Tahun ajaran 2004 sudah dimulai. Kala itu Masa Orientasi Siswa atau yang dikenal dengan MOS masih menjadi ritual pembuka, setiap kali kegiatan belajar mengajar akan berlangsung setelah libur panjang.
Berbeda dengan sekarang, MOS bagi siswa baru angkatan tahun dua ribu ke bawah, merupakan salah satu momok yang tak bisa dihindari. Bahkan para wali murid pun ikut merasakan kerepotan, dampak dari kegiatan tersebut.
Segala hal yang berkaitan dengan MOS, mampu menjungkir balikan hidup setiap calon siswa menengah atas di mana pun ia berada. Terlebih lagi Mia, seorang anak manja, anak mami, atau apapun sebutannya. Menurut Mia, kegiatan MOS tak ubahnya perundungan yang dilakukan hampir seluruh kaka kelas dengan maksud dan tujuan yang tidak jelas.
Sambil merebahkan badannya di kasur, Mia menatap nanar tumpukan barang yang akan ia bawa esok hari. Entah seperti apa wujudnya nanti dengan kaos kaki belang, dan ember rumbai-rumbai di kepalanya. Mia merasa sedikit lega karena ayah tercinta siap mengantarkan hingga gerbang sekolah.
Yaah ..., setidaknya aku tidak perlu memalukan diri di jalan, gumamnya dalam hati.
Mia menghela napas panjang, pertanda gelisah. Ingin sekali rasanya meminta perlindungan dari ke dua orang tuanya, seperti yang sudah-sudah, karena Mia tidak suka tantangan. Namun dia sadar betul bahwa dia tak bisa begini terus. Mau tidak mau, suka tidak suka, pertambahan usia mendorong Mia untuk mulai berani berdiri sendiri menghadapi dunia.
Sebagai anak bontot yang gagal menjadi kaka, Mia jelas sangat dimanja. Apalagi keluarga Mia tergolong mampu untuk mewujudkan apa saja yang Mia inginkan. Tidak hanya itu, mereka juga siap melakukan apapun untuk melindungi Mia dari semua yang bisa membahayakannya atau sekadar membuatnya tidak nyaman.
Seperti saat Mia masih duduk di bangku SD. Kala itu kegiatan camping pramuka sedang berlangsung di Cibubur. Semua murid kelas 5-6 SD wajib ikut, dan Mia kecil termasuk di dalamnya. Kegiatan yang mengajarkan anak-anak untuk mandiri dan berani itu sebenarnya baik. Namun, tidak bagi Mia dan orang tua terutama ibu. Saking tak tega membayangkan Mia bermalam di alam terbuka--tidak sampai dua puluh empat jam--ke dua orang tua Mia datang ke lokasi, dan membawanya pulang. Mia? Ya, jelas senang bukan kepalang. Itu artinya dia tidak jadi malu karena menangis saat tengah malam nanti. Dia nyengir sepanjang jalan.
Pokoknya apapun akan dilakukan orang tua Mia agar anaknya itu selalu aman dan nyaman. Termasuk untuk kegiatan MOS ini. Sudah hampir satu jam Ibunda Mia yang bernama Ibu Yeni itu, memandangi kertas berisi tulisan tangan Mia. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud isi kertas itu.
"Bayu! Sini turun!" seru ibunda Mia.
Dari kamar atas, laki-laki berusia tiga tahun lebih tua dari Mia turun dengan wajah ditekuk. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebagai seorang kaka, Bayu harus siap kapan saja untuk dimintai pertolongan mengurus segala keperluan Mia.
"Coba sini tolongin Mama!"
"Mmm ...," jawab Bayu sekenanya.
"Besok adikmu kan mau MOS-MOS itu."
"Terus?" tanya Bayu ketus.
"Nah, tolong bantuin mama nyari tahu maksud dari barang-barang yang harus dibawa ini," jawab ibunya sambil menyodorkan buku tulis baru, milik Mia bergambar sailor moon.
"Ooh ...."
Bayu menerima buku itu kemudian membacanya. Ada sayur sop kering, nasi orang meninggal, permen tujuh belas plus, buah malam minggu, air mineral cap sekolah, pulpen cepat, lengket rapat, dan buku gunung.
Sebagai anak yang cukup hits di sekolahnya, Bayu jelas mengerti semua yang dimaksud dengan mudah. Namun, otak jahilnya bekerja lebih cepat. Dia tersenyum tipis, membayangkan adik satu-satunya itu panik karena membawa barang yang salah.
"Hehe ...."
"Heh! Kenapa kamu ketawa sendiri?" tanya ibu yang terkejut melihat Bayu--anak bujangnya--tiba-tiba tertawa sendiri.
"Eh, enggak, Ma! Hehe," jawab Bayu nyengir.
"Awas, ya! Jangan jahil kamu!" ketus sang ibu. Beliau paham betul bahwa kedua anaknya itu persis seperti Tom and Jerry versi manusia. Ya, tentu saja Mia tikusnya.
"Sudah tahu belum, apa maksudnya semua itu?"
Bayu mengembuskan napas kekecawan,karena niat jahilnya telah terbaca oleh ibu. "Sop kering itu artinya bakwan, Ma," jawabnya dengan nada lesu.
"Oalaaahhh ..., ada-ada aja anak jaman sekarang. Terus-terus apa lagi?"
Kemudian Bayu menjelaskan semua yang dimaksud dengan baik dan benar kepada ibunya meski sedikit kesal karena rencananya gagal.
"Ya sudah, sekarang tolong beliin semuanya ya, Ka!" perintah ibu yang tentu saja membuat Bayu semakin kesal.
Sekembalinya membeli semua barang yang Mia butuhkan, Bayu masuk ke kamar Mia dan mendapati adiknya sedang membaca majalah Animonster kesukaannya. Tanpa sepatah kata, Bayu mengambil majalah itu dengan kasar dan secepat kilat membawanya keluar kamar.
"Iiiihhh, Kaka! Apaan sih?!" teriak Mia. Dia ingin mengejar kakaknya, namun dia mengurungkan niat itu karena tak ingin mood-nya semakin berantakan.
Bayu memang sangat senang mengganggu Mia. Apalagi Mia juga tak kalah iseng juga cengeng. Mereka kaka beradik yang sangat akrab(?). Walau terkadang Bayu merasa iri karena semua kebutuhan Mia pasti terpenuhi hingga berlebih. Namun, dia tetap sayang sama Mia.
Tak sampai lima menit, Bayu kembali ke kamar mia dan melempar sebuah majalah ke atas meja belajar. "Tuh! Sekali-sekali baca majalah yang kaya gitu!"
Mia yang sedang membuat name tag--karena majalahnya diambil--hanya melirik dengan mata yang berkilat. Melihat ekspresi adiknya itu, naluri jahil Bayu kembali tergelitik. Dia langsung merebut kertas karton berwana merah muda yang ada dihadapan Mia.
"Hahaha! Jelek banget!" ejek Bayu ketika melihat foto Mia yang terpasang diatasnya.
"Iih, kenapa sih, Ka?!" Mia bangkit dari kursi dan berusaha merebut kertas karton itu. Namun karena kalah tinggi, dia tak bisa meraihnya.
"Eits! Gak bisa!"
"Mamaaa! Kaka nih gangguin terus!" teriak Mia ketika melihat ibunya melintas di depan kamar.
"Ambil pisau satu-satu di dapur!" sungut sang ibu. "Yang satu jahil yang satu cengeng, heran!"
"Makanya cepet punya cowok. Jadi gak ngerepotin gue terus." Bayu mengembalikan kertas karton milik Mia ke atas meja.
"Tuh, baca! Biar cepet gede," perintah Bayu sambil mengusap kepala Mia dan menunggalkannya.
Setelah memastikan Bayu benar-benar keluar dari kamar, Mia mulai meliirik ke arah majalah yang masih terbungkus plastik itu. Pupil matanya membesar ketika membaca tulisan pada cover. Ternyata itu adalah majalah khusus gadis remaja yang tak pernah dilirik Mia, setiap kali dia mampir ke penjual koran dipinggir jalan.
Mia tertegun sejenak, karena terheran-heran mendapati sang kakak dengan predikat terjahil di semesta raya itu, membelikannya sebuah barang yang tak terduga. Namun, tetap saja tak bisa dihindari, hatinya tersentuh juga dengan perhatian kecil dari kakaknya. Lalu perlahan Mia mulai merobek plastik yang membungkus majalah kemudian membacanya.
Memang dasar Mia. Baru saja membaca halaman pertama, dia sudah tidak tahan. Menurutnya majalah seputar gadis remaja itu sangat membosankan. Dia pun memilih untuk melanjutkan membuat name tag konyol yang tadi sempat tertunda.
"Huuuffff!" Mia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ini mimpi buruk! Rasanya pengin menghilang aja!"
Meski bukan pertama kalinya mengikuti MOS. Namun Mia sangat yakin, bahwa kegiatan yang sama sekali tidak relevan dengan proses belajar mengajar kali ini, pasti yang terburuk yang akan Mia alami.
Apalagi Mia bukan anak yang pandai bergaul di awal perkenalan. Dia juga lebih senang menyendiri di lingkungan baru. Walapun sebenarnya dia anak yang periang, akan tetapi Mia tidak mudah beradaptasi. Itulah yang membuat dia tidak suka dengan kegiatan MOS.
"Malam ini pasti bakal mimpi buruk!"
Pagi-pagi sekali saat sang fajar belum mau menunjukan sinarnya. Bahkan sayup-sayup masih terdengar suara Iqomah untuk subuh berjamaah. Mia, gadis yang lebih cocok berambut pendek dengan poni itu sudah bersiap pergi ke sekolah barunya. Dengan bibir manyun lima senti, Mia terlihat panik sendiri. Kendati seluruh keperluannya sudah dipersiapkan Ibunda, tetap saja Mia merasa keki."Apa lagi yang harus dibawa Mia?" tanya ibu. "Coba dicek lagi, sebentar lagi sudah harus berangkat, lho."Mia tidak menjawab. Dia benar-benar nervous berat.Uughh ... Nyesel deh milih sekolah disitu. Gerutu Mia dalam hati.Mia sedikit menyesal setelah mengetahui bahwa ia harus berangkat subuh, karena akan menempuh jarak sejauh empat belas kilometer untuk tiba di sekolahnya. Mia lupa bahwa jalanan antara Tangsel dengan Jaksel selalu padat, terutama di pagi hari. Ditambah dengan dimulainya hari pertama MOS, membuat Mia semakin uring-uringan seperti sedang PMS pag
"Eh, 'tar dulu!" sergah seorang senior perempuan yang berhasil membuat Mia enggan hidup seketika. Dia datang dari ujung barisan kaka kelas yang menjadi panitia MOS. "Kasih hukuman dulu, lah! Enak banget. Baru juga mulai udah bikin kesalahan."Kulit Mia yang putih bersih semakin terlihat pasi, ketika senior perempuan itu berjalan pelan di depan matanya. Dia mendelik memperhatikan Mia dari atas ke bawah dengan kecepatan tinggi. Bahkan Mia sampai kepengin menadahkan kedua tangannya, karena khawatir ke dua bola mata senior itu mencuat keluar secara tiba-tiba. Beruntung Mia masih bisa menahan gejolak batin dari aksi percobaan bunuh diri itu."Siapa tadi nama lo?" tanya senior itu sok berkuasa, padahal terlihat bodoh. Jelas-jelas nama lengkap dan panggilan Mia terpampang nyata, di name tag yang ukurannya sebesar TV 14 inch.Mia menunduk, memastikan bahwa barisan huruf yang merangkai namanya tidak berceceran di rumput hingga tak terbaca oleh senior. Lagi
Mia dan laki-laki itu masih berpandangan. Dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka. Terlebih lagi Mia yang masih tak percaya bahwa ternyata, pria yang dia cari sedari tadi justru melihat semuanya. Detik itu juga Mia sadar bahwa hidupnya tak kan lagi sama. Bukan karena perasaan cinta, melainkan perasaan malu yang akan melekat pada Mia hingga lulus sekolah."Eh, Mia! Ayo ke aula!" seru Rossa berjalan lebih dulu. Mia bersusah payah mengejar dari belakang."Jangan bengong mulu! Nanti dihukum lagi, lho." Rossa menasehati Mia yang sudah di sampingnya."Iya, Cha."Sesampainya di aula sekolah yang sangat luas dan cat tembok putih, para siswa dipersilahkan duduk bersila beralaskan karpet tipis biru tua. Di depan aula terdapat panggung setinggi setengah kaki. Beberapa senior terlihat duduk santai di pinggir panggung. Di aula inilah kegiatan MOS yang sesungguhnya akan dimulai.Ada berbagai macam kegiatan yang akan mereka lalui hingga tiga hari ke depan. Na
Mata Mia mengerjap mendapat sentuhan lembut. Hatinya kini penuh sesak oleh bunga-bunga, hingga Mia tak bisa menebak mana perasaan yang sesungguhnya. Antara senang dan takut, Mia tak bisa merabanya dengan pasti. Jelas saja, karena pria itu adalah orang pertama yang menyentuh kepalanya selain ayah dan kakaknya."Perhatian! Kepada seluruh peserta MOS, harap segera kembali ke aula." Terdengar seruan senior laki-laki dari depan aula.Laki-laki dewasa yang kali ini mengenakan kemeja biru muda, menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan berwarna abu tua. Dia tersenyum melihat wajah panik Mia yang lucu lalu berlari tanpa menoleh lagi.Langkah Mia melambat saat teringat siapa laki-laki tersebut. Mia menyesal karena tak sempat berterima kasih karena sudah memasangkan ember rumbai-rumbai ini. Mia tersipu sambil jemarinya menyusuri permukaan ember yang kini tidak terlalu konyol baginya."Mia! Sini!" seru Indira ketika melihat Mia yang celingukan di ruang aula. R
Sesampainya di jalan raya, mereka harus menyeberang jalan agar bisa mengendarai angkot yang akan menuju ke terminal lebak bulus.Di antara teman-temannya, sepertinya hanya Mia yang terkesima melihat suasana Jakarta Selatan dengan lebih dekat untuk pertama kali. Meskipun ada perasaan was-was karena dia sama sekali belum pernah naik angkot sendirian dengan jarak sejauh ini. Namun, antusiasnya dengan pemandangan baru, bisa mengalihkan rasa cemasnya."Dari sini kita naik S11, ya?" Mia memastikan angkutan umum yang akan mereka tumpangi pertama kali."Iya, Mia kita naik S11. Tuh, dia angkotnya." Rossa menunjuk ke arah angkot berwarna merah dari arah kanan.Mereka satu persatu naik angkot yang dimaksud. Tidak lupa Kayobi membuang rokoknya dan membiarkan tetap menyala lalu padam tertiup angin. Dengan peluh yang bercucuran, mereka mendorong jendela angkot lebar-lebar agar bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya."Haduh, gerah banget, aus!" Indira mengibas-ngibas
Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, panas, dan macet, Mia akhirnya tiba di rumah pukul setengah lima sore. Meskipun lebih banyak hal yang kurang menyenangkannya hari ini, akan tetapi bisa tiba di rumah dengan selamat adalah suatu prestasi tersendiri yang mampu menyamarkan sedikit kegundahan dalam hati Mia."Assalamualaikum." Mia masuk rumah dan langsung menyalami ibunya."Waalaikumsalam, loh? Kamu pulang naik apa?" ucap ibu yang terkejut melihat anaknya pulang sendiri.Mia tak menjawab. Dia lebih memilih menuju lemari pendingin untuk segera menghilangkan dahaga dengan susu cokelat dingin. Sementara ibunya membuntuti dia dari belakang."Kok, gak pulang sama ayah?" Ibu Mia terlihat tidak sabar, meskipun anaknya masih menenggak susu dingin."Aahh." Mia mengusap mulutnya. "Kalo nunggu ayah kan lama, Ma.""Ya palingan juga jam lima selesai. Dari pada pulang sendiri. Emang kamu ngerti naik angkot apa?" Ibu Mia terlihat emosi."Kalo ga
"ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM MIA! KIRAIN UDAH BANGUN! HEY! UDAH JAM LIMA LEWAT INI!" teriak ibunda Mia dengan suara yang dapat menembus tujuh rumah sekaligus.Sedangkan si anak, hanya mengulet dan lupa kalau sekolahnya kini berbeda provinsi. Dia masih terlihat santai di pinggir kasur mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali dari alam mimpi. Namun, semuanya berubah ketika dia menyalakan lampu kamar. Mia loncat dari kasur setelah melihat dengan jelas jam di dinding. Kemudian detik itu juga berlari ke luar kamar untuk mengambil handuk."Mamaaaa, kok, gak bangunin aku siih?" gerutu Mia yang suaranya masih serak."DARI TADI MAMA JUGA UDAH JADI TARZAN, MIA!" sungut ibu Mia lebih galak lagi."Oh, oke." Mia langsung menciut. Sadar dengan kesalahannya, dia tak ingin memancing keributan.Mia hanya punya waktu lima belas menit untuk bersiap-siap. Mulai dari mandi, berpakaian, sholat subuh, sarapan, pakai sepatu kemudian berangkat selambat-lambatnya p
Mia memang lagi apes, ternyata pos pertama dijaga Rangga sang Ketua OSIS berwajah galak. Dari jauh dia menatap tajam kelompok Mia yang sedang menghampiri. Seperti elang yang sedang mengincar mangsanya.Waduh! Tahu gitu tadi biar aja Kayobi yang pertama nerima hukuman."Permisi, Kak. Apa benar ini titik pertama?" tanya Kayobi dengan santai."Kata siapa?" jawab si mata elang dengan tatapan yang bisa membuat siapa saja merinding. "Saya cuma lagi ngobrol sama Pak Satpam. Kalian ngapain ke sini? Apa buktinya kalo di sini adalah pos pertama?""Ini, Kak." Kayobi membuka amplop. "Di sini tertulis garda depan barisan kereta kuda.""Apa hubungannya dengan di sini?""Garda depan itu berarti yang berjaga di barisan paling depan, dan itu adalah satpam. Sedangkan barisan kereta kuda adalah parkiran mobil dan motor." Kayobi kembali mewakili kelompoknya menjawab."Bagus. Kalian benar. Sekarang kalian baris. Ada tugas yang harus kalian lakukan suapa
Sebagai satu-satunya pria, Kayobi berinisiatif mempin dua temannya untuk menyebrang jalan. Dia agak khawatir kalau-kalau dua bocah itu belum bisa membedakan waktu yang tepat untuk melintas di jalan raya seperti ini. Sesampainya di sebrang, mereka berdiam diri di depan supermarket yang dimaksud."Terus sekarang, apa?" tanya Mia dengan polosnya."Dih! mana kita tau," protes Kayobi. "Kan elo yang tadi bilang pengen ke sini."Mia menatap ke sebrang jalan. Di sana, terlihat angkot yang tadi dia berhentikan masih menunggu penumpang lain. Itu artinya mereka masih di sana."Itu angkot yang tadi, kan?" Mia mencoba meyakinkan meski stiker THE ME IS THREE berwarna hijau stabilo berukuran hampir sepanjang mobil, terihat jelas dari sini."Ya udah, kita masuk aja dulu kalau gitu," ujar Kayobi yang langsung mengerti maksud Mia."Gak mau, ah." Ocha menolak."Aku takut pulangnya kesorean. Sekarang aja udah mau jam empat.""Iya, Kay. Aku juga gak berani
Beberapa detik berlalu, tawa mereka berangsur-angsur reda. Namun tiba-tiba, Poof! balon itu meletus! Mia dan Ocha lebih tak tertahankan lagi. Mereka terbahak sejadi-jadinya. Begitu juga dengan Kayobi yang sudah memendamkan kepalanya. Jika tak salah, Mia juga mendengar seseorang berdehem pelan hampir bersamaan dengan meledaknya tawa mereka saat balon liur itu meledak. Bukannya buru-buru membangunkan Mas Pacar, Si Perempuan malah diam mematung menyaksiakan kekasihnya menjadi bahan tertawaan. Menyaksikan Mia dan Ocha saling memukul karena tertawa geli. Sepertinya dia shock hingga tak bisa berbuat apa-apa. Saat gelombang tawa Mia dan Ocha yang kali ini belum sepenuhnya reda, angkot kembali mengalami guncangan. Kali ini lebih hebat dari yang sebelumnya. Beberapa penumpang bahkan ada yang mengaduh kesakitan karena kepalanya terbentur atap angkot. Saat itu juga Si Pria akahirnya bangun. Benar-benar langsung bangun dan duduk tegak. Dia terlihat mengumpulkan segenap jiwa raga
Angkot D02 jurusan Lebak Bulus Ciputat semakin jauh meninggalkan terminal. Suara gemuruh supporter bola dari stadion yang lokasinya tepat di sebelah terminal pun tak terdengar lagi. Mia dan teman-teman sudah tak sabar tiba di rumah. Namun, jalanan yang lengang itu seperti biasa harus tersendat ketika sudah memasuki lampu merah Pasar Jumat. Artinya perjalanan mereka yang cukup jauh, akan menempuh waktu lebih lama. Bebarapa menit berlalu angkot Mia belum berada terlalu jauh dari lampu merah Pasar Jumat. Selain karena macet, rupanya supir angkot sengaja memanfaatkan moment itu menunggu penumpang lain. Akibatnya beberapa pengendara mobil pribadi membunyikan klakson tanda protes setiap kali berhasil melewati angkot Mia. Tapi Pak Supir tidak peduli. Ironi memang, sebab dia begini supaya bisa memenuhi kebutuhan anak istri. Semantara mereka yang memaki lewat klakson itu, tidak mungkin menafkahi keluarganya. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, dengan laju lambat me
"Mas. Mas! emang gak ada tempat lain yang lebih adem untuk ngasih cokelat selain di angkot siang bolong gini?" Protes Mia, tentunya dalam hati."Iiiih Ayang, ini apaaaa?" ucap Si Mbak mendayu-dayu sambil menutup mulutnya. Padahal udah jelas kalau itu cokelat. Mia dan Ocha pun makin kesal mendengar pertanyaan itu.Saat itu juga, Mia dan Ocha langsung berpandangan. Dengan bahasa kalbu dan sedikit tatapan tajam, mereka dapat mengerti isi kepala masing-masing yang terjebak dalam situasi Cringe Moment begini. Lalu mereka serempak menoleh ke Kayobi untuk melihat reaksinya. Dasar cowok, dia terlihat biasa saja dan gak mengerti telepati yang Ocha dan Mia berikan."Ini cokelat Sayang." Si Cowok tersenyum manis dengan tatapan sayu."Buat aku?" Si cewek tubuhnya makin tak bisa diam."Iya lah buat kamu." Suara Si Cowok terdengar lebih menggelikan lagi sekarang.Sambi menerima se kotak cokelat itu, dia bertanya, "Dalam rangka apa?""Dalam rangka V
Dari dalam angkot, sebenarnya Indira menyadari tatapan tajam dari B Girl. Tiba-tiba saja tengkuknya terasa dingin, dan saat nengok ke belakang. Ada lima orang siswi yang bertolak pinggang juga bersidekap menatap lurus ke dalam angkot. Dari pakaiannya, Indi sudah tahu mereka pasti senior."Eh... eh,rupanya kita diliatin sama mereka dari tadi." Indira berbisik pada teman-temannya."Eh, Iya. Kenapa ya, mereka ngeliatin kaya gitu?" tanya Ocha yang curi-curi pandang ke arah mereka."Lo, ada masalah In sama mereka?" Tanya Kayobi setelah bergantian melihat ke luar angkot."Mana pula aku kenal.""Wah, berarti lo semua dalam masalah.""Lho, emang mereka siapa?" Tanya Mia."Kalian tau gak mereka siapa?" Kayobi bertanya saat menyadari teman bule batakya kikuk setelah bersitatap dengan geng B Girl.Indi, Mia, dan Ocha kompak menggeleng. "Mungkin dari sekolah lain," Celetuk Ocha."Emang kamu tau Kay?" Tanya Mia yang mulai penasaran."Ta
"Hhhmm..., ya sudah. Ayo saya temani. Tapi sampe perempatan saja ya. Karena ada Pak Karyo yang berjaga di sana. Jadi kalian bisa saya tinggal." ujar Mr.Sani.Tanpa berdebat, empat siswa baru SMA BAKTI NUSA dan satu guru Bahasa Inggris mulai berjalan meninggalkan tempat. Kayobi dan Mr.Sani jalan di depan, sedangkan tiga anak perempuan jalan beriringan di belakang."Gimana, mmm ... Kayobi, hari pertama kamu?" Mr. Sani membuka pembicaraan."Ya lumayanlah, Pak," sahut Kayobi santai."Terus ada yang udah kamu incer belum, Nih?"Kayobi mengangkat bahunya, "Belum, tuh. Murid barunya gak ada yang cakep. Apalagi mereka bertiga nih, kaya anak SD semua. Hahaha.""Hush! Kamu ini." Mr. Sani menepuk pundak Kayobi sambil senyum-senyum.Sedangkan ke tiga cewek langsung melakukan protes massal sambil mendorong Kayobi bergantian hingga korek api yang ada di saku baju Kayobi terjatuh. Kayobi langsung mengabilnya buru-buru karena tak enak berada di sebela
Gini ya rasanya patah hati? tanya Mia dalam hatinya.Tidak enak dan sesak. Sepanjang pelajaran ke tiga, Mia sangat gelisah. Baginya ini adalah pertama kali dia merasakan patah hati.Untung Mia tak sampai menjatuhkan air mata, karena perasaan yang tumbuh dalam dirinya belum terlalu besar.Sama seperti Mr. Sani, Mia bertekat mengubur perasaannya dalam-dalam. Meski ternyata hal itu memerlukan konsentrasi tinggi hingga jam sekolah usai.Mia dan ke empat temannya bergegas pulang. Begitu juga dengan seluruh murid, terkecuali mereka yang ada kegiatan ekstra kulikuler."Eh, bentar gue ke toilet dulu, ya," ucap Kayobi."Iish, dia cowok sendiri tapi paling repot deh." Indira mengutarakan kekesalannya yang disetujui oleh Mia dan Rossa. Namun, nyatanya mereka tetap menunggu Kayobi di bawah tangga.Setelah hampir lima menit, Kayobi datang sambil mengeluarkan bajunya dari dalam celana agar lebih santai.Mia terus memperhatikan gaya
Guru dan murid yang saling jatuh cinta tersebut tersipu malu meski sudah berpisah. Mereka sama-sama belum sanggup memupus senyum yang terukir samar.Meski usianya terpaut jauh, Mr. Sani tak bisa memungkiri kalau Mia adalah tipenya. Terlebih lagi, Mia memiliki mata yang mampu membiusnya hingga selalu terbayang-bayang. Ia baru menyadari setelah tadi saling bertukar pandang.Di sisi lain, dia juga tidak menyangka akan jatuh hati pada anak muridnya sendiri, padahal di sekolah ada tiga orang guru dan karyawan perempuan yang seumuran. Namun, Mr. Sani tidak ingin terlaru larut dengan perasaannya. Ia cukup yakin dapat segera menepikan perasaan itu.Sedangkan Mia, sejak perjumpaan pertama, sudah tidak bisa melupakan senyum manis Mr. Sani. Satu hal yang paling melekat di benak Mia saat mata Mr. Sani seakan menghilang ketika tersenyum. Sama seperti Mr. Sani, Mia juga merasa heran bisa jatuh hati pada gurunya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti cewek lainnya yang menyukai
Sepagi ini perasaan Mia sudah campur aduk. Gelisah, takut, senang dan antusias silih berganti timbul tenggelam dalam hati Mia, karena kegiatan belajar mengajar akan dimulai hari ini. Mia sempat terbangun jam tiga tadi karena takut kesiangan lagi, kemudian kembali tidur karena masih terlalu pagi.Di depan cermin Mia memandang bayangannya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam itu masih terasa kaku layaknya baju baru. Tidak lupa dia memakai dasi agar lebih rapi. Mia menjepit rambut tepat di atas kedua telinga agar tidak menganggu penglihatan. Sebelum berangkat Mia kembali mengecek buku pelajaran yang harus dibawa hari ini dan menyesuaikan dengan jadwal yang telah tertempel di meja belajar."Kayanya hari pertama sengaja dibuat gak terlalu berat," gumam Mia setelah melihat jadwal pelajaran hari ini yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Bahasa Indinesia, dan Biologi.Setelah semuanya siap, Mia dan ayahnya berangkat jam lima lewat lima belas. Mereka agak santai karena i