reff kalian berdua nyanyi bareng, ya."Ella meneguk ludah, agak merasa tak percaya diri. Namun mereka semua nampak
"Bunda udah nanyain aku." "Hm?" Linda yang baru saja kembali duduk di kursi pada teras rumahnya dengan dua gelas jus jeruk itu menoleh dengan dua alis terangkat tinggi. "Soal apa?" sambungnya sembari memberikan satu gelas ke depan Ethan. "Soal kamu." kata Ethan meneguk ludah. "Kapan ke rumah." ucapnya menatap ke luar, tidak melempar tatap sedetik pun pada Linda. Raut wajah Linda pun seketika berubah. Ia duduk tegak, nampak diam selama beberapa saat dan tidak langsung menjawab. "Gimana ya, Than. Aku..." Ethan menoleh. "Bunda nggak keras, Bunda juga bukan orang yang sempurna banget. Kamu nggak usah insecure, Bunda cuma ingin kamu datang ke rumah, Lin." ucapnya berbohong pada kalimat pertama. Segala tentang keluarganya, Ethan memang tidak pernah terbuka. Jangankan sahabat dekat, Linda yang sudah 5 bulan berpacaran dengan Ethan pun tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah keluarga Rahadi. Setelah kalimat penenang
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar
"Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.
"Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.
"Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,
"Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.
Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua
Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d
"Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.
"Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa