Don't waste your love on somebody, who doesn't value it.
- William Shakespeare, Romeo and Juliet -
“Selena,” panggil pemuda itu dengan suara rendah, parau dan menggoda. Netra birunya menatap lekat gadis yang berada di sisinya itu. “Terima kasih,” ucapnya singkat, mengalihkan pandangan pada buku yang berada dalam genggaman gadis tersebut, tatapannya sendu. “Kau adalah pembaca pertama, dan ibuku pasti bahagia.” Lalu, pemuda itu membawa kembali pandangannya pada sosok gadis tersebut, menikmati kecantikan yang disuguhkan.
Gadis bernama Selena itu menutup buku di tangannya. Dia melayangkan pandangan ke arah pemuda yang terduduk di sebelahnya. Pemuda itu memiliki netra biru yang berwarna serupa dengan miliknya, dan hal itu menimbulkan gejolak dalam diri Selena.
‘Manik yang berwarna sama, wujud yang serupa, tapi bukan makhluk yang sama. Apa hal itu akan mengubah pandanganmu terhadapku?’ batin Selena dengan pandangan sendu. ‘Apakah aku salah menyembunyikan kenyataan itu darimu?’ Dia memaksakan sebuah senyuman tipis. “Senang bisa membantu,” balasnya singkat. Entah kenapa, dia merasa jantungnya berdetak begitu cepat ketika merasakan tatapan yang diberikan pemuda di hadapannya itu. “Rain, apa ada yang salah?” tanyanya dengan ragu.
Mata mereka masih saling menatap untuk waktu yang lama, tak bisa melepaskan pandangan dari satu sama lain. Perlahan, tangan Rain terangkat, dan dia dengan lembut menyentuh sisi wajah Selena. Kulit putih pucat milik gadis itu seolah bercahaya ketika sinar matahari menyeruak masuk lewat jendela dan menerpanya. Hidung mancung dan bulu mata lentiknya membuat gadis itu memang layak disebut malaikat, dan bibir merah menggoda itu ….
Tanpa mengatakan apa pun, Rain menarik wajah Selena ke arahnya. Dia mendaratkan sebuah ciuman pada bibir gadis itu, membuat Selena membeku. Seketika hasrat yang telah lama Selena tahan menggelora di dalam dirinya. Sesuatu yang sejak dahulu dia sembunyikan mulai memberontak dan menginginkan lebih.
‘Ini salah ….’ Selena membalas ciuman Rain. ‘Namun, aku tetap menginginkannya.’ Kedua tangan gadis itu melingkar di leher pemuda di hadapannya, dan dia memperdalam ciumannya. Di sela-sela bibir yang saling berpagutan itu, Selena berbisik, “Rain … kau milikku.”
“Terkadang lebih baik bagimu untuk sendirian saja agar tidak ada yang menyakitimu.” *** “Hah … Jag …,” desah seorang gadis berambut panjang dengan kepala tertarik ke belakang. Tangan gadis itu menjambak pelan rambut pemuda yang sibuk menelusuri ceruk lehernya. “Kau menyukainya, Bianca?” bisik pria bernama Jag itu sembari mencium lembut leher gadis cantik dalam rengkuhannya itu. Mendengar jawaban berupa desahan dari gadis bernama Bianca tersebut, Jag menjadi semakin bersemangat. Tangan kanannya menarik tubuh Bianca mendekat, menikmati kehangatan dan kelembutan yang diberikan. Kemudian, tangan kiri pria itu menjambak pelan rambut Bianca, membiarkan dirinya lebih leluasa untuk berpetualang pada tubuh gadis itu.
“Rain! Kau terlambat lagi?” bentak wali kelas dengan tangan di pinggang. Tangannya masih memegang buku dan spidol hitam. “Maaf,” ucap Rain singkat dan langsung masuk ke dalam sebelum dipersilakan. Pak Guru seolah sudah mengerti dan maklum dengan tabiat lelaki yang terlihat tidak beres itu. Beliau hanya bisa geleng-geleng kepala, kemudian melanjutkan penjelasan. Sementara itu mata Selena tidak bisa beralih dari sosok Rain yang langsung berjalan menuju ke arahnya. Selena sedikit bingung kenapa lelaki itu ingin menghampiri dia. Mau apa dia? Batin Selena kebingungan di dalam hati. Sekarang Rain sudah berdiri tepat di samping meja Selena. Mata mereka langsung bertemu. Selena nyaris terpana beberapa detik saat melihat bola mata berwarna biru. Sama seperti warna mata miliknya. Selena terpaku dan terpesona dalam waktu yang bersamaan. Rain menaikkan satu alisnya tak suka, “Kenapa kau duduk di kursiku?!” tanyanya dingin dan begitu angkuh. Gadis
“Kenapa harus kau yang menyita perhatianku? Apa kelebihanmu?” *** Mobil akhirnya sudah tiba di rumah. Selama perjalanan hanya terdengar suara Bianca yang berisik, bercerita pada John bagaimana menyenangkan hari pertama di sekolah. Tentu saja dia melewatkan bagian terburuk karena membuat masalah dengan salah satu siswa dari tim basket itu. Selena masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan ke satu tujuan yaitu kamarnya. Mengabaikan rencana-rencana keluarganya yang ingin berburu hewan malam ini. “Elle, kau mau ikut dengan kami malam ini?” tawar Matt sembari tersenyum sebelum Selena masuk ke dalam kamarnya. “Tidak.” Selena menjawab singkat tanpa menoleh dan sambil memegang kenop pintu kamarnya. “Kenapa? Kita penduduk baru di sini. Mungkin kau harus melihat-lihat kota Breavork yang indah ini,” bujuk Matt tanpa menyerah. Selena berdecih. “Mau kita berada di mana pun, aku sama sekali tidak tertarik untuk berburu. Lagipula … b
“Setenang dan selembut apapun dirimu, pasti akan ada seseorang yang hatinya bising karenamu.” *** Kediaman keluarga Walter. Selena baru saja melewati pintu masuk kembar rumahnya. Sepintas dia melihat Bianca yang duduk sendiri sambil memainkan smartphone miliknya. Jangan heran ketika vampire jaman sekarang sudah mengerti teknologi canggih. Mereka harus membiasakan diri dan beradaptasi dengan perilaku umum manusia. “Baru pulang? Darimana saja?” tanya Bianca yang langsung berdiri menghampiri Selena. Sementara Selena terus berjalan tidak berniat menghentikan langkah. “Bukan urusanmu,” jawab Selena dengan suara datar. “Habis berburu, ya? Kenapa tidak mengajak kami semua?” Selena enggan menjawab. “Elle,” panggil Bianca lagi yang tidak menyerah untuk mengekori langkah Selena. Selena masih tidak menjawab. Sampai saat dia dan Bianca berada di tangga, lalu berpapasan dengan Matteo. Sekilas Matt b
“Yang kudamba hanya kamu. Yang kutakutkan hanya satu. Kau menghilang dari pandanganku.”***Walter’s house.Selena berdiri di depan pintu rumah dengan tangan bersedekap. Wajahnya yang dingin ditambah dengan ekspresi tidak suka ketika melihat Matt dan Henry yang keluar dari mobil sambil tertawa. Sementara tak jauh dari dua saudaranya, ada Bianca yang pulang diantar oleh seorang lelaki dengan motor bisingnya.Sekelebat dia memiliki rasa iri pada tiga saudaranya yang tidak pernah merasa sedih, sakit hati atau benci dengan keadaan mereka yang menjadi abadi ini.“Hai, Elle … ada apa?” tanya Henry dengan senyum ramahnya.“Darimana saja?” Selena balik bertanya.“Whoa … tumben sekali seorang Selena ingin tahu kita habis darimana,” sindir Bianca yang melenggang langsung masuk ke dalam rumah. Melewati Selena dengan gaya angkuhnya. Selena benci itu.&ldq
“Setiap tindakan selalu ada konsekuensinya. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan.”****Malam itu, setelah Selena bertanya tentang detak jantung seorang vampire, John tidak dapat tenang semalaman. Dia belum bisa menjawab dengan benar dan memuaskan untuk Selena. Dia sendiri tidak menyangka kalau Selena bertanya hal yang belum pernah dia dengar selama beratus-ratus tahun ini. Bahkan Matt yang usianya jauh lebih tua daripada Selena, atau pun Bianca dan Henry yang lebih sering berinteraksi dengan manusia, tidak pernah sekalipun menanyakan itu.“Ada apa yang terjadi dengan Selena? Apakah dia merasakan hal itu? Kalau memang benar, dengan siapa?” gumam John sambil menatap perapian yang menyala.Di luar semakin dingin karena hujan mulai turun. Selena terus menatap hujan yang jatuh dari langit sambil bersedekap. Kaca jendela menjadi basah karena bias hujan. Dia sendiri juga berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya.S
“Kelebihan yang kau miliki adalah yang diingankan orang lain.”***Valley High School.Selena bergegas mengayunkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Rain, lelaki yang mengusik pikirannya selama beberapa jam terakhir. Konyol rasanya dia bisa menjadi seperti ini. Bahkan kalau diingat-ingat terasa sangat aneh ketika Selena tidak dapat menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rain di jalan tempo hari.Di kelas hanya ada beberapa orang saja. Tidak ada Rain di sana.“Selamat pagi!” sapa seorang gadis ceria pada Selena. Tentunya dia adalah manusia.Selena menoleh sebentar kemudian menjawab, “Pagi.” Sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.Gadis manusia bernama Syilea itu terus mengikuti Selena hingga duduk di kursi sampingnya. “Kita belum berkenalan secara resmi.”Aku sudah tahu namamu, batin Selena.“Hai, na
“Rasa penasaran bukan hanya bisa dirasakan oleh manusia, melainkan bangsa vampir pun juga.”***Selena berusaha untuk terus menyamakan langkah kakinya dengan Syilea. Dia berpikir apakah manusia selalu berjalan dengan begitu pelannya. Bagi Selena langkah kecil dan pelan seperti ini memakan waktu banyak.“Apa rumahnya masih jauh?” tanya Selena pada Syilea.Gadis yang memakai ransel berwarna putih gading itu menoleh pada Selena sambil memakan crepes rasa coklat keju di tangannya. “Lima menit lagi kita sampai,” jawabnya sambil mengulurkan cemilan di tangannya. “Kamu mau, Elle?”“Tidak. Terima kasih.” Selena menolak dengan suara pelannya. Mana mungkin dia memakan makanan manusia.“Oh iya … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Syilea.“Ya?”“Kenapa kamu ingin tahu rumah Rain?”Selena tidak perlu
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena