Part 12
Satu minggu sejak perjalanan Camelia dan Al ke taman bermain, hubungan mereka kembali merenggang. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Keduanya sibuk dengan dunianya masing-masing. Al sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga dengan Camelia yang rutin mendatangi psikolog agar kondisinya semakin membaik.
Kini mereka bertemu di meja makan. Suasana canggung tidak bisa dihindarkan. Keduanya memutuskan untuk makan saja, tanpa mengobrol sedikit pun. Begitu selesai dengan makanannya, Al langsung menyambar tas kerjanya. Namun Camelia menarik tas itu hingga membuat Al menatapnya bingung.
"Apa aku melakukan kesalahan di hari itu?" tanya Camelia.
Al menautka kedua alisnya. Ia menerawang jauh ke belakang, mencari maksud dari ucapan Camelia. "Hari itu? Maksudmu?"
"Taman bermain."
Al membulatkan mulutnya, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada. Apa kamu merasa sudah melakukan kesalahan?"
Camelia mengangguk kaku. "Tidak ... tapi aku merasa ka
Part 13 "Halo, Camelia." Camelia mengernyit, ia menatap wanita di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilannya benar-benar glamor, berbeda jauh dengannya. Wanita itu masuk tanpa menunggu dipersilakan oleh pemilik rumah. Layaknya seseorang yang sudah menghafal setiap sudut bangunan tersebut, wanita itu menjelajah sesuai keinginannya. "Bukankah ini toilet?" Camelia menoleh cepat ke arah wanita tersebut. Wanita itu menunjuk ke sebuah pintu yang ada di bawah tangga. Camelia mengangguk pelan dengan wajah bingung. "Maaf, apa Anda tamu Al?" tanta Camelia. Wanita itu terkekeh sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan. "Maksudmu Pangeran Alaric?" Camelia mengangguk cepat. "Iya. Apa Anda—" "Saya Jane, tunangan Al," potong wanita itu dengan cepat. "Kau pasti asisten Al yang baru, ya?" Camelia menundukkan kepalanya, sejujurnya ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Ia lebih memilih mengangg
Part 14Al menyipitkan kedua matanya. Ia terus memandangi Camelia yang tengah memunggunginya. Entah sudah berapa lama wanita itu berkutat di dapur. Padahal berulang kali ia mengatakan kalau rasanya sudah enak. Camelia tersenyum lebar saat berhasil memasak Shrimp and Grits sesuai dengan seleranya."Sampai berapa lama kamu mau membuatnya?" tanya Al.Camelia menoleh, wajahnya berseri bahagia. "Sudah selesai. Kamu mau coba?"Al bangun dari kursi yang ada di meja makan. Ia mendekati Camelia, lalu berhenti tepat di sampingnya. Sejenak Camelia sempat bingung, tapi ia bisa langsung peka saat Al membuka mulutnya."Hanya sekali, ya?" kata Camelia.Al mengangguk cepat. Sejujurnya ia merasa bingung, tapi ia seperti terdorong sesuatu untuk bisa lebih dekat lagi dengan wanita di hadapannya tersebut. Camelia mengambil sendok makan, lalu menyendok makanan yang sudah tersedia di piring. Perlahan senyumnya mengembang, terutama saat tatapan mereka tanpa sengaj
Part 15Al menatap dirinya di depan cermin besar. Entah kapan terakhir kali ia bisa tersenyum secerah ini. Terutama saat Camelia tiba-tiba ada di belakangnya. Wanita itu tersenyum lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Al."Kamu sudah siap?" tanya Al.Camelia mengangguk dengan senyum manisnya. "Sudah. Mau berangkat jam berapa?"Al mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji. "Sepuluh menit lagi."Camelia melepaskan pelukannya, lalu ia bergegas masuk ke kamar untuk mengambil tasnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa pagi hari begitu indah. Biasanya, ia hanya akan dirundung rasa cemas dan diselimuti aura kematian dari suaminya tersebut. Langkah riang kembali membawanya ke ruang tamu. Ia menaikkan kedua alisnya saat melihat Al yang tengah menerima panggilan.Sepertinya penting, batin Camelia.Camelia memilih untuk diam, menunggu suaminya itu selesai dengan aktivitasnya. Begitu Al memasukkan kembali ponselnya, ia menoleh sambil
Part 16Rumah mewah itu kembali diselimuti aura yang mencekam. Sejak kata bercerai itu keluar dari mulut Al, mereka tidak lagi berbincang walau hanya sekedar menyapa. Termasuk pagi yang cerah ini. Mereka duduk berhadapan di meja makan. Namun bersikap seolah tidak mengenal satu sama lainnya. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing.Ting!Camelia mendecak pelan. Ia tidak sengaja menjatuhkan sendok yang sedari tadi dicengkramnya dengan erat. Ia menggeser kursinya agar bisa masuk ke bawah meja."Bagaimana? Kamu sudah memikirkannya?"Hening.Pertanyaan Al sama sekali tidak digubris oleh Camelia. Ia tidak mau lagi membahas masalah perceraian. Padahal baru beberapa hari ia merasa bahagia. Kini ia sudah kembali diterpa badai besar berupa perceraian."Camelia, tolong berikan saya jawaban!" kata Al, suaranya sedikit meninggi.Camelia dengan cepat mengambil sendok di bawah meja. Ia tidak berniat untuk melanjutkan sarapannya. Tanpa men
Sunyi. Rumah yang beberapa saat lalu diselimuti kehangatan, berubah menjadi sedingin salju. Al terdiam di meja makan. Matanya menatap ke arah pintu kamar yang sudah dua hari ini tidak terbuka. Terkadang timbul rasa ingin meminta maaf. Namun tentu saja ego selalu berada di atas segalanya. Al mengambil nampan yang sudah terisi penuh dengan makanan. Ia sengaja mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengurus keperluannya. Mengingat keadaan Camelia benar-benar memburuk. Jangankan untuk membersihkan rumah, keluar kamar saja ia enggan. "Camelia, makananmu ada di depan pintu." Setelah meletakkan nampan itu, Al bergegas pergi ke kantornya. Camelia yang mendengar suara pintu tertutup langsung keluar dari dalam kamarnya. Ia membawa masuk nampan itu, lalu kembali mengunci pintu kamarnya. Ia termenung memandangi segelas susu putih yang ada di nampan tersebut. Bagaikan dirasuki sesuatu, Camelia melempar gelas itu ke dinding hingga hancur berkeping-keping.
"Camelia ...," panggil Zebedia dari balik pintu.Sementara di dalam, Camelia tengah membersihkan kamarnya yang berantakan. Entah mengapa perasaannya benar-benar hancut berantakan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Kini yang bisa ia lakukan hanya mengerjakan semua yang terbesit dalam pikirannya."Bersih-bersih ... Aku harus merapikan kamar ini," gumam Camelia dengan tangan gemetar.Brak!!Pintu yang sebegitu kokohnya kini terbuka lebar. Camelia begitu terkejut mendapati sosok Al yang sudah berada di depan pintu dengan napas terengah-engah. Pria itu melangkah perlahan ke arahnya. Lalu ia menarik tangan Camelia dan membawanya keluar dari kamar tersebut.Tidak ada satu pun yang bersuara. Termasuk Zebedia dan asisten rumah tangga tersebut. Al merengkuh tubuh istrinya, lalu duduk di salah satu sofa. Sebelah tangan lainnya langsung menghubungi dokter melalui ponselnya. Ia merelakan rapat penting pagi ini hanya karena panggilan dari asisten rumah tanggany
"Bagaimana ini, Pak? Jumlah wartawan di depan gedung terus bertambah."Al menatap ke luar gedung dengan perasaan yang tidak karuan. Banyak sekali wartawan yang berkumpul di sana hanya untuk menunggunya datang. Padahal satpam sudah berulang kali mengusir mereka.Al melempar tatapan pada sekretarisnya. "Sudah hubungi petugas keamanan?"Sekretarisnya mengangguk. "Saya sudah hubungi polisi untuk membubarkan kerumunan tersebut.""Tapi mengapa belum datang?""Polisi datang dalam waktu 5 menit."Al mendengus, ia sudah sangat ingin pulang ke rumah. Padahal jam kantornya sudah berakhir sejak 3 jam yang lalu. Tapi karena di luar gedung terlalu banyak wartawan, ia pun diminta untuk tetap berada di kantor sampai suasana membaik.Tujuannya kembali pada kursi yang sudah menjadi singgasananya selama ini. Ia memijat pangkal hidungnya. Ingatan buruk tentang perlakuannya pada Camelia terus terngiang-ngiang. Ia sedikit menyesal walau pikirannya seakan m
Jane memberontak, ia berusaha keras untuk melepas tali yang mengikat kedua tangannya. Entah bagaimana caranya, namun Sean yang merupakan sopir pribadinya itu membelot pada Reidan. Ia melaporkan semua kejahatan yang dilakukan wanita itu terhadap Camelia.Sopir sialan! batin Jane.Reidan mendekati Jane, lalu mencengkram dagu wanita itu dengan kasar. Ia mengamati setiap inci wajah wanita tersebut. Lalu melayangkan tamparan kecil di pipinya."Bukankah saya sudah bilang untuk tidak mengganggu Alaric?" kata Reidan.Sean yang berdiri di samping Reidan tersenyum puas. "Apa yang harus saya lakukan pada wanita ini?""Buang saja ke laut."Jane mendelikkan kedua matanya. Tentu saja ia tidak menyangka dibalik sifat ramah seorang Reidan, menyimpan sisi gelap yang begitu menyeramkan. Awalnya ia mengira itu candaan karena sama sekali tidak ada pergerakan. Namun begitu pintu terbuka, kini ia yakin kalau kedua pria itu berniat membuangnya."Masukkan ke