Share

03

last update Last Updated: 2021-02-12 20:18:42

Pagi-pagi sekali saat sang fajar belum mau menunjukan sinarnya. Bahkan sayup-sayup masih terdengar suara Iqomah untuk subuh berjamaah. Mia, gadis yang lebih cocok berambut pendek dengan poni itu sudah bersiap pergi ke sekolah barunya. Dengan bibir manyun lima senti, Mia terlihat panik sendiri. Kendati seluruh keperluannya sudah dipersiapkan Ibunda, tetap saja Mia merasa keki.

"Apa lagi yang harus dibawa Mia?" tanya ibu. "Coba dicek lagi, sebentar lagi sudah harus berangkat, lho."

Mia tidak menjawab. Dia benar-benar nervous berat.

Uughh ... Nyesel deh milih sekolah disitu. Gerutu Mia dalam hati.

Mia sedikit menyesal setelah mengetahui bahwa ia harus berangkat subuh, karena akan menempuh jarak sejauh empat belas kilometer untuk tiba di sekolahnya. Mia lupa bahwa jalanan antara Tangsel dengan Jaksel selalu padat, terutama di pagi hari. Ditambah dengan dimulainya hari pertama MOS, membuat Mia semakin uring-uringan seperti sedang PMS pagi ini.

Setelah hampir satu setengah jam melatih kesabaran di perjalnan. Mia dan Ayahnya akhirnya tiba di sekolah pukul setengah 7 lewat 10 menit. Waktu yang cukup untuk memasang atribut konyol, menurut Mia.

"Hati-hati di jalan, ya, Ayah." Mia menyodorkan tangan pada ayahnya saat hendak turun dari mobil.

"Kamu yakin gak mau Ayah temenin?"

"Ya, enggaklah Ayah. Nanti Ayah, kerjanya gimana?"

"Ayah bisa ijin setengah hari dulu kalau kamu mau ditemenin."

"Maksudnya itu, Mia gak mau ditemenin, Ayaaah."

"Tumben, biasanya selalu minta ditemenin."

Mia hanya melirik dan sedikit memanyunkan bibirnya. Sebenarnya Mia ingin sekali ditemani sang ayah seperti biasanya. Bahkan dulu saat masih SMP, Mia pernah meminta ayah untuk menemani nonton film AADC bersama teman-temannya. Waktu itu adalah kali pertama Mia pergi ke bioskop. Beruntung Mia punya ayah yang asyik diajak bergaul, meskipun awalnya sempat jadi bahan cemoohan.

"Ya udah, Ayah ngerti," ucap ayah sambil mengusap pucuk kepala putrinya yang sudah tidak kecil lagi. "Jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada yang nakal, langsung ke sini aja. Ayah ada di parkiran." Ayah melempar pandangan ke arah jejeran mobil yan telah terparkir rapi di depan mereka.

"Ayaaaahhhh!" seru Mia.

"Hehe, iya enggak."

"Awas, ya, kalo masih nungguin di sini!"

"Iyaaa, enggak. Terus nanti pulangnya gimana? Mau nungguin ayah?"

"Enggak, ah! Lama kalo nungguin ayah, mah."

"Terus?"

"Mia naik angkot aja, Ayah."

"Eh? Emang kamu tahu naik angkot apa? Udah nanti Ayah ijin pulang cepet, biar bisa jemput kamu."

"Enggak Ayah, Mia udah gede. Mia bisa pulang sendiri."

"Tapi kan kamu gak tahu naik angkot apa Miiiaaa."

"Ya, makanya Ayah kasih tahu Mia harus naik angkot apa."

Ayah terdiam. Butuh waktu cukup lama untuk mempertimbangkan keinginan putrinya.

"Ayolah, Ayah ...."

"Hhh ... Ya sudah. Kamu dari sini naik angkot S11 sampe terminal Lebak Bulus. Terus dari siru kamu bisa naik D02 jurusan Ciputat, atau D15 jurusan Pamulang."

"Oke, gampang, kok, itu. Tenang aja, Mia pasti sampai rumah dengan selamat." Mia tersenyum sangat manis agar meyakinkan ayahnya. Mia pun turun setelah berpamitan lagi.

Seorang satpam langsung menyapa dengan sebuah senyum dan anggukan dari kejauhan, ketika melihat Mia turun dari mobil. Mia hanya membalasnya dengan senyum kecil kemudian melihat sekeliing. Sekolah dengan cat dinding berwarna putih gading dan abu-abu itu, entah mengapa terasa berbeda dibandingkan saat Mia pertama kali datang untuk mendaftar. Namun, semuanya masih terlihat sama. Lapangan olahraga yang berada tepat di depan parkiran, juga pohon rindang yang ada di sebelah pos satpam. Tidak ada yang berbeda.

Setelah itu, Mia menatap lurus pintu sekolah bertuliskan SELAMAT DATANG DI SMA BAKTI NUSA pada bagian atasnya. Mia membetulakan posisi tas ransel biru muda dengan tali berwarna pink sambil mengembuskan napas kuat-kuat. Lalu memantapkan hati memasuki babak baru, yang ternyata akan merubah hidupnya 180 derajat.

Setibanya di ujung lorong sekolah, Mia menoleh ke belakang sekadar memastikan ayahnya tidak benar-benar menunggu dia di parkiran. Ternyata dugaan Mia tepat sasaran, karena ayahnya masih ada di sana. Dengan kaca mobil terbuka lebar, ayah Mia melambaikan tangan dan tersenyum iseng.

"Iiiishh!" sungut Mia sambil menghentakn kakinya.

Melihat anak gadisnya itu ngambek, ayah malah semakin terkekeh. Kemudian beliau mengemudikan mobil sedan keluaran tahun 90an itu ke belakang, ke depan, putar arah, dan akhirnya meninggalkan Mia sendirian di lorong sekolah.

Semakin masuk ke dalam sekolah, Mia semakin terkesima dengan suasana asri di sana. Meski bukan untuk yang pertama kalinya, tetapi Mia kembli jatuh cinta saat melihat hamparan lapangan rumput di tengah-tengah sekolah, serta pohon rindang yang mengelilingnya. Bau embun di pagi hari dan bendera merah putih yang menari di ujung tiang, mampu mengurai otot-otot Mia yang menegang.

Sekitar sepuluh kaki dari tempat Mia berdiri, terdapat beberapa gerombolan anak-anak seusia Mia saling bercengkrama. Sama seperti Mia, mereka masih mengenakan seragam SMP. Bahkan diantara mereka ada yang mengenakan seragam batik yang sama.

Meski malu-malu, Mia menyeret kakinya mendekati salah satu rombongan yang kelihatannya paling ramah untuk didekati.

"Hai!" sapa Mia, "boleh gabung di sini?" tanyanya pada tiga orang anak perempuan yang duduk bersila di salah satu sudut sekolah depan lapangan rumput.

"Boleh," jawab salah satu dari mereka.

Tanpa ragu, Mia ikut duduk bersila disebelah mereka. "Namaku Hanamia. Panggil aja aku Mia."

"Aku Yunita," Jawab gadis berambut ikal. "Kalau ini Dian, dan ini Martha." Yunita memperkenalkan teman-temannya.

"Kalian dari SMP yang sama, ya?" Tanya Mia.

"Iya, Kita emang satu sekolah dari SD." Dian menjawab sambil tersenyum.

"Wah, berarti kalian udah deket banget, ya?"

Mereka mengangguk. "Kalau kamu Mia?" tanya Martha.

"Aku dari SMP TUNAS MULIA, di Pamulang."

"Pamulang? Wah, jauh banget, dong?" Yunita nampak terkejut. Begitu pula dengan dua sahabatnya.

Belum juga Mia sempat menjawab pertanyaan Yunita. Tiba-tiba saja Dian memotong pembicaraan. "Eh, kita siap-siap, yuk! Sebentar lagi mulai soalnya."

Mia pun setuju dengan ajakan itu. Dia segera mengeluarkan sepasang kaos kaki belang dan nam tag berukuran besar dari dalam tas. Sedetik kemudian, Mia memastikan bahwa tali rafia yang terpasang pada ember hijau berhias rumbai-rumbai itu cukup kuat agar tidak mudah jatuh saat dipakai.

"Duh, deg-degan deh aku," celetuk Dian.

"Sama, nih, aku juga." Martha menimpali pernyataan Dian. "Galak-galak, gak ya, kaka kelasnya?"

"Yang pasti gak semudah MOS waktu kita SMP," jawab Yunita.

Mia terhenyak mendengar jawaban Yunita dan menyadari bahwa ternyata bukan hanya dia sendiri yang merasa takut. Tak sampai sepuluh menit kemudian, di tengah lapangan rumput, satu persatu senior dengan seragam putih abu-abu mulai berdatangan dan terlihat sibuk.

"Perhatian-perhatian! Kepada seluruh siswa baru angkatan 2004 silahkan berkumpul di lapangan upacara!" seru salah seorang senior laki-laki menggunakan toa.

Mia dan tiga orang teman barunya langsung bergegas mengenakan segala atribut yang telah dibawa. Kepanikan jelas terpcancar dari mimik dan gerak gerik mereka berempat.

"Yuk cepetan! Jangan sampe kita telat." Yunita yang telah siap lebih dulu, mengajak teman-temannya. Lantas mereka bertiga pergi begitu saja tanpa menoleh ke arah Mia sedikitpun.

Mia yang sebetulnya juga telah siap hanya bisa menghela napas. "Hhmm, ya udahlah," gumam Mia cuek, sambil membetulkan ember rumbai-rumbai yang posisinya agak miring di atas kepalanya. Dia pun segera berlari kecil menuju lapangan upacara.

Setelah masuk ke dalam barisan ember hijau, Mia menyelisik orang-orang sekitar. Seperti biasa dia tidak bisa fokus jika merasa tidak nyaman. Beruntung Mia termasuk cewek yang bisa menutupi perasaan di balik wajahnya yang masih kekanakan.

"Perkenalkan nama gue Rangga. Gue ketua osis sekaligus ketua kegiatan MOS kali ini." Seseorang yang mengaku Rangga itu memperkenalkan diri di depan ratusan adik kelasnya. "Dan di kanan kiri gue, adalah seluruh panitia pelaksana kegiatan MOS tahun ini." Rangga memperkenalkan lima belas orang temannya yang berjejer rapih di depan, secara satu persatu neserta tugasnya.

"Iih, ganteng banget ya, ketua osisnya," celetuk seorang siswi yang kesemsem melihat ketampanan ketua osis itu.

"Iyaaa, apalagi namanya Rangga," timpal siswi lain yang tak kalah centilnya. Merekapun tertawa genit.

Sedangkan Mia, cewek yang geli dengan kisah percintaan serupa AADC, memutar matanya ketika mendengar nama Rangga meluncur dari senior yang sedari tadi meminpin acara. Dia sudah bisa menebak, Rangga pasti dianggap paling tampan sejagat SMA BAKTI NUSA.

Saking maraknya kisah cinta seperti dalam film AADC. Mia sampai jengah. "Terlalu biasa! Jangan-jangan dia suka baca puisi juga." Mia tersenyum tipis.

Ngomong-ngomong soal tampan, Mia tiba-tiba saja teringat dengan pria yang waktu itu tanpa segan menanyakan namanya kepada ibu Mia. Dimana dia? Kenapa dia belum menampakan batang hidungnya sejak Mia tiba di sekolah? Padahal sudah dua jam Mia berada disini. Mia langsung mengitari pandanganya 360 derajat, mencari keberadaan laki-laki itu hingga ke sudut-sudut sekolah yang paling gelap.

"Sekarang semuanya duduk!" perintah Rangga kepada seluruh adik kelasnya. Wajah-wajah yang masih polos itu, serentak duduk bersila di atas rumput berembun. Kecuali satu cewek yang masih celingukan tidak jelas, yaitu Mia.

"HEI KAMU!" teriak Rangga pada Mia. Rupanya teriakan Rangga menggunakan toa sekalipun, tidak dapat menyadarkan Mia yang tiba-tiba budeg.

"Hei!" panggil seseorang yang duduk bersila di depan Mia. "Duduk!" lanjut anak itu ketika melihat kesadaran Mia sudah kembali entah dari mana. Tanpa pikir panjang Mia langsung duduk.

"SINI KAMU!" perintah Rangga. Mia yang belum sepenuhnya menyadari kesalahan hanya menunjuk hidungnya.

"IYA! SIAPA LAGI EMANG YANG DARI TADI DISURUH DUDUK MALAH BERDIRI AJA?!"

Mia yang akhirnya sadar bahwa riwayatnya sudah tamat, bangkit dari duduk dengan lutut bergetar. Dia jelas ingin nangis dan pulang ke rumah.

Sesampainya di hadapan Rangga, Mia hanya bisa menatap ketua osis yang nampaknya akan dia benci seumur hidup. Namun siapa sangka, ternyata tatapan dari mata Mia yang bulat penuh dan lucu itu, mampu membius siapa saja yang ada di depannya termasuk Rangga. Suatu kelebihan yang baru akan diketahui Mia tidak lama lagi.

Karena tak sanggup menatap lebih lama mata yang berbinar itu, Rangga akhirnya meminta Mia kembali duduk setelah menanyakan nama panggilannya. Bukan, bukan karena Rangga jatuh cinta, tetapi lebih karena tak sampai hati membuat nangis Mia yang masih seperti anak kecil.

Related chapters

  • The Line Between Us   04

    "Eh, 'tar dulu!" sergah seorang senior perempuan yang berhasil membuat Mia enggan hidup seketika. Dia datang dari ujung barisan kaka kelas yang menjadi panitia MOS. "Kasih hukuman dulu, lah! Enak banget. Baru juga mulai udah bikin kesalahan."Kulit Mia yang putih bersih semakin terlihat pasi, ketika senior perempuan itu berjalan pelan di depan matanya. Dia mendelik memperhatikan Mia dari atas ke bawah dengan kecepatan tinggi. Bahkan Mia sampai kepengin menadahkan kedua tangannya, karena khawatir ke dua bola mata senior itu mencuat keluar secara tiba-tiba. Beruntung Mia masih bisa menahan gejolak batin dari aksi percobaan bunuh diri itu."Siapa tadi nama lo?" tanya senior itu sok berkuasa, padahal terlihat bodoh. Jelas-jelas nama lengkap dan panggilan Mia terpampang nyata, di name tag yang ukurannya sebesar TV 14 inch.Mia menunduk, memastikan bahwa barisan huruf yang merangkai namanya tidak berceceran di rumput hingga tak terbaca oleh senior. Lagi

    Last Updated : 2021-02-16
  • The Line Between Us   05

    Mia dan laki-laki itu masih berpandangan. Dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka. Terlebih lagi Mia yang masih tak percaya bahwa ternyata, pria yang dia cari sedari tadi justru melihat semuanya. Detik itu juga Mia sadar bahwa hidupnya tak kan lagi sama. Bukan karena perasaan cinta, melainkan perasaan malu yang akan melekat pada Mia hingga lulus sekolah."Eh, Mia! Ayo ke aula!" seru Rossa berjalan lebih dulu. Mia bersusah payah mengejar dari belakang."Jangan bengong mulu! Nanti dihukum lagi, lho." Rossa menasehati Mia yang sudah di sampingnya."Iya, Cha."Sesampainya di aula sekolah yang sangat luas dan cat tembok putih, para siswa dipersilahkan duduk bersila beralaskan karpet tipis biru tua. Di depan aula terdapat panggung setinggi setengah kaki. Beberapa senior terlihat duduk santai di pinggir panggung. Di aula inilah kegiatan MOS yang sesungguhnya akan dimulai.Ada berbagai macam kegiatan yang akan mereka lalui hingga tiga hari ke depan. Na

    Last Updated : 2021-02-16
  • The Line Between Us   06

    Mata Mia mengerjap mendapat sentuhan lembut. Hatinya kini penuh sesak oleh bunga-bunga, hingga Mia tak bisa menebak mana perasaan yang sesungguhnya. Antara senang dan takut, Mia tak bisa merabanya dengan pasti. Jelas saja, karena pria itu adalah orang pertama yang menyentuh kepalanya selain ayah dan kakaknya."Perhatian! Kepada seluruh peserta MOS, harap segera kembali ke aula." Terdengar seruan senior laki-laki dari depan aula.Laki-laki dewasa yang kali ini mengenakan kemeja biru muda, menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan berwarna abu tua. Dia tersenyum melihat wajah panik Mia yang lucu lalu berlari tanpa menoleh lagi.Langkah Mia melambat saat teringat siapa laki-laki tersebut. Mia menyesal karena tak sempat berterima kasih karena sudah memasangkan ember rumbai-rumbai ini. Mia tersipu sambil jemarinya menyusuri permukaan ember yang kini tidak terlalu konyol baginya."Mia! Sini!" seru Indira ketika melihat Mia yang celingukan di ruang aula. R

    Last Updated : 2021-02-17
  • The Line Between Us   07

    Sesampainya di jalan raya, mereka harus menyeberang jalan agar bisa mengendarai angkot yang akan menuju ke terminal lebak bulus.Di antara teman-temannya, sepertinya hanya Mia yang terkesima melihat suasana Jakarta Selatan dengan lebih dekat untuk pertama kali. Meskipun ada perasaan was-was karena dia sama sekali belum pernah naik angkot sendirian dengan jarak sejauh ini. Namun, antusiasnya dengan pemandangan baru, bisa mengalihkan rasa cemasnya."Dari sini kita naik S11, ya?" Mia memastikan angkutan umum yang akan mereka tumpangi pertama kali."Iya, Mia kita naik S11. Tuh, dia angkotnya." Rossa menunjuk ke arah angkot berwarna merah dari arah kanan.Mereka satu persatu naik angkot yang dimaksud. Tidak lupa Kayobi membuang rokoknya dan membiarkan tetap menyala lalu padam tertiup angin. Dengan peluh yang bercucuran, mereka mendorong jendela angkot lebar-lebar agar bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya."Haduh, gerah banget, aus!" Indira mengibas-ngibas

    Last Updated : 2021-02-17
  • The Line Between Us   08

    Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, panas, dan macet, Mia akhirnya tiba di rumah pukul setengah lima sore. Meskipun lebih banyak hal yang kurang menyenangkannya hari ini, akan tetapi bisa tiba di rumah dengan selamat adalah suatu prestasi tersendiri yang mampu menyamarkan sedikit kegundahan dalam hati Mia."Assalamualaikum." Mia masuk rumah dan langsung menyalami ibunya."Waalaikumsalam, loh? Kamu pulang naik apa?" ucap ibu yang terkejut melihat anaknya pulang sendiri.Mia tak menjawab. Dia lebih memilih menuju lemari pendingin untuk segera menghilangkan dahaga dengan susu cokelat dingin. Sementara ibunya membuntuti dia dari belakang."Kok, gak pulang sama ayah?" Ibu Mia terlihat tidak sabar, meskipun anaknya masih menenggak susu dingin."Aahh." Mia mengusap mulutnya. "Kalo nunggu ayah kan lama, Ma.""Ya palingan juga jam lima selesai. Dari pada pulang sendiri. Emang kamu ngerti naik angkot apa?" Ibu Mia terlihat emosi."Kalo ga

    Last Updated : 2021-02-18
  • The Line Between Us   09

    "ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM MIA! KIRAIN UDAH BANGUN! HEY! UDAH JAM LIMA LEWAT INI!" teriak ibunda Mia dengan suara yang dapat menembus tujuh rumah sekaligus.Sedangkan si anak, hanya mengulet dan lupa kalau sekolahnya kini berbeda provinsi. Dia masih terlihat santai di pinggir kasur mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali dari alam mimpi. Namun, semuanya berubah ketika dia menyalakan lampu kamar. Mia loncat dari kasur setelah melihat dengan jelas jam di dinding. Kemudian detik itu juga berlari ke luar kamar untuk mengambil handuk."Mamaaaa, kok, gak bangunin aku siih?" gerutu Mia yang suaranya masih serak."DARI TADI MAMA JUGA UDAH JADI TARZAN, MIA!" sungut ibu Mia lebih galak lagi."Oh, oke." Mia langsung menciut. Sadar dengan kesalahannya, dia tak ingin memancing keributan.Mia hanya punya waktu lima belas menit untuk bersiap-siap. Mulai dari mandi, berpakaian, sholat subuh, sarapan, pakai sepatu kemudian berangkat selambat-lambatnya p

    Last Updated : 2021-02-18
  • The Line Between Us   10

    Mia memang lagi apes, ternyata pos pertama dijaga Rangga sang Ketua OSIS berwajah galak. Dari jauh dia menatap tajam kelompok Mia yang sedang menghampiri. Seperti elang yang sedang mengincar mangsanya.Waduh! Tahu gitu tadi biar aja Kayobi yang pertama nerima hukuman."Permisi, Kak. Apa benar ini titik pertama?" tanya Kayobi dengan santai."Kata siapa?" jawab si mata elang dengan tatapan yang bisa membuat siapa saja merinding. "Saya cuma lagi ngobrol sama Pak Satpam. Kalian ngapain ke sini? Apa buktinya kalo di sini adalah pos pertama?""Ini, Kak." Kayobi membuka amplop. "Di sini tertulis garda depan barisan kereta kuda.""Apa hubungannya dengan di sini?""Garda depan itu berarti yang berjaga di barisan paling depan, dan itu adalah satpam. Sedangkan barisan kereta kuda adalah parkiran mobil dan motor." Kayobi kembali mewakili kelompoknya menjawab."Bagus. Kalian benar. Sekarang kalian baris. Ada tugas yang harus kalian lakukan suapa

    Last Updated : 2021-02-19
  • The Line Between Us   11

    Sepagi ini perasaan Mia sudah campur aduk. Gelisah, takut, senang dan antusias silih berganti timbul tenggelam dalam hati Mia, karena kegiatan belajar mengajar akan dimulai hari ini. Mia sempat terbangun jam tiga tadi karena takut kesiangan lagi, kemudian kembali tidur karena masih terlalu pagi.Di depan cermin Mia memandang bayangannya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam itu masih terasa kaku layaknya baju baru. Tidak lupa dia memakai dasi agar lebih rapi. Mia menjepit rambut tepat di atas kedua telinga agar tidak menganggu penglihatan. Sebelum berangkat Mia kembali mengecek buku pelajaran yang harus dibawa hari ini dan menyesuaikan dengan jadwal yang telah tertempel di meja belajar."Kayanya hari pertama sengaja dibuat gak terlalu berat," gumam Mia setelah melihat jadwal pelajaran hari ini yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Bahasa Indinesia, dan Biologi.Setelah semuanya siap, Mia dan ayahnya berangkat jam lima lewat lima belas. Mereka agak santai karena i

    Last Updated : 2021-02-19

Latest chapter

  • The Line Between Us   18

    Sebagai satu-satunya pria, Kayobi berinisiatif mempin dua temannya untuk menyebrang jalan. Dia agak khawatir kalau-kalau dua bocah itu belum bisa membedakan waktu yang tepat untuk melintas di jalan raya seperti ini. Sesampainya di sebrang, mereka berdiam diri di depan supermarket yang dimaksud."Terus sekarang, apa?" tanya Mia dengan polosnya."Dih! mana kita tau," protes Kayobi. "Kan elo yang tadi bilang pengen ke sini."Mia menatap ke sebrang jalan. Di sana, terlihat angkot yang tadi dia berhentikan masih menunggu penumpang lain. Itu artinya mereka masih di sana."Itu angkot yang tadi, kan?" Mia mencoba meyakinkan meski stiker THE ME IS THREE berwarna hijau stabilo berukuran hampir sepanjang mobil, terihat jelas dari sini."Ya udah, kita masuk aja dulu kalau gitu," ujar Kayobi yang langsung mengerti maksud Mia."Gak mau, ah." Ocha menolak."Aku takut pulangnya kesorean. Sekarang aja udah mau jam empat.""Iya, Kay. Aku juga gak berani

  • The Line Between Us   17

    Beberapa detik berlalu, tawa mereka berangsur-angsur reda. Namun tiba-tiba, Poof! balon itu meletus! Mia dan Ocha lebih tak tertahankan lagi. Mereka terbahak sejadi-jadinya. Begitu juga dengan Kayobi yang sudah memendamkan kepalanya. Jika tak salah, Mia juga mendengar seseorang berdehem pelan hampir bersamaan dengan meledaknya tawa mereka saat balon liur itu meledak. Bukannya buru-buru membangunkan Mas Pacar, Si Perempuan malah diam mematung menyaksiakan kekasihnya menjadi bahan tertawaan. Menyaksikan Mia dan Ocha saling memukul karena tertawa geli. Sepertinya dia shock hingga tak bisa berbuat apa-apa. Saat gelombang tawa Mia dan Ocha yang kali ini belum sepenuhnya reda, angkot kembali mengalami guncangan. Kali ini lebih hebat dari yang sebelumnya. Beberapa penumpang bahkan ada yang mengaduh kesakitan karena kepalanya terbentur atap angkot. Saat itu juga Si Pria akahirnya bangun. Benar-benar langsung bangun dan duduk tegak. Dia terlihat mengumpulkan segenap jiwa raga

  • The Line Between Us   16

    Angkot D02 jurusan Lebak Bulus Ciputat semakin jauh meninggalkan terminal. Suara gemuruh supporter bola dari stadion yang lokasinya tepat di sebelah terminal pun tak terdengar lagi. Mia dan teman-teman sudah tak sabar tiba di rumah. Namun, jalanan yang lengang itu seperti biasa harus tersendat ketika sudah memasuki lampu merah Pasar Jumat. Artinya perjalanan mereka yang cukup jauh, akan menempuh waktu lebih lama. Bebarapa menit berlalu angkot Mia belum berada terlalu jauh dari lampu merah Pasar Jumat. Selain karena macet, rupanya supir angkot sengaja memanfaatkan moment itu menunggu penumpang lain. Akibatnya beberapa pengendara mobil pribadi membunyikan klakson tanda protes setiap kali berhasil melewati angkot Mia. Tapi Pak Supir tidak peduli. Ironi memang, sebab dia begini supaya bisa memenuhi kebutuhan anak istri. Semantara mereka yang memaki lewat klakson itu, tidak mungkin menafkahi keluarganya. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, dengan laju lambat me

  • The Line Between Us   15

    "Mas. Mas! emang gak ada tempat lain yang lebih adem untuk ngasih cokelat selain di angkot siang bolong gini?" Protes Mia, tentunya dalam hati."Iiiih Ayang, ini apaaaa?" ucap Si Mbak mendayu-dayu sambil menutup mulutnya. Padahal udah jelas kalau itu cokelat. Mia dan Ocha pun makin kesal mendengar pertanyaan itu.Saat itu juga, Mia dan Ocha langsung berpandangan. Dengan bahasa kalbu dan sedikit tatapan tajam, mereka dapat mengerti isi kepala masing-masing yang terjebak dalam situasi Cringe Moment begini. Lalu mereka serempak menoleh ke Kayobi untuk melihat reaksinya. Dasar cowok, dia terlihat biasa saja dan gak mengerti telepati yang Ocha dan Mia berikan."Ini cokelat Sayang." Si Cowok tersenyum manis dengan tatapan sayu."Buat aku?" Si cewek tubuhnya makin tak bisa diam."Iya lah buat kamu." Suara Si Cowok terdengar lebih menggelikan lagi sekarang.Sambi menerima se kotak cokelat itu, dia bertanya, "Dalam rangka apa?""Dalam rangka V

  • The Line Between Us   14

    Dari dalam angkot, sebenarnya Indira menyadari tatapan tajam dari B Girl. Tiba-tiba saja tengkuknya terasa dingin, dan saat nengok ke belakang. Ada lima orang siswi yang bertolak pinggang juga bersidekap menatap lurus ke dalam angkot. Dari pakaiannya, Indi sudah tahu mereka pasti senior."Eh... eh,rupanya kita diliatin sama mereka dari tadi." Indira berbisik pada teman-temannya."Eh, Iya. Kenapa ya, mereka ngeliatin kaya gitu?" tanya Ocha yang curi-curi pandang ke arah mereka."Lo, ada masalah In sama mereka?" Tanya Kayobi setelah bergantian melihat ke luar angkot."Mana pula aku kenal.""Wah, berarti lo semua dalam masalah.""Lho, emang mereka siapa?" Tanya Mia."Kalian tau gak mereka siapa?" Kayobi bertanya saat menyadari teman bule batakya kikuk setelah bersitatap dengan geng B Girl.Indi, Mia, dan Ocha kompak menggeleng. "Mungkin dari sekolah lain," Celetuk Ocha."Emang kamu tau Kay?" Tanya Mia yang mulai penasaran."Ta

  • The Line Between Us   13

    "Hhhmm..., ya sudah. Ayo saya temani. Tapi sampe perempatan saja ya. Karena ada Pak Karyo yang berjaga di sana. Jadi kalian bisa saya tinggal." ujar Mr.Sani.Tanpa berdebat, empat siswa baru SMA BAKTI NUSA dan satu guru Bahasa Inggris mulai berjalan meninggalkan tempat. Kayobi dan Mr.Sani jalan di depan, sedangkan tiga anak perempuan jalan beriringan di belakang."Gimana, mmm ... Kayobi, hari pertama kamu?" Mr. Sani membuka pembicaraan."Ya lumayanlah, Pak," sahut Kayobi santai."Terus ada yang udah kamu incer belum, Nih?"Kayobi mengangkat bahunya, "Belum, tuh. Murid barunya gak ada yang cakep. Apalagi mereka bertiga nih, kaya anak SD semua. Hahaha.""Hush! Kamu ini." Mr. Sani menepuk pundak Kayobi sambil senyum-senyum.Sedangkan ke tiga cewek langsung melakukan protes massal sambil mendorong Kayobi bergantian hingga korek api yang ada di saku baju Kayobi terjatuh. Kayobi langsung mengabilnya buru-buru karena tak enak berada di sebela

  • The Line Between Us   13

    Gini ya rasanya patah hati? tanya Mia dalam hatinya.Tidak enak dan sesak. Sepanjang pelajaran ke tiga, Mia sangat gelisah. Baginya ini adalah pertama kali dia merasakan patah hati.Untung Mia tak sampai menjatuhkan air mata, karena perasaan yang tumbuh dalam dirinya belum terlalu besar.Sama seperti Mr. Sani, Mia bertekat mengubur perasaannya dalam-dalam. Meski ternyata hal itu memerlukan konsentrasi tinggi hingga jam sekolah usai.Mia dan ke empat temannya bergegas pulang. Begitu juga dengan seluruh murid, terkecuali mereka yang ada kegiatan ekstra kulikuler."Eh, bentar gue ke toilet dulu, ya," ucap Kayobi."Iish, dia cowok sendiri tapi paling repot deh." Indira mengutarakan kekesalannya yang disetujui oleh Mia dan Rossa. Namun, nyatanya mereka tetap menunggu Kayobi di bawah tangga.Setelah hampir lima menit, Kayobi datang sambil mengeluarkan bajunya dari dalam celana agar lebih santai.Mia terus memperhatikan gaya

  • The Line Between Us   12

    Guru dan murid yang saling jatuh cinta tersebut tersipu malu meski sudah berpisah. Mereka sama-sama belum sanggup memupus senyum yang terukir samar.Meski usianya terpaut jauh, Mr. Sani tak bisa memungkiri kalau Mia adalah tipenya. Terlebih lagi, Mia memiliki mata yang mampu membiusnya hingga selalu terbayang-bayang. Ia baru menyadari setelah tadi saling bertukar pandang.Di sisi lain, dia juga tidak menyangka akan jatuh hati pada anak muridnya sendiri, padahal di sekolah ada tiga orang guru dan karyawan perempuan yang seumuran. Namun, Mr. Sani tidak ingin terlaru larut dengan perasaannya. Ia cukup yakin dapat segera menepikan perasaan itu.Sedangkan Mia, sejak perjumpaan pertama, sudah tidak bisa melupakan senyum manis Mr. Sani. Satu hal yang paling melekat di benak Mia saat mata Mr. Sani seakan menghilang ketika tersenyum. Sama seperti Mr. Sani, Mia juga merasa heran bisa jatuh hati pada gurunya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti cewek lainnya yang menyukai

  • The Line Between Us   11

    Sepagi ini perasaan Mia sudah campur aduk. Gelisah, takut, senang dan antusias silih berganti timbul tenggelam dalam hati Mia, karena kegiatan belajar mengajar akan dimulai hari ini. Mia sempat terbangun jam tiga tadi karena takut kesiangan lagi, kemudian kembali tidur karena masih terlalu pagi.Di depan cermin Mia memandang bayangannya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam itu masih terasa kaku layaknya baju baru. Tidak lupa dia memakai dasi agar lebih rapi. Mia menjepit rambut tepat di atas kedua telinga agar tidak menganggu penglihatan. Sebelum berangkat Mia kembali mengecek buku pelajaran yang harus dibawa hari ini dan menyesuaikan dengan jadwal yang telah tertempel di meja belajar."Kayanya hari pertama sengaja dibuat gak terlalu berat," gumam Mia setelah melihat jadwal pelajaran hari ini yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Bahasa Indinesia, dan Biologi.Setelah semuanya siap, Mia dan ayahnya berangkat jam lima lewat lima belas. Mereka agak santai karena i

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status