Home / Fiksi Remaja / The Rahadi's / EP 05 - Meledak Di Titik Didih

Share

EP 05 - Meledak Di Titik Didih

Author: Riza Fumiko
last update Last Updated: 2021-07-19 17:50:05

"Lo liat dua cewek tadi?"

"Ha?" Ella yang baru saja tiba sembari menyedot boba mengernyit melihat raut panik Ethan. "Siapa? Yang mana?"

"Bule. Rambut coklat bergelombang."

"Enggak, nggak tau. Nggak liat. Gue abis ngantri beli boba," jawab Ella apa adanya, sambil dua tangannya menunjukan boba brown sugar yang ia beli.

Mendengar jawaban itu, Ethan bersandar pada mobil sembari menghela napas lega. Ia memegangi dadanya sembari mengambil napas panjang. Antrian boba memang cukup panjang. Kalau pun mereka berpapasan, maka seharusnya Jenn atau Joanna hanya melihat punggung Ella saja. 

"Besok cat rambut lo." kata Ethan masuk ke mobil.

"Hah?" Ella tersentak kecil. Dan ikut masuk lewat pintu samping. "Cat rambut gimana? Gue kan masih sekolah, kena peraturan dong, El."

"Terserah. Yang penting lo nggak keliatan mirip gue." jawab Ethan sembari menyalakan mesin mobil.

"Lo nggak mau keliatan mirip? Ya udah, lo aja yang semir." 

Ethan melirik. "Kenapa lo jadi nyuruh gue?"

"Ya lo sendiri kenapa ngatur-ngatur warna rambut gue?" 

Ethan dan Ella saling melempar tatapan sinis. Dua saudara kembar yang dibesarkan dengan badai, punya kepala sama-sama keras, tidak suka diatur dan tidak ingin mengalah. 

"Lo tau, La? Gue nggak pernah berharap terlahir jadi saudara kembar lo." 

"Terus lo kira gue pernah berdoa buat punya saudara kembar kayak lo?" balas Ella melepas emosi di titik didihnya. "18 tahun hidup yang lo lakuin cuma nyalahin keadaan. Lo tau? Lo itu cowok tercemen yang pernah gue kenal, Emmanuel."

Ella membuka pintu mobil, lalu keluar dengan membantingnya kasar. Ella beranjak pergi menjauh. Langkahnya mengarah ke halte bus. Sementara Ethan terdiam di tempat sembari mengepalkan tangan.

"BRENGSEK!" umpatnya sambil memukul stir.

Sementara Ella terus berjalan. Ia tidak peduli apa yang terjadi di belakang dan terus berjalan ke depan. Ella tak punya keinginan untuk menoleh. Ia memasuki halte yang sudah sepi seiring sore dan duduk sendirian di sana.

Ella merunduk. Ia memasang earphone dan memutar lagu di ponselnya. Ella merunduk untuk menyibukkan diri. Lantunan Perahu Kertas oleh Maudy Ayunda terdengar. Tak lama kemudian disusul dengan suara klakson berkali-kali.

Ella sudah muak. Itu bukan suara klakson bus, mungkin saja itu klakson Ethan. Tapi Ella sudah tidak ingin melihat wajah kakak kembarnya itu hari ini. Namun suara klakson terus menganggu Ella, sampai mau tak mau gadis itu pun mengangkat kepalanya. Lalu terdiam.

Mendapati cinta pertama sekaligus sahabat lamanya. Di sana. Di atas motor. Ekspresinya agak terkejut namun bibirnya membentuk sebuah senyuman manis yang Ella rindukan.

"Seno?"

**

Linda yang sedari tadi sudah menunggu di bangku taman itu seketika langsung berdiri ketika melihat bayang-bayang seorang pemuda berjalan mendekat padanya. Linda menatap diam di tempat. Terlihat tenang. Namun kerutan di dahinya tak bisa dibohongi ketika melihat raut wajah lemas Ethan mendekat padanya.

"Kenapa, Sayang? Kenapa?" tanya Linda.

Namun Ethan tak menjawab. Ia hanya langsung menaruh kepalanya di pundak Linda, membiarkan semua rasa lelah di pundaknya itu menguap. 

Linda terdiap sesaat. Sampai akhinya ia menghela napas, kemudian mengusap kepala Ethan lembut. "Capek? Kenapa? Masalah saingan beasiswa sama Lingga lagi?"

Ethan masih tak menjawab. Ia justru melingkarkan lengannya ke punggung Linda, lalu mendekap pacarnya itu hangat. Linda hanya diam, tersenyum tipis. Tahu sekali Ethan sedang ada di titik bekunya.

"Semester lalu kamu bisa kalahin dia, kan? Udah tenang aja, Lingga itu bukan apa-apa buat kamu kok."

Ini soal Ella.

Ethan menahan jawaban itu dalam benaknya. Hari mulai makin petang dan orang-orang semakin banyak melintasi taman ini. Membuat Ethan akhirnya termundur. "Stress banget mikirin Lingga. Mana ujian-ujian juga bentar lagi."

Linda tersenyum tipis. "Kamu udah kepikiran mau kuliah di mana?"

"ITB, mungkin. Atau aku ngambil program beasiswa keluar negeri." jawab Ethan masih pelan, lesu. "Terlalu muluk nggak, sih?"

"Enggak lah, kamu kan langganan beasiswa. Aku nggak kaget." kata Linda tenang. "Tapi ya, cuma agak kecewa aja."

"Kecewa?" Ethan mengernyit. "Kenapa?"

"Yaaa, kalo kamu ngambil beasiswa ke luar negeri, berarti kita LDR, kan?" tanya Linda masih mencoba tenang. "Kuliah di Indonesia aja belum tentu kita satu daerah. Apalagi kamu harus ngambil beasiswa ke luar. Aku, aku cuma nggak yakin bisa naggung kangen sebesar itu."

Ethan terdiam. Ia merunduk menatap Linda tanpa jawaban.

Sebut saja Ethan terlalu fokus dengan segala kompetisi dalam hidupnya. Berjuang keras dengan kepala batu untuk menggapai semua tujuan di depan mata pindah dalam genggaman. Sampai Ethan lupa bahwa akan ada orang yang selalu menunggunya untuk pulang. Ethan benar-benar lupa.

"Maaf," kata Ethan. Entah apa yang bisa ia katakan selain itu. "Nanti aku pikirin lagi."

"Joshua gimana?"

"Joshua?" 

"Hm."

Ethan menatap Linda heran. "Kamu nanyain dia?"

"Iya. Temen kamu juga, bukan orang lain, kan. Kenapa?"

"Oh iya," Ethan terkekeh pelan. Lalu menepuk keningnya sendiri. Terlalu banyak yang ia pikirkan akhir-akhir ini, sampai Linda menanyai soal orang-orang di sekitarnya saja, Ethan sudah sensitif duluan. "Joshua setauku mau ke UGM. Tapi dia udah siapin univ swasta lain kalo sampai nggak keterima, sih."

"Oh ya? Cepet, ya." puji Linda.

"Cepet?"

"Iya, cepet. Dia udah nenutin keputusan."

Ethan tidak tahu kenapa. Tapi ada air mendidih yang kembali meletup-letup dalam dirinya. Ini gila. Semakin gila. Ethan tertawa pelan dan mundur selangkah. Tak ingin Linda ikut jadi sasaran kemarahan dirinya yang memang sedang sangat emosional beberapa hari terakhir.

**

"Lo pindah? Berarti udah nggak di Surabaya lagi sekarang?"

Seno mengangkat dua alis sebagai jawaban. Sementara mulutnya itu masih dipenuhi dengan chicken pop. 

"Sekolah juga pindah? Pindah ke mana?"

Seno tak langsung menjawab. Ia nampak mengunyah chicken pop di mulutnya, menunggu sampai makanan itu turun terlebih dulu. "Jangan kaget tapi," Seno mengelap saus sambal di sudut bibir Ella. "Gue satu sekolah sama elo."

"Hah? Serius?" Ella melebarkan mata seketika.

"Hm. Gue udah ngurus berkas tadi pagi, sekitar jam delapan. Terus gue liat nama lo ada di absen kelas MIPA 3." jawab Seno sembari menyuapkan chicken pop ke mulutnya kembali. "Gue satu jurusan sama elo."

"Hah serius? MIPA berapa?" 

"MIPA 1."

"Woah," Ella meneguk ludah. Terkejut dengan jawaban Seno. 

Di sekolah Ella, murid masuk ke kelas sesuai dengan nilai ujiannya. Tentu ada ujian lagi sebelum penentuan kelas, isi raport pun juga dinilai. Namun setahu Ella, Seno dulu tidak sepintar itu untuk masuk ke MIPA 1. Tapi yah, semua orang berubah, kan. Apalagi ini sudah bertahun-tahun mereka tak bertemu.

"Bagus. Kelas unggulan. Urut satu, lagi. Gila." pujinya sembari mengangguk-anggukkan kepala, antara bangga, iri, dan masih terkejut juga.

Seno tersenyum tipis. "Lo udah punya pacar, La?"

Ella seketika terdiam. Ia agak membelalak, tak siap ditanya begitu. 

Gue nungguin elo selama ini, Sen.

Ella meneguk saliva. Menahan jawaban itu hanya dalam kepalanya. Ella memalingkan wajah, lalu berdeham kecil. "Belum." ujarnya singkat. "Lo sendiri?"

"Belum juga, sama." Seno tertawa pelan. "Emang kita itu best friend goals banget nggak, sih? Gini aja kompak."

Ella ikut tertawa, tawa palsu. Jujur ia agak kecewa kalau Seno hanya menganggapnya teman. Bahkan ketika perasaan Ella amat sangat meledak setelah tidak bertemu Seno  beberapa tahun belakangan. Seno juga jadi orang yang membuat Ella mengunci hatinya rapat, tidak bisa menerima orang lain. Bahkan hingga detik ini.

Dan Seno memperjelas bahwa mereka hanya teman. Lucu sekali.

"Gue kangen sama lo, La."

Ella yang tadinya hendak meraih cola seketika menyemburkan minumannya. Ia terbatuk kecil, membuat Seno terkejut dan langsung memberikannya tissu. 

"Pelan-pelan, nih tissu." kata Seno maju mendekat. "Minum dulu, minum." sambung Seno memberikan minuman lemon teanya.

Ella menerima tissu pemberian Seno. Ia mundur dan mencoba menenangkan dirinya sendiri. Sementara Seno menatap Ella seksama, membuat Ella kembali meneguk salivanya berat.

Kehadiran Seno benar-benar membuat jantung Ella tidak aman.

Related chapters

  • The Rahadi's   EP 06 - Cinta Pertama

    Bugh! Pukulan kembali mendarat di pipi kiri Ethan. Membuat dirinya yang kehilangan keseimbangan itu jatuh tersungkur ke lantai. Malam sudah semakin gelap dengan wajah Ethan yang penuh luka. Bahkan sampai sebuah darah kering di sudut bibirnya. Sementara Bunda hanya duduk diam di sofa. Menundukkan pandangan pada layar Tab seakan tak melihat atau mendengar suara anaknya dipukuli sampai jatuh. Ethan diam tak bangkit untuk beberapa saat. Membuat Ayah berjalan mendekat, menatap Ethan tajam. "Kenapa? Udah nggak kuat?" Ethan diam, tak menjawab. "Bundamu lebih capek punya anak yang nggak pernah bisa jaga adiknya." Ethan mengepalkan tangan. Benaknya sudah siap dengan segala macam jawaban, tapi Ethan tetap memilih diam. Berdebat dengan Ayah hanya akan memperburuk suasana. Apalagi sampai lebih berisik dari ini, tetangga bisa datang. Merintih atau meminta ampun juga percuma, Bunda tak akan menoleh. "Nggak ada penyesalannya?"

    Last Updated : 2021-07-20
  • The Rahadi's   EP 07 - Dua Cerita Berbeda

    "Wih, preman gang mana, nih!"Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah.""Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal."Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh.""Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin.""Bentar lagi juga cerai. Liat aja.""Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."

    Last Updated : 2021-07-21
  • The Rahadi's   EP 08 - Luka Yang Dilupakan

    Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak

    Last Updated : 2021-07-22
  • The Rahadi's   EP 09 - Kencan (2)

    Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **

    Last Updated : 2021-07-23
  • The Rahadi's   EP 10 - Kerja Kelompok

    "Lo pulang duluan aja. Gue udah bilang ke Bunda hari ini ada kerja kelompok di rumah temen gue." Tanpa butuh mendengar jawaban dari ujung telepon sana, Ella langsung memutus sambungan telepon. Lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket bomber. Dari sudut tersepi di sekolah, Ella pun berjalan ke parkiran. Menyambut tiga temannya yang sudah menunggu. "Yuk." "La, kita nggak bisa pesen taksi. Kalo lo naik bus sama Abian, gimana?" kata Fara agak tidak enak. "Vouchernya Fara abis. Lo biasa naik bus, kan. Hapal rutenya, dong." kata Lucy menambahi. "Bisa, kan?" "Yaaa, bisa, sih. Hapal." jawab Ella lalu beralih pada Abian. "Tapi lo gimana?" "Gue tadi pagi nebeng kakak gue ke kampus, sih. Gue nggak bawa motor. Jadi ya bareng sama lo naik bus." "Enggak. Bukan itu maksud gue," Ella menggelengkan kepalanya. "Lo nggak masalah naik bus?" "Nggak masalah. Gue nggak mabok, kok." "Hm." Ella sontak mengangkat dua alis, l

    Last Updated : 2021-07-25
  • The Rahadi's   EP 11 - Antara Mimpi dan Nyata

    "Gue main gitar, deh. Lagu ini kayaknya cocok kalo dibawain pake gitar. Gue cobain chordnya dulu." kata Abian beranjak mengambil gitar, lalu duduk di salah satu bangku di sana.Sementara Ella terdiam di tempat mengulum bibirnya ke dalam. Merasakan perasaan aneh yang merepotkan. Ah, seharusnya sekarang tidak begini.Fara mengangguk setuju. Sebagai orang yang paling kenal musik di ruangan itu, Fara pun dipasrahkan untuk mengatur tiap bagian masing-masing. "Eh, kalau kita semua main alat musik gimana?" celetuknya tiba-tiba. "Lo kan pernah pegang kahon buat band sekolah waktu pensi, Lus. Gue pegang keyboard. Lo gimana, La?""Aish. Gue pengen pegang kahon." Ella mendengus pendek."Ella vokal aja, kali." kata Abian menyarankan."Oke, sama elo, ya. Aransemen dikit ditambahan suara bariton kayaknya cocok." jawab Fara setuju. "Pas bagian reff kalian berdua nyanyi bareng, ya."Ella meneguk ludah, agak merasa tak percaya diri. Namun mereka semua nampak

    Last Updated : 2021-07-27
  • The Rahadi's   EP 12 - Kejutan Tak Terduga

    "Bunda udah nanyain aku." "Hm?" Linda yang baru saja kembali duduk di kursi pada teras rumahnya dengan dua gelas jus jeruk itu menoleh dengan dua alis terangkat tinggi. "Soal apa?" sambungnya sembari memberikan satu gelas ke depan Ethan. "Soal kamu." kata Ethan meneguk ludah. "Kapan ke rumah." ucapnya menatap ke luar, tidak melempar tatap sedetik pun pada Linda. Raut wajah Linda pun seketika berubah. Ia duduk tegak, nampak diam selama beberapa saat dan tidak langsung menjawab. "Gimana ya, Than. Aku..." Ethan menoleh. "Bunda nggak keras, Bunda juga bukan orang yang sempurna banget. Kamu nggak usah insecure, Bunda cuma ingin kamu datang ke rumah, Lin." ucapnya berbohong pada kalimat pertama. Segala tentang keluarganya, Ethan memang tidak pernah terbuka. Jangankan sahabat dekat, Linda yang sudah 5 bulan berpacaran dengan Ethan pun tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah keluarga Rahadi. Setelah kalimat penenang

    Last Updated : 2021-07-28
  • The Rahadi's   EP 13 - Nama Yang Sudah Lama Mati

    "Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa

    Last Updated : 2021-07-29

Latest chapter

  • The Rahadi's   EP 21 - Seseorang Yang Muak

    "Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah

  • The Rahadi's   EP 20 - Kecurigaan

    Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,

  • The Rahadi's   EP 19 - Mata Pisau

    "Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.

  • The Rahadi's   EP 18 - Bunga Yang Hancur

    Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua

  • The Rahadi's   EP 17 - Pecah

    Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d

  • The Rahadi's   EP 16 - Rahadis

    "Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.

  • The Rahadi's   EP 15 - Overthiking

    "Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.

  • The Rahadi's   EP 14 - Pemenang

    "Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar

  • The Rahadi's   EP 13 - Nama Yang Sudah Lama Mati

    "Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa

DMCA.com Protection Status