Fatmawti-Jakarta Selatan, 2004
Mia nyaris menangis. Pipinya terasa panas dan dia tahu, pasti juga berawana merah padam. Tangannya terlihat gemetar sibuk mencari satu dokumen fotokopi yang hilang. Di sudut Sekolah Menangah Atas itu, gadis yang bernama lengkap Hanamia Kagumi dibantu ibunya membolak-balik kertas lain dan hasilnya masih nihil.
"Kan, Mama udah bilang. Sekolah yang deket-deket rumah aja. Gak nurut, sih!" Ibunya Mia, terus mengomel sedari tadi. Sedangkan anak gadisnya hanya bisa menunduk tak bisa menjawab, karena sadar bahwa ini memang kesalahannya.
Sebulan yang lalu Mia baru lulus SMP. Tapi hingga kini dia belum mendaftar sekolah. Padahal pendaftaran tahun ajaran baru sudah hampir habis dan minggu depan kegiatan belajar mengajar akan dimulai. Semua itu karena ada negosiasi alot anatara Mia dengan orang tuanya. Mia anak bungsu dari dua bersaudara itu, ingin sekolah di Jakarta. Dia ingin mandiri katanya. Sedangkan orangtua mia bersikukuh tak mengijinkan. Bagi mereka, jarak anatar Pamulang dan Jakarta Selatan yang paling dekat, itu sudah terlalu jauh. Dengan berat hati Mia mengalah. Akan tetapi semua sudah terlambat. Rasanya semua sekolah di daerah Pamulang-Ciputat sudah ditelusuri Mia bersama orang tua dan ternyata semua sudah tutup pendaftaran.
Pilihan pun jatuh pada SMA BAKTI NUSA yang berlokasi di Fatmawati. Alasannya bukan karena lebih dekat ke rumah, melainkan karena dekat dengan kantor tempat ayah Mia bekerja. Jadi Mia tak perlu naik angkutan umum untuk pergi dan pulang sekolah. Mereka akhirnya meraih kata sepakat. Untung saja pihak sekolah masih membuka pendaftaran.
Sayangnya Mia kembali dalam masalah. Dia terancam untuk tidak bisa melanjutkan sekolah karena hari ini terakhir pendaftaran. Sedangkan fotokopi ijazah SMP Mia hilang entah kemana! Padahal seingat Ibu Yenny, kertas itu selalu ada di dalam plastik bersama dokumen lain. Ibu dan anak itu makin panik mencari dikumen yang hilang.
"Coba kalau dari awal nurut! gak bakal nih, kaya begini! Sekarang kalo gak ketemu gimana? Balik ke rumah dulu, kan, gak mungkin!" Mamanya Mia terus mengomel.
Karena kesal dan panik yang makin menjadi, Mia akhirnya berdiri. Dia menunduk ke bawah bangku kayu tempat mereka duduk. Lalu celingak-celinguk dan melempar pendangan sejauh mungkin, berharap melihat seonggok kertas entah di ujung yang mana. Tapi sepanjang penglihatan Mia, semua lantainya bersih. Akhirnya dengan berat hati Mia harus mengetari sekolah. Mia yakin ibunya tak lupa membawa semua dokumen.
Mia mulai berjalan meninggalkan ibunya. Sesekali dia masih menengok, karena Si Anak Manja ini jelas takut mengitari tempat asing yang terbilang sepi. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Masa dia jadi putus sekolah hanya karena fotokopi ijazah yang hilang. Jika perlu dia juga akan mencari ke luar sekolah. Bisa saja terjatuh saat mereka baru tiba tadi, bukan?
Sepanjang pencarian Mia berusaha untuk tidak nangis agar bisa fokus. Namun tetap saja dia panik hingga tangan kakinya terasa dingin. Dia bahkan tak peduli dengan seorang pria yang duduk di bangku kayu di depan sebuah ruangan. Jika laki-laki yang Mia duga seorang guru itu melihat muka paniknya saat ini dia juga tak peduli. Mia terus saja berjalan sambil mengigit bibir bawah. Laki-laki itu nampak berdiri setelah Mia melewatinya, lalu dia masuk ke dalam sebuah ruangan.
Mia terus berjalan hingga mulai merasa capek. "Kayanya gak mungkin kertas itu ada di lantai atas," gumam Mia yang ngos-ngosan setelah mengitari sekolah hingga sudut paling gelap sekalipun. Akhirnya Mia memutuskan untuk balik arah dan mencarinya di luar pagar sekolah.
Belum lama berjalan, Mia melihat laki-laki yang tadi. Kebetulan tatapan mereka bertemu. Kali ini pria tersebut langsung menghampir Mia. Sedangkan Mia yang merasa aneh, terus saja melangkah.
"Ini gak beres! Ngapain dia ngikutin??" Mia mulai ketakutan saat menyadari pria yang mengenakan kemeja cokelat dengan lengan digulung setengah itu mengikutinya.
Langkah Mia kian cepat untuk menghindari Si Pria saat akan melewati lorong kelas yang sepi. Tapi dia terus mengikui Mia.
"Hanamia!" seru lelaki itu, "kamu Hanamia, kan?"
Mia menoleh entah untuk ke berapa kali. Tapi yang sekarang membuat Mia makin ketakutan. "Darimana dia tau namaku?"
"Tunggu! Ini ijazahmu, kan?"
Mia langsung berhenti dan berbalik badan. "Kok?" Hanya itu yang keluar dari mulut Mia.
Pria itu menghampiri Mia yang diam mematung sambil membawa kertas di ke dua tangannya.
"Hanamia Kagumi." Dia membaca nama Mia pelan-pelan, persis di hadapan Mia.
"Nama yang bagus. Punyamu, kan?" Pria itu menyodorkan sebuah kertas.
Mia melirik kertas itu sebelum mengambilnya. Benar, itu fotokopi ijazah Mia yang hilang. Apakah Mia harus senang? Dia tidak tahu pasti. Perasaannya begitu campur aduk. Setelah dibuat panik mencari kertas, sedetik yang lalu dia ketakutan setengah mati karena diikuti oleh pria asing.
"Tadi, ada OB yang menemukannya. Terus dia kasih ke saya." Pria itu menjelaskan. Sementara Mia diam saja memandangi ijazah di tangannya. "saya cari di data komputer, ternyata gak ada."
Mia masih diam memandangi kertas di tangannya. Dia seoalh tidak menganggap lelaki di hadapoannya itu ada. Tak lama air mata Mia mulai menggenang.
"Lho, kamu, kok, nangis?" Laki-laki yang berusia tujuh tahun lebih tua dari Mia agak kaget.
"HUAAAAA..." Tangis Mia tiba-tiba pecah seiring dengan tangannya yang turun.
"Eh, lho. Jangan nangis!" Laki-laki itu mulai panik sambil celingukan. Khawatir ada yang melihat dan terjadi salah paham.Tapi Mia tak juga meredakan tangisnya.
Mia masih tersedu, sampai penjaga sekolah yang ruangannya ada di paling ujung lorong sana--tepat di depan kantin, memunculkan kepalanya dari dalam. Pak Seno, nama penjaga sekolah itu langsung menghampiri. Sedangkan Si Pria, sudah pasrah dengan apapun yang Pak Seno pikirkan.
"Kenapa, Pak?" Tanya Pak Seno dengan santai. Tapi sesantai-santainya, tetap saja membuat pria itu gusar melihat sosoknya.
"I-ini. Tadi OB nemuin kertas fotokopi legalisir ijazah SMP punya dia. Terus saya kasih, eh, dia malah nangis." Pria tersebut menjelaskan panjang lebar.
"Lho, kenapa nangis?" Pak Seno bertanya pada Mia.
"Soalnya, hari ini terakhir pendaftaran. Kalo gak ketemu, saya bisa gak sekolah. Minggu depan kan udah mulai belajar," jawab Mia sesegukan.
"Oooalaahh." Ke dua pria merespon bersamaan.
"Ya, udah. Kan, sekarang udah ketemu. Yuk, saya antar," Ujar laki-laki bertubuh tinggi dan kurus itu.
Mia mengangkat kepala, lalu menatap Si Pria lekat-lekat dengan mata bulatnya yang masih berkaca-kaca. Mia menaruh curiga, karena dia tadi malah mengejarnya diam-diam bukannya langsung memanggil. Tapi, siapa sangka, tatapan itu mampu membuat hati sang guru berdesir.
"Udah, tenang aja. Saya bukan orang jahat. Ya, kali orang jahat pakai baju rapih begini di lingkungan sekolah," kata Si Pria sambil membungkukan badannya yang tinggi hingga wajahnya dekat dengan wajah Mia.
Perlakuannya itu hampir membuat jantung Mia berhenti mendadak. Belum pernah ada laki-laki yang mendekatkan wajahnya sampai sedakt ini. Apalagi kalau dilihat-lihat, dia manis juga. Eh, bukan. Tapi sangat manis.
Mia mengangguk samar, memalingkan badan dan berjalan begitu saja tanpa pamit dengan Pak Seno yang tersenyum penuh arti. Sedangkan sang guru langsung mengiringi langkah Mia.
Sepanjang perjalanan yang tak sampai satu menit itu, Mia hanya diam dan menunduk. Sedangkan laki-laki di sampingnya berjalan santai. Sebenarnya Mia ingin bilang makasih, tapi saat melihat gaya guru muda di sebalahnya yang tergolong keren, nyali Mia menciut.
Saat sudah hampir sampai ke ruang pendaftaran, Mia berhenti. Guru muda di sebelahnya pun berhenti dan memperhatikan Mia yang buru-buru menghilangkan jejak bekas dia menangis. Mamanya Mia bisa ngamuk sama laki-laki yang mengantarkan Mia kalau melihat hidung merah, dan sisa air mata di wajah Mia. Baru setelah itu Mia berani menghampiri mamanya ditemani sang guru.
"Ketemu?" Tanya ibu Mia yang langsung berdiri.
Mia mengangguk sambil menyodorkan kertas.
"Alhamdulillah," ujar mamanya Mia, "makanya nurut! Dibilangin sekolah deket rumah aja!" lanjutnya sambil mengecek ijazah.
Lelaki di sebelah Mia tersenyum simpul lalu berkata, "Ibu tenang saja. Sekolah ini adalah tempat yang tepat untuk anak ibu."
Semburat merah langsung menguar di pipi ibu Mia. "Eh, maaf, Pak. Saya kira gak ada siapa-siapa. Maksud saya jaraknya terlalu jauh kalau sekolah di sini, pak. Belum lagi tawurannya."
"Oh, Ibu tenang saja. Kami ada layanan khusus untuk melindungi anak murid kami dari tawuran. Saya yang jamin Hanamia akan aman. Saya langsung yang akan menjaganya."
Bagai balon tiup yang bocor, perasaan Mia langsung terbang ke sana kemari mendengar kalimat barusan.
"Ya udah bagus kalau begitu." Ibu Mia merasa tak enak untuk menyangkal.
"Kalau begitu silahkan langsung masuk ke pendaftaran," ujar lelaki tersebut, "saya pamit dulu, ya."
Mia ditemani mamanya masuk ruang pendaftaran, dan lelaki itu kembali ke ruangan.
Sepanjang proses mendaftar, Mia tak hentinya memikirkan laki-laki tadi. Hati kecilnya sibuk sekali bertanya, siapa dia? Apa dia guru? Tapi, masa semuda itu? Atau dia karyawan di sini? Lalu, perasaan bahagia macam apa ini?
Hanamia Kagumi, hidupmu akan berubah sebentar lagi.
Tahun ajaran 2004 sudah dimulai. Kala itu Masa Orientasi Siswa atau yang dikenal dengan MOS masih menjadi ritual pembuka, setiap kali kegiatan belajarmengajar akan berlangsung setelah libur panjang.Berbeda dengan sekarang, MOS bagi siswa baru angkatan tahun dua ribu ke bawah, merupakan salah satu momok yang tak bisa dihindari. Bahkan para wali murid pun ikut merasakan kerepotan, dampak dari kegiatan tersebut.Segala hal yang berkaitan dengan MOS, mampu menjungkir balikan hidup setiap calon siswa menengah atas di mana pun ia berada. Terlebih lagi Mia, seorang anak manja, anak mami, atau apapun sebutannya. Menurut Mia, kegiatan MOS tak ubahnya perundungan yang dilakukan hampir seluruh kaka kelas dengan maksud dan tujuan yang tidak jelas.Sambil merebahkan badannya di kasur, Mia menatap nanar tumpukan barang yang akan ia bawa esok hari. Entah seperti apa wujudnya nanti dengan kaos kaki belang, dan ember rumbai-rumbai di kepalanya. Mia merasa sedikit
Pagi-pagi sekali saat sang fajar belum mau menunjukan sinarnya. Bahkan sayup-sayup masih terdengar suara Iqomah untuk subuh berjamaah. Mia, gadis yang lebih cocok berambut pendek dengan poni itu sudah bersiap pergi ke sekolah barunya. Dengan bibir manyun lima senti, Mia terlihat panik sendiri. Kendati seluruh keperluannya sudah dipersiapkan Ibunda, tetap saja Mia merasa keki."Apa lagi yang harus dibawa Mia?" tanya ibu. "Coba dicek lagi, sebentar lagi sudah harus berangkat, lho."Mia tidak menjawab. Dia benar-benar nervous berat.Uughh ... Nyesel deh milih sekolah disitu. Gerutu Mia dalam hati.Mia sedikit menyesal setelah mengetahui bahwa ia harus berangkat subuh, karena akan menempuh jarak sejauh empat belas kilometer untuk tiba di sekolahnya. Mia lupa bahwa jalanan antara Tangsel dengan Jaksel selalu padat, terutama di pagi hari. Ditambah dengan dimulainya hari pertama MOS, membuat Mia semakin uring-uringan seperti sedang PMS pag
"Eh, 'tar dulu!" sergah seorang senior perempuan yang berhasil membuat Mia enggan hidup seketika. Dia datang dari ujung barisan kaka kelas yang menjadi panitia MOS. "Kasih hukuman dulu, lah! Enak banget. Baru juga mulai udah bikin kesalahan."Kulit Mia yang putih bersih semakin terlihat pasi, ketika senior perempuan itu berjalan pelan di depan matanya. Dia mendelik memperhatikan Mia dari atas ke bawah dengan kecepatan tinggi. Bahkan Mia sampai kepengin menadahkan kedua tangannya, karena khawatir ke dua bola mata senior itu mencuat keluar secara tiba-tiba. Beruntung Mia masih bisa menahan gejolak batin dari aksi percobaan bunuh diri itu."Siapa tadi nama lo?" tanya senior itu sok berkuasa, padahal terlihat bodoh. Jelas-jelas nama lengkap dan panggilan Mia terpampang nyata, di name tag yang ukurannya sebesar TV 14 inch.Mia menunduk, memastikan bahwa barisan huruf yang merangkai namanya tidak berceceran di rumput hingga tak terbaca oleh senior. Lagi
Mia dan laki-laki itu masih berpandangan. Dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka. Terlebih lagi Mia yang masih tak percaya bahwa ternyata, pria yang dia cari sedari tadi justru melihat semuanya. Detik itu juga Mia sadar bahwa hidupnya tak kan lagi sama. Bukan karena perasaan cinta, melainkan perasaan malu yang akan melekat pada Mia hingga lulus sekolah."Eh, Mia! Ayo ke aula!" seru Rossa berjalan lebih dulu. Mia bersusah payah mengejar dari belakang."Jangan bengong mulu! Nanti dihukum lagi, lho." Rossa menasehati Mia yang sudah di sampingnya."Iya, Cha."Sesampainya di aula sekolah yang sangat luas dan cat tembok putih, para siswa dipersilahkan duduk bersila beralaskan karpet tipis biru tua. Di depan aula terdapat panggung setinggi setengah kaki. Beberapa senior terlihat duduk santai di pinggir panggung. Di aula inilah kegiatan MOS yang sesungguhnya akan dimulai.Ada berbagai macam kegiatan yang akan mereka lalui hingga tiga hari ke depan. Na
Mata Mia mengerjap mendapat sentuhan lembut. Hatinya kini penuh sesak oleh bunga-bunga, hingga Mia tak bisa menebak mana perasaan yang sesungguhnya. Antara senang dan takut, Mia tak bisa merabanya dengan pasti. Jelas saja, karena pria itu adalah orang pertama yang menyentuh kepalanya selain ayah dan kakaknya."Perhatian! Kepada seluruh peserta MOS, harap segera kembali ke aula." Terdengar seruan senior laki-laki dari depan aula.Laki-laki dewasa yang kali ini mengenakan kemeja biru muda, menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan berwarna abu tua. Dia tersenyum melihat wajah panik Mia yang lucu lalu berlari tanpa menoleh lagi.Langkah Mia melambat saat teringat siapa laki-laki tersebut. Mia menyesal karena tak sempat berterima kasih karena sudah memasangkan ember rumbai-rumbai ini. Mia tersipu sambil jemarinya menyusuri permukaan ember yang kini tidak terlalu konyol baginya."Mia! Sini!" seru Indira ketika melihat Mia yang celingukan di ruang aula. R
Sesampainya di jalan raya, mereka harus menyeberang jalan agar bisa mengendarai angkot yang akan menuju ke terminal lebak bulus.Di antara teman-temannya, sepertinya hanya Mia yang terkesima melihat suasana Jakarta Selatan dengan lebih dekat untuk pertama kali. Meskipun ada perasaan was-was karena dia sama sekali belum pernah naik angkot sendirian dengan jarak sejauh ini. Namun, antusiasnya dengan pemandangan baru, bisa mengalihkan rasa cemasnya."Dari sini kita naik S11, ya?" Mia memastikan angkutan umum yang akan mereka tumpangi pertama kali."Iya, Mia kita naik S11. Tuh, dia angkotnya." Rossa menunjuk ke arah angkot berwarna merah dari arah kanan.Mereka satu persatu naik angkot yang dimaksud. Tidak lupa Kayobi membuang rokoknya dan membiarkan tetap menyala lalu padam tertiup angin. Dengan peluh yang bercucuran, mereka mendorong jendela angkot lebar-lebar agar bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya."Haduh, gerah banget, aus!" Indira mengibas-ngibas
Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, panas, dan macet, Mia akhirnya tiba di rumah pukul setengah lima sore. Meskipun lebih banyak hal yang kurang menyenangkannya hari ini, akan tetapi bisa tiba di rumah dengan selamat adalah suatu prestasi tersendiri yang mampu menyamarkan sedikit kegundahan dalam hati Mia."Assalamualaikum." Mia masuk rumah dan langsung menyalami ibunya."Waalaikumsalam, loh? Kamu pulang naik apa?" ucap ibu yang terkejut melihat anaknya pulang sendiri.Mia tak menjawab. Dia lebih memilih menuju lemari pendingin untuk segera menghilangkan dahaga dengan susu cokelat dingin. Sementara ibunya membuntuti dia dari belakang."Kok, gak pulang sama ayah?" Ibu Mia terlihat tidak sabar, meskipun anaknya masih menenggak susu dingin."Aahh." Mia mengusap mulutnya. "Kalo nunggu ayah kan lama, Ma.""Ya palingan juga jam lima selesai. Dari pada pulang sendiri. Emang kamu ngerti naik angkot apa?" Ibu Mia terlihat emosi."Kalo ga
"ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM MIA! KIRAIN UDAH BANGUN! HEY! UDAH JAM LIMA LEWAT INI!" teriak ibunda Mia dengan suara yang dapat menembus tujuh rumah sekaligus.Sedangkan si anak, hanya mengulet dan lupa kalau sekolahnya kini berbeda provinsi. Dia masih terlihat santai di pinggir kasur mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali dari alam mimpi. Namun, semuanya berubah ketika dia menyalakan lampu kamar. Mia loncat dari kasur setelah melihat dengan jelas jam di dinding. Kemudian detik itu juga berlari ke luar kamar untuk mengambil handuk."Mamaaaa, kok, gak bangunin aku siih?" gerutu Mia yang suaranya masih serak."DARI TADI MAMA JUGA UDAH JADI TARZAN, MIA!" sungut ibu Mia lebih galak lagi."Oh, oke." Mia langsung menciut. Sadar dengan kesalahannya, dia tak ingin memancing keributan.Mia hanya punya waktu lima belas menit untuk bersiap-siap. Mulai dari mandi, berpakaian, sholat subuh, sarapan, pakai sepatu kemudian berangkat selambat-lambatnya p
Sebagai satu-satunya pria, Kayobi berinisiatif mempin dua temannya untuk menyebrang jalan. Dia agak khawatir kalau-kalau dua bocah itu belum bisa membedakan waktu yang tepat untuk melintas di jalan raya seperti ini. Sesampainya di sebrang, mereka berdiam diri di depan supermarket yang dimaksud."Terus sekarang, apa?" tanya Mia dengan polosnya."Dih! mana kita tau," protes Kayobi. "Kan elo yang tadi bilang pengen ke sini."Mia menatap ke sebrang jalan. Di sana, terlihat angkot yang tadi dia berhentikan masih menunggu penumpang lain. Itu artinya mereka masih di sana."Itu angkot yang tadi, kan?" Mia mencoba meyakinkan meski stiker THE ME IS THREE berwarna hijau stabilo berukuran hampir sepanjang mobil, terihat jelas dari sini."Ya udah, kita masuk aja dulu kalau gitu," ujar Kayobi yang langsung mengerti maksud Mia."Gak mau, ah." Ocha menolak."Aku takut pulangnya kesorean. Sekarang aja udah mau jam empat.""Iya, Kay. Aku juga gak berani
Beberapa detik berlalu, tawa mereka berangsur-angsur reda. Namun tiba-tiba, Poof! balon itu meletus! Mia dan Ocha lebih tak tertahankan lagi. Mereka terbahak sejadi-jadinya. Begitu juga dengan Kayobi yang sudah memendamkan kepalanya. Jika tak salah, Mia juga mendengar seseorang berdehem pelan hampir bersamaan dengan meledaknya tawa mereka saat balon liur itu meledak. Bukannya buru-buru membangunkan Mas Pacar, Si Perempuan malah diam mematung menyaksiakan kekasihnya menjadi bahan tertawaan. Menyaksikan Mia dan Ocha saling memukul karena tertawa geli. Sepertinya dia shock hingga tak bisa berbuat apa-apa. Saat gelombang tawa Mia dan Ocha yang kali ini belum sepenuhnya reda, angkot kembali mengalami guncangan. Kali ini lebih hebat dari yang sebelumnya. Beberapa penumpang bahkan ada yang mengaduh kesakitan karena kepalanya terbentur atap angkot. Saat itu juga Si Pria akahirnya bangun. Benar-benar langsung bangun dan duduk tegak. Dia terlihat mengumpulkan segenap jiwa raga
Angkot D02 jurusan Lebak Bulus Ciputat semakin jauh meninggalkan terminal. Suara gemuruh supporter bola dari stadion yang lokasinya tepat di sebelah terminal pun tak terdengar lagi. Mia dan teman-teman sudah tak sabar tiba di rumah. Namun, jalanan yang lengang itu seperti biasa harus tersendat ketika sudah memasuki lampu merah Pasar Jumat. Artinya perjalanan mereka yang cukup jauh, akan menempuh waktu lebih lama. Bebarapa menit berlalu angkot Mia belum berada terlalu jauh dari lampu merah Pasar Jumat. Selain karena macet, rupanya supir angkot sengaja memanfaatkan moment itu menunggu penumpang lain. Akibatnya beberapa pengendara mobil pribadi membunyikan klakson tanda protes setiap kali berhasil melewati angkot Mia. Tapi Pak Supir tidak peduli. Ironi memang, sebab dia begini supaya bisa memenuhi kebutuhan anak istri. Semantara mereka yang memaki lewat klakson itu, tidak mungkin menafkahi keluarganya. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, dengan laju lambat me
"Mas. Mas! emang gak ada tempat lain yang lebih adem untuk ngasih cokelat selain di angkot siang bolong gini?" Protes Mia, tentunya dalam hati."Iiiih Ayang, ini apaaaa?" ucap Si Mbak mendayu-dayu sambil menutup mulutnya. Padahal udah jelas kalau itu cokelat. Mia dan Ocha pun makin kesal mendengar pertanyaan itu.Saat itu juga, Mia dan Ocha langsung berpandangan. Dengan bahasa kalbu dan sedikit tatapan tajam, mereka dapat mengerti isi kepala masing-masing yang terjebak dalam situasi Cringe Moment begini. Lalu mereka serempak menoleh ke Kayobi untuk melihat reaksinya. Dasar cowok, dia terlihat biasa saja dan gak mengerti telepati yang Ocha dan Mia berikan."Ini cokelat Sayang." Si Cowok tersenyum manis dengan tatapan sayu."Buat aku?" Si cewek tubuhnya makin tak bisa diam."Iya lah buat kamu." Suara Si Cowok terdengar lebih menggelikan lagi sekarang.Sambi menerima se kotak cokelat itu, dia bertanya, "Dalam rangka apa?""Dalam rangka V
Dari dalam angkot, sebenarnya Indira menyadari tatapan tajam dari B Girl. Tiba-tiba saja tengkuknya terasa dingin, dan saat nengok ke belakang. Ada lima orang siswi yang bertolak pinggang juga bersidekap menatap lurus ke dalam angkot. Dari pakaiannya, Indi sudah tahu mereka pasti senior."Eh... eh,rupanya kita diliatin sama mereka dari tadi." Indira berbisik pada teman-temannya."Eh, Iya. Kenapa ya, mereka ngeliatin kaya gitu?" tanya Ocha yang curi-curi pandang ke arah mereka."Lo, ada masalah In sama mereka?" Tanya Kayobi setelah bergantian melihat ke luar angkot."Mana pula aku kenal.""Wah, berarti lo semua dalam masalah.""Lho, emang mereka siapa?" Tanya Mia."Kalian tau gak mereka siapa?" Kayobi bertanya saat menyadari teman bule batakya kikuk setelah bersitatap dengan geng B Girl.Indi, Mia, dan Ocha kompak menggeleng. "Mungkin dari sekolah lain," Celetuk Ocha."Emang kamu tau Kay?" Tanya Mia yang mulai penasaran."Ta
"Hhhmm..., ya sudah. Ayo saya temani. Tapi sampe perempatan saja ya. Karena ada Pak Karyo yang berjaga di sana. Jadi kalian bisa saya tinggal." ujar Mr.Sani.Tanpa berdebat, empat siswa baru SMA BAKTI NUSA dan satu guru Bahasa Inggris mulai berjalan meninggalkan tempat. Kayobi dan Mr.Sani jalan di depan, sedangkan tiga anak perempuan jalan beriringan di belakang."Gimana, mmm ... Kayobi, hari pertama kamu?" Mr. Sani membuka pembicaraan."Ya lumayanlah, Pak," sahut Kayobi santai."Terus ada yang udah kamu incer belum, Nih?"Kayobi mengangkat bahunya, "Belum, tuh. Murid barunya gak ada yang cakep. Apalagi mereka bertiga nih, kaya anak SD semua. Hahaha.""Hush! Kamu ini." Mr. Sani menepuk pundak Kayobi sambil senyum-senyum.Sedangkan ke tiga cewek langsung melakukan protes massal sambil mendorong Kayobi bergantian hingga korek api yang ada di saku baju Kayobi terjatuh. Kayobi langsung mengabilnya buru-buru karena tak enak berada di sebela
Gini ya rasanya patah hati? tanya Mia dalam hatinya.Tidak enak dan sesak. Sepanjang pelajaran ke tiga, Mia sangat gelisah. Baginya ini adalah pertama kali dia merasakan patah hati.Untung Mia tak sampai menjatuhkan air mata, karena perasaan yang tumbuh dalam dirinya belum terlalu besar.Sama seperti Mr. Sani, Mia bertekat mengubur perasaannya dalam-dalam. Meski ternyata hal itu memerlukan konsentrasi tinggi hingga jam sekolah usai.Mia dan ke empat temannya bergegas pulang. Begitu juga dengan seluruh murid, terkecuali mereka yang ada kegiatan ekstra kulikuler."Eh, bentar gue ke toilet dulu, ya," ucap Kayobi."Iish, dia cowok sendiri tapi paling repot deh." Indira mengutarakan kekesalannya yang disetujui oleh Mia dan Rossa. Namun, nyatanya mereka tetap menunggu Kayobi di bawah tangga.Setelah hampir lima menit, Kayobi datang sambil mengeluarkan bajunya dari dalam celana agar lebih santai.Mia terus memperhatikan gaya
Guru dan murid yang saling jatuh cinta tersebut tersipu malu meski sudah berpisah. Mereka sama-sama belum sanggup memupus senyum yang terukir samar.Meski usianya terpaut jauh, Mr. Sani tak bisa memungkiri kalau Mia adalah tipenya. Terlebih lagi, Mia memiliki mata yang mampu membiusnya hingga selalu terbayang-bayang. Ia baru menyadari setelah tadi saling bertukar pandang.Di sisi lain, dia juga tidak menyangka akan jatuh hati pada anak muridnya sendiri, padahal di sekolah ada tiga orang guru dan karyawan perempuan yang seumuran. Namun, Mr. Sani tidak ingin terlaru larut dengan perasaannya. Ia cukup yakin dapat segera menepikan perasaan itu.Sedangkan Mia, sejak perjumpaan pertama, sudah tidak bisa melupakan senyum manis Mr. Sani. Satu hal yang paling melekat di benak Mia saat mata Mr. Sani seakan menghilang ketika tersenyum. Sama seperti Mr. Sani, Mia juga merasa heran bisa jatuh hati pada gurunya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti cewek lainnya yang menyukai
Sepagi ini perasaan Mia sudah campur aduk. Gelisah, takut, senang dan antusias silih berganti timbul tenggelam dalam hati Mia, karena kegiatan belajar mengajar akan dimulai hari ini. Mia sempat terbangun jam tiga tadi karena takut kesiangan lagi, kemudian kembali tidur karena masih terlalu pagi.Di depan cermin Mia memandang bayangannya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam itu masih terasa kaku layaknya baju baru. Tidak lupa dia memakai dasi agar lebih rapi. Mia menjepit rambut tepat di atas kedua telinga agar tidak menganggu penglihatan. Sebelum berangkat Mia kembali mengecek buku pelajaran yang harus dibawa hari ini dan menyesuaikan dengan jadwal yang telah tertempel di meja belajar."Kayanya hari pertama sengaja dibuat gak terlalu berat," gumam Mia setelah melihat jadwal pelajaran hari ini yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Bahasa Indinesia, dan Biologi.Setelah semuanya siap, Mia dan ayahnya berangkat jam lima lewat lima belas. Mereka agak santai karena i