"Kalau kau mencintai seseorang, apakah kau harus tahu terlebih dahulu bagaimana masa lalunya? Bukankah itu tidak adil untuk orang yang memiliki masa lalu kelam dan buruk? Apa mereka tak pantas untuk dicintai?"
***
Seperti lukisan mahakarya, semakin lama Bianca menatap wajah Matt, semakin banyak hal baru yang dia temukan. Saat penampilan Matt berantakan sekalipun, cowok itu selalu mampu menaikkan gairah dan gejolak aneh dalam dirinya.
Dari jarak mereka yang begitu dekat seperti ini, Bianca selalu pasrah bersikap pasif ketika Matt mencoba menjamah semua sudut di tubuhnya. Membiarkan tangan kekar itu mengangkat badannya yang tampak mungil lalu membaringkan ke atas tempat tidur.
Masih dengan pakaian lengkap, masing-masing dari mereka mulai melepaskan baju pasangan. Seperti yang dilakukan Mattt sekarang. Dengan lihai dia menarik satu kali sentakan gaun yang menutupi bagian indah Bianca.
Sedangkan tangan gadis itu dengan cepat memb
Henry dan Selena sekarang duduk di dalam kamar Syilea. Sudah lima menit berlalu dan tak ada yang bersuara. Baik dari kedua vampir atau manusia. Mereka saling diam seolah menunggu satu sama lain untuk angkat suara.Sesekali Henry melirik Syilea yang duduk di atas tempat tidur memangku bantalnya. Sementara Selena bersilang kaki dan dada, dia tampak menatap jarum jam yang berputar detiknya. Sedangkan Henry duduk merapatkan kedua kaki dengan kedua tangan diletakkan pasrah di atas paha.“Sudah hampir jam dua belas,” ucap Selena. Entah dia bicara untuk dirinya sendiri atau memberikan kode pada Syilea dan Henry untuk bicara lebih dulu.Masih saja tidak ada yang berbicara sampai akhirnya Selena berdiri dan berjalan menuju jendela yang masih terbuka lebar. Henry dan Syilea melihat dengan kompak ke arah Selena yang sudah memegang pinggiran jendela.“Mau ke mana, Elle?” tanya Henry.“Aku akan menunggu kalian selesai bicara. Mungk
Valley High School, pukul setengah delapan pagi.Selena melangkah menuju kelas bersama Matt. Mereka berpisah dengan Henry dan Bianca yang menuju kelasnya sendiri. Sambil berjalan bersisian dengan kakaknya, Selena lebih memilih untuk diam dan tak membicarakan apapun karena memang tak ada bahan pembicaraan.“Elle,” panggil Matt pelan. Dia penasaran tentang kejadian di rumah Syilea tadi malam. Sebenarnya ingin Matt bertanya langsung pada Selena, tetapi Bianca mengajaknya untuk bertukar energi sehingga menghabiskan waktu hampir semalaman dalam kamar Matt.“Ya?” Selena menoleh pada Matt tanpa menghentikan langkah kakinya.Matt menatap sepintas wajah cantik Selena. Tetap saja hatinya mengagumi paras nyaris sempurna bak dewi di surga itu. Walaupun sekarang dia menjalin hubungan dengan Bianca, dia tak mungkin secepat itu melupakan cinta pertamanya.“Aku ingin bicara denganmu sebentar, boleh?”“Sekarang?&rdqu
Sebuah rumah mewah di perbatasan kota berwarna perak bercampur keemasan sehingga tampak begitu kontras dan menyita atensi pengguna jalan raya setiap melewati rumah tersebut. Lelaki dengan rambut hitam bergelombang masuk ke dalam rumah itu dengan seringai dan raut wajah yang begitu puas.“Sudah menghabisi berapa manusia, hm?” tanya seseorang yang tiba-tiba saja muncul di belakang lelaki berambut hitam itu.“Pertanyaan itu sedikit menyinggungku, Stefan.” Lelaki itu menjawab seraya memutar badannya dan melihat lelaki yang lebih dewasa dari dirinya. Tangannya bersilang di dada dan senyum sinisnya belum juga pudar.“Arion … jangan katakan bahwa aku sudah memperingatimu sebelumnya. Kamu ke Breavork sama seperti sedang mengantar jiwamu ke sini. Bukan salahku jika mereka mengejarmu kemudian kau berakhir mati sia-sia di kota kecil ini,” jelas Stefan berjalan dengan kedua tangan di belakang. Rambutnya sebagian berwarna putih kare
“Elle, kamu tidak pergi ke pusat kota?” tanya John ketika masuk ke dalam kamar Selena. Niat awalnya ingin memeriksa keadaan Rain karena dipikirnya semua anak-anak di rumah itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu.“Tidak,” jawab Selena seraya menggelengkan kepalanya. Ia melihat John yang berdiri di balik jendela, menyingkap tirai sedikit untuk melihat langit malam.“Padahal malam ini sangat cerah. Tak akan ada hujan,” ujar lelaki itu tanpa menoleh pada Selena dan masih menatap keluar jendela. “Biar ayah yang akan menjaga Rain,” lanjutnya seraya menutup kembali tirai jendela dan memutar tubuh menghadap Selena.Selena yang masih duduk di kursi, tepat samping tempat tidur Rain hanya menggelengkan kepala sekali lagi. “Aku ingin di sini saja. Mungkin ayah yang ingin pergi ke sana.”John tertawa pelan. “Ayah sudah bosan dengan perayaan seperti itu. Lagipula, ayah sedang tidak ingin keluar rumah s
Tiga puluh menit sebelumnya ….John tampak terkejut ketika dirinya yang sedang menatap langit lewat jendela kamar Selena, mendengar suara erangan lirih laki-laki. Dia berpaling betapa terkejutnya saat melihat Rain yang sudah membuka matanya.“Rain!” seru John terkejut bukan main dan segera menghampiri lelaki yang perlahan berubah wujud.Bukan menjadi monster yang menakutkan, berbulu dan kuku runcing yang panjang. Melainkan tubuh atletis Rain semakin berisi dan tampak sempurna di setiap ototnya. Matanya yang terbuka bisa terlihat jelas netra merah darah itu.John masih membeku di tempatnya berdiri tanpa berniat ingin menyentuh Rain. Dia hanya menyaksikan perubahan diri Rain yang secara pesat. Bibir anak lelaki itu mulai berubah warna menjadi merah. Kulitnya seputih salju dan begitu pucat persis seperti dirinya. Kuku-kukunya mengilap sempurna dan rambutnya terlihat sangat sehat dan bercahaya.Bibir Rain yang semula mengatup sekaran
Atmosfir kegelapan begitu terasa di dalam hutan dan hanya para vampir saja yang dapat merasakannya. Bianca dan Matt saling pandang ketika dada mereka mendadak terasa sangat sesak. Begitu juga dengan Henry yang tiba-tiba saja menggenggam kuat tanpa sengaja tangan Syilea.“Aw!” rintih Syilea sedikit terkejut ketika Henry meremas tangannya.Henry langsung berpaling dan tersadar. Dengan cepat ia melepaskan tangan Syilea. “Maafkan aku,” ujarnya dengan sangat gelisah.“Ada apa? Apa ada satu masalah?” cemas Syilea ketika melihat ekspresi Henry yang sudah tidak menikmati acara malam itu.“Lea, aku harus pergi sekarang. Kamu jangan ke mana-mana dan tetap di keramaian. Mengerti?” pesan Henry dengan sangat cepat dan berdiri merapikan bajunya.“Kamu mau ke mana?” heran Syilea ikut berdiri dan kembali memegang lengan Henry seolah tak ingin ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan apapun.&ldquo
Arion merasa bahwa dia tidak akan sanggup melawan Rain untuk sekarang. Pilihannya untuk langsung pergi sudah sangat tepat. Dia mengambil kesempatan saat Rain masih memunggunginya.Melewati hutan dan menuju jalan raya, dia berniat mencari darah segar manusia terlebih dahulu agar bisa memulihkan tenaganya lagi. Bertepatan dengan dirinya yang baru saja tiba di trotoar jalan raya, matanya menangkap satu objek menarik yang membuat bibirnya tersungging miring.“Makanan lezat ternyata datang dengan sendirinya,” gumam Arion.Syilea berjalan dengan wajah lesu di sepanjang trotoar. Dia sudah menunggu Henry sendirian hampir dua puluh menit. Baginya itu sangat lama. Merasa kesal, akhirnya Syilea memutuskan ingin pulang sendiri.Sambil merapatkan jaketnya yang panjang, dia sesekali melihat sekitar. Begitu sepi karena semua warga berkumpul di pusat kota. Tanpa dia sadari bahwa pilihannya sangat buruk ketika tidak mematuhi pesan Henry.Wusshh …
Arion pulang ke rumah dengan wajah puas dan tampak senang. Dia bahkan memasuki ruang tengah seraya bersenandung pelan, membuat Stefan bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada lelaki yang tak pernah berhasil mengontrol emosinya itu.“Siapa yang menjadi korbanmu tadi?” tanya Stefan tanpa basa basi.Arion menghentikan langkah dan memutar tubuhnya dengan ekspresi santai dan seolah tak berdosa sama sekali karena sudah menyakiti manusia. Dilihatnya Stefan berdiri menatapnya dengan tenang dan seperti biasa tangannya di belakang. Bahkan Arion yang sudah tinggal bersama Stefan selama beratus-ratus tahun, masih saja belum bisa membaca pikiran lelaki tua tersebut.“Aku sudah menghisap darah dari salah satu orang yang disayangi oleh keluarga Walter,” jawab Arion dengan penuh bangga seperti baru saja melakukan hal terpuji.“Kamu masih belum sadar juga, bahwa apa yang kamu lakukan akan menjadi bumerang untukmu nanti,” kata Stefan,