Part 5
Camelia memandangi Al yang tertidur lelap. Walau suaminya itu memunggunginya, ia tetap tersenyum. Tidak ada kata manis atau pun perlakuan lembut yang diberikan oleh Al. Tapi semua itu, hanya dirinya yang tahu. Sosok Al begitu hebat menutupi jati dirinya yang lain. Camelia langsung bangun dari tempat tidurnya. Ia mengambil satu per satu pakaiannya yang berserakan di lantai. Tubuhnya benar-benar terasa lelah. Saat mengambil kemeja milik Al, ia melihat jejak lipstick merah jambu di sana. Ia mengusap bibirnya, rupanya kemarin ia tidak mengenakan pewarna bibir. Camelia mengernyitkan dahinya, ia menoleh ke arah Al.
"Ada apa?"
Camelia tersentak begitu mendapati Al sudah berdiri di belakangnya. Pria itu menarik kasar kemeja yang ada di tangannya dengan kasar. Lalu ia langsung menghilang di balik pintu kamar mandi.
"Al?" panggil Camelia.
"Jangan memanggil namaku," jawab Al dari dalam kamar mandi.
Camelia tidak menghiraukan ucapan Al. Ia menget
Part 6Setiap orang pasti punya masa lalu yang kelam, begitu juga dengan Al. Walau ia selalu dipuja banyak wanita, tetap saja hanya ada satu orang yang berhasil menempati hatinya. Al memejamkan kedua matanya, ia mengebuskannya perlahan. Kepalanya menoleh ke samping, seperti biasa ia tidur sendirian. Ia sengaja tidak pulang ke rumah, setiap kali melihat wajah Camelia, entah mengapa emosinya terpancing. Seolah ada sesuatu yang membuatnya naik pitam.Terlalu jenuh, Al memutuskan untuk bermain ponsel. Ia menghubungi teman-temannya agar datang ke tempatnya saat ini. Kamar hotel yang lebar tentu saja muat untuk menampung ketiga temannya tersebut."Ganesa, kau bisa datang ke sini?" tanya Al."Aku di rumahmu," sahut Ganesa dari seberang sana.Al mengernyit bingung. "Rumahku? Maksudmu?""Cepat pulang! Camelia tidak sadarkan diri!" teriak Ganesa.Al menggertakkan giginya dengan rahang yang mulai mengeras. Ia segera memutuskan panggilan itu tanp
Part 7"Si-siapa kalian?!" teriak Camelia.Wanita tua itu tersenyum ke arahnya, lalu ia mendekati Camelia yang duduk di lantai. Sedangkan kedua wanita yang menariknya itu langsung keluar dari rumah tersebut. Camelia melirik ke arah jas putih yang dikenakan oleh wanita tua itu.Margaret Braham.Seketika Camelia membeku di tempatnya. Ia kenal betul dengan dokter kandungan yang namanya selalu muncul di majalah. Namun ia tidak tahu maksud kemunculan dokter itu di rumah ini."Cantik sekali," gumam Margaret sambil menyentuh pipi Camelia."Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa anda ada di sini?" tanya Camelia, ia meringsut menjauh dari dokter tersebut.Margaret tersenyum tipis, ia menarik tas kerjanya yang ada di mejanya. "Aku akan melakukannya secara perlahan.""Melakukan apa?!"Camelia melebarkan kedua matanya saat obat bertuliskan Cycotec keluar dari dalam tas dokter tersebut. Ia tahu kalau obat itu digunakan untuk menggugurk
Part 8"Aku yang mengirim mereka ke sini untuk menggugurkan kandunganmu."Bagai tersambar petir, Camelia kehilangan setengah dari kekuatannya. Hingga ia hampir saja tidak bisa menopang berat badannya. Camelia menyipitkan kedua matanya, ia terus menatap Al yang masih diam di tempatnya. Ia berharap kalau pria itu mengatakan kalau apa yang diucapkannya beberapa saat itu hanyalah gurauan. Tapi sayang sekali, wajah Al terlihat sangat serius."Mengapa kamu melakukan itu?" tanya Camelia."Aku tidak mau punya anak," jawab Al dengan begitu mudahnya."Tapi-""Ikuti saja kemauanku," potong Al.Setelah mengatakan itu, Al langsung masuk ke dalam rumah. Kini Camelia sudah tidak tahu harus berbuat apa. Lututnya sudah terlalu lemas untuk mengejar Al yang sudah masuk. Tubuhnya tersungkur di hamparan rumput hijau yang menjadi pijakannya. Lalu air matanya mulai terjatuh, ia menggeleng beberapa kali begitu mengingat ucapan Al yang mengiris hatinya.
Part 9Camelia berlari begitu kencang melewati ramainya jalan di tengah kota Los Angeles. Berulang kali Al memanggilnya dari kejauhan, namun ia enggan menoleh. Hatinya terasa sangat sakit. Awalnya ia berusaha melakukan tawar menawar terkait anak, namun Al semakin memperjelas ketidakinginnannya memiliki buah hati.Bruk!Entah sudah berapa kali, Camelia menabrak orang yang tengah berjalan. Ia tidak henti-hentinya diteriaki dengan makian yang menyakitkan. Walau begitu ia terus berlari tanpa tujuan. Negara ini bukan kampung halamannya. Ia tidak memiliki siapa pun di sini, selain Al—suaminya. Namun sayang sekali, justru suaminya yang membuatnya seperti tidak memiliki tempat untuk pulang.Akhirnya setelah berjalan lebih dari 1 jam, Camelia kembali tiba di depan bangunan mewah. Ia memejamkan kedua matanya begitu erat, lalu ia menekan bel yang ada di dekat pagar. Tidak lama, muncul Al yang sudah tersenyum lebar. Nampaknya pria itu benar-benar sudah mempredi
Part 10Selama lebih dari 1 bulan, Camelia berusaha mencari keberadaan Serena diam-diam. Ia tidak ingin ketahuan oleh Al. Hingga akhirnya ia menemukan titik terang dari pencariannya. Serena berhasil ditemukan di pelabuhan Long Beach, kondisinya sudah begitu mengenaskan. Walau Camelia hanya bisa melihatnya lewat siaran televisi, namun itu sudah cukup untuknya."Rupanya sudah ditemukan."Camelia menoleh cepat ke arah pintu kamar. Nampak Al yang baru saja pulang bekerja, ia menyandarkan tubuhnya di samping pintu. Camelia dengan cepat mematikan televisi tersebut."A-Al ...," gumam Camelia, ia meremas jarinya dengan gugup. "Kamu sudah pulang rupanya."Al mengangguk cepat, langkahnya perlahan mendekat. "Bukankah sudah ku katakan untuk tidak melakukan hal yang merepotkan?""Ma-maksudmu?" Camelia berdiri dari kasurnya, kedua tangannya terkepal kuat. "Bagaimana bisa aku diam saat sahabatku menghilang?""Seharusnya bisa. Tapi kamu yang tidak bi
Part 11"Jangan terlalu banyak memikirkan yang tidak penting."Camelia mengangguk, ia tersenyum tipis pada dokter wanita yang satu minggu ini merawatnya. Al masih belum datang untuk menjemputnya, jadi Camelia masih harus menunggu. Beberapa kali orang berlalu lalang di depannya dengan tatapan aneh. Mereka itu orang-orang yang menyaksikan kedatangan Camelia minggu lalu. Maka dari itu, mereka tahu seberapa anehnya ia saat baru datang. Terutama dengan penampilan yang acak-acakan."Camelia! Sudah ku katakan untuk tunggu di dalam!" Al langsung mencekal pergelangan tangan Camelia begitu erat.Camelia menunjuk ruangan yang semula menjadi kamarnya. "Sudah diisi oleh orang lain."Al mendesis pelan, padahal ia sudah memesan kamar yang paling mahal. Tapi masih saja ada orang yang dengan cepat mengisinya. Ia langsung menarik Camelia keluar dari rumah sakit tersebut. Semua orang yang dilintasinya melirik sambil berbisik, entah apa yang mereka bicarakan. Al sama
Part 12Satu minggu sejak perjalanan Camelia dan Al ke taman bermain, hubungan mereka kembali merenggang. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Keduanya sibuk dengan dunianya masing-masing. Al sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga dengan Camelia yang rutin mendatangi psikolog agar kondisinya semakin membaik.Kini mereka bertemu di meja makan. Suasana canggung tidak bisa dihindarkan. Keduanya memutuskan untuk makan saja, tanpa mengobrol sedikit pun. Begitu selesai dengan makanannya, Al langsung menyambar tas kerjanya. Namun Camelia menarik tas itu hingga membuat Al menatapnya bingung."Apa aku melakukan kesalahan di hari itu?" tanya Camelia.Al menautka kedua alisnya. Ia menerawang jauh ke belakang, mencari maksud dari ucapan Camelia. "Hari itu? Maksudmu?""Taman bermain."Al membulatkan mulutnya, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada. Apa kamu merasa sudah melakukan kesalahan?"Camelia mengangguk kaku. "Tidak ... tapi aku merasa ka
Part 13 "Halo, Camelia." Camelia mengernyit, ia menatap wanita di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilannya benar-benar glamor, berbeda jauh dengannya. Wanita itu masuk tanpa menunggu dipersilakan oleh pemilik rumah. Layaknya seseorang yang sudah menghafal setiap sudut bangunan tersebut, wanita itu menjelajah sesuai keinginannya. "Bukankah ini toilet?" Camelia menoleh cepat ke arah wanita tersebut. Wanita itu menunjuk ke sebuah pintu yang ada di bawah tangga. Camelia mengangguk pelan dengan wajah bingung. "Maaf, apa Anda tamu Al?" tanta Camelia. Wanita itu terkekeh sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan. "Maksudmu Pangeran Alaric?" Camelia mengangguk cepat. "Iya. Apa Anda—" "Saya Jane, tunangan Al," potong wanita itu dengan cepat. "Kau pasti asisten Al yang baru, ya?" Camelia menundukkan kepalanya, sejujurnya ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Ia lebih memilih mengangg