Part 7
"Si-siapa kalian?!" teriak Camelia.
Wanita tua itu tersenyum ke arahnya, lalu ia mendekati Camelia yang duduk di lantai. Sedangkan kedua wanita yang menariknya itu langsung keluar dari rumah tersebut. Camelia melirik ke arah jas putih yang dikenakan oleh wanita tua itu.
Margaret Braham.
Seketika Camelia membeku di tempatnya. Ia kenal betul dengan dokter kandungan yang namanya selalu muncul di majalah. Namun ia tidak tahu maksud kemunculan dokter itu di rumah ini.
"Cantik sekali," gumam Margaret sambil menyentuh pipi Camelia.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa anda ada di sini?" tanya Camelia, ia meringsut menjauh dari dokter tersebut.
Margaret tersenyum tipis, ia menarik tas kerjanya yang ada di mejanya. "Aku akan melakukannya secara perlahan."
"Melakukan apa?!"
Camelia melebarkan kedua matanya saat obat bertuliskan Cycotec keluar dari dalam tas dokter tersebut. Ia tahu kalau obat itu digunakan untuk menggugurk
Part 8"Aku yang mengirim mereka ke sini untuk menggugurkan kandunganmu."Bagai tersambar petir, Camelia kehilangan setengah dari kekuatannya. Hingga ia hampir saja tidak bisa menopang berat badannya. Camelia menyipitkan kedua matanya, ia terus menatap Al yang masih diam di tempatnya. Ia berharap kalau pria itu mengatakan kalau apa yang diucapkannya beberapa saat itu hanyalah gurauan. Tapi sayang sekali, wajah Al terlihat sangat serius."Mengapa kamu melakukan itu?" tanya Camelia."Aku tidak mau punya anak," jawab Al dengan begitu mudahnya."Tapi-""Ikuti saja kemauanku," potong Al.Setelah mengatakan itu, Al langsung masuk ke dalam rumah. Kini Camelia sudah tidak tahu harus berbuat apa. Lututnya sudah terlalu lemas untuk mengejar Al yang sudah masuk. Tubuhnya tersungkur di hamparan rumput hijau yang menjadi pijakannya. Lalu air matanya mulai terjatuh, ia menggeleng beberapa kali begitu mengingat ucapan Al yang mengiris hatinya.
Part 9Camelia berlari begitu kencang melewati ramainya jalan di tengah kota Los Angeles. Berulang kali Al memanggilnya dari kejauhan, namun ia enggan menoleh. Hatinya terasa sangat sakit. Awalnya ia berusaha melakukan tawar menawar terkait anak, namun Al semakin memperjelas ketidakinginnannya memiliki buah hati.Bruk!Entah sudah berapa kali, Camelia menabrak orang yang tengah berjalan. Ia tidak henti-hentinya diteriaki dengan makian yang menyakitkan. Walau begitu ia terus berlari tanpa tujuan. Negara ini bukan kampung halamannya. Ia tidak memiliki siapa pun di sini, selain Al—suaminya. Namun sayang sekali, justru suaminya yang membuatnya seperti tidak memiliki tempat untuk pulang.Akhirnya setelah berjalan lebih dari 1 jam, Camelia kembali tiba di depan bangunan mewah. Ia memejamkan kedua matanya begitu erat, lalu ia menekan bel yang ada di dekat pagar. Tidak lama, muncul Al yang sudah tersenyum lebar. Nampaknya pria itu benar-benar sudah mempredi
Part 10Selama lebih dari 1 bulan, Camelia berusaha mencari keberadaan Serena diam-diam. Ia tidak ingin ketahuan oleh Al. Hingga akhirnya ia menemukan titik terang dari pencariannya. Serena berhasil ditemukan di pelabuhan Long Beach, kondisinya sudah begitu mengenaskan. Walau Camelia hanya bisa melihatnya lewat siaran televisi, namun itu sudah cukup untuknya."Rupanya sudah ditemukan."Camelia menoleh cepat ke arah pintu kamar. Nampak Al yang baru saja pulang bekerja, ia menyandarkan tubuhnya di samping pintu. Camelia dengan cepat mematikan televisi tersebut."A-Al ...," gumam Camelia, ia meremas jarinya dengan gugup. "Kamu sudah pulang rupanya."Al mengangguk cepat, langkahnya perlahan mendekat. "Bukankah sudah ku katakan untuk tidak melakukan hal yang merepotkan?""Ma-maksudmu?" Camelia berdiri dari kasurnya, kedua tangannya terkepal kuat. "Bagaimana bisa aku diam saat sahabatku menghilang?""Seharusnya bisa. Tapi kamu yang tidak bi
Part 11"Jangan terlalu banyak memikirkan yang tidak penting."Camelia mengangguk, ia tersenyum tipis pada dokter wanita yang satu minggu ini merawatnya. Al masih belum datang untuk menjemputnya, jadi Camelia masih harus menunggu. Beberapa kali orang berlalu lalang di depannya dengan tatapan aneh. Mereka itu orang-orang yang menyaksikan kedatangan Camelia minggu lalu. Maka dari itu, mereka tahu seberapa anehnya ia saat baru datang. Terutama dengan penampilan yang acak-acakan."Camelia! Sudah ku katakan untuk tunggu di dalam!" Al langsung mencekal pergelangan tangan Camelia begitu erat.Camelia menunjuk ruangan yang semula menjadi kamarnya. "Sudah diisi oleh orang lain."Al mendesis pelan, padahal ia sudah memesan kamar yang paling mahal. Tapi masih saja ada orang yang dengan cepat mengisinya. Ia langsung menarik Camelia keluar dari rumah sakit tersebut. Semua orang yang dilintasinya melirik sambil berbisik, entah apa yang mereka bicarakan. Al sama
Part 12Satu minggu sejak perjalanan Camelia dan Al ke taman bermain, hubungan mereka kembali merenggang. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Keduanya sibuk dengan dunianya masing-masing. Al sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga dengan Camelia yang rutin mendatangi psikolog agar kondisinya semakin membaik.Kini mereka bertemu di meja makan. Suasana canggung tidak bisa dihindarkan. Keduanya memutuskan untuk makan saja, tanpa mengobrol sedikit pun. Begitu selesai dengan makanannya, Al langsung menyambar tas kerjanya. Namun Camelia menarik tas itu hingga membuat Al menatapnya bingung."Apa aku melakukan kesalahan di hari itu?" tanya Camelia.Al menautka kedua alisnya. Ia menerawang jauh ke belakang, mencari maksud dari ucapan Camelia. "Hari itu? Maksudmu?""Taman bermain."Al membulatkan mulutnya, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada. Apa kamu merasa sudah melakukan kesalahan?"Camelia mengangguk kaku. "Tidak ... tapi aku merasa ka
Part 13 "Halo, Camelia." Camelia mengernyit, ia menatap wanita di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilannya benar-benar glamor, berbeda jauh dengannya. Wanita itu masuk tanpa menunggu dipersilakan oleh pemilik rumah. Layaknya seseorang yang sudah menghafal setiap sudut bangunan tersebut, wanita itu menjelajah sesuai keinginannya. "Bukankah ini toilet?" Camelia menoleh cepat ke arah wanita tersebut. Wanita itu menunjuk ke sebuah pintu yang ada di bawah tangga. Camelia mengangguk pelan dengan wajah bingung. "Maaf, apa Anda tamu Al?" tanta Camelia. Wanita itu terkekeh sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan. "Maksudmu Pangeran Alaric?" Camelia mengangguk cepat. "Iya. Apa Anda—" "Saya Jane, tunangan Al," potong wanita itu dengan cepat. "Kau pasti asisten Al yang baru, ya?" Camelia menundukkan kepalanya, sejujurnya ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Ia lebih memilih mengangg
Part 14Al menyipitkan kedua matanya. Ia terus memandangi Camelia yang tengah memunggunginya. Entah sudah berapa lama wanita itu berkutat di dapur. Padahal berulang kali ia mengatakan kalau rasanya sudah enak. Camelia tersenyum lebar saat berhasil memasak Shrimp and Grits sesuai dengan seleranya."Sampai berapa lama kamu mau membuatnya?" tanya Al.Camelia menoleh, wajahnya berseri bahagia. "Sudah selesai. Kamu mau coba?"Al bangun dari kursi yang ada di meja makan. Ia mendekati Camelia, lalu berhenti tepat di sampingnya. Sejenak Camelia sempat bingung, tapi ia bisa langsung peka saat Al membuka mulutnya."Hanya sekali, ya?" kata Camelia.Al mengangguk cepat. Sejujurnya ia merasa bingung, tapi ia seperti terdorong sesuatu untuk bisa lebih dekat lagi dengan wanita di hadapannya tersebut. Camelia mengambil sendok makan, lalu menyendok makanan yang sudah tersedia di piring. Perlahan senyumnya mengembang, terutama saat tatapan mereka tanpa sengaj
Part 15Al menatap dirinya di depan cermin besar. Entah kapan terakhir kali ia bisa tersenyum secerah ini. Terutama saat Camelia tiba-tiba ada di belakangnya. Wanita itu tersenyum lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Al."Kamu sudah siap?" tanya Al.Camelia mengangguk dengan senyum manisnya. "Sudah. Mau berangkat jam berapa?"Al mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji. "Sepuluh menit lagi."Camelia melepaskan pelukannya, lalu ia bergegas masuk ke kamar untuk mengambil tasnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa pagi hari begitu indah. Biasanya, ia hanya akan dirundung rasa cemas dan diselimuti aura kematian dari suaminya tersebut. Langkah riang kembali membawanya ke ruang tamu. Ia menaikkan kedua alisnya saat melihat Al yang tengah menerima panggilan.Sepertinya penting, batin Camelia.Camelia memilih untuk diam, menunggu suaminya itu selesai dengan aktivitasnya. Begitu Al memasukkan kembali ponselnya, ia menoleh sambil