"Ohhh, Jennifer? Dia sepupunya Joanna, sih." ujar Joshua santai sembari mengaduk mie ayamnya di kantin.
"Lo nggak bilang ke gue, brengsek. Gue kira yang dateng gebetannya Lingga," umpat Ethan kasar. Ia duduk bersama Joshua di tegah ramainya jam istirahat makan siang.
Joshua tertawa pelan. "Tapi Jennifer juga oke, kan?"
Ethan sontak memalingkan wajah, ikut tertawa pelan. "Sialan."
Melihat temannya yang salah tingkah itu, sontak saja Joshua tertawa. "Kenapa? Akuin aja kali. Badannya bagus."
"Iya, anjing, iya. Nggak diladenin makin ngeres lo."
"Ngeres? Gue ngeres apa, coba. Gue tau kali, apa yang lo pikirin." kata Joshua menyuapkan mie ayam ke mulutnya.
Ethan hanya tersenyum tipis. Berbeda dengan Joshua yang perut karet, Ethan hanya memainkan sedotan es susu cokelat miliknya. Suasana hati dan rumah yang buruk membuat nafsu makan Ethan turun drastis akhir-akhir ini. Sampai ia melihat sosok Lingga memasuki kantin, Ethan melirik pemuda itu diam.
Raut wajah Lingga sedang suram. Dan memang itu yang Ethan mau. Bukan melihat Lingga dengan senyum lebarnya itu bergaul ke sana kemari dengan teman banyak.
"Kenapa? Mikirin rencana apa?" tanya Joshua yang menyadari tatapan Ethan.
Ethan hanya tertawa pelan. Lalu memalingkan pandangan. "Lo bener-bener punya telepati sama otak gue, ya."
"Elah, namanya juga temen, Than. Gue kan nggak kenal lo dari F*."
Ethan kembali tertawa. Kali ini ia merunduk menatap es susu cokelatnya. Ethan memandang pantulan dirinya dari sana, kemudian tersenyum menyeringai.
Ethan sudah memikirkan bagaimana ia akan menjadikan Jennifer sebagai batu loncatan untuk mendekati Joanna. Lalu merayu Joanna agar menyuruh Lingga untuk mengikuti turnamen futsal semester ini. Agar fokus Lingga dari program beasiswa teralihkan. Dan dengan begitu nama Ethan akan jadi kandidat paling kuat yang bertahan di sana.
"Lo masih serius mau nyingkirin Lingga?" tanya Joshua, seakan bisa membaca pikiran Ethan dan segala akalnya itu.
"Serius, lah. Kalo udah jadi ACE di futsal ya futsal aja. Nggak usah ngurusin program beasiswa segala. Bikin repot aja,"
"Ck, bokap lo kan orang mampu, tiap hari lo bawanya mobil. Nggak usah segitunya ngejar beasiswa kali, Than. Kasian mereka yang ngerjar beasiswa emang karena nggak mampu."
Ethan sontak tertawa. "Gue juga nggak mampu."
Nggak mampu dapet pengakuan di keluarga gue sendiri.
Joshua mengernyit ketika Ethan meneguk es susu cokelat dengan tenangnya. Joshua tak pernah tahu. Hidup bagi Ethan adalah kompetisi. Bahkan sejak lahir, ia harus berjuang mendapatkan perhatian orang tuanya.
Bagi Ethan, yang menyenangkan dari sebuah kompetisi bukan persaingannya. Tapi bagaimana menjatuhkan lawan dalam diam, bahkan tanpa pergerakan. Ethan menyukai itu. Raut kecewa di wajah mereka, Ethan sangat menikmatinya. Perasaan hilang harapan dan putus asa itu, Ethan ingin orang lain merasakannya sampai ke tulang.
**
Sudah terhitung 3 hari sejak Abian mampir ke rumah. Dan ini hari pertama Ella kembali masuk sekolah setelah absen satu hari. Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, Ella baru bisa memalingkan pandangan dari punggung Abian yang duduk di bangku deret depan.
"Mata lo ke sana mulu, kayaknya." tegur Lucy menyikut Ella pelan sembari mengaitkan ranselnya ke pundak.
Ella pun tersentak kecil. Ia mengejap tersadar beberapa kali. Mengingat pikirannya memang agak kacau beberapa hari terakhir.
Kalau dibilang khawatir, Ella khawatir. Sisi itu yang tak pernah Ethan lihat. Ethan hanya terus menganggap Ella menyambut kehadiran Abian di rumah. Ethan tak pernah tahu Ella juga khawatir Abian melihat Ethan. Selama sakit juga Ella berpikir bahwa Abian sudah menyebarkan tentang kehadiran saudara kembar Ella, Ethan. Namun melihat suasana kelas yang kondusif begini, Ella jadi ragu dengan segala tuduhannya.
"Abian bilang sesuatu nggak, pas gue nggak masuk?" tanya Ella.
"Nggak. Nggak ada apa-apa, sih. Kenapa emang?" tanya Lucy balik.
"Dibaperin kan lo sama Abian. Terus kepikiran, aaa." goda Fara tersenyum jahil. "Abian belum bilang apa-apa, sih. Belum bilang lo cakep, atau nanyain elo. Tapi tunggu waktu aja, nanti matanya Abian juga sadar kalo lo emang secantik itu."
"Fara apaan, sih." balas Ella risih.
Namun Fara hanya menaggapi dengan kekehan ringan, Lucy pun juga. Membuat Ella merotasikan mata malas. Ketika mereka beranjak keluar dari kelas, Ella tak sengaja menyenggol lengan Abian. Membuatnya refleks meminta maaf, namun Abian hanya merespons santai. Menjadikan Fara dan Lucy heboh.
Ella semakin risih. Ia mendengus pendek dan berjalan mendahului dua temannya. Yang lalu disusul dengan heboh.
18 tahun hidup, Ella tidak pernah pacaran. Lucu memang. Tapi dia menghindari segala macam kisah cinta dan segala yang menyebabkannya. Bukan sekali dua kali Ella menerima pernyataan cinta sejak duduk di bangku SMA, tapi tidak ada yang Ella terima. Banyak rumor beredar bahwa Ella lesbian, tapi Ella tak mendengarkan semua itu. Ella tetap menjaga jarak dari semua laki-laki di sekolah. Demi menghindari drama dan segala perasaan menyebalkan yang tidak Ella inginkan.
Orientasi seksual? Bukan. Ethan? Entahlah.
Yang jelas, Ella melakukan ini bukan untuk sesiapa, melainkan untuk dirinya sendiri. Kalau didengar memang lucu. Ella belum bisa melupakan seseorang yang ia cintai semasa SD. Agak mustahil dan menggelikan. Namun ini yang terjadi. Ella hanya mencoba jujur pada dirinya sendiri ketimbang menjalin hubungan dengan perasaan yang dipalsukan.
Sebab sudah terlalu banyak yang ia palsukan di hidupnya, bukan?
**
"Ethan?"
Ethan melebarkan mata. Tubuhnya membeku melihat Jenn yang ada di depannya. Ini daerah sekolah Ella, dan ada Jenn. Mimpi buruk.
"Kamu... ngapain di sini?"
"Aku? Aku jemput Joanna, dia sekolah di sini." jawab Jennifer menunjuk sekolah elite khusus perempuan di depan sekolah Ella. "Kamu sendiri?"
"Aku— eum, ah, aku beli obat batuk." bohong Ethan sebisanya. Toh, ia ada di parkiran apotek, akan masuk akal, bukan. "Kemarin setelah kita pergi hujan, kan. Aku, aku, agak demam. Uhuk," sambungnya memalingkan wajah.
Jenn mengangkat satu alis, heran. Namun pada akhirnya ia mengangguk. Hingga tak lama kemudian seorang gadis keluar dari apotek dan mendepati Jenn.
"I'm done. Let's go." katanya merangkul lengan Jenn. Namun beralih pada Ethan, dan menatap Jenn bergantian. "Ini... who?"
"Joshua's friend. Yang gantikan hari Sabtu lalu." kata Jenn menjelaskan. "Than, ini Joanna. My cousin, yang aku bilang waktu itu."
"Oh, iya." Ethan mengangguk canggung. Lalu mengulurkan tangan. "Ethan."
"Joanna." jawabnya menyambut jabatan tangan Ethan. "Maaf, ya. Waktu itu gue nggak bisa datang. Ya lo tau lah—"
"Iya. Gak papa, santai." kata Ethan tersenyum canggung. Perasaannya tidak enak setelah melihat dua test pack dari kantong plastik putih apotek yang dibawa Joanna.
Ah, tidak. Seharusnya tidak ada yang perlu dikejutkan, bukan. Mereka ini dua gadis dari budaya yang berbeda. Ethan tak perlu jadi norak dan canggung begini. Seperti ini adalah hal tabu yang masih sangat baru baginya.
"Gue duluan deh, ya. Salam buat Joshua." pamit Joanna.
"Iya, hati-hati."
Joanna dan Jennifer pun beranjak pergi dari sana. Mereka menyeberang jalan dan masuk ke mobil yang terparkir di sana. Ethan hanya menatap dua gadis itu dari ujung jalan sampai mereka benar-benar pergi.
Sementara itu, Jenn di kursi kemudi tersenyum tipis.
"Kenapa?" tanya Joanna menyadari hal itu. "You like him?"
Jenn terkekeh pelan. "Menurutmu?" tanyanya balik. "Aku sudah buat keputusan, Jo."
"Untuk?" Joanna mengernyit melihat senyuman di bibir Jenn, apalagi gadis itu juga tak langsung menjawab. Nampak bermain-main. "Liburan musim panas... diperpanjang?"
Lampu lalu lintas menyala merah. Jenn menghentikan mobil tepat di belakang zebra cross, lalu ia menoleh dan menatap Joanna lurus. "Aku pindah ke Indonesia."
"Lo liat dua cewek tadi?" "Ha?" Ella yang baru saja tiba sembari menyedot boba mengernyit melihat raut panik Ethan. "Siapa? Yang mana?" "Bule. Rambut coklat bergelombang." "Enggak, nggak tau. Nggak liat. Gue abis ngantri beli boba," jawab Ella apa adanya, sambil dua tangannya menunjukan boba brown sugar yang ia beli. Mendengar jawaban itu, Ethan bersandar pada mobil sembari menghela napas lega. Ia memegangi dadanya sembari mengambil napas panjang. Antrian boba memang cukup panjang. Kalau pun mereka berpapasan, maka seharusnya Jenn atau Joanna hanya melihat punggung Ella saja. "Besok cat rambut lo." kata Ethan masuk ke mobil. "Hah?" Ella tersentak kecil. Dan ikut masuk lewat pintu samping. "Cat rambut gimana? Gue kan masih sekolah, kena peraturan dong, El." "Terserah. Yang penting lo nggak keliatan mirip gue." jawab Ethan sembari menyalakan mesin mobil. "Lo nggak mau keliatan mirip? Ya udah, lo aja yang semir."&nbs
Bugh! Pukulan kembali mendarat di pipi kiri Ethan. Membuat dirinya yang kehilangan keseimbangan itu jatuh tersungkur ke lantai. Malam sudah semakin gelap dengan wajah Ethan yang penuh luka. Bahkan sampai sebuah darah kering di sudut bibirnya. Sementara Bunda hanya duduk diam di sofa. Menundukkan pandangan pada layar Tab seakan tak melihat atau mendengar suara anaknya dipukuli sampai jatuh. Ethan diam tak bangkit untuk beberapa saat. Membuat Ayah berjalan mendekat, menatap Ethan tajam. "Kenapa? Udah nggak kuat?" Ethan diam, tak menjawab. "Bundamu lebih capek punya anak yang nggak pernah bisa jaga adiknya." Ethan mengepalkan tangan. Benaknya sudah siap dengan segala macam jawaban, tapi Ethan tetap memilih diam. Berdebat dengan Ayah hanya akan memperburuk suasana. Apalagi sampai lebih berisik dari ini, tetangga bisa datang. Merintih atau meminta ampun juga percuma, Bunda tak akan menoleh. "Nggak ada penyesalannya?"
"Wih, preman gang mana, nih!"Ethan melirik kehebohan Miko atas bekas luka di sekujur wajahnya dengan tatapan sinis, lalu mendengus pendek. "Anak SMA depan, biasalah.""Dasar Ethan anak Sethan. Udah kelas 12 masih aja mau berkuasa dia," goda Miko semakin menjadi.Ethan tak menanggapi dan hanya melengos.Baginya, mengaku dipukuli preman atau bertengkar dengan anak sekolah lain lebih masuk akal ketimbang harus jujur kalau ia dipukuli Ayah.Bukan masalah keterbukaan, tapi Ethan sudah berpengalaman dengan hal yang seperti itu. Tidak ada teman yang benar- benar menerima ceritanya. Mereka hanya akan berpura-pura peduli, lalu membicarakan segala keburukan itu di belakangnya. Belum lagi ditambahi rumor-rumor tak masuk akal."Lo tau? Wajahnya Ethan kayak begitu katanya dipukulin sama bapaknya, loh.""Wah, jangan-jangan istrinya juga dipukulin.""Bentar lagi juga cerai. Liat aja.""Nggak heran kalau El nanti jadi ikut kasar juga."
Ella mematung melihat Seno menyodorkan benda pipih itu. Walau menjaga jarak dengan para laki-laki, Ella tahu ke mana arah hubungan mereka setelah ini. Ella sadar betul, memang ini yang dia mau. Tapi entah kenapa rasanya aneh. Atau hanya harapan Ella yang terlalu percaya diri? "Ah, iya." Ella mengerjap dengan sendirinya kemudian meraih ponsel Seno dan memasukkan nomornya sebagai kontak baru di sana. "Nih," "Okay, nice." Seno tersenyum tipis menerima kembali ponselnya. Ella meneguk ludah. Agak menahan diri bertanya melihat Seno sibuk merunduk dengan layar ponselnya. Tapi rasa itu benar-benar tak bisa Ella bendung. "Lock screen HP lo... foto kelas kita waktu karya wisata SD?" "Hm? Iya." Jawab Seno mendongak. Ia memasukkan ponsel kembali ke saku jaket denimnya setelah nampak mengirim pesan pada seseorang. Dalam hitungan menit, denting notifikasi dari ponsel Ella terdengar. Ia pun segera mengeceknya, dan mendapati pesan masuk dari nomor tak
Minggu pagi, Ella membantu Bunda memotong wortel di dapur. Sajian untuk sarapan sudah selesai, namun Ella ingin menyiapkan sedikit untuk maka siang nanti, juga. "Kak El dibanguinin, sayang. Sama Ayah juga. Suruh turun sarapan, ya." kata Bunda lembut pada Ella. Ella mengangguk patuh. Ia pun berjalan menuju kamar Ayah. Namun belum berapa langkah Ella hendak meninggalkan dapur, Bunda memanggil. "Ella, tangan kamu kenapa, Nak?" kata Bunda mendekat dengan kerutan di dahi. "Kok merah begini?" "Oh, ini," Ella meneguk ludah, memikirkan karangan cerita dengan cepat. "Kepentok tangga di sekolah. Waktu mau upacara kan rame, aku nggak hati-hati." "Ya ampun, kok gitu sih." Bunda menghela napas berat. "Tapi nggak sakit, kan? Atau sakit dipegang begini?" Ella meringis. Menahan rintihan saat Bunda menekan tangannya. "Enggak kok, Bunda." bohongnya. "Aku manggil Ayah sama Kak El dulu." kata Ella bergegas pergi. **
"Lo pulang duluan aja. Gue udah bilang ke Bunda hari ini ada kerja kelompok di rumah temen gue." Tanpa butuh mendengar jawaban dari ujung telepon sana, Ella langsung memutus sambungan telepon. Lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket bomber. Dari sudut tersepi di sekolah, Ella pun berjalan ke parkiran. Menyambut tiga temannya yang sudah menunggu. "Yuk." "La, kita nggak bisa pesen taksi. Kalo lo naik bus sama Abian, gimana?" kata Fara agak tidak enak. "Vouchernya Fara abis. Lo biasa naik bus, kan. Hapal rutenya, dong." kata Lucy menambahi. "Bisa, kan?" "Yaaa, bisa, sih. Hapal." jawab Ella lalu beralih pada Abian. "Tapi lo gimana?" "Gue tadi pagi nebeng kakak gue ke kampus, sih. Gue nggak bawa motor. Jadi ya bareng sama lo naik bus." "Enggak. Bukan itu maksud gue," Ella menggelengkan kepalanya. "Lo nggak masalah naik bus?" "Nggak masalah. Gue nggak mabok, kok." "Hm." Ella sontak mengangkat dua alis, l
"Gue main gitar, deh. Lagu ini kayaknya cocok kalo dibawain pake gitar. Gue cobain chordnya dulu." kata Abian beranjak mengambil gitar, lalu duduk di salah satu bangku di sana.Sementara Ella terdiam di tempat mengulum bibirnya ke dalam. Merasakan perasaan aneh yang merepotkan. Ah, seharusnya sekarang tidak begini.Fara mengangguk setuju. Sebagai orang yang paling kenal musik di ruangan itu, Fara pun dipasrahkan untuk mengatur tiap bagian masing-masing. "Eh, kalau kita semua main alat musik gimana?" celetuknya tiba-tiba. "Lo kan pernah pegang kahon buat band sekolah waktu pensi, Lus. Gue pegang keyboard. Lo gimana, La?""Aish. Gue pengen pegang kahon." Ella mendengus pendek."Ella vokal aja, kali." kata Abian menyarankan."Oke, sama elo, ya. Aransemen dikit ditambahan suara bariton kayaknya cocok." jawab Fara setuju. "Pas bagian reff kalian berdua nyanyi bareng, ya."Ella meneguk ludah, agak merasa tak percaya diri. Namun mereka semua nampak
"Bunda udah nanyain aku." "Hm?" Linda yang baru saja kembali duduk di kursi pada teras rumahnya dengan dua gelas jus jeruk itu menoleh dengan dua alis terangkat tinggi. "Soal apa?" sambungnya sembari memberikan satu gelas ke depan Ethan. "Soal kamu." kata Ethan meneguk ludah. "Kapan ke rumah." ucapnya menatap ke luar, tidak melempar tatap sedetik pun pada Linda. Raut wajah Linda pun seketika berubah. Ia duduk tegak, nampak diam selama beberapa saat dan tidak langsung menjawab. "Gimana ya, Than. Aku..." Ethan menoleh. "Bunda nggak keras, Bunda juga bukan orang yang sempurna banget. Kamu nggak usah insecure, Bunda cuma ingin kamu datang ke rumah, Lin." ucapnya berbohong pada kalimat pertama. Segala tentang keluarganya, Ethan memang tidak pernah terbuka. Jangankan sahabat dekat, Linda yang sudah 5 bulan berpacaran dengan Ethan pun tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah keluarga Rahadi. Setelah kalimat penenang
"Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,
"Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.
Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua
Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d
"Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.
"Kita keluar sekarang. Tunjukin kalo kita yang menang dari Seno." Abian menarik tangan Ella keluar dari kelas. Mereka berajak bersamaan dengan siswa lain di tengah koridor jurusan MIPA yang ramai. Ella meneguk ludah dan menunduk, tidak berani berjalan lurus. Abian berjalan dengan menggandeng tangan Ella di koridor. Abian berjalan di depan, sementara Ella ada di belakangnya sembari membiarkan rambutnya terurai panjang lurus menutupi wajah. Ella tidak dapat membayangkan hal gila apa yang akan Seno lakukan kali ini jika sampai ia melihat Ella. Ella hanya takut ia dilukai oleh psikopat gila tak tahu malu itu. Apalagi ini koridor sekolah yang ramai, semua orang bisa melihat mereka. Yang Ella khawatirkan hanya satu, nama baik keluarganya. Ella tidak ingin nama Rahadi harus tercoreng karena apa yang terjadi pada Ella di sekolah. Cukup satu kali rusak di masa lalu, tidak perlu mengulang dengan orang yang sama. "La." Astaga, ya Tuhan.
"Seno, matiin rokok lo, bego. Bu Maya udah keliling." "Hah?" Seno yang sedang berjongkok di barisan belakang, hendak menyalakan korek itu menoleh dengan umpatan kasar sembari mengerutkan dahi, tak suka. Namun pada akhirnya, ia tetap berdiri dan mengenyahkan batangan nikotin itu asal ke arah tanaman sekolah. Seno beranjak memasuki barisan. Berdiri di antara teman-temannya. Pandangannya pun mengedar, mencari Bu Maya yang katanya sudah berkeliling untuk meluruskan barisan para siswa. Namun yang Seno dapati bukan sosok guru killer berkacamata kotak itu, melainkan Ella yang berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Barang kali ini kelewatan. Tapi setiap kali Seno melihat Ella tertawa pelan, serotonin di dalam dirinya seakan merebak. Mekar ke segala arah. Membuatnya seketika berlari pelan menghampiri gadis itu. "La," kata Seno menggenggam lengan Ella, membuat langkahnya tertahan. Ella yang nampak terkejut dengan kehadiran Seno itu melebar
"Ayah sama Bunda mau ke Surabaya." Ella yang tadinya sedang sibuk mengunyah nasi itu seketika diam. Begitu juga dengan Ethan di sampingnya yang seketika mengangkat wajah. Hiruk-pikuk ruang tengah keluarga Rahadi mendadak sunyi. Tiap kali membicarakan kota kelahiran mereka itu, dua kembar Rahadi akan sontak terdiam. Itu bukan rahasia lagi. "Ella bakal ikut Ayah sama Bunda. Ethan, terserah. Kalo emang masih punya muka, silahkan ikut. Bunda nggak mau kamu jadi mencolok karena nggak ikut. Tapi Bunda lebih nggak mau kamu ada di sana dan bikin kekacau—" "Aku ada latihan sama tim ambalan. Minggu depan aku udah lepas jabatan." Ella melirik Ethan sesaat, lalu kembali melengos. Ia perlahan mengambil lauk dan lanjut sibuk dengan makan malamnya. Berusaha tidak peduli dengan sisa rundingan Bunda dan Ethan. Walau sebenarnya, Ella tahu, semuanya berat, sakit, dan melelahkan. Ketika kita mengikuti suatu kegiatan yang tidak kita sukai dan membebani kita dalam wa