Meski hatinya sedikit ragu dengan pilihannya untuk menghadapi amukan warga, akan tetapi dia tak memiliki pilihan lain. Selena harus dilindungi. Dia belum pernah melihat gadis yang selalu bertameng tebing es itu begitu ketakutan. Bahkan kalau saja Selena bisa menangis, mungkin sekarang meraung karena terlalu takut. Tubuhnya juga gemetar saat Rain merengkuh ke dalam pelukannya.
Tangan Rain memegang gagang pintu terbuat dari perak itu. Ia menarik napas panjang sebelumnya untuk meyakinkan hatinya. Ada terbersit rasa takut dalam dirinya, akan tetapi melindungi Selena adalah tujuannya sekarang.
Gagang pintu ditariknya ke belakang. Terasa berat karena ukuran pintu yang begitu besar dan tebal. Wajar saja kalau manusia-manusia terkutuk itu tak dapat mendobrak pintu kastil tersebut.
Pintu terbuka dengan lebar dan Rain bisa melihat bagaimana silaunya cahaya api di obor tangan manusia itu. Ia bahkan harus mengangkat tangan untuk melindungi matanya sesaat karena cahaya itu m
Selena seperti sedang terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berkehabisan. Dia tidak bisa membayangkan kalau pada akhirnya akan menjadi buruan para manusia seperti sekarang. Bukan salahnya kalau ternyata jatuh cinta pada manusia. Bukan salahnya juga kalau manusia itu tidak dapat menjauh dari dirinya. Sekeras apapun usahanya untuk menghindari perasaan itu, tetap dia akan kalah dengan rasa cinta yang tiba-tiba menetap di dalam hati hingga membekap dirinya.Langkah kaki dari gadis yang diketahui usianya bukan tujuh belas tahun melainkan sudah dua abad setengah lebih, melintasi ranting-ranting pohon tanpa alas kaki. Gaun putih selutut miliknya sudah bercampur warna kecokelatan karena percikan lumpur-lumpur yang dia lalui.Hujan belum berhenti sejak dia tiba di desa Dark Valley, yang mana desa tersebut memang tidak pernah disapa oleh mentari hangat. Luna tidak mempedulikan berapa orang yang mengejarnya. Dia hanya harus mengalihkan para manusia jahat itu dari Rain, kekasihn
Manusia pada hakikatnya memiliki dua jiwa di dalam tubuhnya. Jiwa yang murni penuh kebaikan atau jiwa yang gelap penuh kejahatan. Sesungguhnya hanya manusia yang kuat saja lah dan bisa memandang segala sesuatu sesuai dengan porsi antara logika dan perasaan, maka dia yang bisa menentukan jiwanya sendiri. Akan tetapi, bagaimana kalau seandainya jiwa yang gelap mulai muncul di saat kita merasa terancam bahaya? Akankah selamanya jiwa itu menguasai raga atau hanya muncul sesaat kemudian kembali ke tempatnya hingga kita bisa menguncinya lagi seperti sebelumnya.Sekarang Selena berdiri di tengah tanah lapang yang begitu luas. Di antara genangan mayat dan darah yang mengalir segar bercampur dengan air hujan yang turun dari langit. Tanah yang semula berwarna cokelat sekarang menjadi berwarna merah. Selena dengan gigi taringnya masih mencabik salah seorang laki-laki terakhir di tangannya. Edmund yang tak berdaya ketika Selena menghabiskan darah dalam tubuh lelaki yang tak memiliki hati
Tangan Henry sudah memegang salah satu tanaman bernama yarrow atau daun seribu. Dia segera meraih sebuah batu seukuran genggaman tangannya agar bisa menumbuk daun tersebut. Ia harus menghaluskan tanaman itu untuk dioleskan pada luka Rain. Sementara itu John hanya memerhatikan apa yang dilakukan Henry dengan sangat cekatan.“Maaf aku hanya menemukan ini,” kata Henry seraya melakukan tugasnya untuk membuat ramuan obat.“Tidak apa-apa. Bukankah daun seribu selalu dipakai para prajurit ketika terluka dalam berperang? Setidaknya itu akan mengurangi infeksi pada tubuh Rain.” John mengalihkan pandangannya pada Rain yang belum sadarkan diri. “Anak yang malang,” lirihnya.“Dia bukan anak yang malang. Sebaliknya dia beruntung karena bisa membuat kita menjadi khawatir,” celetuk Henry seraya mengekeh pelan. “Dia juga berhasil mengambil hati gadis yang selama ini dikenal sebagai tebing es. Bukankah dia hebat?&rdq
Benar apa yang dikatakan John sebelumnya. Hanya butuh waktu sebentar untuk membuat jiwa Selena yang penuh kegelapan itu kembali ke asalnya. Jiwa yang jahat itu kembali terkurung di dalam kotak hitam dalam tubuh Selena karena tak berhasil mendapatkan tetesan darah Rain.“Rain!” teriak Selena yang masih terikat di pohon.Semua yang ada di dalam kastil langsung menajamkan telinga dan saling pandang. Mereka tahu bahwa sekarang Selena telah kembali. Tanpa membuang waktu John dan ketiga anaknya langsung keluar dan menghampiri Selena yang lemas tak berontak.“Elle?” tanya John meyakinkan sebelum membuka ikatan itu.Selena mengangkat wajahnya dan melihat John sudah berjongkok di hadapannya. Senyum dipaksakannya saat melihat wajah ayahnya. Yang pertama kali dia tanyakan adalah keadaan kekasihnya.“Ayah, bagaimana keadaan Rain?” tanya Selena dengan suara lemahJohn menatap netra biru yang menyimpan kesedihan bercamp
Tidak ada yang tahu perihal kapan kematian menghampiri. Kapan jantung kita berhenti berdetak. Kapan nyawa kita terpisah dari raga. Kapan napas terakhir berembus. Tak ada yang tahu tentang rahasia semesta.Setiap pertemuan memang selalu ada perpisahan. Seperti kelahiran dan kematian. Ada jumpa dan lambaian tangan saat berpisah. Waktu terus bergerak maju. Tak pernah berhenti apalagi bergerak mundur. Percayalah, menjadi makhluk abadi bukan hal yang menyenangkan.Hari-hari berlalu tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari kota Breavork. Masih menjadi kota yang tenang dan damai meski beberapa warganya ada satu keluarga penghisap darah.Selena harus menjalani hari-harinya seperti biasa. Tak akan menunjukkan rasa kesedihan di saat Rain belum sadarkan diri hingga sekarang. Setelah Selena memasukkan racun vampir ke tubuh lelaki itu, jantung Rain berhenti berdetak. Dia mati.Mereka semua mengatakan bahwa semua manusia yang darahnya telah bersatu dengan racu
Selena menatap dedaunan yang bergerak tertiup angin. Duduk di kafetaria tepat samping jendela kaca yang besar. Seperti sebelumnya, rintik-rintik hujan turun membuat suasana hatinya bertambah biru. Rindu, itu yang dia rasakan sekarang. Rain masih ada tapi terasa kehilangan baginya.“Aku ingin membicarakan sesuatu pada kalian,” kata Matt sambil makan sepotong cokelat yang dibawa oleh Bianca.“Ada apa?” tanya Henry.“Perihal Danna.”Selena yang tadinya tidak tertari dengan obrolan saudaranya langsung menoleh melihat Matt yang tampak sangat serius. Perempuan itu lah yang sudah membuat semuanya berantakan. Hubungan manisnya dengan Rain akhirnya harus kandas secepat ini. Dia tak dapat menyentuh kulit hangat lelaki itu lagi. Semua karena mantan kekasih ayahnya.“Danna?” ulang Bianca dengan alis berkerut. “Kenapa? Kupikir dia sudah pergi dari Breavork. Sejak kita keluar dari hutan Froprain, dia sudah ti
"Aku harus bagaimana kalau berjalan tanpamu? Aku merindukanmu, Rain. Tapi, aku tak berdaya sekarang. Aku sendiri. Tak sanggup menghadapi tanpamu di sisiku."***Selena dan Syilea berjalan bersisian menyusuri hutan. Permintaan Selena agar mereka tidak berjalan di trotoar dan memilih jalan yang penuh dengan ranting, bebatuan dan tanah yang basah. Meski sebenarnya Syilea ingin sekali menolak ide Selena. Hanya saja saat temannya itu memberikan tatapan penuh harap, akhirnya Syilea mengangguk setuju.“Kita sebenarnya ingin ke mana, Elle?” tanya Syilea sambil sesekali menghindari genangan air di atas tanah. Dia tak ingin kecipratan air di bagian ujung coat miliknya.“Aku ingin kamu menemaniku ke suatu tempat,” jawab Selena akhirnya.“Ke mana?”Bersamaan dengan itu, Selena menghentikan langkahnya diikuti Syilea. Tangannya diangkat dan menunjuk sesuatu yang ada di depan mereka.Syilea menga
“Aku pulang,” ucap Selena dengan suara pelan setelah mendorong masuk pintu depan rumahnya. Ia lalu menutup kembali dengan langkah yang diseret-seret.“Hai, Elle.” Henry langsung menghampiri Selena dengan wajah semangat. “Baru pulang? Bagaimana dengan Syilea? Dia sudah sampai rumah?”Selena hanya mengangguk tanpa ingin bersuara. Ia terus melangkah menaiki anak tangga, meniti satu persatu dengan rasa malas.“Elle, bagaimana kalau kita berburu?” tawar Henry yang melihat kakaknya tidak bersemangat.“Ajak Bianca atau Matt saja,” jawab Selena lagi dengan enggan.“Aku ingin denganmu.”“Aku ingin menjaga Rain.”“Ayah akan menjaga Rain, Elle. Kamu harus mengisi tenagamu,” rengek Henry.Selena menggeleng lemah. Sekarang kakinya sudah sampai di puncak dan mulai berjalan menyusuri koridor yang kiri kanannya terdapat beberapa pintu kamar milik He