Tidak ada yang tahu perihal kapan kematian menghampiri. Kapan jantung kita berhenti berdetak. Kapan nyawa kita terpisah dari raga. Kapan napas terakhir berembus. Tak ada yang tahu tentang rahasia semesta.
Setiap pertemuan memang selalu ada perpisahan. Seperti kelahiran dan kematian. Ada jumpa dan lambaian tangan saat berpisah. Waktu terus bergerak maju. Tak pernah berhenti apalagi bergerak mundur. Percayalah, menjadi makhluk abadi bukan hal yang menyenangkan.
Hari-hari berlalu tampak seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari kota Breavork. Masih menjadi kota yang tenang dan damai meski beberapa warganya ada satu keluarga penghisap darah.
Selena harus menjalani hari-harinya seperti biasa. Tak akan menunjukkan rasa kesedihan di saat Rain belum sadarkan diri hingga sekarang. Setelah Selena memasukkan racun vampir ke tubuh lelaki itu, jantung Rain berhenti berdetak. Dia mati.
Mereka semua mengatakan bahwa semua manusia yang darahnya telah bersatu dengan racu
Selena menatap dedaunan yang bergerak tertiup angin. Duduk di kafetaria tepat samping jendela kaca yang besar. Seperti sebelumnya, rintik-rintik hujan turun membuat suasana hatinya bertambah biru. Rindu, itu yang dia rasakan sekarang. Rain masih ada tapi terasa kehilangan baginya.“Aku ingin membicarakan sesuatu pada kalian,” kata Matt sambil makan sepotong cokelat yang dibawa oleh Bianca.“Ada apa?” tanya Henry.“Perihal Danna.”Selena yang tadinya tidak tertari dengan obrolan saudaranya langsung menoleh melihat Matt yang tampak sangat serius. Perempuan itu lah yang sudah membuat semuanya berantakan. Hubungan manisnya dengan Rain akhirnya harus kandas secepat ini. Dia tak dapat menyentuh kulit hangat lelaki itu lagi. Semua karena mantan kekasih ayahnya.“Danna?” ulang Bianca dengan alis berkerut. “Kenapa? Kupikir dia sudah pergi dari Breavork. Sejak kita keluar dari hutan Froprain, dia sudah ti
"Aku harus bagaimana kalau berjalan tanpamu? Aku merindukanmu, Rain. Tapi, aku tak berdaya sekarang. Aku sendiri. Tak sanggup menghadapi tanpamu di sisiku."***Selena dan Syilea berjalan bersisian menyusuri hutan. Permintaan Selena agar mereka tidak berjalan di trotoar dan memilih jalan yang penuh dengan ranting, bebatuan dan tanah yang basah. Meski sebenarnya Syilea ingin sekali menolak ide Selena. Hanya saja saat temannya itu memberikan tatapan penuh harap, akhirnya Syilea mengangguk setuju.“Kita sebenarnya ingin ke mana, Elle?” tanya Syilea sambil sesekali menghindari genangan air di atas tanah. Dia tak ingin kecipratan air di bagian ujung coat miliknya.“Aku ingin kamu menemaniku ke suatu tempat,” jawab Selena akhirnya.“Ke mana?”Bersamaan dengan itu, Selena menghentikan langkahnya diikuti Syilea. Tangannya diangkat dan menunjuk sesuatu yang ada di depan mereka.Syilea menga
“Aku pulang,” ucap Selena dengan suara pelan setelah mendorong masuk pintu depan rumahnya. Ia lalu menutup kembali dengan langkah yang diseret-seret.“Hai, Elle.” Henry langsung menghampiri Selena dengan wajah semangat. “Baru pulang? Bagaimana dengan Syilea? Dia sudah sampai rumah?”Selena hanya mengangguk tanpa ingin bersuara. Ia terus melangkah menaiki anak tangga, meniti satu persatu dengan rasa malas.“Elle, bagaimana kalau kita berburu?” tawar Henry yang melihat kakaknya tidak bersemangat.“Ajak Bianca atau Matt saja,” jawab Selena lagi dengan enggan.“Aku ingin denganmu.”“Aku ingin menjaga Rain.”“Ayah akan menjaga Rain, Elle. Kamu harus mengisi tenagamu,” rengek Henry.Selena menggeleng lemah. Sekarang kakinya sudah sampai di puncak dan mulai berjalan menyusuri koridor yang kiri kanannya terdapat beberapa pintu kamar milik He
Sepuluh menit sebelum Henry mendapatkan penglihatan tersebut. Syilea tengah duduk di teras rumah sembari membaca novel roman – thriller kesukaannya. Wajahnya begitu tegang ketika tokoh utama terancam bahaya. Di mana pembunuh sudah siap menancapkan belati tajam dan mengilap di bagian jantung gadis yang terduduk ketakutan.Sambil menggigit ujung kukunya, Syilea tak mengalihkan matanya untuk membaca deretan kata-kata yang tersusun menjadi kalimat yang menegangkan. Sesekali dia membalik lembaran buku yang selalu berhasil membuatnya merinding.“Hah! Gosh! Ini membuatku ingin minum. Rasanya tenggorokanku langsung kering!” gerutu Syilea menutup bukunya dan berdiri ingin masuk ke dalam rumah.Baru saja ia ingin berjalan menuju pintu, memegang kenop terbuat dari besi bercat biru muda, tiba-tiba saja terasa angin kencang menerpa sambut belakangnya.Syilea terkesiap dan langsung membalikkan badan karena tersentak. Setelah memutar badannya,
John terlihat sangat gelisah dan tidak tenang duduk di bangku dalam ruang kerjanya. Setelah Selena dan Henry pulang ke rumah, dirinya lah yang pertama kali dicari dua anaknya. Membawa kabar yang tentu saja membuatnya kebingungan. Di mana mereka mengatakan bahwa ada vampir selain keluarga mereka di kota Breavork.“Kalau saja aku yang bertemu dengannya, mungkin akan cepat mengenali darimana vampir itu berasal,” gumam John dengan tangan memangku dagunya. Keningnya mengerut dalam sambil menatap perapian kecil yang ada dalam ruangan tersebut.Beberapa detik kemudian, Matt sudah muncul di ambang pintu. Lelaki itu berdiri bersisian dengan Bianca. Sejak kejadian hari itu, mereka berdua seolah tak akan bisa dipisahkan lagi. John mengerti karena Matt tidak bisa terus berharap pada Selena yang jelas-jelas sudah menjatuhkan hatinya pada Rain.“Ayah memanggilku?” tanya Matt yang tak akan masuk sebelum dipersilakan oleh ayahnya.“Ya. Kemar
"Kalau kau mencintai seseorang, apakah kau harus tahu terlebih dahulu bagaimana masa lalunya? Bukankah itu tidak adil untuk orang yang memiliki masa lalu kelam dan buruk? Apa mereka tak pantas untuk dicintai?" *** Seperti lukisan mahakarya, semakin lama Bianca menatap wajah Matt, semakin banyak hal baru yang dia temukan. Saat penampilan Matt berantakan sekalipun, cowok itu selalu mampu menaikkan gairah dan gejolak aneh dalam dirinya. Dari jarak mereka yang begitu dekat seperti ini, Bianca selalu pasrah bersikap pasif ketika Matt mencoba menjamah semua sudut di tubuhnya. Membiarkan tangan kekar itu mengangkat badannya yang tampak mungil lalu membaringkan ke atas tempat tidur. Masih dengan pakaian lengkap, masing-masing dari mereka mulai melepaskan baju pasangan. Seperti yang dilakukan Mattt sekarang. Dengan lihai dia menarik satu kali sentakan gaun yang menutupi bagian indah Bianca. Sedangkan tangan gadis itu dengan cepat memb
Henry dan Selena sekarang duduk di dalam kamar Syilea. Sudah lima menit berlalu dan tak ada yang bersuara. Baik dari kedua vampir atau manusia. Mereka saling diam seolah menunggu satu sama lain untuk angkat suara.Sesekali Henry melirik Syilea yang duduk di atas tempat tidur memangku bantalnya. Sementara Selena bersilang kaki dan dada, dia tampak menatap jarum jam yang berputar detiknya. Sedangkan Henry duduk merapatkan kedua kaki dengan kedua tangan diletakkan pasrah di atas paha.“Sudah hampir jam dua belas,” ucap Selena. Entah dia bicara untuk dirinya sendiri atau memberikan kode pada Syilea dan Henry untuk bicara lebih dulu.Masih saja tidak ada yang berbicara sampai akhirnya Selena berdiri dan berjalan menuju jendela yang masih terbuka lebar. Henry dan Syilea melihat dengan kompak ke arah Selena yang sudah memegang pinggiran jendela.“Mau ke mana, Elle?” tanya Henry.“Aku akan menunggu kalian selesai bicara. Mungk
Valley High School, pukul setengah delapan pagi.Selena melangkah menuju kelas bersama Matt. Mereka berpisah dengan Henry dan Bianca yang menuju kelasnya sendiri. Sambil berjalan bersisian dengan kakaknya, Selena lebih memilih untuk diam dan tak membicarakan apapun karena memang tak ada bahan pembicaraan.“Elle,” panggil Matt pelan. Dia penasaran tentang kejadian di rumah Syilea tadi malam. Sebenarnya ingin Matt bertanya langsung pada Selena, tetapi Bianca mengajaknya untuk bertukar energi sehingga menghabiskan waktu hampir semalaman dalam kamar Matt.“Ya?” Selena menoleh pada Matt tanpa menghentikan langkah kakinya.Matt menatap sepintas wajah cantik Selena. Tetap saja hatinya mengagumi paras nyaris sempurna bak dewi di surga itu. Walaupun sekarang dia menjalin hubungan dengan Bianca, dia tak mungkin secepat itu melupakan cinta pertamanya.“Aku ingin bicara denganmu sebentar, boleh?”“Sekarang?&rdqu