Mia dan laki-laki itu masih berpandangan. Dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka. Terlebih lagi Mia yang masih tak percaya bahwa ternyata, pria yang dia cari sedari tadi justru melihat semuanya. Detik itu juga Mia sadar bahwa hidupnya tak kan lagi sama. Bukan karena perasaan cinta, melainkan perasaan malu yang akan melekat pada Mia hingga lulus sekolah.
"Eh, Mia! Ayo ke aula!" seru Rossa berjalan lebih dulu. Mia bersusah payah mengejar dari belakang.
"Jangan bengong mulu! Nanti dihukum lagi, lho." Rossa menasehati Mia yang sudah di sampingnya.
"Iya, Cha."
Sesampainya di aula sekolah yang sangat luas dan cat tembok putih, para siswa dipersilahkan duduk bersila beralaskan karpet tipis biru tua. Di depan aula terdapat panggung setinggi setengah kaki. Beberapa senior terlihat duduk santai di pinggir panggung. Di aula inilah kegiatan MOS yang sesungguhnya akan dimulai.
Ada berbagai macam kegiatan yang akan mereka lalui hingga tiga hari ke depan. Namun, sebagai anak rumahan yang manja dan masih kekanakan, berdiri di depan banyak orang karena melakukan kesalahan, merupakan hal baru bagi Mia. Jangankan berbuat bandel, hampir terlambat saja sudah membuatnya keringat dingin.
Mia masih agak syok meski sudah setengah hari berlalu. Ingin sekali rasanya menangis dan berlari pulang. Namun, bagaimana caranya? Apalagi seumur-umur Mia belum pernah naik angkot untuk pulang ke rumah.
"Sekarang keluarkan semua bekal kalian!" perintah kaka kelas yang menjadi pemandu acara MOS hari ini.
Serentak seluruh peserta MOS mengeluarkan bekal makan siang yang telah ditentukan panitia, yaitu bakwan dan nasi kuning. Begitu pula dengan lima belas orang senior panitia MOS yang menyebar ke penjuru ruangan. Mereka seperti gangster yang sedang mengawasi sanderanya.
"Nasi apaan nih yang kamu bawa?!" tanya seorang kaka kelas pada salah satu siswi yang merupakan anggota kelompok lain di sebelah Mia.
"Nasi kotak, Kak." Siswi berkacamata itu hanya menunduk. "Kan, nasi berkat dari orang meninggal," lanjutnya.
"Hahahaa!" Dua senior yang menghampiri gadis itu tergelak. "Terus ini beneran nasi tahlilan jadinya?" tanya salah satu dari mereka.
Gadis itu menggeleng pelan sebelum akhirnya senior yang lain bertanya, "Terus ini nasi apa?"
"Nasi warteg biasa, Kak. Cuma ditaro dalam kardus nasi kotak." Gadis itu menunduk makin dalam.
"Wuidiiiih, pinter juga dia," cemooh salah satu senior sambil tertawa lebar. "Maju ke depan!"
Mia memejamkan mata melihat gadis berkacamata itu dibawa ke depan aula karena merasa bernasib sama.
"Bakwannya mana?!" tanya seorang kaka kelas yang lain pada salah satu siswi dari kelompok Mia. Siswi tersebut langsung menunjukkan bakwan jagung miliknya.
"APAAN NIH!?" Tanpa hujan angin, kaka kelas tersebut langsung membentak. Kali ini suaranya sampai membuat Mia gemetaran.
"Itu bakwan jagung, Kak," jawab siswi yang belakangan Mia baru ingat namanya Sari.
"Kamu baca gak petunjuknya?" tanya si senior.
"Baca, Kak."
"Apa?" Si senior mengangkat dagu, seraya melirik ke bawah dengan sinis.
"Sop kering, Kak," jawab Sari keheranan lantaran tak tahu kesalahannya.
"Terus kol dan wortel mana? Hah?!" Kaka senior makin meninggikan suara.
"Saya gak suka sayur kol, Kak."
"Hah?! Emang siapa yang suruh makan? Orang cuma disuruh bawa doang. Maju ke depan!"
Kini semua mata tertuju pada tujuh siswa siswi yang berdiri di depan aula. Mereka terlihat pasrah seperti sedang menanti hukuman mati. Meskipun begitu, tetap saja ada tiga orang yang terlihat santai, cengengesan, dan bersenda gurau dengan teman mereka.
Sebagai makhluk hidup pemakan segala, saat ini Mia merasa sangat bersyukur sekali. Karena menurutnya makanan itu hanya ada dua jenis rasa, yaitu enak dan enak banget. Jadi tidak ada makanan yang Mia tidak sukai.
"Huuffh." Mia mengelus dada.
"Kenapa Mia, keselek?" tanya Indira.
"Hehe, enggak. Enggak apa-apa, kok."
Setelah diizinkan makan siang, seluruh peserta MOS akhirnya merasa lega. Ketegangan yang semula tampak tak terlihat lagi. Suasana riuh rendah pun terdengar. Mia dan anggota kelompoknya bahkan saling bertukar lauk, walaupun sama-sama bakwan. Sungguh anak-anak yang aneh.
Sementara tujuh kesatria terpilih yang masih berdiri di depan aula, sedang berjuang berhadapan dengan lima belas pasukan elit sekolah. Mereka diberikan hukuman yang berbeda-beda setiap orangnya. Ada yang bernyanyi, push up, baca puisi, juga nge-gombal. Sayang, Mia tidak bisa begitu jelas mendengarnya, karena posisinya agak jauh.
Selesai makan, beberapa anak terlihat asyik ngobrol di aula maupun di luar aula. Ada juga yang pergi ke kantin sekolah, dan sebagian lainnya memilih untuk sholat. Begitu juga dengan para kaka kelas. Beberapa di antara mereka ada yang tidur di atas panggung.
"Cha, sholat, yuk!" Mia hanya mengajak Rossa sholat, karena Indira beragama Kristen. Sementara Kayobi, dia sudah dari tadi tak terlihat. Begitu juga enam orang lainnya, yang lebih memilih beristirahat bersama teman satu sekolahnya dulu.
"Aku lagi gak sholat, Mi," jawab Rossa yang celingukan mencari Kayobi.
"Nyari siapa, sih?"
"Oh, enggaaakk."
"Ya udah aku sholat dulu, ya." Mia pamit dan segera keluar dari aula tanpa membuka ember kecil yang masih bertengger di atas kepalanya.
Mia agak kebingungan kenapa orang-orang terus memperhatikannya sepanjang perjalanan menuju tempat wudhu. Hingga lima belas detik kemudian dia mendengus. "Huuff!! Pantes aja pada ngeliatin!" gerutu Mia sambil membuka ember dengan kasar. Mau tidak mau, Mia harus membawa ember itu. "Gak banget, sih, hari ini!" sungut Mia sambil menenteng ember menuju mushola.
Setibanya di mushola, Mia terkesima melihat banyaknya siswa siswi yang masih mengingat sholat. Terlebih lagi SMA BAKTI NUSA merupakan salah satu sekolah elit di Jakarta Selatan; sebuah wilayah yang cukup terkenal dengan pergaulannya. Setidaknya itu yang Mia tahu selama ini.
Selesai sholat, tanpa sengaja Mia melihat bangku panjang yang berada di depan ruang administasi, tempat dia duduk bersama ibunya untuk mendaftar sekolah seminggu yang lalu. Mia jadi teringat alasan mengapa dia memilih sekolah yang jauh dari rumah. Mia ingin jadi pemberani dan tidak manja lagi.
"Hey! Jangan depan pintu!" seru seorang laki-laki yang seketika mengentakkan bahu Mia. Ternyata laki-laki itu adalah Rangga. Kedua ujung netra mereka kembali bertemu. Namun, mereka sama-sama cuek.
Rangga yang berwajah ganteng, tetapi terkesan dingin dan galak, makin membuat Mia merasa muak. Kok bisa mirip-mirip gitu ya sama yang di film? ucap Mia dalam hati yang kesekian kalinya dan memilih untuk tak memedulikannya.
Saat hendak memakai sepatu di depan mushola, Mia kembali melihat ke bangku panjang itu lagi. Di sana cukup sepi. Hanya sesekali ada orang yang lalu-lalang. Karena itu Mia memutuskan membawa sepatu dan tak lupa ember kesayangan, yang akan menjadi bagian dari Mia selama tiga hari ke depan di sekolah.
Mia menghempaskan diri pada bangku kayu tanpa sandaran, kemudian mengembuskan napas. Cukup sulit bagi Mia mencerna segala hal yang hari ini dialami. Sekarang, menyendiri adalah hal yang paling ia inginkan.
Sambil mengayun-ayunkan kaki, Mia tampak menikmati momen itu. Namun, baru lima menit merasakan ketenangan, dua siswi yang baru datang terburu-buru, membuat jantung Mia tersentak.
"Waduh, aku harus cepet-cepet balik, nih!" Mia bangkit dari sandarannya di dinding.
Karena tak ingin maju ke depan untuk ke dua kali, Mia meraih sepatu dengan tergesa, hingga sikutnya menyentuh ember dan terjatuh. Benda itu menggelinding sangat jauh dan berhenti saat mengenai dinding.
"Duuh, ntar dulu, deh," gumam Mia.
Dia memilih terus mengikat tali sepatunya, sampai tak sadar ada seseorang yang datang. Tanpa mengucapkan sepatah kata, orang itu langsung menuju ember dan mengambilnya. Kemudian saat tali sepatu Mia telah tersimpul dengan rapi, Mia bangit dari duduk. Namun, apa yang terjadi selanjutnya membuat jantung Mia seolah berhenti sejenak.
Betapa terkejutnya Mia hingga tak bisa merasakan kakinya menapak. Karena kini laki-laki yang belakangan memenuhi isi kepalanya itu, hanya berjarak setengah meter di hadapan Mia. Ember di tangan si pria sampai tak terlihat oleh Mia—seolah tembus pandang. Ini benar-benar seperti sinetron atau FTV; kurang backsound romantis saja, di mana dua insan manusia dengan gejolak yang sama saling berpandangan, tanpa kata, tanpa suara untuk waktu yang terasa lama. Namun, sayang, ada garis tak kasat mata di antara mereka yang tak kan mampu ditembus.
Sebagai orang yang lebih dewasa usianya, pria itu jelas dapat mengendalikan diri lebih baik. Lantas dia mulai berjalan mendekati Mia. Tentu saja dengan senyum lembut menghiasi bibirnya. Sedangkan Mia si cewek lugu, hanya bisa mematung. Jangankan untuk membalas senyuman, bahkan Mia saja belum sepenuhnya mengerti, dengan apa yang dia rasakan.
Makin pria itu mendekat jantung Mia berdegup kian hebat. Hingga saat mereka hanya berjarak sejengkal, Mia dapat mendengar suara detak jantungnya yang hampir menembus dada. Pria itu diam sedetik, sebelum dengan luwesnya dia menaruh ember rumbai-rumbai di atas kepala Mia. Ini sungguh gila sekaligus aneh. Karena untuk pertama kali dalam hidup Mia, dia merasa dengkulnya begitu lemas. Bahkan jauh lebih lemas dibanding tadi pagi. Namun, entah mengapa bisa-bisanya dia masih berdiri tegak. Aneh bukan?
"Hanamia? betul, kan?" tanya pria itu sambil mengalungkan tali rafia pada ember di bawah dagu Mia.
Mia mengangguk samar.
"Panggilannya Hana, atau Mia?"
"Mia. Aku biasa dipanggil Mia," jawab Mia yang mulai menyatu jiwa dan pikirannya.
Pria itu tersenyum kian lebar lalu menepuk pelan ember itu. "Sudah, cepat kembali ke aula."
Mata Mia mengerjap mendapat sentuhan lembut. Hatinya kini penuh sesak oleh bunga-bunga, hingga Mia tak bisa menebak mana perasaan yang sesungguhnya. Antara senang dan takut, Mia tak bisa merabanya dengan pasti. Jelas saja, karena pria itu adalah orang pertama yang menyentuh kepalanya selain ayah dan kakaknya."Perhatian! Kepada seluruh peserta MOS, harap segera kembali ke aula." Terdengar seruan senior laki-laki dari depan aula.Laki-laki dewasa yang kali ini mengenakan kemeja biru muda, menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan berwarna abu tua. Dia tersenyum melihat wajah panik Mia yang lucu lalu berlari tanpa menoleh lagi.Langkah Mia melambat saat teringat siapa laki-laki tersebut. Mia menyesal karena tak sempat berterima kasih karena sudah memasangkan ember rumbai-rumbai ini. Mia tersipu sambil jemarinya menyusuri permukaan ember yang kini tidak terlalu konyol baginya."Mia! Sini!" seru Indira ketika melihat Mia yang celingukan di ruang aula. R
Sesampainya di jalan raya, mereka harus menyeberang jalan agar bisa mengendarai angkot yang akan menuju ke terminal lebak bulus.Di antara teman-temannya, sepertinya hanya Mia yang terkesima melihat suasana Jakarta Selatan dengan lebih dekat untuk pertama kali. Meskipun ada perasaan was-was karena dia sama sekali belum pernah naik angkot sendirian dengan jarak sejauh ini. Namun, antusiasnya dengan pemandangan baru, bisa mengalihkan rasa cemasnya."Dari sini kita naik S11, ya?" Mia memastikan angkutan umum yang akan mereka tumpangi pertama kali."Iya, Mia kita naik S11. Tuh, dia angkotnya." Rossa menunjuk ke arah angkot berwarna merah dari arah kanan.Mereka satu persatu naik angkot yang dimaksud. Tidak lupa Kayobi membuang rokoknya dan membiarkan tetap menyala lalu padam tertiup angin. Dengan peluh yang bercucuran, mereka mendorong jendela angkot lebar-lebar agar bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya."Haduh, gerah banget, aus!" Indira mengibas-ngibas
Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, panas, dan macet, Mia akhirnya tiba di rumah pukul setengah lima sore. Meskipun lebih banyak hal yang kurang menyenangkannya hari ini, akan tetapi bisa tiba di rumah dengan selamat adalah suatu prestasi tersendiri yang mampu menyamarkan sedikit kegundahan dalam hati Mia."Assalamualaikum." Mia masuk rumah dan langsung menyalami ibunya."Waalaikumsalam, loh? Kamu pulang naik apa?" ucap ibu yang terkejut melihat anaknya pulang sendiri.Mia tak menjawab. Dia lebih memilih menuju lemari pendingin untuk segera menghilangkan dahaga dengan susu cokelat dingin. Sementara ibunya membuntuti dia dari belakang."Kok, gak pulang sama ayah?" Ibu Mia terlihat tidak sabar, meskipun anaknya masih menenggak susu dingin."Aahh." Mia mengusap mulutnya. "Kalo nunggu ayah kan lama, Ma.""Ya palingan juga jam lima selesai. Dari pada pulang sendiri. Emang kamu ngerti naik angkot apa?" Ibu Mia terlihat emosi."Kalo ga
"ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM MIA! KIRAIN UDAH BANGUN! HEY! UDAH JAM LIMA LEWAT INI!" teriak ibunda Mia dengan suara yang dapat menembus tujuh rumah sekaligus.Sedangkan si anak, hanya mengulet dan lupa kalau sekolahnya kini berbeda provinsi. Dia masih terlihat santai di pinggir kasur mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali dari alam mimpi. Namun, semuanya berubah ketika dia menyalakan lampu kamar. Mia loncat dari kasur setelah melihat dengan jelas jam di dinding. Kemudian detik itu juga berlari ke luar kamar untuk mengambil handuk."Mamaaaa, kok, gak bangunin aku siih?" gerutu Mia yang suaranya masih serak."DARI TADI MAMA JUGA UDAH JADI TARZAN, MIA!" sungut ibu Mia lebih galak lagi."Oh, oke." Mia langsung menciut. Sadar dengan kesalahannya, dia tak ingin memancing keributan.Mia hanya punya waktu lima belas menit untuk bersiap-siap. Mulai dari mandi, berpakaian, sholat subuh, sarapan, pakai sepatu kemudian berangkat selambat-lambatnya p
Mia memang lagi apes, ternyata pos pertama dijaga Rangga sang Ketua OSIS berwajah galak. Dari jauh dia menatap tajam kelompok Mia yang sedang menghampiri. Seperti elang yang sedang mengincar mangsanya.Waduh! Tahu gitu tadi biar aja Kayobi yang pertama nerima hukuman."Permisi, Kak. Apa benar ini titik pertama?" tanya Kayobi dengan santai."Kata siapa?" jawab si mata elang dengan tatapan yang bisa membuat siapa saja merinding. "Saya cuma lagi ngobrol sama Pak Satpam. Kalian ngapain ke sini? Apa buktinya kalo di sini adalah pos pertama?""Ini, Kak." Kayobi membuka amplop. "Di sini tertulis garda depan barisan kereta kuda.""Apa hubungannya dengan di sini?""Garda depan itu berarti yang berjaga di barisan paling depan, dan itu adalah satpam. Sedangkan barisan kereta kuda adalah parkiran mobil dan motor." Kayobi kembali mewakili kelompoknya menjawab."Bagus. Kalian benar. Sekarang kalian baris. Ada tugas yang harus kalian lakukan suapa
Sepagi ini perasaan Mia sudah campur aduk. Gelisah, takut, senang dan antusias silih berganti timbul tenggelam dalam hati Mia, karena kegiatan belajar mengajar akan dimulai hari ini. Mia sempat terbangun jam tiga tadi karena takut kesiangan lagi, kemudian kembali tidur karena masih terlalu pagi.Di depan cermin Mia memandang bayangannya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam itu masih terasa kaku layaknya baju baru. Tidak lupa dia memakai dasi agar lebih rapi. Mia menjepit rambut tepat di atas kedua telinga agar tidak menganggu penglihatan. Sebelum berangkat Mia kembali mengecek buku pelajaran yang harus dibawa hari ini dan menyesuaikan dengan jadwal yang telah tertempel di meja belajar."Kayanya hari pertama sengaja dibuat gak terlalu berat," gumam Mia setelah melihat jadwal pelajaran hari ini yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Bahasa Indinesia, dan Biologi.Setelah semuanya siap, Mia dan ayahnya berangkat jam lima lewat lima belas. Mereka agak santai karena i
Guru dan murid yang saling jatuh cinta tersebut tersipu malu meski sudah berpisah. Mereka sama-sama belum sanggup memupus senyum yang terukir samar.Meski usianya terpaut jauh, Mr. Sani tak bisa memungkiri kalau Mia adalah tipenya. Terlebih lagi, Mia memiliki mata yang mampu membiusnya hingga selalu terbayang-bayang. Ia baru menyadari setelah tadi saling bertukar pandang.Di sisi lain, dia juga tidak menyangka akan jatuh hati pada anak muridnya sendiri, padahal di sekolah ada tiga orang guru dan karyawan perempuan yang seumuran. Namun, Mr. Sani tidak ingin terlaru larut dengan perasaannya. Ia cukup yakin dapat segera menepikan perasaan itu.Sedangkan Mia, sejak perjumpaan pertama, sudah tidak bisa melupakan senyum manis Mr. Sani. Satu hal yang paling melekat di benak Mia saat mata Mr. Sani seakan menghilang ketika tersenyum. Sama seperti Mr. Sani, Mia juga merasa heran bisa jatuh hati pada gurunya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti cewek lainnya yang menyukai
Gini ya rasanya patah hati? tanya Mia dalam hatinya.Tidak enak dan sesak. Sepanjang pelajaran ke tiga, Mia sangat gelisah. Baginya ini adalah pertama kali dia merasakan patah hati.Untung Mia tak sampai menjatuhkan air mata, karena perasaan yang tumbuh dalam dirinya belum terlalu besar.Sama seperti Mr. Sani, Mia bertekat mengubur perasaannya dalam-dalam. Meski ternyata hal itu memerlukan konsentrasi tinggi hingga jam sekolah usai.Mia dan ke empat temannya bergegas pulang. Begitu juga dengan seluruh murid, terkecuali mereka yang ada kegiatan ekstra kulikuler."Eh, bentar gue ke toilet dulu, ya," ucap Kayobi."Iish, dia cowok sendiri tapi paling repot deh." Indira mengutarakan kekesalannya yang disetujui oleh Mia dan Rossa. Namun, nyatanya mereka tetap menunggu Kayobi di bawah tangga.Setelah hampir lima menit, Kayobi datang sambil mengeluarkan bajunya dari dalam celana agar lebih santai.Mia terus memperhatikan gaya
Sebagai satu-satunya pria, Kayobi berinisiatif mempin dua temannya untuk menyebrang jalan. Dia agak khawatir kalau-kalau dua bocah itu belum bisa membedakan waktu yang tepat untuk melintas di jalan raya seperti ini. Sesampainya di sebrang, mereka berdiam diri di depan supermarket yang dimaksud."Terus sekarang, apa?" tanya Mia dengan polosnya."Dih! mana kita tau," protes Kayobi. "Kan elo yang tadi bilang pengen ke sini."Mia menatap ke sebrang jalan. Di sana, terlihat angkot yang tadi dia berhentikan masih menunggu penumpang lain. Itu artinya mereka masih di sana."Itu angkot yang tadi, kan?" Mia mencoba meyakinkan meski stiker THE ME IS THREE berwarna hijau stabilo berukuran hampir sepanjang mobil, terihat jelas dari sini."Ya udah, kita masuk aja dulu kalau gitu," ujar Kayobi yang langsung mengerti maksud Mia."Gak mau, ah." Ocha menolak."Aku takut pulangnya kesorean. Sekarang aja udah mau jam empat.""Iya, Kay. Aku juga gak berani
Beberapa detik berlalu, tawa mereka berangsur-angsur reda. Namun tiba-tiba, Poof! balon itu meletus! Mia dan Ocha lebih tak tertahankan lagi. Mereka terbahak sejadi-jadinya. Begitu juga dengan Kayobi yang sudah memendamkan kepalanya. Jika tak salah, Mia juga mendengar seseorang berdehem pelan hampir bersamaan dengan meledaknya tawa mereka saat balon liur itu meledak. Bukannya buru-buru membangunkan Mas Pacar, Si Perempuan malah diam mematung menyaksiakan kekasihnya menjadi bahan tertawaan. Menyaksikan Mia dan Ocha saling memukul karena tertawa geli. Sepertinya dia shock hingga tak bisa berbuat apa-apa. Saat gelombang tawa Mia dan Ocha yang kali ini belum sepenuhnya reda, angkot kembali mengalami guncangan. Kali ini lebih hebat dari yang sebelumnya. Beberapa penumpang bahkan ada yang mengaduh kesakitan karena kepalanya terbentur atap angkot. Saat itu juga Si Pria akahirnya bangun. Benar-benar langsung bangun dan duduk tegak. Dia terlihat mengumpulkan segenap jiwa raga
Angkot D02 jurusan Lebak Bulus Ciputat semakin jauh meninggalkan terminal. Suara gemuruh supporter bola dari stadion yang lokasinya tepat di sebelah terminal pun tak terdengar lagi. Mia dan teman-teman sudah tak sabar tiba di rumah. Namun, jalanan yang lengang itu seperti biasa harus tersendat ketika sudah memasuki lampu merah Pasar Jumat. Artinya perjalanan mereka yang cukup jauh, akan menempuh waktu lebih lama. Bebarapa menit berlalu angkot Mia belum berada terlalu jauh dari lampu merah Pasar Jumat. Selain karena macet, rupanya supir angkot sengaja memanfaatkan moment itu menunggu penumpang lain. Akibatnya beberapa pengendara mobil pribadi membunyikan klakson tanda protes setiap kali berhasil melewati angkot Mia. Tapi Pak Supir tidak peduli. Ironi memang, sebab dia begini supaya bisa memenuhi kebutuhan anak istri. Semantara mereka yang memaki lewat klakson itu, tidak mungkin menafkahi keluarganya. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, dengan laju lambat me
"Mas. Mas! emang gak ada tempat lain yang lebih adem untuk ngasih cokelat selain di angkot siang bolong gini?" Protes Mia, tentunya dalam hati."Iiiih Ayang, ini apaaaa?" ucap Si Mbak mendayu-dayu sambil menutup mulutnya. Padahal udah jelas kalau itu cokelat. Mia dan Ocha pun makin kesal mendengar pertanyaan itu.Saat itu juga, Mia dan Ocha langsung berpandangan. Dengan bahasa kalbu dan sedikit tatapan tajam, mereka dapat mengerti isi kepala masing-masing yang terjebak dalam situasi Cringe Moment begini. Lalu mereka serempak menoleh ke Kayobi untuk melihat reaksinya. Dasar cowok, dia terlihat biasa saja dan gak mengerti telepati yang Ocha dan Mia berikan."Ini cokelat Sayang." Si Cowok tersenyum manis dengan tatapan sayu."Buat aku?" Si cewek tubuhnya makin tak bisa diam."Iya lah buat kamu." Suara Si Cowok terdengar lebih menggelikan lagi sekarang.Sambi menerima se kotak cokelat itu, dia bertanya, "Dalam rangka apa?""Dalam rangka V
Dari dalam angkot, sebenarnya Indira menyadari tatapan tajam dari B Girl. Tiba-tiba saja tengkuknya terasa dingin, dan saat nengok ke belakang. Ada lima orang siswi yang bertolak pinggang juga bersidekap menatap lurus ke dalam angkot. Dari pakaiannya, Indi sudah tahu mereka pasti senior."Eh... eh,rupanya kita diliatin sama mereka dari tadi." Indira berbisik pada teman-temannya."Eh, Iya. Kenapa ya, mereka ngeliatin kaya gitu?" tanya Ocha yang curi-curi pandang ke arah mereka."Lo, ada masalah In sama mereka?" Tanya Kayobi setelah bergantian melihat ke luar angkot."Mana pula aku kenal.""Wah, berarti lo semua dalam masalah.""Lho, emang mereka siapa?" Tanya Mia."Kalian tau gak mereka siapa?" Kayobi bertanya saat menyadari teman bule batakya kikuk setelah bersitatap dengan geng B Girl.Indi, Mia, dan Ocha kompak menggeleng. "Mungkin dari sekolah lain," Celetuk Ocha."Emang kamu tau Kay?" Tanya Mia yang mulai penasaran."Ta
"Hhhmm..., ya sudah. Ayo saya temani. Tapi sampe perempatan saja ya. Karena ada Pak Karyo yang berjaga di sana. Jadi kalian bisa saya tinggal." ujar Mr.Sani.Tanpa berdebat, empat siswa baru SMA BAKTI NUSA dan satu guru Bahasa Inggris mulai berjalan meninggalkan tempat. Kayobi dan Mr.Sani jalan di depan, sedangkan tiga anak perempuan jalan beriringan di belakang."Gimana, mmm ... Kayobi, hari pertama kamu?" Mr. Sani membuka pembicaraan."Ya lumayanlah, Pak," sahut Kayobi santai."Terus ada yang udah kamu incer belum, Nih?"Kayobi mengangkat bahunya, "Belum, tuh. Murid barunya gak ada yang cakep. Apalagi mereka bertiga nih, kaya anak SD semua. Hahaha.""Hush! Kamu ini." Mr. Sani menepuk pundak Kayobi sambil senyum-senyum.Sedangkan ke tiga cewek langsung melakukan protes massal sambil mendorong Kayobi bergantian hingga korek api yang ada di saku baju Kayobi terjatuh. Kayobi langsung mengabilnya buru-buru karena tak enak berada di sebela
Gini ya rasanya patah hati? tanya Mia dalam hatinya.Tidak enak dan sesak. Sepanjang pelajaran ke tiga, Mia sangat gelisah. Baginya ini adalah pertama kali dia merasakan patah hati.Untung Mia tak sampai menjatuhkan air mata, karena perasaan yang tumbuh dalam dirinya belum terlalu besar.Sama seperti Mr. Sani, Mia bertekat mengubur perasaannya dalam-dalam. Meski ternyata hal itu memerlukan konsentrasi tinggi hingga jam sekolah usai.Mia dan ke empat temannya bergegas pulang. Begitu juga dengan seluruh murid, terkecuali mereka yang ada kegiatan ekstra kulikuler."Eh, bentar gue ke toilet dulu, ya," ucap Kayobi."Iish, dia cowok sendiri tapi paling repot deh." Indira mengutarakan kekesalannya yang disetujui oleh Mia dan Rossa. Namun, nyatanya mereka tetap menunggu Kayobi di bawah tangga.Setelah hampir lima menit, Kayobi datang sambil mengeluarkan bajunya dari dalam celana agar lebih santai.Mia terus memperhatikan gaya
Guru dan murid yang saling jatuh cinta tersebut tersipu malu meski sudah berpisah. Mereka sama-sama belum sanggup memupus senyum yang terukir samar.Meski usianya terpaut jauh, Mr. Sani tak bisa memungkiri kalau Mia adalah tipenya. Terlebih lagi, Mia memiliki mata yang mampu membiusnya hingga selalu terbayang-bayang. Ia baru menyadari setelah tadi saling bertukar pandang.Di sisi lain, dia juga tidak menyangka akan jatuh hati pada anak muridnya sendiri, padahal di sekolah ada tiga orang guru dan karyawan perempuan yang seumuran. Namun, Mr. Sani tidak ingin terlaru larut dengan perasaannya. Ia cukup yakin dapat segera menepikan perasaan itu.Sedangkan Mia, sejak perjumpaan pertama, sudah tidak bisa melupakan senyum manis Mr. Sani. Satu hal yang paling melekat di benak Mia saat mata Mr. Sani seakan menghilang ketika tersenyum. Sama seperti Mr. Sani, Mia juga merasa heran bisa jatuh hati pada gurunya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti cewek lainnya yang menyukai
Sepagi ini perasaan Mia sudah campur aduk. Gelisah, takut, senang dan antusias silih berganti timbul tenggelam dalam hati Mia, karena kegiatan belajar mengajar akan dimulai hari ini. Mia sempat terbangun jam tiga tadi karena takut kesiangan lagi, kemudian kembali tidur karena masih terlalu pagi.Di depan cermin Mia memandang bayangannya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam itu masih terasa kaku layaknya baju baru. Tidak lupa dia memakai dasi agar lebih rapi. Mia menjepit rambut tepat di atas kedua telinga agar tidak menganggu penglihatan. Sebelum berangkat Mia kembali mengecek buku pelajaran yang harus dibawa hari ini dan menyesuaikan dengan jadwal yang telah tertempel di meja belajar."Kayanya hari pertama sengaja dibuat gak terlalu berat," gumam Mia setelah melihat jadwal pelajaran hari ini yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Bahasa Indinesia, dan Biologi.Setelah semuanya siap, Mia dan ayahnya berangkat jam lima lewat lima belas. Mereka agak santai karena i